tiga puluh satu
Siang itu, sesuai dengan pembagian tugas yang telah dilakukan oleh Chandra, Cetta dan Rana yang menjemput Suri di sekolah. Setelah bel pulang berbunyi, dengan cepat layaknya bodyguard, Siena mengawal Suri melintasi koridor. Wajah gadis itu penuh siaga, membuat Suri merasa jengah karena segalanya tampak berlebihan. Tetapi, dia tau tidak seharusnya dia protes. Mereka semua melakukan itu karena peduli dengannya.
Halaman sekolah mulai padat oleh rombongan siswa yang sudah meninggalkan kelas-kelas mereka. Sejenak, mata Suri dan Siena bergerak menyapu seisi halaman sebelum akhirnya berhenti pada sosok-sosok familiar yang berdiri di sisi mobil Cetta. Ada Rana disana, juga seseorang yang tidak Suri tebak. Orang itu adalah Sergio.
"Suri!" Cetta berseru di kejauhan, membuat perhatian dari beberapa warga sekolah, khususnya para siswi langsung tertuju padanya. Sontak mereka dibuat tercekat di tempat seketika. Penyebabnya tentu mudah diduga, karena paras Cetta yang jauh lebih kinclong daripada aktor-aktor blasteran yang kerap berseliweran di layar kaca—apalagi, kini di sisinya ada Sergio yang terlihat seperti tipikal kakak OSIS idaman dalam cerita-cerita remaja.
"Abang gue udah ngejemput. Lo ke mobil lo aja nggak apa-apa."
"Enggak bisa gitu." Siena menggeleng tegas. "Gue harus memastikan lo tiba dengan selamat di dekat mobil alias melimpahkan tugas melindungi lo secara resmi ke Kak Cetta dan Kak Rana."
"Lo lebay banget. Lo ngelakuin ini demi gue apa demi Abang Chandra sih sebenarnya?"
Siena nyengir. "Dua-duanya. Udahlah, yuk, udah nungguin tuh mereka," ujarnya seraya menarik Suri mendekat menuju mobil. Rana ikut melambai sementara Suri berjalan, sementara Sergio cengar-cengir tidak jelas. Lantas tiba-tiba, cowok itu melemparkan sesuatu pada Suri yang kontan membuat mata Siena membulat.
"Suri! Merunduk!" suara seruannya sangat keras, diiringi oleh gerakan melindungi Suri yang menarik perhatian. Dalam hitungan detik, gerak lalu-lalang siswa di halaman langsung terhenti. Mata mereka menatap heran pada Suri juga Siena, serta Cetta, Rana dan Sergio yang kini berdiri dalam posisi canggung.
"Hng," Sergio menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Itu cuma kulit kuaci, kok. Santai aja. Hehehe."
Suri menghela napas panjang, menahan diri kuat-kuat supaya tidak menepak Siena tepat di kepala. "Siena! Jangan lebay gini, dong!"
"Abis tuh bocah bikin kaget aja," Siena cemberut. "Kalau dia ngelempar bom atau batu, terus lo gegar otak terus mati gimana? Atau siapa tau aja lo bisa mati karena kejatuhan kulit kuaci? Kan pernah ada tuh berita orang yang mati karena keselek batang kangkung."
Suri menghentakkan kakinya dengan gemas. "Engga elit banget, deh. Gue nggak bakal mati cuma karena kulit kuaci. Dan lo, Gio, tumben banget lo ikut ngejemput gue? Enggak kuliah? Tolong jangan bilang kalau diam-diam lo naksir dan peduli sama gue. Bisa berabe gue kalau dipaksa milih antara lo dan kakak lo. Meskipun masih lebih ganteng kakak lo sedikit."
"Jangan ge-er." Sergio mendengus. "Gue nggak naksir sama lo, tapi jelas gue peduli."
"Karena gue cantik?"
"Semerdeka lo aja deh mau bilang apa. Gue sendiri melakukan ini karena ngerasa hutang-budi setelah apa yang lo lakukan buat Kesha. Juga buat mendiang kakak perempuan gue yang sempat gentayangan bertahun-tahun. Terus nurutin maunya Mami juga, karena kalau nolak gue takut dikutuk jadi ikan pari. Makanya abis kelas tadi pagi, gue inisiatif ngehubungi kakak lo."
"Oh, Abang Cetta udah damai ama Gio?"
"Ini bocah termos kayaknya nggak belangsak macam abangnya." Cetta bereaksi.
"Jelasnya masih lebih belangsak Abang Chandra." Suri mencibir. "Terus abis ini lo mau ngapain?"
"Mau ikut ke rumah lo. Mau ngomongin sesuatu. Hm, lebih tepatnya sih kayaknya menyampaikan pesan dari Mami."
"Pesan apa?" Cetta menyambar dengan kening berlipat. "Kok lo nggak bilang-bilang ke gue dulu, sih?"
"Abis dari tadi lo sibuk cubit-cubitan gemes sama pacar lo," jawaban Sergio membuat Rana kian merapatkan jarak antara dirinya dan Cetta. Kalau sudah bertemu Cetta, dunia rasanya hanya punya mereka berdua. Biarin aja yang lain. Suruh siapa jadi rakyat jelata yang tidak berkesempatan mersakan cinta. "Jadi gini, Mami gue kan tau kalau abang-abangnya Suri tuh pada sibuk dengan urusan masing-masing. Masih kuliah juga. Terus Mami punya ide."
"Ide apa?" Rana bertanya.
"Gimana kalau untuk sementara waktu, at least sampai masalah Suri dengan dunia makhluk ghaib selesai, Suri tinggal di rumah gue? Tenang aja, Suri bakal tidur di kamar tamu. Atau tidur di kamarnya Kak Bas since kamarnya Kak Bas itu paling luas dan satu-satunya kamar mandi di rumah yang punya bathtub. Biasanya cewek-cewek demen berendem gaul pake bathbomb gitu kan buat di-update di Instagram."
"Suri nggak boleh upload foto pas lagi mandi!" Cetta menyela cepat. "Suri tinggal di rumah lo? Gue sih percaya sama Mami lo. Percaya dikit ama lo. Tapi sama kakak lo yang macam arca batu itu..."
"Ide yang bagus." Rana bergumam, membuat kepala Cetta seketika tertoleh padanya. "Ide maminya bagus tau, Dimi. Kamu kan sibuk kuliah. Sibuk ngurusin aku. Sibuk photoshoot endorse juga. Kalau Malika ya kamu tau sendiri dia masih kenceng pedekate sama Khansa, terus harus nyari tau soal langit mati juga, kan? Nah kalau abang nomor satu kamu yang belangsak itu, seringnya dia nggak di rumah pas malam. Pas pagi sibuk molor. Namanya juga disk jokey merangkap fuckboi masa kini."
Jika yang bicara itu adalah Calvin atau Suri, Cetta sudah pasti membantah. Tetapi ini adalah Rana. Dan setelah dipikir, alasannya cukup masuk akal. Walau begitu, Cetta masih saja ragu. "Tapi... tetap aja... raasanya kayak nggak tepat."
"Aku mau."
"Maksud kamu, Suri?'
"Aku mau tinggal sementara di rumahnya Sergio. Maminya Sergio nggak akan bikin aku bosan. Tapi Mami juga nggak akan ngebiarin aku nggak aman. Plis abang, izinin aku tinggal sementara di rumahnya Sergio."
Pada akhirnya, Cetta menghela napas. "Abang harus omongin ini sama dua abang yang lain."
n o i r
Keluarga Cemara (3)
Dimitrio G. : Oy
Calvin Raskara : Oit, ada apa nih?
Barachandra : Awas aja kalau lo bawa kabar buruk, lo bakal gue sunat dua kali
Dimitrio G. : Selow elah
Dimitrio G. : Titit lo yang harusnya dijinakkan, bukan gue
Calvin Raskara : Stop
Calvin Raskara : Dalam situasi kayak gini, tolong jangan bercanda
Calvin Raskara : Hidup adik kita dalam bahaya, tau
Barachandra : Malika, why so serious?
Dimitrio G. : Tumben bijak
Calvin Raskara : Lama-lama gue tuntut juga nih itu pabrik kecap
Dimitrio G. : Oke, back to the topic
Dimitrio G. : Soal Suri
Dimitrio G. : Maminya Gio bilang Suri bisa tinggal di rumahnya sementara selama masa krisis. Nanti setelah masa krisis lewat, Suri bisa balik ke rumah kita lagi
Calvin Raskara : RAKYAT MENOLAK!!!
Barachandra : RAKYAT MENOLAK!!! (2)
Dimitrio G. : Woy dengerin gue dulu
Calvin Raskara : Kalau masalah kayak gini gue nggak mau diskusi
Calvin Raskara : Suri itu adik gue
Calvin Raskara : Jadi dia tanggung jawab gue
Barachandra : Super sekali, saudara Malika
Barachandra : Tapi gue setuju
Dimitrio G. : Suri juga adik gue
Barachandra : Dunia juga tau, Tri
Dimitrio G. : Heh pisang mojrot, diem dulu kenapa
Calvin Raskara : Tri ngomong kasar... sungguh ku terkejut
Dimitrio G. : Tuh kan sekarang gantian kalian yang pada susah diajak serius
Calvin Raskara : Oke—oke maaf
Dimitrio G. : Jadi gini, awalnya gue nggak setuju
Dimitrio G. : Tapi Rana setuju
Calvin Raskara : Yeuh itu perempuan satu mah disogok DVD telenovela Marimar juga langsung keok
Dimitrio G. : Jaga mulut lo. Dia pacar gue.
Barachandra : O—ow
Calvin Raskara : Sori
Barachandra : Kebanyakan minta maap lo elah ini belum lebaran
Barachandra : Lanjut, Tri
Dimitrio G. : Menurut gue, alasan Rana itu logis. Pertama, kita bertiga sama-sama sibuk. Gue sibuk ngurusin barang-barang endorse dan lain-lain. Malika masih sibuk ngurusin skripsi, pedekate sama Khansa juga nyari tau apa arti langit mati. Dan si Pisang Mojrot sibuk juga nyari mangsa sama nge-DJ.
Dimitrio G. : Kita nggak ada pilihan lain
Dimitrio G. : Mau sekeras apapun kita berusaha, kita nggak bisa ngelindungi Suri sebagus kalau kita biarin Suri tinggal di rumah Sergio
Barachandra : PISANG MOJROT
Barachandra : GUE GA TERIMA SAMA JULUKAN ITU
Dimitrio G. : LO KIRA GUE TERIMA SAMA JULUKAN TRI
Calvin Raskara : LO KIRA GUE TERIMA SAMA JULUKAN MALIKA
Barachandra : Oke stop jangan pake capslock gila mata gue berdarah
Calvin Raskara : Masih mending juga pisang mojrot. Daripada pisang muncrat
Barachandra : Julukan lo nggak berdasar
Dimitrio G. : Berdasar banget malah
Dimitrio G. : Pisang lo yang paling sering muncrat nggak tau tempat
Barachandra : ...
Dimitrio G. : Jadi gimana?
Dimitrio G. : Menurut gue baiknya biarin aja Suri tinggal sementara sama ibunya Sergio
Dimitrio G. : Beliau juga udah menganggap Suri kayak anaknya sendiri
Dimitrio G. : Dan Suri juga kangen sama Bunda
Barachandra : ...
Dimitrio G. : Jawab, jrot
Barachandra : Gue masih syok dikasih julukan nggak elit macam itu
Calvin Raskara : Sukurin. Makanya, jangan sehobi itu ngasih julukan aneh-aneh ke orang
Barachandra : ...
Calvin Raskara : Gue setuju
Calvin Raskara : Walaupun nggak rela, untuk saat ini, gue kira itu solusi terbaik
Dimitrio G. : Super sekali
Dimitrio G. : Oke, kalau gitu diskusi ini gue sudahi
Dimitrio G. : Btw, sekarang gue sama Suri, Rana, Sergio dan Siena masih mampir di McD buat makan siang
Barachandra : SIENA?
Dimitrio G. : Yaudah, bye
Barachandra : WOY
Barachandra : Kirimin foto Siena!!!
Read by 2
Barachandra : Durhaka kalian semua!!!
Barachandra : Kok gue dikacangin????!!!!
Barachandra : Btw Tri kurang ajar lo ya, gue belum bilang gue setuju apa nggak!!
Read by 2
Barachandra : Daki naga
n o i r
Hari ini, akhirnya sesuai apa yang sudah disepakati oleh Calvin juga Cetta (dan mungkin saja Chandra), Suri diantar menuju rumah Sergio dan Sebastian untuk tinggal sementara disana. Meski berat hati, ketiga kakak Suri menyadari jika untuk sekarang, membiarkan Suri tinggal di rumah Keluarga Dawala adalah pilihan terbagus yang mereka miliki. Jia Dawala berada di rumah sepanjang hari, dan sikap keibuannya bisa membuat Suri terhibur di tengah masa-masa stress seperti sekarang ini. Tentu saja, siapa yang tidak akan stress jika tahu hidupnya tengah diburu oleh para makhluk ghaib?
Jia Dawala menyambut hangat kala Suri tiba bersama Cetta, Rana dan Chandra. Calvin tidak ikut. Dia pergi bersama Khansa untuk menemui salah satu teman Khansa yang mampu membaca kartu tarot dan punya sedikit pemahaman terhadap alam ghaib. Perempuan itu bahkan repot-repot menunggu dan menyuguhi Suri sepiring kue kering yang khusus dia panggang untuk Suri.
"Dia akan baik-baik saja disini," Jia berujar saat Cetta, Rana dan Chandra berpamitan pulang setelah meletakkan koper-koper berisi pakaian Suri di kamar Sebastian. Jia sengaja memberikan kamar Sebastian untuk Suri, karena seperti kata Sergio, kamar Sebastian adalah salah satu kamar terluas di rumah Keluarga Dawala. Ditambah lagi fasilitas kamar mandi pribadinya yang terhitung lebih nyaman juga telah dilengkapi oleh bathtub berukuran besar. Mengingat Sebastian hampir tidak punya waktu untuk menggunakan bathtub, Jia berpikir lebih baik jika kamar tidur itu dipakai Suri.
"Saya percaya sama Tante," Cetta berkata. "Maaf juga kalau nanti Suri banyak merepotkan Tante."
Jia tertawa sembari menumpangkan tangannya di bahu Suri. "Suri anak baik. Juga anak yang menyenangkan. Dengan dia mau tinggal sementara bersama Tante saja sudah membuat Tante merasa bahagia. Kamu tau kan Tante sudah lama sekali kepingin punya anak perempuan?"
Chandra menarik napas, memandang sekali lagi pada Suri dengan khawatir. "Titip adik saya ya, Tante."
"Tenang saja. Suri akan baik-baik saja."
Mereka saling tersenyum, kemudian berjabat tangan. Akan tetapi, baik Cetta maupun Chandra sempat hampir berjingkat terkejut tatkala tiba-tiba Jia menarik mereka dalam dekapan. Keduanya berdiri canggung selama sepersekian detik sebelum terpikir untuk balik meraih punggung perempuan setengah baya itu. Sejak Bunda meninggal, keduanya belum pernah dipeluk sehangat itu. Cetta tentu sering dipeluk Rana, namun pelukan yang terkesan keibuan sangat berbeda dibanding peluk dari seorang kekasih.
"Hati-hati di jalan," ujar Jia dengan lembut.
Cetta, Chandra dan Rana kontan mengangguk patuh. Ketiganya lantas berpamitan sebelum berjalan menuju halaman luas rumah Keluarga Dawala tempat mobil mereka terparkir. Suri dan Jia berdiri bersebelahan di teras sampai mobil itu meluncur keluar dari halaman menuju jalan besar. Setelah mereka ditinggal berdua, barulah Jia menoleh pada Suri masih dengan sorot lembut pada kedua matanya.
"Kamu mandi aja dulu. Baru pulang sekolah, kan?"
"Iya, Mi."
"Yaudah." Jari-jari Jia menyentuh helai halus rambut Suri. "Kamu mau makan apa untuk nanti malam? Biar Mami yang masakin."
"Apa aja deh terserah Mami."
"Kamu suka masakan Cina nggak?"
"Boleh, deh."
"Oke."
Suri balas tersenyum, kemudian berjalan menuju kamar Sebastian. Tinggal di rumah orang lain dalam waktu yang sepertinya akan cukup lama adalah pengalaman baru baginya. Bukan sesuatu yang tidak menyenangkan, namun terasa sangat asing nan berbeda. Tidak apa-apa, Suri menenangkan dirinya. Dia akan baik-baik saja disini. Jia Dawala peduli padanya. Sergio juga teman yang lumayan. Apalagi... dia akan tidur di kasur yang selama ini ditiduri oleh Sebastian.
Pikiran itu membuat pipi Suri memerah. Cepat-cepat, gadis itu masuk ke kamar mandi. Sebastian jelas punya kamar mandi yang luar biasa spektakuler. Lantainya dingin dan halus. Mungkin terbuat dari pualam. Keramik kuning gading melapisi dinding, menciptakan suasana mewah yang kerap Suri temui dalam kamar mandi hotel berbintang. Sayang sekali, karena sepertinya bagiany yang paling sering Sebastian gunakan hanya kubikel shower.
Suri memutuskan memakai bathtub. Dia tidak lupa membawa stok bathbombnya dari rumah, jadi seperti biasa, dia bisa berendam gaul di kamar mandi Sebastian. Gadis itu menghabiskan waktu lima belas menit mengisi bathtub dengan air hangat. Lantas dia melemparkan sebutir bathbomb ke dalamnya, menonton sementara air meluruhkan benda itu. Warnanya yang kehijauan menyepuh air dalam bak yang semula jernih.
Rasanya menyenangkan bisa menjauh sejenak dari kenyataan dan menikmati air hangat yang menyelimuti hampir sekujur tubuhnya. Suri menghela napas panjang sesaat setelah masuk ke dalam bathtub. Matanya memandang langit-langit sementara ujung-ujung rambutnya yang sudah basah meneteskan air hingga ke tepian bathtub. Dia lelah dengan ini. Ketika Zoei memperingatkannya akan hal buruk yang mungkin saja terjadi, Suri tidak menebak jika itu bisa saja berkaitan dengan hidupnya.
Kalau boleh jujur, Suri tidak takut mati. Kematian Bunda hampir dua tahun lalu membuatnya mengerti jika hidup dan mati itu adalah sebentuk misteri. Sesuatu yang dirancang oleh semesta, seperti skenario yang dia mainkan tanpa tahu seperti apa akhirnya. Tetapi Suri tidak bisa mati sekarang. Kematiannya akan menghancurkan hati orang-orang terdekatnya. Hati Ayah, hati ketiga kakaknya, dan mungkin saja... hati seorang Sebastian Dawala.
Lamunan Suri buyar saat tiba-tiba dia mendengar suara pintu kamar mandi dikuak. Refleks, gadis itu langsung menoleh pada suatu arah hanya untuk terbelalak kaget pada detik berikutnya. Sebastian berdiri disana, masih dengan kemeja kerja yang kancing teratasnya sudah dilepas. Dasinya pun telah dilonggarkan. Raut wajah cowok itu sama terkejutnya dengan Suri. Mata mereka terkunci selama sepersekian detik, sebelum keduanya saling memalingkan muka dengan pipi yang sama-sama merona merah.
"Sori," Sebastian bergumam tertahan sembari menutup pintu, meninggalkan Suri dalam kepungan rasa malu dan jerit tertahan yang terlontar kuat-kuat dalam ruang benaknya. Bergema, mengiringi jengah yang mencekiknya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Suri ingin terbenam dalam air dan tidak keluar-keluar lagi.
n o i r
Dengan jantung yang masih saja berdebar tidak karuan, Sebastian melangkah cepat meninggalkan kamarnya menuju dapur—tempat dimana Jia pasti berada, terdengar dari suara sodet yang beradu dengan permukaan wajan. Ini semua gila. Jangan ingatkan padanya bagaimana dia melihat Suri berendam dalam bak mandinya. Tidak—tidak. Ini bukan pertama kalinya Sebastian melihat perempuan telanjang. Dia pernah melihat Kat tanpa busana beberapa kali—tepatnya pada masa-masa dimana cinta mereka mencapai titik terpanas—tapi ini bukan Kat. Gadis itu adalah Suri. Melihat tubuh bagian atasnya dari mulai bagian teratas belahan dada sampai ke leher adalah sesuatu yang membuat Sebastian memikirkan satu hal;
Tingkah Suri mungkin serupa anak-anak, namun jelas tubuh gadis itu bukan tubuh anak-anak.
"Mami!" Sebastian berseru dalam nada tinggi sesaat setelah dia tiba di pintu dapur. "Suri—kenapa Suri ada di kamarku?!"
Jia berhenti mengaduk makanan di dalam wajan. Perempuan setengah baya itu mematikan kompor sebelum menjawab. "Kenapa kamu kaget banget kayak gitu, sih? Harusnya kamu senang, dong."
"Mami, gimana aku bisa senang kalau tadi aku melihat dia—" Napas Sebastian tertahan dengan tajam. "Oke. Lupain. Tapi kenapa Suri ada di kamarku?"
"Jangan bilang kalau kamu nggak sengaja melihat dia di kamar mandi?" Mata Jia menyipit curiga.
"Aku nggak lihat apa-apa!" Sebastian berseru, agak sedikit terlalu ngotot hingga kecurigaan Jia justru kian membukit.
"Nggak usah keras-keras gitu, yang ada Mami malah makin curiga. Kamu ngeliat dia di kamar mandi, ya? Oh, God, Bas, jelas ada kopernya berderet di kamar kamu. Masa kamu nggak sadar, sih? Kenapa juga kamu langsung masuk ke kamar mandi?"
"Mana aku tau?! Aku kira Mami lagi ngumpulin koleksi baju lama Sarah atau gimana kali apapun itu," Sebastian mendengus kesal. "Dan Mam, Mami tau sendiri kalau setiap pulang kantor, aku langsung mandi!"
"Ada ribut-ribut apa sih ini?" suara lain ikut menimpali, dan itu datang dari Sergio. Tampaknya suara Sebastian yang terlampau tinggi berhasil menarik perhatiannya untuk keluar kamar. "Kenapa sama Kak Bas, Mam?"
"Kakak kamu nggak sengaja lihat Suri lagi mandi."
Mata Sergio membulat seketika. "Oh. My. Lord."
"Gio, nggak usah lebay gitu. Gue nggak lihat apa-apa. Lagian, apa yang bisa gue lihat dari badannya dia?!" Wajah Sebastian justru kian memerah.
"Gila lo, Kak. Kalau abang-abangnya Suri sampai tahu, lo bisa dibikin jadi kayak kambing guling, tau nggak?"
"Sergio,"
"Jangan berdebat." Mami memotong. "Sebastian, kamu mungkin belum tahu, tapi sementara waktu, Suri akan tinggal bersama kita. Kamu pasti sudah tahu situasi krisis yang sekarang sedang Suri hadapi. Jujur, Mami merasa bersalah karena hantu-hantu yang Suri bantu dulu adalah Kesha dan Sarah. Jika bukan karena masalah keluarga kita, mungkin hidupnya nggak akan terancam kayak sekarang. Ketiga kakaknya jelas sibuk, nggak akan bisa berada di dekatnya sepanjang waktu. Jadi Mami berinisiatif mengajaknya tinggal disini. Mami dan Gio—juga kamu kan bisa ikut mengawasi Suri sepanjang waktu ketika abangnya sibuk."
"Tapi, Mami,"
"Dia akan tinggal disini sementara, Bas. No buts."
Sebastian berusaha berdiplomasi. "Tapi kenapa dia ada di kamarku?"
"Emangnya kamu tega membiarkan Suri tidur di kamar tamu?"
"Terus aku harus tidur dimana? Kamar tamu?"
"Kalau kamu keberatan tidur di kamar tamu, kamu bisa tidur di kamarnya Sergio."
"No. Big no!" Sergio kontan menyambar. "Kecuali Kak Bas mau tidur di sofa, aku nggak akan ngizinin."
"Fine then," Mami mengangguk cepat. "Sofa kamar Sergio atau kamar tamu. Itu pilihan kamu, Bas. Atau kamu mau tidur sama Mami?"
"Hell, no. Aku udah besar."
"Yaudah. Sofa kamar Sergio atau kamar tamu."
"Mam,"
"Oh ya, tadi Suri bilang kalau ada hantu-hantu dari rumahnya yang ikut dia ke rumah ini. Hantu-hantu itu ada untuk melindungi dia dari segala makhluk dunia ghaib yang bermaksud buruk. Jadi jangan kaget kalau ada sesuatu yang aneh, soalnya kata Suri, ada beberapa dari hantunya yang hobi jahil."
Sebastian melotot. "Mami!!"
"Sebastian Dawala, jangan berteriak sama Mami kamu." Ucapan Mami seketika membungkam mulut Sebastian.
Ini semua gila. Bagaimana bisa Mami lebih memanjakan Suri daripada dirinya? Sebastian menarik napas panjang, berusaha keras menahan diri untuk tidak membenturkan kepala ke tembok berkali-kali.
bersambung.
Hehehe. Sebagai reward karena banyak yang udah komen kemarin, speed updatenya gue percepat nih haha. Update berikutnya belom tau, cuma kalau komennya ngalahin jumlah di chapter tiga puluh mungkin akan gue pertimbangkan. Btw, kayaknya gue perkirakan cerita ini nggak akan selesai di chapter 40. Bukan karena gue panjang-panjangin (sumpah ini aja disini udah panjang) cuma karena gue yakin kalian pasti mau tau banyak soal peristiwa-peristiwa yang terjadi kalau Suri mati suri (ea), sedikit info tentang ahjussi rasa oppa kita alias Ayah (gue masih bingung nentuin visualisasi Ayah karena sumpah Ayah tuh lebih perfect daripada Dimi ya lo liat aja anak-anaknya tampangnya pada bagus gitu), cerita saat Sebastian nggak bisa tsundere lagi sampai saat Suri ketemu lagi sama mamas-mamas iblis ganteng dan mba-mba malaikat jutek dan yang terpenting, Noir!
Btw, terimakasih untuk semua masukan mengenai RP. Untuk weekend ini, gue lagi mengarahkan anak-anak RP untuk memperbaiki diri (ea) ini semua salah gue lol karena gue nggak ikut campur sejak awal. Mungkin gue akan bikin pengumuman di Instagram (at)keyganesha tentang mana RP yang udah gue approve (biar nggak ngerusak imajinasi kalian kan) dan mana RP yang not responsive ke gue (dan otomatis akan gue eliminasi) (anjir ini kenapa gue berasa kayak lagi ngejuri Dangdut Academy) gitu deh intinya. Sori ya.
Dannnn... Claire de Lune kapan ya? Mungkin besok. JINX juga. Yang lain-lainnya pasti gue posting kok karena untuk sekarang, gue sudah tidak nonton drama lagi. Jadi di luar ngerjain tugas, kerjaan gue adalah mengurusi tulisan.
Jangan anggap gue baik, oke. Gue begini karena gue merasa gue butuh menulis. Selain itu, ini juga apresiasi untuk kalian, para pembaca yang sudah menemukan gue, kemudian membaca, ngasih vote, ngasih komentar, bahkan sampai promosi ke temen-temen kalian tentang cerita gue. Thankyou. Gue mulai menulis di dunia maya mungkin sejak 2010 (and believe me it was piece of trash lol) dan nggak akan bertahan sampai sekarang jika bukan karena para pembaca gue.
Suatu saat nanti, seandainya gue berhasil tiba di atas, gue harap dengan membaca tulisan lama, membaca author notes lama yang gue tulis, gue bisa ingat karena jasa-jasa siapa aja gue bisa sampai di puncak. Jadi gue bisa menjadi 'tinggi' tanpa harus kehilangan pijakan di tanah. You know what I mean, okay? Suatu hari, seandainya gue sombong, tolong ingatkan gue. Because sometimes, fame is toxic. Dan gue nggak mau menjadi orang seperti itu.
Makasih semua.
Sampai ketemu di chapter berikutnya.
Ciao.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro