tiga puluh empat
Mengingat mereka hanya punya waktu tiga hari hingga wanning crescent yang disebut-sebut Calvin sebagai maksud dari langit mati terjadi, baik Chandra, Calvin maupun Cetta sepakat untuk cuti sejenak dari kesibukan harian mereka—terkecuali masalah-masalah yang berhubungan kewajiban akademik seperti kelas kuliah buat Cetta dan Rana serta masalah asistensi dengan dosen pembimbing dalam kasus Calvin. Di luar dugaan, pada akhirnya bukan hanya mereka yang mengambil rehat sejenak, melainkan juga Khansa, Siena dan Sebastian.
Walau mendapat penolakan dari Calvin, Khansa bersikeras untuk tidak melanjutkan latihan renangnya. Gadis itu terlihat tidak peduli saat Calvin mengingatkan bagaimana menjadi atlet peraih medali emas menjadi salah satu mimpi terbesarnya. Khansa menjawab dengan satu kalimat sederhana bahwa Suri telah menyelamatkan hidupnya, karena itu dia merasa punya kewajiban ikut melindungi Suri dan akhirnya Calvin pun berhenti membantah.
Sementara Siena, gadis itu memutuskan izin dari sekolah selama empat hari mengikuti Suri. Tidak ada yang melawan gagasan itu. Bahkan kedua orang tua Siena terlihat cukup senang karena menurut mereka sejak kecil hingga sekarang. Siena belajar terlalu sering. Kalau Chandra sih malah senang, soalnya dia jadi bisa melihat Siena hampir setiap hari. Setelah mendapatkan titik terang tentang peristiwa wanning crescent, tiga kakak Suri memang turut bermigrasi ke rumah Sebastian—dimana bukan hanya Jia Dawala yang dibuat senang, melainkan juga Wati dan sejumlah hantu perempuan penggemar Cetta.
Semua orang tampak menggunakan melindungi Suri sebagai alasan untuk rehat sejenak dari rutinitas sehari-hari, meski apa yang mereka lakukan lebih tepat dibilang bermalas-malasan. Seperti sekarang contohnya dimana Chandra sedang sibuk tebar pesona dengan memetik gitar di samping Siena. Cetta masih di kampus karena ada kelas sejak pagi hingga menjelang siang, sedangkan Rana tengah sibuk menonton telenovela berjudul Esmeralda bersama Calvin di ruang keluarga. Khansa belum datang—ketika Calvin menghubunginya, gadis itu bilang sedang sibuk membuat ulang sandwich yang gagal karena Mbak Mul lagi-lagi menggunakan mentega greentea—yang ternyata wasabi.
"Kak Chandra bikin lagu ini sendiri?" Siena bertanya sesaat setelah Chandra selesai memainkan intro.
Chandra mengangguk.
"Wow, hebat banget,"
Chandra senyam-senyum penuh kebanggaan. "Iya, dong. Aku gitu loh."
Siena tertunduk, pipinya dirambati oleh warna merah.
"Menurut kamu gimana lagunya?"
"Bagus."
"Lagunya tentang orang yang jatuh cinta sama cewek yang warna pipinya kayak mawar setiap kali cewek itu tersipu malu." Chandra membalas, berlagak sok puitis hingga membuat Calvin yang duduk di karpet harus menahan dorongan supaya tidak melempar kakaknya itu dengan kulit kacang. "Kayak kamu."
"Kak Chandra bisa aja," suara Siena hampir tidak terdengar. Reaksi yang gadis itu tunjukkan membuat Chandra kian girang. Bahkan dari jarak diantara mereka yang tidak terlalu dekat, Chandra bisa menerka bagaimana kondisi jantung Siena. Astaga, dia menyukai ini. Dia suka membuat dada cewek-cewek berdebar-debar. Rasanya seperti membuktikan reputasinya sebagai penakluk kaum hawa tanpa tandingan. Apalagi jika gadisnya adalah Siena...
"Aku serius. Gimana kalau project kita pakai lagu ini aja?"
"Boleh, kak."
"Kamu bisa nyanyi ini, kan? Nanti kamu yang nyanyi terus aku yang nge-rap. Pasti pecah abis deh."
Siena mengangguk malu-malu.
"Kalau mau senyum nggak apa-apa senyum aja, Siena," Chandra mengerling. "Kalau kamu malu-malu gitu, aku jadi gemes tau nggak?"
Tidak tahan, Calvin akhirnya meraih sebutir kacang dari dalam kemasan kacang yang tergeletak di atas karpet, lantas melemparkan kulitnya pada Chandra. Rana melirik sekilas sebelum kembali memberikan fokus pada layar televisi yang kini menampilkan wajah tampan Jose Armando. Bukan kakak-kakak Suri namanya jika bisa tinggal dalam satu ruangan yang sama tanpa membuat keributan.
"Kebanyakan ngalus lo, kampret."
Chandra mendelik pada Siena. "Ye si item, nggak usah ngurusin urusan orang, deh. Lo mau gue laporin ke Tri karena udah manfaatin keadaan dengan mepet-mepet ceweknya?"
Spontan, ucapan Chandra membuat Rana menoleh dengan mata yang disipitkan. "Eits. Maksud lo apa ya, fakboi jahannam?"
"Nama gue Chandra."
"Oh. Nama gue Kirana." Rana menyahut datar. "Kalau disatuin, nama kita jadi kaya nama putri. Chandra Kirana. Kurang Ande-Ande Lumutnya aja."
"Lucu."
"Lagian lo konyol banget. Dengar ya, dimana-mana orang tuh kalau selingkuh ya cari yang bisa ngasih lebih daripada pacarnya. Gue udah sinting kali kalau gue nyelingkuhin Dimi. Malika mah nggak ada seujung jarinya Dimi. Kinclongan juga Dimi kemana-mana." Rana menerangkan panjang lebar. "Lagian, tajiran Dimi kemana-mana. Dimi tuh selebgram laris. Beda sama si Malika yang kalau mau beli yoghurt aja kudu mengandalkan sogokan."
"Lo tuh kalau ngomong nggak pernah pake bismillah ya?" Calvin mendelik pada Rana.
"Yaiyalah. Kan gue mau ngomong, bukan mau ngaji."
"Kalau mau berantem mending sekalian pake piring ama panci, deh. Biar rame. Biar seru juga gue sama Siena ngeliatinnya."
"Tingkah laku lo tuh ya makin sampah." Calvin menyahut pedas. "Siena, kamu waspada aja sama ini belalang sembah satu. Jangan mau dirayu-rayu dia. Generasi penerus bangsa yang cerdas kayak kamu nggak boleh dibikin hamidun ama dia."
"Astagfirullah, Calvin, mulutmu kotor sekali."
"Jangan sok suci. Gue guyur pake air zam-zam juga lo langsung hangus."
"Ribut aja terus." Pertengkaran mereka terhenti oleh suara seorang gadis yang tidak lain tidak bukan adalah Suri. Dia terlihat sudah rapi, dengan rambut dikuncir ekor kuda dan setelan warna ungu pastel membalut tubuhnya. Sebuah tas slempang mungil bermotif etnik tergantung di bahunya.
"Culi adiknya abang yang paling cantik, kamu mau kemana?" Chandra tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya.
"Ke mall."
"Ngapain?!"
"Abang jangan norak gitu, deh." Suri berdecak pada reaksi Calvin yang menurutnya berlebihan. "Aku mau makan chicken wings. Sebenernya udah kepingin dari kemarin gara-gara temenku ada yang update snapgram lagi makan chicken wings. Cuma kemarin kan Tian seharian di rumah. Nanti aku dilarang pergi sama dia. Mana bisa aku membantah kalau yang ngelarangnya ganteng luar biasa kayak Tian?"
"Kamu kira abang nggak akan larang kamu pergi, gitu?" Chandra menyambar.
"Mau abang larang juga aku nggak peduli."
"Suri, kamu bikin abang terluka," Chandra memberengut. "Maksud kamu, kamu lebih milih ngedengerin om-om itu daripada abang? Ya ampun Suri, gantengan juga abang kemana-mana."
"Abang mah cowok keong racun." Suri mendelik. "Dan tolong, nggak usah pasang ekspresi ala-ala anak anjing kayak gitu. Mungkin ekspresi itu bisa bikin Siena luluh, tapi nggak bekerja sama aku."
"Ih Suri, kok gitu sih?!" Siena protes.
"Ah bodo. Intinya gue mau beli chicken wings." Suri mengabaikan protes Siena dan berniat meneruskan langkah. Tetapi, sebelum dia bisa bergerak lebih jauh, Chandra dan Calvin langsung menghadang jalannya dengan kompak—sembari merentangkan tangan pula.
"Enggak boleh!" Hampir bersamaan, kedua kakak laki-laki Suri berseru tegas.
"Pose abang-abang udah macam orang mau senam yamko rambe yamko aja." Suri merengut. "Aku mau chicken wings!"
"Yaudah, order pake Go-Food aja."
"Enggak mau. Abang Go-Food biasanya lama kalau beli." Suri membantah. "Abang kok nggak ngerti sih sama aku? Ibarat kata kalau misalnya aku lagi hamil, ini tuh namanya ngidam. Kalau nggak diturutin nanti anaknya jadi ileran!"
"Suri, tapi kamu lagi nggak hamil."
"Yah kan tadi udah aku bilang di awal. Ibarat kata."
"Pokoknya tetap nggak boleh."
"Pokoknya aku mau chicken wings!"
"Elah, kalau debatnya nggak kelar-kelar mah sampai abang Go-Food jamuran juga nggak akan nyampe-nyampe chicken wingsnya," Rana menyela dengan nada sarkastik yang kental. "Yaudah, mending suruh si Malika. Atau nggak ini Ande-Ande Lumut yang beli chicken wingsnya."
"Tunggu—tunggu. Wahai Kiranazita Maharani, lo kira gue abang-abang Go-Food?"
"Lo kira ini panggung drama?" Rana menyahut cepat. "Kalau nggak minta tolong sekalian Siena nemenin lo. Seneng kan lo kalau udah begitu?"
"Hm, bisa dipertimbangkan."
"Ketebak banget. Emang ya dimana-mana fakboi tuh sama aja. Untung Dimi laki-laki berhati suci, meskipun tingkah lakunya suka bikin geregetan."
"Yaudah." Calvin memutuskan. "Biar Chandra aja yang beliin chicken wings buat kamu."
"Oh, jadi lo ikut-ikutan ngerasa punya hak nyuruh-nyuruh gue macam itu calon adik ipar berhati belatung?"
"Ye, lo pilih deh mending gue pergi sama Siena atau lo yang pergi sama Siena."
"Sudah pasti mendingan gue pergi sama Siena."
"Yaudah. Sana buruan cabut."
"Oke." Chandra mengacungkan jempol sambil merogoh saku celananya, memastikan kunci mobilnya berada disana sebelum dia berpaling pada Siena yang masih duduk di sofa. "Yuk kita berangkat, Siena." ujarnya dengan nada manis yang membuat Calvin, Suri dan Rana kompak meleletkan lidah karena jijik.
Siena bangkit penuh semangat lalu mengikuti langkah kaki Chandra. Mereka berjalan menuju pintu depan ditonton oleh ketiga orang yang masih nongkrong di ruang tengah rumah Keluarga Dawala. Hanya saja, sebelum Chandra dan Siena benar-benar menghilang menuju garasi, Calvin sempat berteriak keras,
"Jangan lupa itu bungkus kondom di mobil diberesin dulu sebelum ngebiarin Siena masuk!"
Tidak lebih dari satu kalimat, tetapi mampu membuat Siena dan Chandra berdiri dalam diam sejenak dengan canggung. Berusaha menguasai diri, Siena berdehem. Chandra sempat membatu, namun akhirnya dia meneruskan langkah walau dalam hatinya dia tidak berhenti merutuki Calvin.
Kedelai gosong sialan.
n o i r
Khansa langsung menghembuskan napas lega ketika taksi yang dia tumpangi berhenti di depan rumah Keluarga Dawala. Melirik sekilas pada angka yang tertera di argo, cewek itu mengeluarkan dompetnya dan membayar ongkos beserta tip untuk supir sebelum turun. Rumah besar itu tampak sepi ketika Khansa berjalan melewati pagar. Tapi mobil Chandra maupun Calvin sudah tidak ada. Mungkin dia sedang pergi.
Khansa sengaja tidak membunyikan bel ketika masuk karena faktanya pintu rumah tidak dikunci. Sembari masih menggenggam kotak berisi sandwich—dengan olesan mentega bukannya wasabi—gadis berambut panjang itu bergerak menuju ruang tengah. Ada suara dialog telenovela yang dramatis dari sana, juga senandung ceria seorang gadis yang Khansa kenali sebagai suara Suri. Dia memang belum terlalu lama mengenal Suri, namun gadis itu punya warna suara yang amat khas. Mudah mengenalinya hanya dalam sekali dengar.
Namun apa yang Khansa lihat selanjutnya adalah sesuatu yang tidak dia duga sama sekali. Dia melihat Calvin tengah duduk di karpet. Di sebelahnya ada Rana, cewek yang Khansa kenali sebagai pacar Cetta, kakak ketiga Suri. Mata mereka tertancap pada layar televisi yang menayangkan adegan demi adegan dari sebuah telenovela. Sebetulnya, jarak antara Rana dan Calvin tidak begitu dekat karena terpisah oleh bungkus kacang kulit merek Garuda. Tapi entah mengapa Khansa merasa mereka terlihat sangat akrab.
"Jose Armando kayak gue banget ya," Calvin berujar, belum sadar jika Khansa ada di belakang sofa.
"Idih, apaan. Lo mah lebih mirip Jose Rudolfo. Jose Rudolfo masih mending sih, udah tua juga masih punya aura sugar daddy. Berduit pula. Lah elo? Kalau udah tua juga paling macem kedelai kisut."
"Gue kasihan sama adek gue yang punya pacar kayak lo."
"Gue kasihan sama Khansa yang mau-maunya jadi korban pedekate lo." Rana membalas dengan mudah. "Dan nggak dong. Dimi yang harusnya ngerasa lucky karena berhasil ngedapetin gue. Lo nggak tau aja gimana effort dia ngedeketin gue dulu setelah pertemuan nggak sengaja kita di Dufan."
"Halah, perempuan berhati belatung."
"Bacot lo, kedelai kisut."
"Gue bukan kedelai kisut."
"Klenting hitam dong lo."
"Jangan keseringan berusaha menjatuhkan gue, nyet. Gini-gini gue calon kakak ipar lo. Itu juga kalau Tri khilaf nikahin lo, sih."
"Justru gue yang bingung, Malika. Gimana bisa ya cowok ganteng, mancung, putih kayak Dimi sodaraan sama lo dan Chandra? Secara kalian tuh cuma debu kosmik ampas semesta."
"Lo tuh—"
Sebelum perdebatan antara Rana dan Calvin berjalan lebih jauh, Khansa berdehem. Suaranya membuat Suri berhenti bersenandung, refleks menoleh ke belakang. Begitupun dengan Calvin dan Rana. Reaksi pertama Rana adalah menyapa Khansa dengan gaya kaku sementara Calvin terbelalak kaget.
"Hai."
"Halo." Khansa berujar, basa-basi.
"Khansa, sejak kapan lo ada disini?"
"Barusan."
"Oh." Calvin beranjak dari duduk. "Udah bawa sandwichnya? Tante Jia sengaja nggak masak pagi ini karena gue bilang sandwich buatan lo enak."
"Udah." Khansa menjawab pendek. "Tante Jia dimana?"
"Tadi sih pas aku bikin susu Tante Jia ada di kamarnya. Tapi kayaknya udah ke dapur deh."
"Oke."
"Khansa," Calvin menyela. "Lo kenapa?"
"Enggak apa-apa."
"Perlu dibantu nggak?"
"Enggak usah." Khansa menyahut, masih saja terlihat dingin. "Mending lo terusin aja nonton itu telenovela."
"Lo suka telenovela nggak? Kalau suka, sini ikut nonton bareng gu—"
"Enggak." Khansa memotong. "Gue ke dapur dulu." Kemudian tanpa mengatakan apapun, Khansa berlalu begitu saja, meninggalkan Calvin dalam selubung tanda tanya.
"Hayoloh," Suri bergumam. "Mampus abang. Belum jadian aja udah bikin ceweknya ngambek. Bisa-bisa abang langsung digugurkan dari calon potensial untuk jadi pacar."
"Dia itu cemburu aja, Suri. Which is silly, karena sekali lagi, kalau Kak Rana mau selingkuh, kakak bakal nyari yang lebih kinclong dari Dimi. Lah Tom Cruise aja kalah sama Dimi, apalagi bocah ini?"
"Gue lebih tua dari lo ya."
"Bangga banget ya yang udah tua," Rana mencibir. "Harusnya lo seneng dong, Malika. Kalau dia kesal, berarti dia cemburu. Kalau dia cemburu, berarti dia ada rasa sama lo."
"Masalahnya sekarang Rana sang perempuan manis berhati busuk, gimana cara bikin dia nggak kesal lagi sama gue?" Calvin mulai frustrasi. "Di situasi biasa aja gue susah ngajak dia ngobrol yang benar-benar ngobrol—karena dia emang se-enggak tertebak itu. apalagi yang kayak gini?"
"Yang mau jadi pacarnya kan lo. Jadi ya mana gue tau?" Mata Rana kembali pada televisi. "Duh maskaranya si Esmeralda ketebelan. Dulu belum ada ekstensi bulu mata kali ya? Gimana menurut kamu, Suri?"
Duh. Calvin menatap ke arah pintu dapur, tidak lagi memberikan perhatian penuh pada adegan telenovela yang masih tertayang. Ini jelas pertanda musibah, benaknya berbisik.
n o i r
Hujan turun dengan deras ketika Chandra dan Siena tiba di depan mall setelah membeli chicken wings yang Suri inginkan. Semuanya akan lebih mudah kalau saja mereka memarkirkan mobil di parkir basement, tetapi sayangnya, demi alasan kepraktisan, Chandra memarkir mobilnya di daerah pelataran parkir terbuka di bagian samping mall. Keduanya diam sejenak, memandang kompak pada titik-titik air yang tercurah dari langit.
"Aku ambil mobil dulu deh," Chandra akhirnya berkata dengan suara keras, berusaha menyaingi ributnya bunyi dari rinai hujan yang berjatuhan.
"Tapi hujannya deras banget."
Chandra tersenyum seraya melepas jaketnya. "Enggak apa-apa." katanya, kemudian menyampirkan jaket itu di bahu Siena. "Tunggu disini, oke? Aku bakal balik cepat-cepat."
"Hujannya deras banget." Siena mengulangi. "Nanti basah."
"Kalau udah kena hujan terus masih kering, itu namanya ajaib, Siena."
"Maksudku bukan itu," Siena menyergah buru-buru. "Mending Kak Chandra aja yang pake jaketnya. Aku kan di tempat teduh."
"Aku kan mau ambil mobil. Aku nggak akan ada di dekat kamu meski cuma sebentar. At least, meskipun aku nggak bisa, jaket aku bisa melindungi kamu selama aku nggak ada." Chandra menjawab dengan nada manis yang terkesan ahli.
Pipi Siena langsung bersemu. "Kak Chandra,"
"Iya, Siena?"
"Jangan terlalu manis." Siena tercekat. "Nanti makin banyak cewek-cewek yang naksir sama Kak Chandra."
"Banyak yang naksir juga kan hatinya buat kamu doang," Chandra mengerling, lalu menjulurkan tangan untuk menyelipkan helai rambut Siena ke belakang telinga. "Aku ambil mobil dulu, oke? Jangan kemana-mana."
Pipi Siena masih dirambati oleh semburat merah muda ketika gadis itu mengangguk terpatah.
n o i r
Khansa sedang memindahkan sandwich dari kontainer portabel ke piring-piring lebar ketika Calvin masuk ke dapur. Ekspresi wajah cowok itu sukar terdefinisi. Ada resah bercampur bingung dan tidak mengerti berbaur di wajahnya. Khansa melirik sekilas, lalu kembali menatap dingin pada tumpukan sandwich di depannya.
"Tante Jia mana?"
"Di kebun belakang kayaknya. Katanya semenjak sering di rumah lagi, dia udah mulai memenuhi kebun belakang pake tanaman." Khansa menyahut acuh tak acuh. "Kenapa? Mau bantuin Tante Jia? Sana bantuin. Setelan lo juga udah mirip-mirip tukang kebun, kan?"
"Kenapa sih enggak lo, enggak Rana, enggak Suri dan dua saudara gue yang laknat itu hobi banget menistakan gue?"
"Tapi kayaknya lo lebih senang dinistain Rana daripada dinistain gue."
"Ya Tuhan, Khansa,"
"Enggak usah sok-sok nyebut nama Tuhan kalau koleksi bokep lo bisa ngalahin database situs PornHub."
"Lo cemburu?"
Mata Khansa langsung membulat. "Cemburu? Gue? Sama lo? HAHAHAHAHAHA." Iya. Khansa meneruskan dalam hati, tapi tentu saja dia tidak mengatakannya keras-keras. Mau ditaruh dimana harga dirinya?
"Lo cemburu."
"Gue. Nggak. Cemburu."
"Kalau gitu kenapa marah?"
"Lagi bete aja."
"Bete karena gue nonton telenovela sama Rana?" Calvin berdecak. "Lo dengar sendiri apa kata Rana tadi. Kalau dia mau selingkuh, dia bakal cari yang lebih kinclong dari Tri. Well, adik gue yang satu itu mungkin bodoh. Banget malah. Tapi kalau urusan tampang, kebetulan dia dapet yang bagus-bagus dari Ayah-Bunda, mulai dari hidung mancung ampe kulit putih. Jadi nggak usah cemburu gitu. Sampe kiamat juga nggak bakal ada affair antara gue sama Rana. Yah, kecuali kalau si Tri impoten."
"Enggak usah kepedean. Emak-emak pedagang cangcut Tanah Abang juga tahu kalau cewe kayak Rana nggak doyan sama yang kayak lo." Mata Khansa menyipit. "Masalahnya, cowok kayak lo biasanya doyan sama dia."
"Oh, jadi lo khawatir gue berpaling?"
"Ngapain harus khawatir. Kita bukan apa-apa."
"Apa ini semacam kode kalau lo pengen kita secepatnya jadi apa-apa?" Calvin membalas. "Buset, nggak cewek feminin demonic kayak Rana, nggak cewek tomboy yang cool banget kayak lo, semuanya emang hobi main kode-kodean. Dikira kita lagi ikut latihan pramuka kali, ya?"
"Gue nggak bilang gitu."
"Mulut lo nggak bilang, tapi itu tertulis jelas di wajah lo."
"Calvin Raskara,"
"Fine, Khansa Amarissa." Calvin melirik arloji yang melingkari pergelangan tangannya. "24 Maret pukul 10.20 lewat dua puluh sembilan detik, we're a thing now."
Khansa terperangah. "A... thing?"
"I mean, you're my girlfriend and I'm your boyfriend." Calvin terkekeh puas. "Sekarang udah nggak ngambek lagi kan lo?"
"Sumpah ini beneran nggak—"
"Gue laper. Gue tunggu sandwichnya di ruang makan deh, ya." Calvin memutus ucapan Khansa, lantas berbalik dan berjalan menuju ruang makan. Khansa dibuat berdiri dengan mata terbeliak di depan deretan meja konter dapur selama sejenak, sebelum kesadaran menghantamnya dan gadis itu bergerak terburu menyusul Calvin.
"Woy, kampret, kenapa kagak ada romantis-romantisnya samasekali?!"
bersambung.
Hehehe.
Sori lama.
Gue habis kejebak hujan dan baru balik.
Btw, makasih buat semua komen dan vote nya di chapter kemarin huhu terharu makasih yaaaa<3
Ah ya, gue dan Hana real life sudah melakukan evaluasi untuk para RP sesuai yang kalian mau wkwkw sori karena kesalahan kemarin-kemarin. Tapi yang ini udah fix kok. Btw, ig nya Chandra yang lama di unfollow aja karena pemegang rpnya nggak konfirm ke gue so yah. Di bawah ini adalah RP untuk NOIR yang sudah gue approve, dan beberapa ada yang masih gue pegang karena yang tadinya megang memilih out. Mungkin nanti bakal open RP, tapi gue bakal sangat hati-hati memilih orangnya lol (sebenernya nggak penting sih cuma ya daripada imajinasi readers rusak jadi gapapalah gue meluangkan waktu ngurusin ini).
Instagram RP NOIR
Oriana Suri Laksita - (at)culichu
Barachandra Aryasatya - (at)realbarachandra
Calvin Raskara - (at)calvinraskara
Dimitrio Gilicetta - (at)cettadimitri
Kiranazita Maharani - (at)kiranazitam
Khansa Amarissa - (at)khansa.amr
Siena Padmarini - (at)sienapadma
Sebastian Dawala - (at)sebastiandawala
Sergio Dawala - (at)sergiodawala
Kesha Ananta Puri - (at)kesha.ananta
Cathleena Nirwasita - (at)cathleenanrwst
Khusus untuk Ayah kata Cetta, Calvin dan Chandra nggak perlu dibikinin Instagram. Nanti fans mereka pada pindah ke Ayah semua. Terus Ayah juga suruh urus kebun aja nggak usah pake main instagram-instagraman.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro