tiga puluh enam
Suri merasa seperti tengah berenang dalam sesuatu yang kering ketika Zoei menariknya pergi. Lucu sekali. Dia melayang tinggi, meninggalkan tubuh mortalnya yang kini terbaring dalam rengkuhan Sebastian. Ada rasa takut sempat menghinggap, teriring ribuan pertanyaan. Akankah dia bisa kembali? Atau diam-diam Zoei membohonginya? Bagaimana jika kini nyawanya telah benar-benar tercabut dan dia sedang dalam perjalanan menuju akhirat?
"Aku tidak akan membohongimu. Saat aku bilang aku akan membelamu, aku berkata jujur. Kamu tau, aku mungkin iblis, tapi aku tidak akan mengingkari janji dan prinsip yang kupunya."
Seperti mengerti kemana pikiran Suri bermuara, Zoei berujar tiba-tiba. Mereka masih terus bergerak. Lebih cepat dari peluru, seperti dorongan energi yang Zoei miliki lebih besar dari energi yang mendorong roket yang pernah dibuat manusia. Suri baru tahu langit itu tercipta dengan berlapis-lapis. Semuanya tampak kian mengecil, hingga kemudian Kota Jakarta hanya berupa titik hitam samar, seperti noda diantara bentangan jahitan kain perca.
"Apa disana ramai?"
"Dimana?"
"Di... tempat itu..." Suri meneruskan dengan terputus-putus, tidak berhasil menemukan padanan kata yang tepat untuk menggambarkan tempat yang disebut-sebut Zoei sebagai tempat dimana Suri akan diadili karena tindakannya turut campur dalam urusan makhluk immortal.
"Sepanjang waktu, Sang Pencipta telah menciptakan banyak makhluk. Iblis. Malaikat. Jiwa yang tertanam dalam tubuh mortal—mencakup di dalamnya manusia, hewan dan tumbuhan."
"Tumbuhan juga punya jiwa?"
Mendengar pertanyaan Suri, senyum Zoei tertarik. "Tumbuhan adalah makhluk paling hidup yang pernah tercipta. Kamu mau tahu kenapa?"
"Kenapa?"
"Karena tumbuhan hidup tanpa merugikan makhluk hidup lainnya. Tumbuhan justru menjadi sumber utama dalam kehidupan itu sendiri. Tumbuhan selalu berada di bagian terbawah rantai makanan. Tumbuhan tak pernah bersuara. Namun mereka menjalani semuanya dengan penuh rasa terima."
"Waw."
"Kenapa dengan 'waw'?" Kening Zoei berkerut.
"Jadi merasa bersalah karena dulu suka metikin bunga kambojanya Ayah sampai pohonnya botak. Abis itu yang disalahin ama Ayah malah Abang Chandra. Muehehe."
Zoei berdecak. "Kamu itu memang tidak pernah bisa serius, ya?"
"Kan kamu udah serius. Kalau aku serius juga, nanti malah jadi dua rius."
"Aku tidak mengerti."
"Kaku banget sih kamu. Makanya sekali-kali gaul. Abis selesai sidang ini, kamu bisa kok sering-sering main ke rumah. Nanti aku ajakin ke Pondok Indah Mall atau kemana kek gitu. Wati aja suka diam-diam nongkrong di bioskop. Kayak dulu tuh, pas Breaking Dawn Part 2 booming, Wati sampai nginap di bioskop soalnya nggak mau rebutan tempat sama setan-setan lainnya, terutama yang tergabung dalam barisan pembela Edward Cullen."
"Oh, film tentang vampir dan manusia itu?"
"Kamu tau juga?"
"Dulu Lucifer sempat jadi penggemar berat film vampir dan manusia itu. Bahkan saking benar-benar jadi penggemar setia, Lucifer sempat memohon pada Sang Pencipta untuk menciptakan makhluk-makhluk seperti vampir."
"Terus apa kata Sang Pencipta?"
"Permohonan Lucifer langsung ditolak." Zoei berujar. "Setelahnya, Lucifer berhenti bicara dengan Sang Pencipta selama tiga bulan berturut-turut. Dia juga bersumpah dia akan memasukkan seratus ribu orang lebih banyak dari yang seharusnya ke neraka."
"Lucy kalau ngambek bisa lebih seram dari perempuan yang lagi PMS ya."
"Lucy?"
"Nama unyu untuk Lucifer."
"Unyu?"
"Kalian para iblis tuh emang ganteng tapi kurang gaul." Suri memutar bola matanya. "Unyu itu apa ya... imut... kayak panggilan untuk anak-anak cute gitu. Ngerti nggak sekarang?"
Zoei manggut-manggut. "Jangan sampai dia dengar. Nanti kamu bisa dikutuk jadi manusia berkepala kambing."
Suri membelalak ngeri. "Lucy sensian banget deh."
Zoei terkekeh. "Kita hampir sampai. Bersiaplah, Oriana Suri Laksita."
Kata-kata Zoei membuat Suri langsung terkesiap. Apa yang dikatakan iblis itu sepertinya benar. Kecepatan mereka yang semula serupa lesatan bintang jatuh perlahan berkurang, hingga keduanya benar-benar berhenti di depan sebuah benda berbentuk pintu yang sangat besar. Pintu itu menjulang tinggi, jauh lebih tinggi dari bangunan-bangunan paling tinggi yang Suri tahu ada di Bumi. Pencakar langit seperti Burj Khalifa mungkin hanya sepersepuluhnya. Warnanya cokelat. Pada celah-celahnya, ada cahaya berwarna putih yang terpancar. Cahaya itu tidak terang benderang, malah Suri merasa cukup temaram sehingga tidak menyilaukan mata.
Gila, Suri berpikir. Ini pasti ruang BP paling mengerikan yang pernah ada.
"Siap?" Zoei bertanya.
"Siap nggak siap, tetap harus siap kan?" Suri berusaha kelihatan optimis. "Aku mau ini cepet-cepet selesai, jadi aku bisa balik lagi ketemu sama Tian, abang-abang, Ayah, Wati bahkan Mpok Jessica. Aku harus siap. Tapi kamu harus janji bakal belain aku, oke?"
"Aku berjanji." Zoei menyahut dengan penuh keyakinan sebelum mengangkat salah satu tangannya. Dengan jari telunjuk, dia menyentuh permukaan pintu itu. Seperti sihir, sentuhan Zoei seakan memiliki daya magis yang tak mampu dinalar. Pintu tersebut langsung jatuh berantakan, menampilkan meja raksasa dan tribun-tribun super besar yang telah terisi. Makhluk-makhluk yang ada di tribun berwujud seperti manusia—dimana pada tribun sebelah kanan didominasi oleh para perempuan berwajah bak bidadari dengan sayap yang membiaskan warna pelangi menyembul dari punggung mereka. Sedangkan pada tribun sebelah kiri diisi oleh kumpulan laki-laki yang tidak jauh beda rupanya dengan Zoei. Mereka semua jelas tampan dan mengenakan setelan sekelam malam.
Apa yang menarik perhatian Suri adalah kehadiran dari tujuh pria dan tiga perempuan yang duduk menghadapi meja besar. Wajah mereka tampak datar, hampir tanpa emosi. Ada satu kursi kosong di bagian paling tinggi, namun tidak ada siapapun disana. Tidak ada sosok Sang Pencipta yang dibicarakan oleh Zoei.
"Kami tidak biasanya tampil menyerupai manusia, namun karena kamu masih muda dan kamu manusia, kami tidak ingin kamu terlalu takut sehingga tidak bisa menjawab dengan benar pertanyaan yang akan diberikan." Zoei berkata. "Aku akan jadi pendampingmu untuk sidang ini."
"Oh. Begitu."
"Tribun kiri adalah tempat para iblis yang akan menjadi saksi. Sementara di tribun kanan adalah tempat para malaikat. Jangan menatap pada para malaikat. Jelas mereka tidak menyukai sesuatu yang melanggar aturan. Di mata mereka, kau adalah pembangkang."
Suri menelan ludah. "Oke... dan tujuh cowok ganteng itu siapa, ya?"
Zoei berusaha mati-matian menahan rasa geli yang menjalar. Bahkan pada situasi seperti ini pun, tampaknya Suri belum bisa serius. "Tujuh pria itu adalah tujuh iblis utama. Lucifer, Mammon, Belphegor, Asmodeus, Leviathan, Belzeebub dan Amon. Tiga perempuan yang berada di dekat mereka adalah tiga malaikat tertinggi. Kamu bisa menyebutnya Diluce, Seraphime dan Zetheera. Kursi kosong di atas mereka sebetulnya diperuntukkan untuk Sang Pencipta."
"Lalu dimana Sang Pencipta?"
"Dia tidak akan datang ke sidang ini." Zoei berkata. "Dia mengirim salah satu utusannya. Dia yang sudah lama hilang."
"Siapa?"
"Noir."
Hanya satu kata terlontar dari Zoei, dan tempat itu langsung senyap.
n o i r
Pagi menjelang dan suara pertama yang membangunkan Sebastian adalah suara ribut-ribut di ambang pintu kamar. Kepala Sebastian terasa pening. Dia jelas butuh tidur lebih lama, tapi tetap memaksa untuk membuka mata. Setelah mengangkat wajah dari tepi ranjang, cowok itu mengarahkan tatap pada ambang pintu, dimana ketiga kakak laki-laki Suri yang tampak super berantakan dengan wajah khas orang baru bangun tidur telah berkumpul.
"Wah, ini sih kasus namanya!" Chandra berseru seraya melangkah masuk dengan gaya beringas. "Ngapain lo nongkrong disini?!"
Sebastian tidak menyahut, karena detik berikutnya, dia justru sibuk meraih pergelangan tangan Suri yang masih terbaring di atas ranjang. Matanya terpejam dengan tenang. Wajahnya sepucat kertas, sementara sekujur tubuhnya dibalut oleh selimut. Sebastian memang sengaja membaringkannya di atas ranjang semalam, setelah menyadari Suri tidak akan kembali dalam waktu singkat.
Atau... akankah dia kembali?
Wajah Sebastian langsung berubah pias tatkala jarinya tak merasakan ada denyut pada pergelangan tangan Suri, pada tempat dimana pembuluh nadi berada.
"Tunggu." Cetta dengan cepat membaca keadaan. "Ini... ada apa?"
"Kalian semua ketiduran semalam."
"Itu nggak menjawab pertanyaan si Tri, kampret," Calvin jadi panik. Dalam gerak gusar, cowok itu berjalan mendekati ranjang. Matanya kontan terbeliak ketika menyadari bagaimana tubuh Suri terasa amat dingin. Jika diperhatikan, bahkan hampir tidak ada napas yang terhembus dan terhela dari hidungnya.
"Ini serius." Chandra mendekati Sebastian dengan ekspresi wajah paling mengerikan yang dia punya. "Kenapa dengan adik gue?"
"Semalam kalian semua ketiduran." Sebastian menggigit bibirnya, matanya memandang Suri dengan lekat. Ada sorot tersiksa sekaligus penuh penyesalan disana. "Sosok itu datang."
"Iblis? Malaikat? Hantu?"
"Menurut gue, dia iblis." Suara Sebastian kian melemah. "Dia mengajak Suri pergi. Berjanji akan menyelesaikan semuanya. Gue udah bilang ke Suri untuk menolak. Untuk nggak pergi. But she's your sister, afterall. Sama kayak abang-abangnya yang keras kepala, mana pernah dia peduli sama ucapan orang? She took his hands. Then... she left."
"Nggak!" Cetta berseru kalap. "Adik gue belum mati!"
"Gue nggak bilang adik lo udah mati!" Sebastian menyahut dengan suara tak kalah tinggi.
"Cara lo bicara mengesankan adik gue udah mati!"
"Look at me, apakah ekspresi gue menunjukkan kalau gue berharap dia mati?!"
"Ada apa ini?"
Sebuah suara menyela dan mereka langsung bungkam seketika. Suara itu adalah suara milik Jia Dawala. Di belakangnya, para anak perempuan berkumpul. Rana terlihat mengangkat salah satu alis, demikian pula Khansa yang mencoba membaca situasi hingga Siena yang dibuat terheran-heran. Jia menatap bergantian pada para laki-laki yang mengelilingi ranjang Suri, lalu mata perempuan setengah baya itu menyipit.
"Kenapa kalian membuat keributan disini?"
"Something happened, Mam." Sebastian menukas, mengambil jeda sejenak ketika sebuah keributan terjadi karena kehadiran Sergio yang baru saja tiba di ambang pintu setelah berlari dari kamarnya. "Ada yang datang semalam. Kucing hitam. Penjelmaan iblis. Dia membuat seisi rumah tertidur. Kecuali aku."
"Kok bisa gitu?" Chandra menyela, membuat Sebastian menatapnya diiringi sebuah delik.
"Mana gue tau. Lo kira gue paham gimana karakter iblis dan cara mereka bekerja?!"
"Alah, basi. Kebanyakan ribut. Lanjut." Rana menyergah sewot. Kata-katanya yang bernada tajam sukses mendapatkan satu pelototan dari Chandra—yang lantas Cetta balas dengan menyikut rusuk kakak sulungnya hingga cowok itu sibuk mengaduh dengan kesan dramatis.
"Kehadirannya bikin Suri melangkah keluar dari lingkaran garam. Kemudian dia mengajak Suri pergi, bilang semuanya akan selesai. Dia juga berkata kalau Suri menolak ikut, kita akan harus menghadapi masalah ini seterusnya, karena langit mati terjadi setiap bulan."
"Kenapa lo nggak larang?" Khansa akhirnya bersuara.
"Menurut lo, orang kayak Suri, yang punya kakak-kakak macam Tarzan baru masuk peradaban ini bisa dikasih tau?"
"Suri emang keras kepala sih," Siena yang menyahut diikuti pertanyaan yang sarat akan kecemasan. "Tapi dia nggak apa-apa, kan?"
"Berisik!" Cetta berseru sambil berjalan ke sisi ranjang, kemudian meraih tangan Suri dari balik selimut. Wajahnya kontan langsung seputih tembok ketika menyadari tidak ada nadi yang terasa disana. "Ini... ini semua nggak mungkin."
Melihat reaksi yang Cetta tunjukkan, Calvin dan Chandra tertular kepanikan. Mereka ikut bergerak ke samping Cetta untuk melakukan tindakan yang sama. Keduanya lalu berpandangan sambil menelan ludah kala menyadari hampir tidak ada denyut yang terasa, baik pada pergelangan tangan maupun pada sebuah titik di leher Suri.
"Kenapa?!" Rana menghambur masuk ke dalam kamar. "Jangan bilang ke gue kalau..."
"Shit." Sebastian meremas rambutnya seperti orang gila. "Shit. Shit. Shit. Shit." Bibirnya menggumamkan makian itu berkali-kali tanpa henti. Dalam sekejap, situasi berubah jadi tegang. Semua terserang panik, kecuali Jia yang masih saja berdiri di ambang pintu dengan pandangan meneliti.
"Jangan panik dulu."
"Gimana aku nggak panik, Mam?!" Sebastian hampir memekik. "For God's sake, this couldn't be happen! Nggak boleh!"
"Apanya yang nggak boleh?"
"Masih harus ditanya?!" Sebastian melotot pada Sergio yang kini menggaruk pelipisnya. "I can't let her die. No. No. I can't."
"She won't."
"Apa yang membuat Mami begitu yakin?"
"Karena dia janji sama Mami semuanya akan baik-baik saja." Jia membalas. "Mami harus menelepon Tante Ayana. Cuma dokter yang bisa membuat pernyataan kematian. Bukan kalian."
Selesai bicara, Jia langsung berbalik. Wanita itu melangkah pergi dengan anggun dalam balutan piyamanya, tidak menyadari bagaimana kalimat yang dia ucapkan baru saja menebarkan percikan lega bagi orang-orang yang masih berdesakan di dalam kamar.
n o i r
"Dia berada dalam kondisi dimana dia koma." Adalah kalimat pertama yang dikatakan oleh perempuan muda berambut hitam sebahu itu setelah memeriksa kondisi Suri. Kata-katanya membuat mereka semua menghela napas lega, meski hanya sejenak karena apa yang Ayana ucapkan berikutnya bukan sepenuhnya bisa disebut kabar baik. "Saya nggak tau kapan dia akan bangun. Tapi denyut nadinya sangat lemah. Betul-betul lemah, hingga kalian tidak bisa mendeteksinya menggunakan sentuhan. Saran saya, kalian membawanya ke rumah sakit. Ada kemungkinan jantungnya bisa berhenti berfungsi sewaktu-watu. Bagaimanapun juga, dia perlu bantuan dari mesin-mesin penyokong hidup."
"Jadi betul-betul nggak ada yang bisa kami lakukan, Ayana?" Jia bertanya, mewakili yang lain karena mereka semua tampak syok—terutama Sebastian. Jia bersumpah, dia tidak pernah melihat Sebastian tampak sepanik itu sepanjang eksistensinya selama dua puluh enam tahun.
Ayana menggeleng. "Nggak ada. Sama seperti kasus koma pada umumnya. Kita hanya bisa menunggu. Jika dia bangun, maka dia bangun. Jika tidak, tergantung berapa lama orang-orang di sekitarnya mau menunggu. Ada yang bisa menunggu bertahun-tahun. Ada pula yang menyerah dan merelakan saat yang ditunggu tidak juga kembali."
"Adik saya akan kembali. Dia selalu tahu jalan pulang." Chandra membalas cepat, membuat mata Ayana langsung tertuju padanya. Perempuan yang pernah berpraktek sebagai dokter penyakit dalam itu langsung menyunggingkan senyum tipis.
"Saya suka optimisme kamu. Tapi saya bukan Tuhan. Saya tidak bisa mengatakan dia akan bangun. Sebaliknya, juga tidak bisa menetapkan dia akan meninggal."
"Menurut kamu, apa yang harus kami lakukan?" Jia bertanya lagi.
"Untuk saat ini, Suri butuh bantuan dari mesin penyokong hidup. Jantungnya masih berdetak secara mandiri sekarang, tapi itu tidak menjamin dia bisa terus bertahan hanya dengan itu, karena detaknya begitu lemah."
"Kalau begitu, kita harus ke rumah sakit sekarang." Calvin berkata, berusaha mati-matian terdengar kalem.
"Atau tidak." Jia menyahut. "Lebih baik jika dia dirawat disini. Ayana, kamu bisa bantu aku untuk mengurus masalah teknis dengan pihak rumah sakit agar Suri bisa mendapatkan perawatan di rumah? Kamu kan pernah bekerja disana. Jadi kurasa kamu pasti tau regulasinya."
"Tenang saja, Mbak. Aku akan menelepon rumah sakit siang ini juga."
"Well, thanks Ayana." Jawab Jia, lalu dia mengalihkan tatapnya pada ketiga kakak Suri. "Hubungi Ayah kalian. Bagaimanapun, dia harus tahu. Dan dia harus pulang untuk memberikan dukungan moral untuk anaknya."
"Maksud Mami?" Sergio bertanya penasaran.
"Saat ini, entah dimana," Mami menatap ke luar jendela, pada langit yang kini terang oleh cahaya mentari dan bersih dari awan. Cuaca di luar sana sangat cerah, berbeda dengan mendung yang telah menggelayuti kediaman Keluarga Dawala sejak pagi menjemput. "Suri sedang berjuang. Kalian tidak boleh sedih. Kalian harus mendukungnya. Dukungan kalian bisa menjadi kekuatannya untuk menemukan jalan pulang. Untuk kembali pada kita."
Kata-kata Jia membuat baik Chandra, Calvin maupun Cetta terdiam. Ketiga cowok itu menghela napas, merasa ada yang menghunjam dalam-dalam ke dada mereka. Entah mengapa, ketenangan dan ketegasan yang Jia tunjukkan mengingatkan ketiganya pada seseorang yang telah lama mereka rindukan, yang hadirnya lama menghilang.
Pada Bunda.
bersambung.
Halo.
Lama tidak bertemu.
Gue masih di Boyolali dan studio, btw.
Dan nggak, gue nggak jalan-jalan. Gue ngerjain tugas.
Bukannya ngeluh ya, ini gue kasih gambaran ke lo-lo pada yang hobi nagih gue untuk update. Wilayah studi kelas studio gue itu lima kecamatan. Isinya adalah 67 kelurahan. Lo tau, untuk sejumlah kelurahan kita harus nitikkin sarana prasarana kayak masjid ada berapa, warung ada berapa, rumah sakit ada berapa, sekolah ada berapa pake GPS. Kemudian diconvert dan jadilah titik-titik persebaran tempat seperti yang kalian lihat di Google Maps.
Belum lagi wawancara warga. Kayak gue sama temen gue. Satu kelurahan itu ada tujuh belas RW. masing-masing RW kegiatan sosialnya beda-beda, kegiatan budayanya beda-beda, masalah sosial beda-beda, persampahan dan sanitasinya beda-beda. Belum lagi setelah survei datanya dikompilasi. Belum lagi gue ada tugas membandingkan perekonomian wilayah dan bikin peta lokasi kerawanan bencana (kalau lo mau tahu itu pake overlay lebih dari delapan peta).
Jadi tolong, ditunggu aja dengan sabar. Gue ngetik aja di sela jam makan siang gue dan cari restoran yang sedia colokan + wifi. Kalau nurutin maunya gue juga gue pengennya posting cepet.
Makasih banget buat kalian semua yang udah vote dan comment. ngebaca semua comment kalian bikin capek gue jadi nggak kerasa btw. Haha sounds cheesy but I swear its true.
Selamat UN buat yang UN. UN bukan segalanya, sebenarnya. Setelah lepas dari SMA, kalian akan belajar kalau dunia luar itu lebih dari sekedar UN. Hidup itu lebih rumit dari UN. Kuliah itu nggak seindah ftv, jadi tentukan pilihan kalian baik-baik.
Tadinya gue berniat ngepost jumat tengah malam, setelah gue nyampe lagi di Semarang. Tapi gue pikir momen ini adalah momen yang meskipun bikin capek perasaan dan capek badan, tapi tetap patut diingat. Nanti ketika semester ini sudah lewat, gue bisa melihat ke belakang dan sadar kalau ternyata akhirnya gue survive.
Boyolali is a great place, btw. Gue sangat menikmati suasana kota ini. Mungkin lain kali kalau gue sempat gue bakal jalan-jalan sendiri ke Jogja atau Solo. Mungkin juga Malang dan Surabaya lol. (btw kemaren gue nyasar sampai Klaten di daerah Umbul Manten wkwk)
Oke deh.
See you in the next chapter.
Ciao.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro