sembilan
Hari Sabtu adalah hari favorit Sebastian diantara semua hari yang ada.
Alasannya tentu sederhana, karena hari Sabtu adalah salah satu dari sedikit hari dimana Sebastian bisa tidur sampai siang. Setelah semua rentetan kesialan yang menimpanya kemarin lusa hingga dia hampir saja bermalam di kantor polisi—dan jangan ingatkan tentang bagaimana Sebastian harus berjuang memangku Sergio di pahanya yang rasanya lebih buruk daripada penyiksaan jaman Edo—akhirnya hidup Sebastian kembali normal.
Jarum jam tengah menunjuk pada angka delapan pagi ketika suara Sergio yang berpamitan pergi ke toko buku membangunkan Sebastian. Hanya sesaat, karena pada menit berikutnya Sebastian memilih kembali menjatuhkan tubuhnya ke kasur. Dia punya waktu seharian untuk berselancar di alam mimpi. Bersama kasur empuk, pendingin ruangan dan bantal bulu angsanya yang mahal, Sebastian menciptakan surga kecilnya sendiri. Cowok itu memeluk guling kian erat sambil bergelung di bawah selimut. Matanya memejam, dan kegelapan alam tak sadar siap menelannya bulat-bulat. Dia sudah pasti akan lelap kembali dalam tidur kalau saja suara berisik dari bel yang ditekan bertubi-tubi tidak mendadak terdengar.
Ting-nong! Ting-nong! Ting-nong!
Sebastian menghembuskan udara kuat-kuat dari mulutnya.
"Spadaaaaaa? Ada orang di rumaaaaah?"
Sebastian menutup kedua telinganya rapat-rapat dengan bantal, berharap bisa membuat dirinya sendiri tuli sesaat. Namun, usahanya sia-sia belaka. Suara bel yang dipijit terus-menerus itu masih saja terdengar, malah serasa lebih keras daripada sebelumnya.
Ting-nong! Ting-nong! Ting-nong!
"Spaaadaaaa? Buenos diaasssss? Good morning? Bonjour? Anyeong haseo? Nihaoooo?"
Sebastian menyerah. Cowok itu menendang selimutnya menjauh, lantas melempar bantalnya ke sembarang arah sebelum beranjak dari atas kasur. Dengan wajah super bete, dia berjalan menuju pintu depan, langsung berdecak keras kala matanya mengenali sosok yang kini berada di ambang pintu depan. Walaupun penampilan Suri jauh berbeda daripada yang terakhir Sebastian ingat. Gadis itu menyisir rambut dengan rapi, menghiasi helai mayangnya dengan bando berwarna merah muda. Dia jelas mengenakan pewarna bibir yang senada dengan aksesoris rambutnya. Ada aroma yang merupakan campuran dari parfum buah-buahan dan bedak bayi setiap kali gadis itu bergerak.
"Anyeong!" Suri berseru, tak lupa tersenyum lebar memamerkan deretan giginya yang putih.
"Anying." Sebastian mendesis. "Darimana lo tahu rumah gue? Dan ada urusan apa lo datang kesini?"
"Bukan begitu caranya menerima tamu."
"Hah?"
"Bunda selalu bilang ke aku kalau tamu itu adalah raja. Ketika rumah kedatangan tamu, yang pertama harus dilakukan itu menyapanya, terus disuruh masuk. Abis itu ditanya mau minum apa. Kalau tamunya minta es sirup dingin yang disuguhin dulu es sirup dingin. Sama kalau bisa pakai kue-kue kering juga. Abis itu baru ditanya baik-baik keperluan mereka bertemu tuh apa."
"Gue nggak lagi open house dan ini bukan hari lebaran."
"Emang yang bilang hari ini hari lebaran siapa?" Suri memiringkan wajah, membuatnya jadi terlihat imut. Terutama karena bando berwarna merah muda yang diikat serupa pita di atas helai rambutnya yang hitam. "kalau hari ini hari raya lebaran, aku nggak akan ada disini, oke? Aku bakal sibuk rebutan ketupat dan opor ayam sama abang-abang."
"Nggak ada orang di rumah."
"Ada. Kamu."
Sebastian berdecak, menahan diri agar tidak berteriak frustrasi. "Maksud gue, selain gue nggak ada siapa-siapa."
"Tenang aja. Aku tahu kamu cowok baik-baik." Suri melangkah maju, nyelonong masuk ke rumah Sebastian begitu saja. Refleks, Sebastian langsung melotot diiringi pekik tertahan. Namun Suri mengabaikannya. Seolah tengah berada di rumahnya sendiri, gadis itu bergerak cepat dan baru berhenti saat sampai di ruang keluarga. Itu pun karena perhatiannya tersita oleh pigura besar di dinding, yang memuat foto Sergio dan Sebastian bersama kedua orang tua mereka.
"Itu foto keluarga kamu?"
"Bukan, itu foto gue sama Gonggong dan Popo gue." Sebastian menyahut sarkastik
"Gonggong? Popo? Apaan tuh?"
Sebastian mendengus. "Yaiyalah, itu Papi dan Mami gue."
"Oh, gitu," Suri nyengir. "Mami kamu cantik banget. Kayak Lucy Liu."
"Hm." Sebastian hanya bergumam tidak jelas, hingga dirinya dibikin tak habis pikir ketika mendadak Suri mengubah gestur tubuhnya. Gadis itu menegakkan tubuh dengan kaki rapat, kemudian menyatukan kepalan tangan kanannya dengan telapak tangan kiri sebelum membungkuk layaknya murid Konfusius yang tengah memberi hormat pada guru mereka.
"Nihao! Gong xi pat kai, calon mama mertua!"
"Yang bener itu gong xi fa cai, bukan gong xi pat kai. Lo kira saudara seperguruannya Sun Go Kong apa?" Sebastian menyipitkan matanya pada Suri. "Dan sekarang juga nggak lagi perayaan Imlek."
"Oh. Emang gong xi fa cai cuma diucapkan pas Imlek doang, ya?"
Sebastian langsung menutupi mukanya dengan telapak tangan. Ampun, deh. Eksistensi makhluk yang satu ini benar-benar mampu membuat Sebastian merasa pusing setengah mati—selain eksistensi dari makhluk-makhluk tak kasat mata yang tidak ingin Sebastian percayai keberadaannya.
"Terserah. Sekarang buruan kasih tahu apa keperluan lo datang ke rumah gue? Karena gue sibuk dan nggak ada rencana mau nerima tamu hari ini."
"Nggak ada es sirup dingin?"
Sebastian memutar bola mata sebelum berseru jengkel. "Nggak ada!"
Suri cemberut, hingga pipinya menggembung dan bibirnya mengerut. Sebastian sempat dibuat terdiam melihatnya. Entah kenapa dia berpikir kalau Suri terlihat sangat cute dengan ekspresi seperti itu. Begitu menggemaskan, membuat Sebastian penasaran ingin menusuk pipinya untuk membuktikan apakah pipinya terlihat seempuk yang terlihat. Lalu kemudian—ah, sial. Apa yang sebenarnya dia pikirkan? Bocah ini adalah bocah SMA, Demi Tuhan! Ditambah lagi, dia punya karakter tidak normal yang Sebastian curigai merupakan kombinasi dari sifat abang-abangnya yang sama anehnya.
"Aku kesini mau ngembaliin dompet Sergio yang ketinggalan di rumah. Aku juga tahu alamat rumah ini dari kartu identitasnya Sergio," Suri mengeluarkan sebuah dompet hitam dari dalam tas slempang yang dia bawa. "aku udah hubungi Sergio lewat Instagram tadi pagi. Soalnya kemarin kan kita sama-sama nggak sempat. Aku sibuk sekolah. Sergio sibuk kuliah. Terus katanya datang aja ke rumah, soalnya kamu ada di rumah seharian. Jadi, yaudah deh aku datang. Hitung-hitung, biar kamu nggak kesepian-kesepian amat, kan?"
Pantas saja kemarin Sergio begitu memelas ketika memohon pada Sebastian untuk meminjamkan salah satu kartu atmnya.
"That brat." Sebastian mendesis.
"Terus kata Sergio lagi, aku juga harus pastiin kamu nggak tidur kelamaan. Tidur kelamaan itu nggak baik, tahu. Apalagi kalau sampe skip sarapan. Nanti kamu bisa sakit."
"That brat." Sebastian mendesis. Lagi.
"Kamu belum sarapan, kan?"
"Belum sarapan atau udah sarapan, itu bukan urusan lo, oke?" Sebelum mengenal Suri, Sebastian tidak pernah mengira jika dia bisa bersikap sepedas itu terhadap seorang gadis delapan belas tahun yang masih SMA. "yaudah, dompetnya gue terima. Sekarang lo pulang aja."
"Nggak mau."
"Terus mau lo apa?"
"Kamu sarapan dulu."
Sebastian mendelik. "Tolong jangan bikin gue kehilangan kesabaran."
"Yaudah kalau kamu nggak mau," Suri tampak berpikir. "Tapi aku harus. Seenggaknya kasih es sirup dingin atau susu cokelat dulu, kek. Emangnya kamu nggak kasihan sama aku? Ini masih pagi, loh. Aku bahkan sampai nggak sempat minum susu cokelat yang udah dibikinin Abang Calvin gara-gara buru-buru mau cari rumah kamu."
Sergio menyerah. Dia lelah berdebat. "Yaudah. Gue bikinin lo susu cokelat dingin, tapi habis lo harus pulang. Ngerti?"
"Sip!" Suri berseru sembari mengacungkan jempol. Sebuah senyum lebar lagi-lagi merekah di wajahnya. Sebastian menyentakkan kepala, memutar langkah menuju dapur dan hanya diam ketika dia sadar Suri mengekorinya. Pintu belakang dapur yang tersambung dengan halaman samping tengah terbuka begitu Sebastian dan Suri tiba disana, membuat kening Sebastian seketika berkerut.
"Kebiasaan banget deh Gio," ujarnya setengah menggerutu sebelum menutup pintu yang terbuka itu. "dari dulu selalu lupa nutup pintu belakang. Padahal sudah sering dibilangin."
Suri tidak bereaksi. Dia hanya diam, namun matanya sempat menatap nanar pada pintu itu. Sebastian tidak menyadarinya, karena cowok itu sudah sibuk meramu susu cokelat dingin untuk Suri. Sebastian mungkin tidak jago memasak dan benci mencuci piring, namun dia tahu bagaimana caranya membuat susu cokelat dengan takaran tepat agar terasa enak. Setelah selesai mencampurkan gula, susu bubuk dan air ditambah beberapa bongkah es batu ke dalam gelas, Sebastian meletakkannya di depan Suri yang langsung tersentak seperti baru saja tersadar dari lamunan.
"Minum. Habis itu lo pulang."
Dengan patuh, Suri meminum susu cokelat itu lewat sedotan yang telah disediakan Sebastian. Namun kini karakternya berubah jadi misterius. Sebastian masih duduk menunggui Suri selesai minum di kursi bar tanpa peduli. Keheningan menguasai, hingga Suri bernisiatif bicara lebih dulu untuk memecah kesunyian.
"Pintu itu sering kebuka, ya?"
"Iya," Sebastian menyahut tak peduli. "Kebiasaan jeleknya Gio. Tiap dikasih tahu masih aja membantah. Padahal siapa lagi yang bakal bikin pintu itu kebuka terus-terusan kalau bukan dia."
"Tapi emang yang hobi membuka pintu itu bukan Sergio," Suri berujar dengan suara hampir tidak terdengar, lalu dia kembali menyedot susu cokelatnya.
Kening Sebastian berlipat. "Maksud lo ap—tunggu. Gue nggak mau dengar!"
"Bukan Sergio."
"Gue nggak mau dengar!" Sebastian menatap Suri dengan wajah paranoid. Meski begitu, diam-diam dia menggeser kursinya hingga berada lebih dekat pada Suri. Tangannya bergerak, sibuk mengelus kulit lengannya untuk menurunkan kembali bulu kuduk yang berdiri. "Hantu itu nggak ada, oke? Jadi jangan nakut-nakutin gue!"
"Aku nggak nakut-nakutin kamu," Suri melepaskan mulutnya dari sedotan, menatap Sebastian dengan polos. "tapi emang yang bikin pintu dapur itu sering kebuka bukan Sergio."
"Sri—"
"Namaku Suri, bukan Sri!" Suri memotong cepat, membuat Sebastian menghela napas panjang sebelum kembali bicara.
"Oke. Suri, lo nggak lagi berusaha membela Sergio, kan? Jelas itu kebiasaan buruknya. Udah bertahun-tahun. Dari dia masih SD dia udah sering lupa menutup pintu. Bukan cuma pintu dapur. Tapi juga kadang pintu kamarnya."
"Pintu dapur atau pintu kamar yang terbuka, itu bukan karena Sergio."
Sebastian melotot, namun rasa takut mulai terbangun dalam dirinya. Astaga. Apa sih yang sedang gadis ini bicarakan? Kalau begini, bisa-bisa Sebastian merasa horor di rumahnya sendiri. Tentu itu tidak boleh terjadi! Rumah adalah tempat tidur paling nyaman setelah apartemen Kat—dan karena berkunjung ke apartemen Kat sudah tidak mungkin Sebastian lakukan, rumah adalah satu-satunya yang dia miliki. Jelas dia tidak mau berbagi ruang dengan makhluk-makhluk tak kasat mata yang dia benci—dan takuti—setengah mati.
"Maksud lo apa?"
"Ada yang berusaha cari perhatian sama kamu dan keluarga kamu. Sudah lama. Tapi kalian nggak pernah nyadar."
Sebastian melotot. "Tunggu. Kenapa rasanya gue kayak baru masuk ke salah satu adegan film horor?"
Suri mengedikkan bahu sebelum menyedot satu tegukan terahir susu cokelatnya. "Kamu nggak usah khawatir. Dia nggak jahat kok. Tapi dia pendiam banget. Aku jadi sedih lihatnya." Gadis itu berujar, lantas beranjak dari duduk. "Yaudah. Aku pulang, deh. Bye!"
Dengan wajah memucat, tangan Sebastian terulur menahan lengan Suri hingga gerakan gadis itu terhenti. "Jangan pulang dulu."
"Hah?"
"Jangan pulang dulu." Sebastian berujar lebih keras. "Sebelum jam dua belas nanti, Gio pasti pulang. Katanya lo punya urusan sama Gio yang belum selesai dari kemarin, kan? Gio sendiri cerita gitu ke gue. Gimana lo bisa pulang begitu saja padahal urusan lo belum beres? Setelah semua keributan sampai masalah di kantor polisi kemarin, semuanya sia-sia kalau lo dan Gio nggak menyelesaikan urusan kalian."
Suri tampak berpikir. "Hm, bener juga."
"Iya. Jadi jangan pulang dulu. Oke?"
"Tapi tadi kamu nyuruh saya pulang?"
"Gue baru inget kalau lo punya urusan yang belum selesai sama Gio."
"Oh," Suri manggut-manggut, hingga bunyi dari perutnya yang keroncongan terdengar. Spontan, gadis itu langsung meringis. "Sori nih. Aku nggak bermaksud ngerepotin kamu, tapi aku lapar. Soalnya tadi buru-buru kesini, jadi nggak sempat sarapan. Boleh nggak numpang makan di rumah kamu? Kalau nggak boleh nggak apa-apa sih, aku beli makan aja ke—"
"Ngapain mesti beli? Delivery aja!" Sebastian berseru cepat, "lo mau makan apa?"
"Apa aja, asal kamu yang pesenin." Suri mesem-mesem.
Sebastian memejamkan matanya sejenak diiringi helaan napas panjang untuk yang kesekian kalinya. Oke, dia harus sabar. Dia tidak punya pilihan lain selain menahan gadis ini lebih lama di rumahnya, karena sumpah deh, buat Sebastian, jauh lebih mudah terjebak bersama Suri daripada bersama sosok makhluk ghaib yang wujudnya tidak bisa dia terka. Setidaknya Suri terlihat seperti remaja delapan belas tahun yang cute dengan bando merah mudanya. Sementara makhluk astral yang Suri sebut-sebut tadi? Belum tentu dia seimut Suri. Bagaimana jika penampilannya tidak jauh berbeda dengan pemeran utama film horor—pucat, dengan rongga mata yang hitam dan darah dimana-mana?
Buset, membayangkannya saja sudah bisa membuat Sebastian bergidik.
Tidak apa-apa. Dia hanya perlu bersabar sebentar. Paling tidak hingga Sergio pulang. Karena terjebak dengan Suri jauh lebih baik daripada terjebak dengan—
"Aku juga mau main playstation. Boleh nggak?"
—makhluk tak kasat mata.
Sebastian menghela napas panjang. Menghembuskannya perlahan. Lalu mengulanginya beberapa kali. Tidak apa-apa. Dia hanya perlu bersabar sebentar.
***
Suri baru menyadari Sebastian telah jatuh tertidur di sofa sesaat setelah dia menghabiskan satu porsi tom yum dalam mangkuknya. Gadis itu mengerutkan dahi, menatap pada Sebastian yang terpejam dengan dada naik-turun teratur. Keindahan paras cowok itu jelas berada pada level yang berbeda dengan adiknya. Sergio adalah tipikal anak polos yang menurut ketika disuruh kedua orang tuanya untuk les piano, sedangkan Sebastian adalah bentuk laki-laki dewasa yang dingin namun diam-diam menyimpan kekonyolan. Suri tidak pernah menduga kalau cowok seperti Sebastian bisa takut hantu. Fakta itu jelas tidak bisa disangkal lagi, karena Suri bisa melihat bagaimana wajah Sebastian memucat di detik pertama dia menyinggung soal makhluk tak terlihat yang hobi membuka-tutup pintu dan menjadikan Sergio kambing hitam selama bertahun-tahun.
"Gila," Suri berbisik hampir tanpa suara dengan mata masih menatap pada Sebastian.
"Gila apanya?" Kesha yang telah mengikutinya sejak dia pergi meninggalkan rumah menimpali dengan wajah heran.
"Calon jodoh gue ganteng banget."
"Kemarin lo bilang Sergio calon jodoh lo. Sekarang Kak Bas. Nggak konsisten banget," Kesha menyahut setengah menggerutu, lantas diam-diam, sudut matanya menatap ke arah dapur. "tapi jujur, gue baru tahu soal penghuni yang lo bilang hobi mainin pintu itu."
"Karena sekarang lo bukan manusia lagi, makanya lo bisa lihat dia." Suri membalas dengan suara rendah, khawatir subjek yang mereka bicarakan mendengar. "tapi selama perjalanan gue melihat hantu, baru kali ini gue melihat hantu yang semenyedihkan itu. kasihan. Gue kira hantu-hantu semacam itu nggak akan harus tersiksa bergentayangan lama di dunia."
"Iya, sih." Kesha manggut-manggut.
Tentu saja, mereka akan berpendapat begitu. Hantu itu memiliki wujud seorang bocah perempuan yang paling banter baru berusia satu tahun tahun. Rambutnya hitam, dikuncir dua dan mengingat Suri pada karakter anak kecil di film Monster Inc. Kulitnya sangat pucat. Di luar kebiasaannya memainkan pintu, dia hanya menatap pada orang-orang yang masuk ke dapur dengan matanya yang berongga hitam. Menyeramkan, pada awalnya. Semula, Suri juga sempat terkejut dan merasa takut. Namun hantu itu diam saja, terus memainkan pintu seperti anak kecil yang tak peduli dengan lingkungan sekitar.
Berdasarkan kata-kata Sebastian, jelas hantu itu telah berdiam di rumah Keluarga Dawala untuk waktu yang lama. Entah sejak kapan. Dan entah siapa dia sebelum dia menjadi hantu. Suri tidak menemukan jejak apapun yang berhubungan dengan anak perempuan di rumah Sebastian. Tidak pada perabot, lukisan atau foto keluarga.
Suara pintu yang dikuak diikuti suara familiar Sergio membuat perhatian Kesha dan Suri teralih. Begitupun dengan Sebastian yang langsung terbangun dari tidur singkatnya. Cowok itu mengucek matanya, lantas kembali menegakkan punggungnya yang sempat melengkung mengikuti bentuk sandaran sofa.
"Kak, Suri masih ada—" Sergio berhenti bicara begitu dia melihat Suri duduk di atas karpet, di depan sebuah mangkuk kosong sementara kakaknya berada di sofa. "—betah juga lo nungguin gue sampai pulang."
"Tadinya gue mau pulang, tapi kata kakak lo mending nungguin lo sampai pulang aja biar urusan kita sekalian selesai."
"Oh," Sergio melempar tatap pada Sebastian. "Tumben."
Sebastian hanya membalas pandangan itu dengan senyum masam.
"Yaudah, bisa diomongin sekarang nggak?"
"Bisa banget." Suri berujar. "tapi... mungkin harusnya cuma ada kita berdua."
Sebastian mendengus. Dia tidak salah dengar, kan? Secara tidak langsung, gadis SMA naif itu baru saja mengusirnya.
"Yaudah. Kelarin deh urusan kalian berdua," Sebastian berujar jengkel seraya bangkit dari sofa, berjalan meninggalkan ruangan itu begitu saja untuk naik ke kamarnya. Sejenak, rasa kantuk membikin Sebastian lupa soal keberadaan makhluk astral yang membuatnya menahan Suri di rumahnya lebih lama.
Kini, di ruangan itu hanya tinggal mereka berdua—atau bertiga, mengingat Kesha masih berada di dekat Suri, dengan mata yang tak lepas menatap pada Sergio.
***
"Kesha ada di ruangan ini, kan?"
Pertanyaan Sergio segera setelah mereka duduk berhadapan di atas karpet membuat kepala Suri langsung tertoleh pada Kesha—yang membuat Sergio juga ikut memandang pada arah yang sama, meski teknisnya dia hanya bisa melihat udara kosong. Ditatap Suri—juga Sergio—Kesha menganggukkan kepalanya, memberikan izin pada Suri untuk menjawab.
"Iya."
"Dimana?"
"Di sebelah gue."
Sergio menelan ludahnya, menatap dengan pandangan berkabut pada udara kosong di samping Suri. "Dia bilang apa?"
Suri diam sejenak, seolah tengah mendengarkan apa yang Kesha ucapkan padanya.
"Dia bilang dia minta maaf karena dia nggak bisa menepati janjinya ke lo." Suri mengangkat alis. "Dan maaf karena sudah marah sama lo hari itu. Dia bilang dia menyesal kalian berpisah dengan cara yang nggak baik."
"Itu bukan salahnya."
"Kesha juga bilang itu bukan salah lo."
"Nggak. Ini salah gue." Sergio menunduk, setetes-dua tetes air mata jatuh menyapa pipinya. "Ini semua salah gue." dia mengulang, kali ini dengan penuh penekanan.
"Kenapa lo nangis?"
"Karena semuanya sudah telat, Suri," Sergio mulai sesenggukan. "Nggak peduli sebanyak apapun penyesalan gue, gue nggak akan bisa memutar waktu."
"Gue... nggak ngerti." Suri memiringkan wajah, kemudian menarik napas. "Dan Kesha... kenapa lo ikutan nangis?" Suri mulai bingung. Selama dia bersinggungan dengan dunia makhluk-makhluk ghaib, dia tidak pernah melakukan ini. Dia tidak pernah membantu jiwa-jiwa yang tersesat itu untuk menyelesaikan persoalan mereka yang belum selesai di dunia orang hidup. Suri hanya bisa melihat mereka dan sedikit berinteraksi jika hantunya terhitung aman dan tidak berbahaya. Sebatas itu. Kesha adalah anomali yang membawa pengalaman baru nan asing padanya.
"Kesha nggak pernah cerita sama lo... tentang gue?"
Suri menggeleng. "Dia cuma bilang kalau dia kenal lo. Itu aja."
Kemudian, dengan susah-payah, sebuah rangkaian cerita terlontar dari Sergio. Suri baru mengetahui kalau ternyata Kesha adalah pacar Sergio yang meninggal dalam sebuah kecelakaan hampir dua minggu yang lalu. Gadis itu tak tertolong setelah taksi yang ditumpanginya mengalami kecelakaan dengan sebuah truk besar di daerah dekat tempat Suri bersekolah, SMA Rajawali. Tepat sebelum kecelakaan itu terjadi, Sergio dan Kesha bertengkar. Mereka berpisah di mall setelah berdebat, dan dalam keadaan kesal pada satu sama lain. Sergio tidak menahan kepergian Kesha, hingga Kesha memutuskan untuk pulang naik taksi—yang kemudian berujung pada peristiwa yang merenggut nyawanya.
Cerita Sergio disambung dengan keterangan dari Suri soal bagaimana Kesha menemuinya dan meminta bantuannya. Tentang bagaimana awalnya Suri bersedia membantu karena Kesha bilang Sergio adalah cowok yang menarik. Lalu tentang bagaimana Kesha selalu menyertainya ketika dia menemui Sergio di kedai es krim, hingga di kantor polisi. Sergio beberapa kali tertawa kecil saat mendengar cerita Suri. Namun dari matanya, Suri melihat bagaimana Sergio sangat merindukan Kesha. Ini semua terasa menyedihkan. Cerita itu memberikan pengaruh yang tidak Suri harapkan.
Suri menelan ludah. Kerongkongannya terasa tersumbat, seperti ada gumpalan pahit yang tertahan disana. Ada perasaan familiar yang Suri kenali—sesuatu yang kerap muncul setiap kali dia merasa gugup atau ingin menangis. Gadis itu menghela napas panjang. Dia hanya perantara. Dia tidak seharusnya menangis karena kisah sedih orang lain.
"Kenapa lo nggak cerita sama gue?" Suri berujar dengan pelan pada Kesha yang kini memandangnya hampa.
"Karena nggak ada gunanya. Buat apa? Buat meraih simpati lo? Gue nggak butuh itu, Suri. Gue hanya ingin lo menyampaikan ke Gio kalau gue nggak apa-apa. Dan gue minta maaf untuk semuanya. Gue minta maaf karena sudah meninggalkan dia dalam keadaan marah." Kesha diam sejenak. "Tell him this, please. Tell him that no matter what, I'll always love him."
Suri menghela napas, menatap pada Sergio yang kini sibuk menyeka air matanya dengan punggung tangan. "She said she will always love you."
"Gue tahu," Sergio tersenyum diantara tangisnya. "I know that too well. See you when I see you, Key. Gue harap lo bahagia. Jangan pikirin tentang gue. Lo nggak bisa terus menerus tersesat di dunia orang hidup. Mulai sekarang, gue akan hidup dengan baik. Lo nggak perlu khawatir. Pergilah. Gue yakin tempat lo akan lebih indah dari tempat gue sekarang." bisiknya lagi, kali ini sambil menatap pada ruang kosong di samping Suri. Sergio tidak bisa melihat Kesha, namun Suri tahu bagaimana tatapan keduanya saling terkunci satu sama lain. Kesha tersenyum, kemudian seiring dengan sosoknya yang perlahan memudar, dia menatap pada Suri.
"Oriana Suri Laksita, thankyou." Katanya, memberikan satu senyum cantik terakhirnya pada Suri. "Semoga lo bisa menyudahi kutukan jomblo-sejak-lahir lo."
Suri mendengus, tapi tanpa disadari, ada air mata jatuh di pipinya. "Bye, Kesha. Be happy."
"I will."
Lalu, sosok Kesha pun menghilang sepenuhnya. Dia tidak lagi nyata dalam pandangan Suri. Suri menghela napas, menatap ke langit-langit dan mengingat bagaimana Kesha bilang dia ingin pergi ke atas. Gadis itu tengah dalam perjalanannya ke sana sekarang. Mungkin dia akan memiliki tempat diantara para malaikat, karena Kesha sendiri memiliki paras secantik bidadari.
"Dia udah pergi?"
Suri mengangguk. "To a better place."
"Gue lega." Sergio tersenyum. "Thankyou, Suri."
Suri balik tersenyum.
Sejenak, ada hening yang nyaman mengambang diantara mereka.
Namun tidak lama, karena mendadak suasana itu terpecah oleh suara pintu yang dibanting, disusul pekikan tertahan Sebastian sementara dia berlari tergopoh-gopoh menuruni tangga.
"KAMPRET!!!" serunya heboh, dengan wajah yang sepucat kertas.
"Lah, lo kenapa, kak?" Sergio mengengkat sebelah alis, sementara Suri langsung meringis. Dia tahu, bantingan pintu itu pasti bukan disebabkan oleh Sebastian, melainkan oleh sosok bocah kecil yang dilihatnya tadi. Semula, memang keberadaan hantu perempuan itu tidak terlalu mengganggu. Namun kini, setelah melihat bagaimana Suri—juga Sebastian—menyadari kehadirannya, kelihatannya dia memutuskan untuk mencari perhatian lebih jauh.
"Ada berita buruk untuk lo dan kakak lo hari ini," Suri berujar, membuat Sebastian yang telah tiba di dekat sofa langsung melotot dengan napas terengah, sementara Sergio menoleh padanya.
"Apa?"
"Rumah kalian ada hantunya."
Sergio dan Sebastian saling berpandangan, kemudian mata keduanya langsung terbeliak hingga ke bukaan maksimal.
Bersambung.
************************************
************************************
a.n : Hehehehe
Gue kasih lagi nih
Tapi kayaknya di next nanti sekitar minggu atau senin ya, so i hope you enjoy this chapter
Oh ya, gue akan bikin vote di bawah. Pilih pake inline-comment ya. Satu orang diitung satu kali comment. Ini soal cerita yang bakal di posting setelah Noir kelar (masih lama, tapi kan biar gue bisa nentuin dan tahu gue harus pendalaman *ceileh pendalaman* di cerita mana)
Rama - Arsya (Btw ini ditulis dari awal karena gue sendiri kurang puas dengan cerita ini wkwk)
Cleo - Faris
Dah sekyan dan terimakasiw
Ciao.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro