Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

sembilan belas

Saat Chandra dan Suri tiba di rumah menjelang pukul delapan malam, Cetta dan Calvin sudah menunggu di pintu depan serupa orang tua yang siap memarahi anak gadisnya karena pulang terlalu larut. Pada situasi biasa, Suri tentu akan dibuat khawatir setengah mati. Tapi tidak sekarang. Kalau boleh jujur, dia adalah pihak yang dirugikan. Bagaimana tidak? Mereka—makudnya, Suri, Siena dan Chandra—menghabiskan hampir sepanjang sore hingga malam berputar-putar di mall hanya demi agenda tebar pesona Chandra pada Siena. Suri muak menjadi obat nyamuk diantara sepasang sejoli yang kini tidak ragu-ragu lagi menunjukkan kalau mereka saling suka. Namun dia bersabar, karena ada ide cemerlang yang mendadak mendarat di otaknya setelah kegiatan jalan-jalan tidak terduga hari ini.

"Chan," Cetta mengawali, berkacak pinggang di pintu. "Lo tau jam berapa sekarang?"

"Apa, sih? Lagak lo kayak Ayah aja." Chandra mendengus.

"Kalau Ayah ada di rumah, dia pasti kecewa. Ini bukan weekend. Suri perlu belajar karena dia udah kelas tiga. Kenapa malah lo ajak ngalor-ngidul nggak karuan?" Cetta bertanya lagi, masih dengan nada menohok. Lantas matanya melembut saat dia beralih pada Suri. "Kamu nggak diajak ama si belangsak ini ke klab malam kan, Suri?"

"Ya ampun, demi Tuhan gue nggak sebejat itu, Tri!" Chandra berseru jengkel. "Gue cuma ngajak Suri jalan-jalan ke mall. Kakaknya bukan cuma lo, atau Malika, ngerti? Gue juga kakaknya."

"Duh." Suri mendengus. "Ributnya bisa dipersingkat nggak? Atau di-skip aja gitu sekalian? Aku perlu ngomong sesuatu sama Abang Chandra."

Ekspresi jengah Chandra berubah penasaran. "Ama abang?" ujarnya, menunjuk dirinya sendiri dengan jari.

Suri mengangguk. "Soal Siena."

"Jangan bilang—" Mata Cetta melotot hingga ke bukaan maksimal, menatap dengan murka yang kentara pada kakak sulungnya. "—jangan bilang kalau Suri pulang telat karena modus lo mau ngedeketin temannya?! Gila ya, lo emang beneran sampah masyarakat, Barachandra Aryasetiati!"

"Yang bener Aryasatya, Tri."

"Vin," Cetta beralih pada Calvin sembari menggulung lengan bajunya hingga siku. "enaknya ini anak kita apain? Kurung kamar mandi semalaman aja kali, ya?"

"Eh, ler, gue kakak lo!" Chandra mendesis, meski ada kepanikan yang membayang dalam suaranya. Bagaimanapun juga, meskipun dia adalah anak tertua, kekuatannya tentu tidak sebanding jika harus melawan dua laki-laki dewasa seperti Cetta dan Calvin. Mereka bisa saja mengikat tangannya ke belakang, menutup mulutnya dengan lakban lalu benar-benar mengurungnya di kamar mandi semalaman. Atau lebih buruk dari itu, mengingat Ayah masih tidak akan pulang hingga minggu depan—karena agenda panen kebun kelapa sawit di daerah selatan Sumatera. Tidak, terimakasih. Membayangkan harus seruangan bersama sejumlah kecoak dan sikat toilet saja mampu membuatnya bergidik.

Spontan, Suri langsung pasang badan di depan Chandra. Tindakannya terkesan amat heroik nan dramatis. Sebagai respon, Chandra langsung memandang adik bungsunya dengan mata berkaca-kaca.

"Abang, abang boleh ngapa-ngapainin Abang Chandra, tapi nanti setelah aku selesai ngomong sama dia."

Pandangan terharu Chandra berubah jadi rengutan kecewa. "Suri, maksud kamu apa?"

Suri berbalik, lantas menarik tangan Chandra masuk ke rumah. Cetta dan Calvin mengikuti sejenak setelahnya. "Kita harus ngomong."

"Ngomongin apa?"

"Siena. Dia penting kan buat abang?"

Chandra cengengesan. "Hng... iya, sih. Tapi sumpah, masih pentingan Culi tersayang kok."

"Halah, mana percaya aku sama omongan lelaki buaya kayak abang," Suri mendengus, lalu berpaling pada kedua kakaknya yang berada di belakang mereka. "Aku mau ngomong empat mata sama Abang Chandra. Oh ya, habis itu juga aku perlu ngomong sama Abang Calvin. Jadi Abang Calvin jangan tidur duluan, oke?"

Meski sempat terlihat bingung, Calvin akhirnya manggut-manggut. Cetta menghela napas, tampak masih memendam geram pada Chandra, tetapi tidak mengatakan apapun lagi. Sesuai permintaan Suri, Calvin dan Cetta meninggalkan Suri berdua dengan Chandra di ruang keluarga. Wati masih setia menempel, mengekori Cetta hingga ke kamarnya. Mpok Jessica masih tidak kelihatan. Hantu itu terlalu sibuk pesiar dari pohon mangga ke pohon mangga atau rumah kosong ke rumah kosong untuk pertemuan bersama para sosialita dunia hantu mulai dari Kasminah Hilton hingga Suketi Lopez.

"Kamu mau ngomongin Siena? Tumben. Kamu udah merestui abang sama dia?' Chandra bertanya setelah keduanya duduk berhadapan di sofa ruang keluarga. Meja masih dipenuhi oleh bekas mangkuk popcorn dan kotak-kotak kosong yoghurt stroberi bekas Calvin. Chandra bergidik, menyingkirkan kotak-kotak kosong itu menjauh dengan raut jijik.

"Aku baru bakal restuin abang sama Siena kalau abang restuin aku sama Tian."

"Bocah itu lagi."

"Abang, dia bukan bocah. Dia seumuran abang. Dan dia lebih pinter matematika daripada abang. Dia programmer, tahu?"

"Alah, bodo amat. Mau dia programmer kek, mau dia jago matematika kek. Nggak bakal bikin abang tambah kaya. Lagian kenapa sih kamu naksirnya sama dia? Abang kenalin sama temen-temen abang yang seumuran kamu deh, mau nggak? Ganteng-ganteng juga, kan. Daripada kamu sama si robot kaku sok kecakepan itu."

"Hati aku milihnya dia, abang."

Chandra menghela napas, jengah mendengar bagaimana Suri membela Sebastian sampai seperti itu. Chandra tidak mengerti, kenapa Suri bisa sesuka itu pada seorang Sebastian Dawala. Karena tampan? Atau karena sikap juteknya yang berlebihan? Huf. Chandra kini tahu mengapa sampai ada ungkapan jika perempuan itu adalah makhluk paling susah dimengerti.

"Jadi kamu mau ngomong apa?"

"Minggu depan aku sama Tian mau ke Dufan bareng."

Chandra melotot. "Nggak boleh!" serunya.

"Abang,"

"Kalian udah pacaran?! Nggak boleh! Kan perjanjiannya, siapapun pacar kamu harus berhasil lulus kaderisasi spesial dari tiga abang!"

Suri mengembuskan napas pelan. "Aku sih maunya nggak usah pacaran, langsung ke KUA aja sekalian. Hehehe. But nope, aku dan Tian belum pacaran. Doain aja secepatnya. Muehehehe."

"Nggak boleh. Abang nggak izinin kamu ke Dufan minggu depan."

"Aku nggak berniat minta izin abang, kok."

"Lah, terus?"

"Siena ikut ke Dufan minggu depan."

Mata Chandra terbeliak lebar. "Hah?!"

"Siena ikut ke Dufan minggu depan." Suri mengulang dengan suara lebih keras.

"Abang belum budek, Suri."

"Terus kenapa pake nanya lagi?" Suri menyahut, separuh kesal separuh tidak mengerti.

"Serius?"

"Telepon aja Siena sana kalau nggak percaya." Suri beranjak dari duduknya. "Aku bakal minta izin sama Ayah besok. Ayah pasti ngizinin, dan mungkin nyuruh salah satu abang buat ngejagain aku. Aku udah berbaik hati ngasih tau ke Abang Chandra duluan, daripada keduluan Abang Calvin, kan? Siapa tahu Abang Calvin naksir Siena."

"Nggak!" Chandra berseru cepat. "Calvin nggak naksir Siena. Pokoknya nggak boleh!"

"Jadi gimana? Sepakat nggak? Kalau nggak, yaudah aku ngomong ke Abang Calvin."

"Deal!" Chandra berseru tanpa pikir panjang. "Deal, oke? Minggu depan, cuma abang yang boleh nemenin kamu ke Dufan. Tri suruh aja photoshoot keliling Gading sama pacarnya yang galak itu. Biarin aja Malika membusuk di rumah seharian bareng kaset Ultraman dan kotak-kotak yoghurtnya. Pokoknya, minggu depan cuma abang yang boleh ikut ke Dufan. Ngerti?"

Suri mengacungkan jempol. "Siap, bos."

Senyum kemenangannya terkembang. Tuh kan. Tidak pernah ada siasatnya yang gagal. Kalau sudah urusan beginian, tentu Suri jagonya.

n  o  i  r

Karena merasa tidak nyaman sendirian di kamarnya, Calvin memutuskan mengungsi ke kamar Cetta. Sebuah keputusan yang ternyata salah, sebab Cetta sedang sibuk bertelepon ria dengan pacarnya, Rana. Calvin bukan jomblo ngenes yang iri melihat pasangan bahagia, tetapi menyaksikan bagaimana Cetta yang biasa tegas bisa berbicara sangat lembut pada orang selain Suri membuat Calvin merasa perutnya dicengkeram oleh mual. Sialnya, Cetta tampak tidak peduli. Buatnya, haram hukumnya menutup telepon dari Rana hanya karena keberadaan Calvin.

"Suri udah pulang?" Calvin bisa mendengar dengan jelas setiap kalimat yang Rana ucapkan karena Cetta sengaja menghidupkan fitur loudspeaker.

"Udah. Nggak tau sama Chandra dibawa kemana."

"Kok galak gitu, sih?" Rana tertawa dari seberang sana. Manis. "Kan Chandra kakaknya juga."

"Nggak tau waktu. Masak baru nyampe rumah jam delapan malam?" Cetta berdecak kesal. "Kalau Bunda masih ada, atau Ayah di rumah, mungkin Chandra udah kena semprot. Suri kan kelas tiga sekarang. Harusnya dia banyak belajar."

"Makanya, harusnya kamu izinin dia pacaran, Dimi."

"Apa korelasinya pacaran sama belajar?" Calvin spontan menukas sinis, cukup keras untuk bisa terdengar oleh Rana.

"Idih, ada si Malika di kamar kamu?! Ngapain dia?! Dimi, kamu masih normal, kan?! Kufur nikmat banget kamu kalau sampai mahoan ama si Malika. Udah dikasih pacar kayak aku, masih aja pengen menyimpang!"

"Nama gue Calvin Raskara, oke?" Calvin menyela jengkel. "Kasih tau tuh pacar lo biar sopanan dikit. Belum jadi adik ipar aja udah ngelunjak!"

Kini ganti Cetta yang melotot pada Calvin. "Jangan ngomong kasar sama pacar gue!"

"Ya ampun, Dimi," suara Rana terdengar dari pengeras suara ponsel. "Aku terharu. Kamu lebih ngebelain aku daripada si Malika."

"Kan aku sayangnya sama kamu."

"Ohhh, jadi begitu?!" Calvin membalas sewot. "Awas lo, ya. Nggak lagi-lagi gue bikinin lo susu cokelat atau popcorn karamel waktu tengah malam!"

"Vin, bacot lo bisa dipelanin dikit nggak, sih?!" Cetta mendesis kesal pada kakaknya, lalu beralih pada ponsel di tangan. "Malik—maksudku Calvin lagi ada di kamarku. Suri lagi ngomongin sesuatu sama Chandra, entah apa."

"Hm, kembali ke Suri. Dimi, kamu sadar nggak sih kalau selama ini kalian terlalu protektif sama Suri?"

"Suri kan masih kecil, Rana. Dia juga adik kesayangan aku."

"Yaiyalah adik kesayangan, orang dia adik kamu satu-satunya. Sementara kakak-kakak kamu nggak ada yang bener."

"Rahang cewek lo enteng banget, sih!" Calvin berseru. Lagi.

"Vin, sekali lagi lo ngomong, mulut lo bakal gue lakban!" Cetta mendelik, lalu kembali menurunkan nada suaranya saat bicara dengan Rana. "Itu kamu tahu. Makanya aku protektif sama dia. Juga sama kamu. Aku ngerasa harus ngelindungin orang-orang yang aku sayang."

"Dimi, jangan gombal."

"Kenapa? Kamu nggak suka?"

"Suka, sih." Jeda sejenak. "Tapi nanti aku jadi makin sayang sama kamu."

Cetta tertawa, membuat Calvin bergidik geli. "Nggak apa-apa, dong. Aku yang senang."

Rana tidak menyahut, tapi Cetta tahu gadis itu tengah tersenyum di seberang sana. "Tapi menurutku, Suri butuh pacar untuk suntikan semangat. Tiga hari kemarin kamu tahu sendiri gimana dia rajin banget belajar cuma untuk jalan-jalan sama Sebastian."

"Jalan-jalan sama Sebastian?!"

"Iya, cowok ganteng yang takut hantu itu. Masak kamu lupa, sih? Pikunan, deh. Jangan tua sebelum waktunya, nanti aku yang repot ngurusin."

"Aku inget Sebastian. Cuma... jalan-jalan apa?! Kemana?! Kok kamu tahu?!"

"Tau lah. Kan Suri cerita sama aku tadi sore."

"KOK DIA NGGAK CERITA SAMA AKU?!"

"Ini pembicaraan rahasia antar perempuan, Dimi."

"Terus kenapa kamu kasih tahu aku?"

"Soalnya, kamu nggak bakal bisa ngelarang Suri pergi minggu depan."

"Kok gitu?!"

"Karena aku juga mau ikut ngajak kamu ke Dufan." Rana terkekeh.

"Ke Dufan?!"

"Kamu kebanyakan kagetnya, udah kayak emak-emak latah aja." Rana mendengus. "Iya, ke Dufan. Kalau dipikir-pikir, udah lama banget kan kita nggak ke Dufan. Sekalian nostalgia di tempat dulu waktu kamu pertama kali nembak aku."

"Gue nggak setuju, oke?" Calvin tiba-tiba berujar, keras dan penuh penekanan. "Suri nggak boleh jalan-jalan sama cowok itu. Titik."

"Kalau Chandra dan Dimi udah setuju, emangnya kamu bisa apa? Ini demokrasi, Malika! Suara rakyat adalah suara Tuhan!" Rana menjawab, masih lewat telepon. "Kamu bisa kan ikut jalan minggu depan, Dimi?"

"Hng..."

"Jangan bilang kamu lebih milih mbak-mbak online shop daripada aku."

Cetta menyerah. "Iya, sayang. Iya."

"Makasih Diminya Rana."

"Jijik."

Mendengar satu kata singkat yang Calvin lontarkan, Cetta sudah bersiap bangkit dari kasur dan menendang Calvin keluar dari kamarnya. Namun itu tidak pernah terjadi, karena pintu dikuak tiba-tiba. Suri ada disana, masih mengenakan seragam SMA.

"Dimi, ada apa?"

"Ada Suri."

"Oh. Dia pasti mau ngomongin sesuatu. Mungkin soal Dufan. Yaudah, nanti aku telepon lagi. Inget, sebelum tidur jangan buka bokep. Otak kamu nggak boleh jadi tong sampah kayak otaknya Malika. Aku bakal tahu kalau kamu install ulang Tinder. Atau kalau kamu nge-love foto-foto cewek random di Instagram. Ngerti? Oke, goodnight, Dimi."

Cetta meringis, dan Rana menyudahi obrolan telepon mereka.

"Aku perlu ngomong." Suri mengawali sembari berjalan mendekati Calvin yang duduk di atas karpet.

"Saya juga mau dong ikut ke Dufan. Apalagi kalau nanti bisa meluk leher my baby sambil naik roller coaster. Ihiw, enaknya." Wati berbisik setelah mendadak muncul di sebelah Suri. Suri mendelik pada Wati, memintanya diam. Di luar dugaan, Wati menurut meski pandangan matanya tak berhenti memandang ganjen pada Cetta. Status Rana yang kuat tidak pernah berhasil meruntuhkan semangat Wati mengagumi Cetta. Sesuatu yang patut diapresiasi. Mungkin kalau di dunia hantu ada stasiun TV motivasi, Wati sudah menjelma jadi Wati Teguh, sang motivator cinta pemandu acara Wati Teguh Perak Ways.

"Soal Dufan?" Cetta menebak.

"Abang pasti udah tau dari Mbak Rana. Jadi aku nggak perlu ngejelasin ulang."

"Berarti kamu disini mau mencoba ngambil suara abang buat ngizinin kamu pergi ke Dufan bareng cowok nggak jelas itu?!" Calvin menukas. "Nggak! Pokoknya nggak!"

"Dih, ge-er. Bukan itu, abang."

"Terus?"

"Soal Khansa Amarissa."

Wajah Calvin berubah enggan. "Oh. Cewek itu."

"Cewek?" Cetta tampak tertarik. Ini adalah kali pertama Calvin menyinggung tentang seorang gadis setelah putus dari pacar terakhirnya dua tahun yang lalu. "Siapa? Gebetan baru lo? Waduh, dekil-dekil begini ternyata lo laku juga."

"Gue tuh kayak kereta api, lagi. Hitam-hitam juga banyak yang menanti." Calvin berkata pongah, lalu meneruskan. "But nope. Hubungan gue sama cewek bernama Khansa itu bukan gebetan. Ogah deh gue ngejadiin dia gebetan. Mau dikasih duit satu juta dollar juga bakal tetap nolak."

"Terus dia siapa?"

"Panjang ceritanya, abang." Suri menjawab pertanyaan Cetta sebelum berpaling lagi pada Calvin. "Apa katanya? Abang dapat nomor teleponnya?"

"Dia jutek banget, Culi. Masa tangan abang dipuntir sama dia, terus dia bilang 'kamu orang keenam yang minta nomor telepon saya hari ini. Enam. Iblis. Dajjal' ke abang. Gila apa, ya?! Abang dikata Dajjal!"

"Mirip sih. Tinggal tambahin aja satu mata di jidat lo." Cetta mengejek.

"Diam lo, tikus albino." Calvin menyentakkan kepala. "Ini serius, Suri. Cewek yang namanya Khansa itu seram banget."

"Tapi abang masih harus nemuin dia. Soalnya aku sudah terlanjur janji sama Nenek."

"Sebutuh itu apa kamu sama nomor teleponnya? Abang udah coba ngejelasin tapi dia nggak mau percaya. Percuma aja deh. Kayaknya kepalanya kalau diadu sama tembok juga temboknya bakal retak."

"Hm, susah kalau gitu. Sekarang hari apa, sih?"

"Hari Senin."

"Berarti... dua hari lagi. Lusa, Khansa bakal dijemput. Nenek nggak mau itu sampai terjadi. Yaudah. Abang nggak perlu minta nomor teleponnya."

"Hehehe, oke deh!" Calvin berseru senang sambil mengacungkan jempol.

"Tapi bukan berarti tugas abang selesai."

Calvin langsung cemberut. "Maksud kamu?"

"Lusa, abang harus melindungi dia seharian. Hindarkan dia dari tempat-tempat yang berbahaya. Abang harus jaga dia baik-baik. Jangan bolehin dia naik kendaraan umum, kepeleset, kesamber gledek, apapun itu deh yang kira-kira bisa bikin mati."

"Suri... abang nggak ngerti," Calvin mengerutkan dahi. "Maksudnya apa, sih?'

"Aku juga ngga ngerti. Tapi kurang lebih itu yang aku tangkap dari penjelasan Nenek." Suri menghela napas, memandang pada Calvin dengan raut wajah merajuknya yang khas. "Plis. Abang mau bantuin aku dan Nenek kan? Sehari itu aja kok. Abang cuma perlu ngejagain Khansa sehari itu aja. Habis itu urusannya selesai. Mau ya? Plisss, abang."

Calvin berpikir sejenak. Dia sempat ragu, namun ekspresi Suri yang melebarkan mata dan menatapnya dengan pandangan berkaca-kaca adalah salah satu kelemahan terbesarnya. Agak terpatah, cowok itu akhirnya mengangguk. "Oke. Bakal abang usahain."

Suri tersenyum lega. "Makasih, abang." ujarnya senang, sebelum memeluk Calvin erat-erat. Calvin terperangah sesaat, tidak menyangka Suri akan mendekapnya, tapi perlahan tangannya ikut terangkat. Cowok itu balik memeluk Suri, membuat Suri merasa hangat dengan rengkuhan lengannya yang besar. Mereka berada dalam posisi sedekat itu beberapa lama, hingga suara Cetta meretakkan suasana.

"Abang kok nggak dipeluk juga?!" protesnya, yang membuat Wati langsung mengerling.

"Ulu-ulu, my baby mau dipeluk juga toh. Cini-cini, saya peyukkkk."

Suri mendengus pada Wati sebelum melepaskan dekapannya dari Calvin dan beralih memeluk Cetta. Sama seperti Calvin, Cetta memeluk Suri dengan hangat. Suri menghela napas di lengan kakak ketiganya. Apakah Bunda bahagia di atas sana? Suri berharap iya, karena meskipun disini sepi tanpa kehadiran Bunda, Suri selalu punya alasan untuk tersenyum setiap harinya.

Karena dia memiliki ketiga kakaknya.

Dan semoga saja sebentar lagi, Sebastian Dawala.

n  o  i  r

Langit sudah menggelap. Jalanan sepi. Udara terasa basah, menjadikan lampu-lampu yang menerangi jalanan ramai dirubung oleh laron. Pada kondisi seperti itu, sebagian besar orang tentu lebih memilih berada di rumah, meringkuk di bawah selimut atau membuat mi instan dengan telur setengah matang dan irisan cabe rawit. Sayangnya, Khansa tidak termasuk ke dalam golongan sebagian besar orang yang beruntung itu. Alih-alih pulang ke rumah dan mengistirahatkan tubuhnya yang lelah, dia justru harus pasrah terduduk di teras sebuah bangunan asrama dengan jari yang keriput sisa latihan renangnya yang berlangsung cukup lama hari ini.

Namun, Khansa tidak protes. Gadis itu diam saja, menghitung jumlah retakan pada tiang pagar yang mengusam karena terpa cahaya. Dia menunggu tanpa suara, hingga sekitar sepuluh menit, orang yang dia tunggu keluar dari rumah. Orang itu adalah temannya. Namanya Meisya, gadis bugar dari cabang olahraga bulu tangkis yang akan mengikuti kejuaraan nasional bersamanya enam bulan mendatang. Raket gadis itu tertinggal, membuat Khansa harus rela mengantarkan benda tersebut ke asrama Meisya.

"Udah lama?"

Khansa mengedikkan bahu. "Baru sebentar."

"Udah makan malam? Gue abis beli batagor. Kali aja lo pengen."

Khansa menggeleng, membuat Meisya menarik senyum penuh arti. Sebetulnya, Meisya sudah tahu jawaban Khansa pada setiap ajakannya. Gadis itu akan selalu menolak. Diantara semua orang yang pernah Meisya kenal, Khansa adalah sosok paling pendiam. Raut wajahnya yang dingin dan jutek membuat orang lain berpikir lebih dari dua belas kali sebelum mendekatinya. Khansa dikenal tidak pedulian dengan urusan orang, dan dicap sebagai sosok tanpa rasa, mengingat betapa jarang ada ekspresi yang mewarnai wajahnya.

"Gue mau pulang aja."

"Udah ditunggu bokap-nyokap?"

Pelan, Khansa menganggukkan kepala. Meisya menampilkan raut wajah penuh pengertian. Sudah jadi rahasia umum bahwa keputusan Khansa tidak kuliah dan justru fokus pada olahraga renang yang digelutinya mendapat tentangan besar dari kedua orang tuanya. Ayahnya adalah arsitek ternama di Indonesia, sedangkan ibunya dikenal karena bisnis perhiasan di kalangan wanita sosialita. Ditambah lagi, Khansa adalah anak tunggal. Selama ini, satu-satunya orang yang mendukung Khansa melakukan apa yang dia suka adalah nenekny. Sayang sekali, wanita lanjut usia itu meninggal dunia hampir seminggu yang lalu.

"Sori, gue jadi ngerepotin lo." Meisya berujar, lalu meringis salah tingkah.

Khansa menggelengkan kepalanya, dengan wajah yang masih saja beku. "Nggak apa-apa. Ini raket lo, kan?" katanya, tangannya bergerak mengulurkan tas raket.

Meisya menatap pada tangan Khansa, menyadari bagaimana kulit telapak tangan gadis itu keriput karena terlalu lama terendam air. Rambutnya pun masih basah. Dia pasti berlatih keras hampir tanpa henti seharian ini. Tentu saja, semuanya demi pembuktian pada kedua orang tua yang meragukan pilihan Khansa. Namun senyum jahil Meisya seketika merekah tatkala dia menatap pada kuku-kuku jari tangan kanan Khansa. Ada sejumlah bercak putih disana. Menurut mitos yang populer di kalangan anak-anak tahun 90-an, bercak putih pada kuku dapat berarti sesuatu. Jika banyak terdapat di tangan kanan, itu berarti ada yang suka. Namun jika ada di tangan kiri, itu berarti ada yang benci.

"Cie. Banyak yang suka nih kayaknya," Meisya bergurau, membuat Khansa ikut menatap pada kuku jarinya. Otaknya otomatis menghitung jumlah bercak yang ada di kuku-kuku jarinya. Satu—dua—semuanya ada enam.

Enam.

Khansa menghela napas ketika tanpa sengaja, dia teringat pada cowok tinggi itu. Orang keenam hari ini yang meminta nomor ponselnya. Orang yang lengannya telah dipuntir oleh Khansa karena menyentuhnya tiba-tiba. Orang yang jelas punya penampilan berbeda jauh dengan lima orang iseng lainnya.

Sialan, kenapa sekarang Khansa jadi memikirkan si angka enam? Angka enam selalu berhubungan dengan sesuatu yang buruk, kan? Dajjal. Iblis. Setan. Neraka. Dan mungkin saja... dia.

Khansa menggelengkan kepalanya. "Cuma mitos."

"It's just for fun." Meisya berujar, "Makasih, Khansa. Mau diantar? Atau mau mampir dulu?"

"Gue pulang duluan aja. Bye, Meisya." Hanya dengan sepotong kalimat singkat itu, Khansa berbalik. Dia meninggalkan Meisya berdiri di teras bangunan kosnya. Ucapan Meisya dan jumlah bercak di kuku jari tangan kanannya membuat pikirannya melayang kemana-mana, tanpa arah yang menentu. Sial, angka enam kini tidak bisa berhenti meletup dalam pikirannya.

Ah, ini normal. Begitu Khansa berpikir. Bagaimanapun juga, si angka enam adalah salah satu cowok bertampang paling lumayan yang pernah meminta nomor teleponnya. Tentu saja, analoginya, lebih mudah melupakan pertemuan dengan Sule OVJ daripada pertemuan dengan Shawn Mendes, kan? Meskipun jelas, si angka enam tidak setampan Shawn Mendes. Kalau dia beneran seganteng Shawn, dia pasti sudah jadi bintang sinetron alay di televisi.

Pasti karena itu.

Namun kenapa, ada bagian dari hati kecil terdalam Khansa yang menginginkan semesta mempertemukannya lagi dengan si angka enam—secara tidak sengaja?





bersambung.

****************************************

**************************************** 

a.n : wkwkw tadinya gue nggak niat posting hari ini tapi yaudahlahya kasian kalian. 

makasih untuk semua vote dan comment chapter-chapter sebelumnya. gue baru aja edit prolog SLS, wkwk niatnya buat ngerapihin aja, sih. 

mulai minggu depan, gue udah masuk kuliah so kayaknya nggak bisa update sering-sering. yah paling mentok-mentok seminggu sekali. 

akhir kata, sekian dan terimakasih. 

oh ya, di konten multimedia ada visualisasi khansa. 

see you in the next chapter. 

ciao.   

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro