Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

lima belas

Bertahun-tahun sudah berlalu sejak terakhir kali Jia Dawala mengantar-jemput anak-anaknya ke sekolah. Sebastian adalah anak yang mandiri, bahkan sejak kecil. Cowok itu sudah menolak dijemput oleh orang tuanya saat naik ke kelas dua Sekolah Dasar, dengan alasan dia lebih suka berjalan kaki dan naik angkutan umum bersama teman-temannya. Sergio mungkin lebih manja dari Sebastian, tapi hampir sama seperti kakaknya, cowok itu juga menolak diantar-jemput setelah dia masuk SMP. Sergio berkata, dia tidak ingin menarik perhatian banyak orang karena mobil mewah orang tuanya yang memang tidak dimiliki setiap kalangan. Meski sempat berdebat, akhirnya Jia pun mengerti.

Sebenarnya, Jia juga tidak berencana menjemput Suri. Ketika menelepon gadis itu di jam istirahat makan siangnya, Jia hanya bertanya tentang bagaimana Suri akan sampai ke rumahnya. Gadis itu bilang dia akan menggunakan taksi. Ketiga kakak laki-lakinya sedang bergelut dengan kesibukan masing-masing, tetapi mereka tidak pernah mengizinkan Suri menggunakan alat transportasi massal seperti Transjakarta atau metro mini. Jia menawarkan diri menjemput Suri, dan walau sempat ragu, Suri akhirnya menyambut tawaran ini.

Kini, duduk di belakang kemudi sembari mengamati halaman sekolah yang mulai ramai pasca berbunyinya bel pulang membuat Jia menyadari seberapa besar dia merindukan masa itu. Masa-masa ketika perannya sebagai seorang ibu masih utuh. Ketika anak-anaknya beranjak dewasa dan mandiri, dengan sendirinya peran seorang ibu akan terus-menerus berkurang, hingga kemudian satu-satunya yang bisa seorang ibu lakukan adalah menunggu kunjungan anak-anaknya di akhir pekan. Atau lebih parah, hanya dalam beberapa kali dalam setahun.

Sebastian tentu tidak akan mengerti perasaan seorang ibu. Karena itu, dia masih saja menganggap sifat Jia yang mudah luluh pada Suri sebagai sesuatu yang sulit dimengerti. Jia sendiri tidak paham kenapa putra sulungnya tampak begitu tidak suka pada Suri.

Perhatian Jia teralih ketika matanya menangkap sosok Suri yang berjalan bersama seorang gadis berambut panjang. Mereka mengobrol sebentar, kemudian saling melambai sebelum berpisah. Detik berikutnya, Suri tampak bingung mengedarkan pandangannya menyapu seantero halaman sekolah. Kebingungannya berubah jadi senyum senang tatkala Jia menurunkan kaca jendela mobil, lantas melambaikan tangan pada Suri. Tidak butuh waktu lama buat gadis itu untuk mencapai mobilnya dan membuka pintu passenger seat.

"Tante udah lama nungguin?"

"Nggak, kok. Baru sebentar." Jia balik tersenyum hingga mata sipitnya tampak seperti lengkung bulan sabit. "Kalau dipikir-pikir, kayaknya nggak enak lebih enak kalau kamu manggil tante pakai sebutan 'Mami'. Mulai sekarang, panggil 'Mami' aja, ya?"

Suri kelihatan ragu. "Beneran nggak apa-apa?"

"Memangnya kenapa? Kamu kan hampir sepantaran sama Gio."

"Takutnya tante keberatan."

"Loh, kok manggilnya masih tante lagi?" Jia menatap Suri dengan pandangan keibuan yang kental. "Nggak apa-apa. Panggil 'Mami' aja, oke?"

"Hng... oke, Mi."

"Nah, begitu kan bagus. Anak manis," Jia berujar lagi, kali ini sembari menyentuh helai rambut panjang Suri sebelum membantunya memasang sabuk pengaman. Suri dibuat terdiam oleh tindakannya. Bukan karena Suri tidak suka. Bukan pula karena dia baru pertama kali mendapatkan perhatian seperti itu. Memasangkan sabuk pengaman atau menyelimutinya saat dia ketiduran di dalam mobil adalah sesuatu yang lazim dilakukan oleh ketiga kakaknya, juga Ayah. Namun sudah lama sekali sejak terakhir kali Bunda yang melakukannya. Setelah divonis sakit oleh dokter, Bunda lebih banyak berdiam di rumah. Beliau kerap mengisi waktu senggangnya dengan merajut.

"Kok ngelamun, Suri? Pelajaran di sekolah susah, ya?"

"Hm, lumayan, Mi. Soalnya tahun ini aku UN."

"Udah ada rencana mau kuliah dimana?"

"Belum tahu. Soalnya aku nggak sepintar Abang Calvin, sih. Juga nggak sejago Abang Chandra yang pintar cari peluang. Atau secakep Abang Cetta sampai bisa dapet endorse sana-sini. Aku jadi bingung."

"Kenapa nggak ambil psikologi aja?"

"Yah, Mi, kalau abang-abangku dengar, bisa-bisa aku jadi bahan ledekan mereka seminggu penuh."

"Loh, memang kenapa?"

"Soalnya menurut abang-abang, aku lebih pantas jadi pasiennya daripada jadi psikiaternya."

Jia tertawa. Renyah dan manis. "Kamu tuh bisa aja. Kakak-kakak kamu pasti cuma bercanda. Tapi yaudah, kalau gitu nggak usah dipikirin dulu. Yang paling penting dari manusia itu kan nilai utilitynya. Dia bisa apa nggak bermanfaat buat orang lain. Buat Mami, kamu anak baik, Suri. Tuhan akan selalu kasih sesuatu yang indah buat orang yang baik."

Mendengar ucapannya, Suri serasa berada di dekat Bunda. "Iya, Mi."

"Sebelum ke rumah, mungkin baiknya kita beli makanan dulu kali, ya? Hm, kamu suka makan apa, Suri?"

"Mogu-mogu rasa anggur." Suri menyahut spontan dengan wajah polos.

"Mogu-mogu? Itu apaan? Es krim?"

"Bukan, Mi. Kayak minuman kemasan gitu. Ada jellynya di dalamnya. Enak deh. Biasanya banyak dijual di minimarket."

"Oh. Cuma itu?"

"Hm, aku belum kepikiran yang lain."

Jia tergelak lagi. "Kamu lucu. Biasanya, teman-teman ceweknya Gio atau Bas selalu nyebut signature dish restoran anu atau restoran anu tiap ditanya mau makan apa. Tapi kamu cuma minta minuman kemasan minimarket."

"Iya, sih. Soalnya keluarga Gio kan kelihatannya tajir banget. Pas kemarin aku pertama datang ke rumah buat ngebalikin dompet Gio juga aku udah syok duluan ngeliat rumah Gio yang segede istana Aladdin."

"Terus kenapa kamu malah cuma kepikiran minuman kemasan minimarket? Kenapa nggak yang lain?"

"Gimana ya, Mi, aku kan naksirnya sama anak Mami, bukan sama duitnya." Suri menyahut, tak lupa dengan tambahan satu cengiran tanpa dosa.

Jia terkekeh. "Benar dugaan Mami. Kamu itu memang anak baik. Tapi baiknya kita beli makanan berat juga. Kamu mau apa?"

Suri berpikir sejenak. "Ayam goreng?"

"Kamu suka?"

"Sebenarnya sih tadinya biasa aja. Tapi berhubung Abang Calvin demen banget sama ayam goreng, jadi orang-orang rumah sering order delivery ayam goreng. Akhirnya saya jadi ikutan suka, deh. Abang Cetta juga lumayan suka. Sayang banget Abang Chandra nggak sesuka itu sama ayam goreng. Kalau nggak, mungkin kita udah bikin sekte persaudaraan chicken mania."

"Oke, kalau gitu nanti kita mampir sebentar buat beli ayam goreng." Jia berujar.

"Sip!" Suri mengacungkan jempol, lalu menarik senyum lebar-lebar hingga giginya terlihat. Jia menatapnya, dan meskipun selama beberapa menit kemudian mereka terjebak dalam keheningan tanpa kata, tidak ada rasa tidak nyaman yang terasa. Meskipun tingkah lakunya sering tak teraba oleh logika, tidak diragukan lagi, Suri punya kemampuan yang istimewa.

Dia bisa membuat siapapun merasa nyaman di dekatnya—kecuali Sebastian, tentu saja.

n o i r

Perasaan Sebastian sudah tidak enak ketika dia mendengar suara musik yang terlalu keras dari dalam rumah sesaat setelah dia turun dari mobil. Lagu yang terputar adalah lagu yang lekat dengan masa kanak-kanaknya, dengan irama dubidubidam-dam-dubidubi-dam diiringi syair yang berbunyi 'kamu-makannya-apa (tempe!), saya-juru-masaknya (oke!)'. Laki-laki itu menyentakkan kepala sembari terus melangkah ke dalam rumah sementara tangannya melepas satu kancing teratas kemejanya. Jika lagu itu diputar dengan inisiatif pribadi Mami, Sebastian merasa dia harus mempertimbangkan untuk membawa Mami melakukan medical check-up.

Firasatnya benar. Saat memasuki ruang keluarga, Sebastian dibuat terbelalak dengan apa yang harus dia saksikan. Mami tampak sedang duduk bersama Suri di sofa, sementara lagu anak-anak itu masih mengalun dengan keras ke seisi ruangan hingga terasa menulikan telinga. Kedua perempuan itu tampaknya tidak menyadari keberadaan Sebastian, karena Mami masih saja asyik mengepang rambut panjang Suri seolah berniat mengubah gadis itu menjadi putri dongeng yang siap mengikuti pesta dansa. Kesal, Sebastian pun melangkah menuju pemutar musik yang masih bekerja, lantas mematikan lagunya. Musik yang tiba-tiba berhenti membuat kepala Suri dan Mami tertoleh secara refleks, hanya untuk mendapati Sebastian berdiri dengan ekspresi jengah yang kentara.

"Bas, kok dimatiin sih?!" Mami berseru dengan alis berkerut. "Kamu juga kok sudah pulang nggak kasih salam kek apa kek gitu, main nyelonong aja kayak kucing pasar."

What? Mami menyamakannya dengan kucing pasar? Sebastian mendengus.

"Salahnya Mami, nyetel musik suaranya keras banget. Kalau yang masuk tadi itu maling, kayaknya Mami juga nggak akan sadar."

"Nggak, dong. Kan Mami tahu kamu bakal pulang kantor jam-jam segini." Mami menyahut, masih tidak sependapat dengan Sebastian, lantas dia menunjuk pada Suri yang masih duduk di depannya. "Lihat. Suri cantik, kan?"

"Emangnya apa peduliku?" Sebastian menyahut acuh, lantas berlalu menuju kamarnya sendiri tanpa mempedulikan pelototan yang Mami berikan padanya.

"Sebastian!"

Sebastian memejamkan mata diiringi decak sembari menghentikan langkah. Dengan malas, cowok itu memutar tubuh menghadapi ibunya. Mami memang bukan tipe ibu yang mudah marah-marah, namun ketika beliau memanggilnya dengan sebutan Sebastian bukannya hanya kata pendek seperti Bas, itu artinya Sebastian harus mendengarkannya.

"Apa?"

"Jangan kasar-kasar sama Suri."

Sebastian melirik sekilas pada Suri. "Aku kan nggak punya kewajiban apa-apa buat baik sama dia?"

"Oh, tentu aja punya. Jangan ngaco, kamu."

"Maksud Mami?"

"Dia sudah banyak ngebantu keluarga kita. Dan dia nemenin Mami biar Mami nggak kesepian. Kamu tahu, seharian ini Mami senang. Mami mampir di minimarket sama Suri, terus beli ayam goreng. Suri ngajarin Mami main bola bekel, juga ngedengerin ulang koleksi lagu yang kamu suka waktu kamu masih anak-anak."

"Aku nggak suka lagu itu!" Sebastian berseru keras.

"Halah," Mami mencibir. "Mami kasih tau ya, dulu tuh kamu nggak pernah nggak joget setiap lagu itu diputar. Mami masih punya rekamannya. Suri, kamu mau lihat?"

"Boleh deh, Mi!"

"JANGAN!" Sebastian melotot. Mami tidak perlu menunjukkan rekaman itu. Dia tahu benar bagaimana reaksinya setiap kali mendengar lagu kanak-kanak bermelodi ceria semacam itu diputar. Sebastian kecil bahkan sudah punya karakter yang sangat dingin, pendiam dan tidak banyak bicara. Video kombinasi dari anak kecil pendiam yang juga pemalu dengan gerakan joget yang gagal akan jadi salah satu penistaan terbesar bagi Sebastian abad ini, terutama jika video itu sampai bisa dilihat oleh orang lain. Apalagi jika orang lain itu Suri. Bisa hancur deh reputasi Sebastian yang serupa pangeran vampir dari negeri seberang.

Mami kelihatan seperti ingin menjawab seruan Sebastian, namun urung melakukan ketika suara dari ponsel Suri yang berbunyi terdengar memenuhi seisi ruangan. Suri melirik sekilas pada Sebastian dengan jenis senyuman yang membuat Sebastian memutar bola matanya, lantas menjawab telepon yang masuk. Itu dari Cetta. Dia bertanya jam berapa dia harus menjemput Suri, yang kemudian Mami timpali dengan satu vonis mati buat Sebastian.

"Nggak usah suruh kakakmu jemput. Biar Bas aja yang anter kamu pulang."

Sebastian hampir tersedak. "MAMI?!"

"Jangan berteriak sama Mami!" Mami menyipitkan matanya pada Sebastian. "Suri kan nggak punya keperluan apa-apa di rumah ini. Dia datang simply karena Mami yang ngundang, juga karena Mami pikir Mami pingin bikin cookies. Kamu dan Gio nggak gitu suka makanan manis, jadi daripada mubazir ya mending Mami ngundang Suri. Sekarang, kamu anterin dia pulang."

"Mam, kenapa harus aku sih?" Sebastian praktis dibuat hampir merengek. "Kenapa nggak telponin taksi aja? Atau apa kek gitu?"

"Ngawur kamu! Mana mungkin Mami biarin Suri pulang naik taksi?"

"Mam...." Sebastian merajuk dengan wajah memelas. "Plis..."

"Sebastian Dawala,"

"Oke—oke, aku anterin dia pulang!" Sebastian akhirnya berseru, menyerah jika Mami sudah bicara dengan nada seperti itu, lantas pndangan matanya beralih pada Suri yang masih terdiam dengan senyum manis. Kalau dipikir-pikir, Suri bukan anak yang jelek. Dia cukup manis, apalagi dengan rambut yang terkepang cantik dan dihiasi sejumlah jepit berwarna-warni seperti itu. Kalau saja dia tidak punya sifat dan kelakuan tidak biasa, juga tiga kakak laki-laki yang galaknya serupa anjing herder dan kemampuan aneh melihat hantu, bukan tidak mungkin Sebastian bisa agak sedikit menyukainya.

Yeah, Sebastian bergumam dalam hati. Agak sedikit.

Atau tidak sama sekali. Gila banget. Apa kata teman-teman kantornya jika mereka tahu dia menyukai gadis yang belum lagi lulus SMA? Sebastian akan dianggap pedofil—meski sebenarnya dia tidak setua itu—seakan-akan tidak ada wanita dewasa yang mau jadi pacarnya. Tentu saja tidak. Sebastian tidak semenyedihkan itu.

"Sori ya, hehehe," Suara Suri membuat Sebastian lagi-lagi menatapnya. Kini, gadis itu tengah sibuk nyengir tanpa dosa. Mami mungkin tertipu, tapi Sebastian jelas tidak. Cowok itu bisa melihat bagaimana ada sorot senang bercampur rasa penuh kemenangan bermain di dalam mata Suri. Dasar gadis licik.

"Nggak usa h senyum-senyum!" Sebastian berseru galak.

"Kenapa? Terlalu manis, ya? Kamu takut kena diabetes?"

"Nggak! Gue takut kena asam urat!" Sebastian menyahut masih dengan nada yang tak kalah galak, kemudian dia berlalu menuju kamarnya untuk berganti pakaian. Suri mengamati hingga punggung Sebastian menghilang di balik pintu kamarnya yang dibanting pelan.

"Maafin Bas," ujar Mami tiba-tiba, membuat Suri menolehkan kepala padanya. "Dia memang sering begitu sama orang yang baru dikenal. Tapi Mami percaya, sekali dia sadar kalau kamu orang baik, dia nggak akan bersikap seburuk itu lagi sama kamu. Jangan diambil hati, ya?"

Suri tertawa. Tentu saja. Sebastian itu ibarat permata yang perlu dia gali dari dasar Bumi. Permata itu berharga karena proses mendapatkannya tidak mudah. Apalagi cowok ganteng kayak Sebastian. Malah, Suri justru merasa tertantang mendapatkan seseorang yang sulit didapatkan.

Well, she is Barachandra's sister, after all.

"Oke, Mi." ujarnya, mengacungkan ibu jari tangan kanannya.

Mami menatapnya, lalu balas tersenyum cerah.

n o i r

"Kok cemberut mulu, sih?"

Sesaat setelah mendengar suara dari gadis yang duduk di sampingnya, Sebastian langsung menoleh diiringi delikan mata. Namun senyum Suri justru terkembang makin lebar. Gadis itu terkekeh, menatap Sebastian dengan kerlingan yang—oh ya Tuhan, Sebastian bertanya-tanya bagaimana bisa seorang gadis SMA menatapnya seperti itu. Pergaulan anak-anak jaman sekarang memang mengkhawatirkan.

"Bawel."

"Jangan cemberut mulu."

"Bukan urusan lo, oke?"

"Emang bukan urusanku, sih," Suri cekikikan. "tapi kalau kamu cemberut gitu, aku jadi gemes."

"Apaan, sih?!" Sebastian melotot.

"Soalnya kamu jadi mirip Angry Bird."

"Karena gue emang lagi angry, yaelah!" Sebastian berseru keras.

"Kenapa angry? Kurang piknik? Kerjaan di kantor sulit? Duh, makanya, kenapa kamu nggak jadi model aja. Atau jadi selebgram yang hobi terima endorse kayak Abang Cetta. Gampang, deh. Kamu tinggal foto-foto aja, nggak usah pakai mikir."

"Lo masih pake nanya?" Mata Sebastian menyipit. "Gimana gue nggak kesal? Kalau bukan gara-gara lo, gue nggak perlu kejebak di kemacetan panjang ini!"

"Oh. Sori. Soalnya aku malah senang sih kalau macet," Suri menatap Sebastian, lantas tersenyum lagi. "jadinya kan aku bisa lama-lama sama kamu."

Sebastian harus menahan diri supaya tidak membenturkan kepalanya ke roda kemudi.

"Kamu nggak ingat apa kata Mami kamu? Jangan jutek-jutek gitu."

"Gue nggak ngerti, lo ini sebenarnya tercipta dari apa?" Sebastian menyipitkan matanya pada "Apa urat malu lo udah putus? Duh. Keluarga lo tuh kayaknya emang udah keturunan orang-orang aneh. Nggak kakak-kakak lo, nggak lo, semuanya pada nggak beres."

"Kamu juga aneh."

"Gue aneh darimananya, sih?!"

"Kamu terlalu takut sama hantu."

Sebastian merasa tertohok. "Itu wajar. Emangnya ada di dunia ini yang nggak takut sama hantu."

"Banyak sih. Tapi nggak sedramatis dan separanoid kamu. Kayaknya kamu punya kelainan phasmophobia."

"Phasmophobia?" Kening Sebastian berkerut.

"Fobia hantu."

"Cih," Sebastian mendengus, lantas pada detik berikutnya dia menekan klakson dengan kepalan tinjunya.

"Dih, kamu tuh nggak boleh kayak gitu kalau lagi nyetir. Tau nggak, di Thailand aja, nggak peduli lagi semacet apapun kamu dilarang menekan klakson. Polusi suara, oke? Meng-gang-gu."

"Nggak usah bawel. Lo nggak tau gimana capeknya bergantian nginjak pedal rem dan pedal gas bergantian pas macet kayak gini." Sebastian sewot.

"Yaudah, sini gantian aku aja yang nyetir."

"Halah, gue mau balik ke rumah, bukannya balik ke akhirat."

Suri terkekeh, yang kontan langsung Sebastian balas dengan delikan mata.

"Nggak usah ketawa-ketawa kayak gitu."

"Loh, emangnya kenapa? Kamu sensitif banget, sih."

"Karena ekspresi lo kelihatan kayak orang kesurupan. Creepy. Bukan berarti gue takut, tapi gue geli lihatnya."

Suri berdecak. Lalu hening sejenak. Sebastian menghembuskan napas lega ketika menyadari kesunyian yang merambati ruangan dalam mobil. Suri yang diam jauh lebih menyenangkan daripada Suri yang cerewet. Dia sudah cukup kesal karena harus terjebak macet di petang hari seperti ini, tidak perlu ditambah mendengar celotehan Suri yang bikin sakit telinga. Sayangnya, itu tidak berlangsung lama, karena tiba-tiba saja, Suri kembali bicara.

"Tian,"

"Jangan panggil gue Tian. Gue nggak suka." Sebastian menyambar.

"Abas,"

"Jangan panggil gue Abas. Gue bukan anak arab, atau saudara pengacara kebanyakan sensasi."

"Sebastian Dawala,"

"Jangan panggil nama lengkap gue. Lo bukan nyokap gue."

Suri mendengus. "Jadi kamu mau dipanggil apa? Sayang?"

"Sayang? Ngimpi kali lo."

"Kan kamu kesayangan aku."

"Tapi gue nggak sayang sama lo."

"Bukan 'nggak', tapi 'belum'."

Sebastian mendengus.

"Kalau aku bilang aku suka kamu, kamu bakal jawab apa?"

Sebastian memutar bola matanya dengan sarkastik, pandangan matanya masih terfokus pada antrian kendaraan yang memadati jalanan di depannya. "Sori, tapi lo bukan tipe gue."

"Emang kurangnya aku apa, sih?"

"Lo itu masih SMA." Sebastian berujar dengan wajah masam. "Belajar aja dulu yang bener. Gaya-gayaan lo bilang suka sama orang. Dengar ya, lo belum dibolehin suka sama makhluk yang namanya cowok kalau nilai matematika lo masih jelek."

Mata Suri membulat. "Kamu cenayang, ya? Kok kamu bisa tahu kalau nilai matematikaku sering jelek?!"

"Kelihatan dari muka lo. Kagak ada aura anak pintarnya sama sekali."

"Emang kamu pintar matematika?"

"Kalau gue nggak jago matematika, gue nggak bisa jadi programmer."

"Bagus, dong. Kan saling melengkapi."

Sebastian melengos.

"Udah. Cuma itu doang?"

"Lo juga punya tiga kakak cowok yang buasnya nyaingin raja hutan."

"Itu aja?"

"Lo bisa liat hantu. Gue benci hantu. Apalagi pacaran sama cewek yang bisa liat hantu. Ogah!"

Suri cemberut. "Aku juga nggak minta dilahirin dengan kemampuan kayak gini kali."

Sebastian melirik sekilas pada gadis di sebelahnya. Damn. Sebuah keputusan yang salah. Kenapa sekarang dia justru merasa berdosa melihat bagaimana wajah Suri tampak begitu sedih karena ucapannya? Gadis itu menatap pada jari-jarinya dengan lesu, kedua bahunya turun seperti kehilangan semangat.

"Sori. Gue nggak bermaksud... nyakitin lo."

"Itu artinya, masih ada kesempatan buat aku jadi pacar kamu, iya kan?"

Sebastian menyentakkan kepala. "Gue nggak mau bahas itu. Atau bahas yang lain. Mending lo diam, deh. Gue capek."

Awalnya, Sebastian tidak mengira Suri akan mendengarkannya. Namun ternyata gadis itu bersikap patuh. Mulutnya terkunci rapat hingga mobil yang Sebastian kemudikan tiba di depan pintu pagar rumahnya—meskipun sepanjang perjalanan Suri kelihatan seperti tidak bisa berhenti bersikap antusias pada benda-benda sepele nan acak yang dia lihat di tepi jalan. Sebastian menekan klakson mobil satu kali, sengaja memberi tanda buat siapapun yang ada di dalam rumah untuk membuka pintu.

"Oh iya," Suri membuka tasnya sebelum dia turun dari mobil, lantas mengulurkan sebotol minuman berenergi yang tidak lagi dingin dari dalam sana pada Sebastian. "Buat kamu."

"Untuk apa?"

"Aku dengar dari Mami kalau kerjaan kamu itu berat, karena harus duduk di depan komputer seharian. Ditambah lagi masih harus ngantar aku pulang. Sori, ya. Kamu pasti capek, jadi mungkin kamu bakal butuh ini,"

Sebastian terperangah. Untuk pertama kalinya, Suri melakukan sesuatu yang tidak membuatnya menyentakkan kepala. Sempat ragu sejenak, akhirnya Sebastian menerima botol minuman itu. "Thanks." Katanya dengan nada nyaris datar—sesuatu yang entah bagaimana Sebastian sesali. Bukan berarti dia merasa wajib bersikap baik pada Suri, hanya saja, tindakan gadis itu terasa... sangat tulus.

Suri tersenyum. "Hati-hati pulangnya."

Sebastian tidak tahu kenapa kemudian kepalanya mengangguk tanpa bisa dia kendalikan. Cowok itu masih terdiam ketika Suri turun dari mobil, menyusul dengan pintu depan yang dibuka dan sosok Chandra muncul disana. Sebastian melirik sekilas pada Chandra, lantas memutar mobil tanpa menyapa. Chandra melengos, namun Suri bertahan di depan pintu pagar seraya melambaikan tangan hingga mobil Sebastian menghilang di belokan mulut jalan.

Suri menghela napas. "Bye, Sebastian. Sampai ketemu lagi."

"Suri," Chandra memanggil dari ambang pintu, membuat Suri langsung menoleh dengan alis terangkat. Nada serius dalam suara Chandra berhasil membuatnya ngeri.

"Hng... kenapa, abang?"

Chandra menatap Suri dengan raut wajah serupa Master Shifu yang bersiap memberi pengumuman penting pada Po terkait statusnya sebagai Ksatria Naga. "Kita harus ngomongin sesuatu. Penting."

"Penting banget, abang?"

"Penting banget."

Suri tercekat, tidak punya pilihan lain selain menganggukkan kepala.

n o i r

"Abang bilang apa tadi?!" Suri tidak bisa menahan diri agar tidak memekik sesaat setelah otaknya mencerna maksud dari ucapan Chandra. Suaranya yang keras berhasil membuat Cetta dan Calvin ikut keluar dari kamar mereka.

"Ada apa ini?" Calvin bertanya dengan salah satu alis yang diangkat, sementara Cetta menggaruk kepalanya yang tidak gatal tatkala menyadari betapa dramatis suasana di ruang tengah sekarang. Suri dan Chandra duduk berhadapan. Chandra menampilkan raut wajah penuh penyesalan seolah baru saja memberitahu kabar tak terkira pada Suri, sementara adik bungsu mereka terperangah dengan mulut terbuka lebar.

"Suri, jangan mangap gitu. Nanti kemasukan laler." Cetta memberitahu, membuat Suri refleks mengatupkan mulut.

"Abang udah gila, ya?" Suri mendesis dengan mata menyipit pada Chandra yang langsung menarik napas panjang.

"Abang masih waras, Suri."

"Bohong. Abang kayaknya harus buru-buru medical check-up ke rumah sakit. Otak abang mulai nggak beres."

"Suri, kalau abang udah gila, abang nggak akan bisa jatuh cinta."

Calvin terperangah takjub. "Jatuh... cinta? Hah, maksud lo beneran jatuh cinta? For real? Tumben banget pakai ngasih tahu orang, biasanya langsung sabet gitu aja."

"Calvin, manusia yang hampir selalu sendiri seperti lo nggak akan ngerti gimana perasaan gue sekarang. Jadi, jangan ikut-ikutan. Bacot lo tidak diperlukan disini."

"Alah, tai."

"Jangan ngomong kasar di depan Suri," Cetta melotot pada Calvin, yang sontak dibalas cowok itu dengan ringisan.

"Abang gila."

"Suri, plis. Untuk sekali ini aja, tolong abang."

"Emang lo minta tolong apa sih, Chan? Dramatis banget, najis." Cetta menimpali.

"Tuh, dengerin apa kata Abang Cetta," Suri menyahut.

"Ini penting banget. Cuma Suri seorang yang bisa bantu abang. Plis, Suri. Kamu nggak mau lihat abang sekarat karena galau, kan?"

"Nggak. Pokoknya nggak."

"Suri, plis," Chandra merajuk.

"Sekali aku bilang nggak, jawabannya tetap nggak!"

"Tunggu. Abang nggak ngerti. Sebenarnya Chandra minta bantuan apa sama kamu?" Calvin yang penasaran menyela.

"Vin, udah gue bilang bacot lo sangat tidak diperlukan disini."

"Gue nggak ngomong ke lo, Chan."

"Suri, plis," Chandra mengeluarkan jurus puppy eyesnya, menatap pada adik bungsunya dengan mata dilebarkan yang berkaca-kaca. "Tolong. Untuk sekali ini aja. Abang nggak pernah minta apa-apa sama kamu, tapi plis tolong bantu abang sekali ini aja."

"Ada apa sih ini sebenarnya?" kali ini ganti Cetta yang tak mampu menahan tanya.

"Nggak."

"Suri, kamu tega sama abang? Abang nggak pernah minta apapun loh dari kamu. Kita kan saudara. Kita pernah tinggal di rahim yang sama," Chandra berujar dengan kadar kedramatisan yang kian meningkat.

"Saudara sih saudara!" Suri berseru. "tapi kalau udah urusan minta ID Line Siena, sori aku nggak bisa ngasih!"

Calvin dan Cetta berpandangan, lantas mata keduanya langsung terbeliak dengan kompak.

"Chan, lo minta ID LINE Siena?!"

"Siena temannya Suri itu, kan?!"

Chandra menggebrak meja, melotot pada kedua adik laki-lakinya. "Pendapat kalian tidak dibutuhkan disini. Pergi sana!"

"Bidih, galak amat," Calvin bermuka masam, sementara Cetta menatap abang sulungnya dengan wajah tak percaya.

"Langit pasti udah mau runtuh."

"Suri, plis," Chandra terus saja memohon pada Suri. Semula, Suri sudah berniat untuk mengabaikan ketiga kakak laki-lakinya dan beranjak ke lantai atas menuju kamarnya sendiri. Namun entah mengapa, ekspresi putus asa yang kini mewarnai wajah Chandra membuatnya urung melakukan tindakan tersebut. Memperhatikan Chandra sedikit lebih lama, tiba-tiba sebuah ide brilian melintas dalam benaknya.

"Hm. Gimana ya. Muka melas abang berhasil membuatku luluh."

Wajah Chandra jadi bersemangat. "Bener, kan? Plis. Bantu abang. Sekali ini aja."

"Tapi gimana ya, nggak ada yang gratis di dunia ini."

Chandra menyambar cepat. "Kamu mau minta apa? Semuanya bakal abang kasih. Apapun. Tinggal sebut aja."

"Kalau gitu..." Suri melipat tangannya di dada, menatap tegas bergantian pada ketiga kakak laki-lakinya. "... izinin aku pacaran."

Chandra terperangah, sementara seperti dikomando, Calvin dan Cetta langsung melotot.

"Nggak!" Ketiganya menyahut kompak, dengan intonasi yang serupa.

Suri memutar bola mata. "Yaudah. Kalau gitu, Abang Chandra juga nggak akan dapet ID Linenya Siena."

"Suri, kamu memeras abang?" Chandra menatap tidak percaya.

"Bukan memeras, abang. Ini tuh yang namanya adil. If you want to get something, you have to pay for it."

"Tumben bahasa Inggris kamu lancar," Calvin berkomentar.

"Aku emang nggak segaul Abang Chandra, nggak sepintar Abang Calvin dan nggak secakep Abang Cetta, tapi aku juga nggak dongo-dongo amat, keles!"

"Suri,"

"Pilih. Aku nggak mau berdiskusi lebih lanjut. Abang pertimbangkan dan pilih aja. Udah ya, aku capek. Mau bobo syantiek dulu." Suri berujar, lantas beranjak dari sofa dan melangkah pergi begitu saja meninggalkan tiga abangnya yang masih terperangah di tempat mereka berada. Situasi masih saja hening. Tak ada yang bicara bahkan hingga Suri masuk dan menutup pintu kamarnya.

Setelah hampir sepuluh menit berlalu, baru kemudian Chandra berdehem. "Jadi gini, adik-adikku—"

"Nggak! Gue nggak setuju! Pokoknya Suri belum boleh pacaran. Titik!" Cetta berseru sebelum Chandra bisa menyelesaikan ucapannya, lantas berjalan cepat menuju kamarnya dan membanting pintu.

Chandra menghela napas, berpaling pada Calvin. Tetapi serupa dengan Cetta, dia bahkan belum sempat bicara tatkala Calvin menukas cepat.

"Gue juga nggak setuju." Ujarnya, lalu ikut melakukan tindakan yang tidak jauh beda dengan Cetta. Suara bantingan pintu kembali terdengar, diiringi oleh dengusan kesal Chandra. Cowok itu mengacak-acak rambutnya dengan frustrasi. Ah, sial. Bagaimana juga Suri bisa punya ide seperti itu? Menukar ID LINE Siena dengan izin untuk pacaran? Suri betul-betul oportunis. Darimana gadis itu belajar tawar-menawar dengan kakak-kakaknya?

Bodoh. Dari lo lah, bego.

Itu suara hatinya. Chandra menghela napas, merasa kesal pada dirinya sendiri. Bodoh. Luar biasa bodoh. Namun bagaimanapun juga, Chandra tidak bisa menyerah begitu saja.

Dia tetap harus mendapatkankontak Siena. Titik.




bersambung.

***************************************

***************************************

a.n : hehehehehe

tadinya nggak niat ngepost hari ini tapi kok kayanya jahat

makasih untuk semua vote dan comment di chapter sebelumnya, gaes

have a wonderful night

btw, kayaknya begitu cerita ini selesai, gue bakal bikin banyak extra chapter wkwkwkwwk gue pengen nyeritain gaya pacarannya kesha-gio (meskipun ending cerita mereka nggak happy T.T) dimi-rana, khansa-calvin sampai siena-chandra wkwkwwk juga sedikit cerita konyol yang melibatkan mpok jessica dan wati

Ditunggu yah wkwkwk

Btw cerita yang lain di update besok yah daku baru saja selesai revisi dan pegel.

see you in the next chapter.

ciao.  

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro