lima
Keluarga Cemara (3)
Dimitrio G. : Oy
Dimitrio G. : Oy
Read by 2
Dimitrio G. : Sampah
Barachandra : Enak kan dikacangin
Dimitrio G. : Ada yang liat bokser gue nggak?
Calvin Raskara : Apaan?
Calvin Raskara : Elah, kenapa nanya gue, ler
Calvin Raskara : Bukan pakar dunia perbokseran
Dimitrio G. : Bau-baunya si Chandra tau nih
Barachandra : Bokser yang mana sih?
Dimitrio G. : Yang biru
Dimitrio G. : Yang gambar Spiderman
Dimitrio G. : Lo kemanain?!!!
Barachandra : Bentar
Barachandra : Oh
Barachandra : Bokser butut itu
Dimitrio G. : BERANINYA LO MENGHINA BOKSER GUE
Calvin Raskara : Jangan nangis, Tri
Dimitrio G. : Diem lo, Vin. Gue lagi nggak minat bercanda
Dimitrio G. : LO KEMANAIN BOKSER GUE?!!!
Dimitrio G. : BARACHANDRA ARYASETIATI!!!
Dimitrio G. : JAWAB!!!!
Barachandra : Drama banget, nyet
Barachandra : Dua minggu lalu pas gue ke Thailand nggak sengaja kebawa ke koper gue
Dimitrio G. : MANA ADA NGGAK SENGAJA KEBAWA?!
Barachandra : Ya abis, begitu gue bongkar tumpukan baju dari laundry, gue nemuin itu
Barachandra : Berhubung gue hampir telat ke bandara
Barachandra : Gue ambil aja apa yang ada hehehehe
Dimitrio G. : Laknat
Dimitrio G. : Dimana barangnya sekarang?
Barachandra : Ketinggalan di hotel
Dimitrio G. : Tunggu
Dimitrio G. : Jangan bilang kalau ketinggalan di Thailand?!!
Barachandra : Sori...
Dimitrio G. : Afkdjfhfiwdfkvdllf;f;gdksjskakaaksnfhfhfb
Dimitrio G. : Bisa gila gue lama-lama!!
Dimitrio G. : Demi Tuhan... Chandra
Dimitrio G. : Gue males ngakuin lo sebagai saudara kalau udah kayak gini caranya!!!
Barachandra sent a photo
Calvin Raskara : Tubir dah lo berdua. Ntar gue yang jadi wasitnya
Calvin Raskara : Udah lama nggak dapet tontonan gratis
Barachandra : Lagian cuma bokser doang, Tri
Barachandra : Nanti hari minggu kita cus ke Tanah Abang
Barachandra : Gue beliin selusin deh, buat ngegantiin
Dimitrio G. : Masalahnya tuh bukan itu, bego
Dimitrio G. : Bokser itu hadiah dari Rana
Calvin Raskara : HAH?!!!
Barachandra : Alig dah alig
Barachandra : Rana ngasih lo bokser?!!!
Barachandra : Buset, kode keras.
Barachandra : Kode keras minta diajak bobo-bobo cantik
Barachandra : Kapan dikasihnya?
Dimitrio G. : -______-
Dimitrio G. : Pas anniv setahun. Tiga bulan yang lalu
Barachandra : Oh, bokser kesayangan
Barachandra : Pantesan baru tiga bulan udah buluk kayak kanebo abis kerendam air keras
Dimitrio G. : Bacot lo tolong dijaga ya
Barachandra : Lagian lo lebay banget. Paling banter juga harga boksernya nggak nyampe gocap
Dimitrio G. : Bukan masalah duitnya, nyet
Barachandra : Terus mau gimana? Lo mau suruh gue cus balik ke Teilen cuma buat ngambil bokser?!
Barachandra : Paling juga udah dijadiin lap jendela sama orang-orang hotelnya
Dimitrio G. : Sampah
Barachandra : Kalau aku sampah, kamu tempatnya
Calvin Raskara : Ini nggak ada topik yang lebih elit dari ini apa ya?
Calvin Raskara : Sumpah, gue terhibur dengan keributan yang kalian ciptakan
Calvin Raskara : Tapi ya ampun sodara-sodaraku yang baik hatinya
Calvin Raskara : MASA RIBUT KARENA BOKSER SIH?!
Barachandra : Yha
Calvin Raskara : Malu
Calvin Raskara : Apa kata dunia kalau mereka tahu dick jokey ibukota ribut ama adeknya sang manusia endorse terlaris cuma karena bokser buluk?
Dimitrio G. : BOKSER GUE NGGAK BULUK
Barachandra : Btw lo typo tuh
Calvin Raskara : Enggak
Calvin Raskara : Lo lebih pantes disebut dick jokey daripada disk jokey
Barachandra : Tai
Barachandra : Eh btw mau ngekorin Suri jam berapa?
Dimitrio G. : Tahun depan
Barachandra : Haha lucu
Dimitrio G. : Lagian masih pake nanya
Calvin Raskara : Dia bubaran sekolah setengah jam lagi. Daripada ngeributin bokser, mending lo semua siap-siap cus
Dimitrio G. : Bokser gue TT_TT
Barachandra : Jangan nangis, ntar begitu balik ngikutin Suri, om ajak kamu ke Tanah Abang
Dimitrio G. : Bacot
***
"Lo yakin mau pergi kesana sendiri?" Siena berkata begitu mereka berdua melangkah keluar dari kelas sesaat setelah bel pulang berbunyi. Menatap ponselnya sekali lagi, Suri mengangguk penuh keyakinan.
"Harus hari ini."
"Emang lo ada perlu apa sih sama anak itu?"
Pertanyaan Siena berikutnya sempat membuat Suri berpikir sejenak. Iya juga, ya? Sebenarnya, dia tidak punya urusan yang sangat mendesak dengan Sergio Dawala, kecuali untuk menyampaikan pesan yang perlu Kesha beritahu pada Sergio melalui dirinya. Tapi kan Kesha hanya hantu random yang mendadak muncul di kamarnya. Suri tidak pernah mengenal Kesha, bahkan ketika gadis itu masih hidup. Dia juga bukan badan peduli sosial dunia kehantuan yang punya tanggung jawab moral untuk membantu kalangan tidak terlihat.
Namun tentu saja, semua logika akan terpatahkan hanya karena satu fakta keras; Sergio Dawala itu luar biasa tampan.
"Perlu banget. Harus hari ini, nggak boleh sampai diundur."
"Ada hubungannya sama dunia para hantu?"
Kalimat Siena membuat Suri hampir tersedak. "Gimana lo bisa berpikiran sampai sana?"
"Soalnya hari ini lo sering banget ngobrol sendiri di kelas."
"Kan gue emang sering ngobrol sendiri."
"Kali ini beda," Siena menatap ragu-ragu pada udara kosong di sebelah Suri, membuat mata Suri kontan membeliak karena temannya itu menatap tepat pada tempat dimana Kesha berada. "lo lebih kayak lagi ngomongin sesuatu yang penting sama teman lo."
"Sejelas itu?"
"Bu Ivy aja sampai sadar."
Duh. Rasanya Suri ingin membenturkan kepalanya ke tembok berkali-kali. Gadis itu menghela napas, kemudian mencondongkan tubuh ke arah Siena seraya merendahkan suaranya.
"Kurang lebih begitulah. Tapi jangan bilang-bilang sama abang-abang gue. Kalau salah satu dari mereka telepon nanyain gue ada dimana, bilang aja gue lagi ngerjain tugas di rumah lo. Kalau mereka maksa mau ngomong sama gue, bilang aja gue lagi di kamar mandi karena habis makan seblak level ledakan bom Hiroshima."
"Emang ada?"
"Kalau abang gue yang nanya, bilang aja ada. Oke?"
Siena masih tampak ragu ketika Suri mendial serangkaian nomor, kemudian menekan satu opsi sebelum menempelkan ponselnya ke telinga. Hanya butuh menunggu hingga dua kali nada dering sampai teleponnya dijawab, dan suara Calvin terdengar dari seberang sana.
"Halo, Suri?"
"Tumben abang belum jemput aku." Suri mengerutkan dahi, baru menyadari kejanggalan yang terjadi. Biasanya, setiap hari salah satu dari abangnya sudah akan stand by di halaman sekolah tepat lima belas menit sebelum bel pulang berbunyi. Beberapa kali mungkin terlambat sedikit jika penjemputnya adalah Chandra, namun mereka tidak pernah benar-benar belum datang ketika Suri sudah keluar dari kelas dan berjalan sampai pintu terdepan sekolah.
"Oh... hng... emang kamu minta jemput?" Calvin terdengar salah tingkah.
"Emang aku harus minta jemput dulu, ya?"
"Bukan gitu..."
Dahi Suri berlipat. "Terus?"
"Abang-abang lagi pada sibuk. Lupa jemput kamu. Kita semua masih di rumah."
"Oh. Abang Cetta pergi lagi?" Suri seperti paham segala ketidakberesan yang ada selalu bersumber dari absennya kehadiran Cetta.
"Hng..." Hening sejenak, "Abang Cetta lagi pemotretan."
"Oh."
Suri mengerti apa maksud dari ucapan Calvin. Hampir sama dengan Chandra yang cukup dikenal di kalangan anak muda karena aktivitas akun sosial media dan reputasinya sebagai sebagai disck jokey super gaul nan famous, nyaris tidak ada warga Instagram Indonesia yang tidak mengenal Cetta. Berawal dari iseng setelah di-endorse produk kaus dari toko online milik salah satu teman kuliahnya, Cetta kini bekerja sambilan sebagai model bagi sejumlah e-commerce dan toko-toko online berpengikut hingga ratusan ribu orang di Instagram. Sebenarnya Cetta bukan tipikal orang yang suka memanfaatkan tampang untuk membuat hidupnya jadi lebih mudah, tapi Ayah berkata tidak apa-apa selama Cetta mendapat lebih banyak keuntungan daripada kerugian. Hasilnya, paling tidak untuk saat ini Cetta memiliki tabungan yang melimpah ruah dan kepopuleran yang membuatnya sempat dilirik untuk jadi bintang sinetron bermotor ninja di televisi.
"Kamu mau dijemput Abang Calvin atau Abang Chandra?"
"Enggak usah."
"Kenapa?"
Suri mengucapkan dusta yang telah dia atur dengan sedemikian rupa sejak jam istirahat pertama. "Aku ada kerja kelompok di rumah Siena. Mau ikut mobilnya Siena aja sekalian."
"Pulangnya jam berapa?"
"Enggak tau. Nanti aku hubungi abang lagi. Atau biar gampang dan cepat, bisa naik taksi atau ojek saja. Mending abang lanjut nerusin tugas kuliah atau pertemuan apalah itu bareng mahasiswa-mahasiswa seJakarta."
"Kok kamu tahu?"
"Ya iyalah. Kan sudah dari minggu kemarin abang nyerocos mulu soal pertemuan anak-anak komunitas."
"Oh, iya." Calvin tertawa. Terdengar garing. "Oke."
Suri hampir melotot. Semudah itukah? Biasanya, setiap kali dia bilang dia akan pulang terlambat karena mengerjakan tugas di rumah teman, abang-abangnya tak pernah lupa menanyakan satu daftar penuh pertanyaan macam detektif tengah menginterogasi tersangka.
"Itu saja?"
"Emangnya abang harus ngomong apa lagi?"
"Biasanya abang bakal nanyain banyak pertanyaan panjang macam panitia beasiswa LPDP waktu menyeleksi pelamar."
Calvin terkekeh. Ada nada canggung dalam suaranya.
"Yaudah," kata Suri pendek. "Nanti aku telepon abang kalau udah selesai. Oh ya, kalau nanti aku nggak bisa dihubungi, abang telepon aja ke rumahnya Siena. Oke?"
"Oke."
Klik. Percakapan telepon mereka pun terputus. Suri memasukkan ponselnya kembali ke saku seragam, lalu melirik pada arloji yang melingkari pergelangan tangannya. Tiga puluh menit adalah sisa waktu yang dia miliki untuk tiba di kedai es krim yang dimaksud Sergio. Lebih dari cukup. Suri tidak perlu khawatir akan tersasar ke tempat antah-berantah karena Kesha tentu akan menyertainya—dan dari ceritanya, Suri bisa menyimpulkan Kesha cukup sering pergi ke kedai es krim tersebut.
"Kalau nanti abang lo telepon ke rumah gue, gue harus gimana?"
"Jawab aja sesuai apa yang tadi gue kasih tau ke lo."
Siena diam sejenak. "Berarti gue harus bohong sama abang lo?"
"Mau lo bohong atau nggak, abang gue nggak akan tahu. Santai aja, oke? Mereka memang galak sama makhluk bernama cowok, tapi kalau sudah berhadapan sama cewek, apalagi yang masuk kategori cakep kayak lo, udah deh, paling banter juga Abang Chandra malah bakal minta ID Line lo."
Wajah Siena bersemu. "Masa sih?"
Mata Suri menyipit begitu menyadari rona yang menjalari pipi Siena. "Iya. Tapi tetap saja, lo nggak boleh sampai punya hubungan lebih sama abang gue. Terutama Abang Chandra. Kalau sebatas nge-fans doang sih boleh-boleh aja." Sudah jadi rahasia umum kalau diam-diam Siena adalah penggemar seorang Barachandra Aryasatya. Karena itu, Siena sempat digosipkan berteman dengan Suri demi keuntungan pribadinya. Tuduhan yang jelas terbukti salah, karena Siena bahkan mau berteman dengan Suri sebelum dia tahu Suri adalah adik dari Chandra. Siena adalah anak baik-baik, jadi dia hampir tidak pernah datang ke klab malam atau menonton Chandra beraksi sebagai disk jokey, namun itu tidak menghalanginya mengagumi Chandra via layar ponsel.
"Kenapa?"
"Karena abang gue terlalu brengsek buat lo, dan lo terlalu baik buat abang gue." cetus Suri tanpa berpikir. "Gue harus cabut sekarang. Nggak enak kalau telat, masa orang ganteng dibiarin nungguin lama-lama. Makasih ya. Kalau pertemuan gue sama Sergio hari ini lancar, gue traktir lo bakso besok!" Suri berseru, lalu tanpa menunggu jawaban dari Siena, gadis itu berlari menjauh sembari melambaikan tangan. Siena berdiri, menatap Suri hingga sosoknya menghilang diantara sekumpulan remaja berseragam putih abu-abu yang berlalu-lalang.
***
Sergio menatap pada jarum jam yang melingkari pergelangan tangannya. Lima menit sebelum jam tiga sore dan dia sudah duduk di salah satu bangku kedai es krim selama sepuluh menit. Sebastian berulangkali mengatakan padanya agar tidak percaya pada kata-kata gila bocah bernama Suri itu, namun rasa penasaran Sergio membuatnya datang. Tidak banyak orang yang tahu tentang dirinya dan Kesha. Jika Suri tahu, itu sudah pasti sebuah pertanda tentang sesuatu. Terutama kalau Suri benar-benar punya kemampuan melihat dunia yang tak kasat mata.
Tidak lama kemudian, suara bel angin yang tergantung di pintu kedai berbunyi karena pintu yang digeser. Seorang gadis berseragam SMA muncul disana. Matanya tampak sibuk mencari-cari, hingga dia menemukan tempat Sergio duduk dan senyumnya seketika terkembang. Sergio memandangnya sejenak, menatap teliti penampilan Suri dari ujung rambut hingga ujung kaki. Gadis itu pasti termasuk jenis gadis cuek. Meski seragamnya rapi, rambutnya tergerai tanpa diberi hiasan atau aksesoris dan terlihat berantakan karena tertiup angin.
"Hai!" Suri menyapa begitu dia tiba di depan Sergio, lantas langsung menarik bangku untuk duduk. "Nama lo Sergio, kan? Sergio Dawala?"
Sergio mengangguk sekenanya, membuat senyum Suri terkembang kian lebar. Gadis itu mengulurkan tangannya sebelum lantas berseru antusias. "Kenalin, gue Oriana Suri Laksita."
"Ori?"
"Panggil aja Suri. Atau Culi." Suri menatapnya dengan jenis pandangan yang familiar. Ya ampun, Sergio mengerti arti tatapan semacam itu. Bocah ini melihat padanya seperti seorang penggemar fanatik melihat pada penyanyi idolanya. "Meskipun gue lebih suka dipanggil 'sayang' atau dipanggil 'cinta'."
Sergio mendengus. "Katanya lo mau ngomongin soal Kesha."
"Oh ya, soal yang itu gampanglah," Suri mengibaskan tangan di depan wajah. "Pesan es krim aja dulu. Sebenarnya, gue selalu penasaran sama kedai es krim ini. Kayaknya enak. Cuma abang gue nggak ada yang mau diajak kesini."
"Kenapa nggak sama teman atau siapa kek gitu?" Sergio hanya basa-basi, tapi pertanyaannya berhasil membuat sisi ratu drama Suri muncul.
"Maksud lo pacar? Gue nggak punya,"
"Hah?"
"I know right," Suri merespon dengan wajah lesu. "Cewek semanis gue jomblo itu mungkin keajaiban dunia nomor sekian. Tapi mau gimana lagi, kakak-kakak gue sangat ganas kalau sudah urusan pacar-pacaran. Mereka bilang gue masih terlalu kecil. Padahal jelas-jelas gue udah nggak bisa masuk lagi ke wahana mandi bola di mall karena dianggap bukan anak kecil lagi."
"Hm."
"Tapi tenang aja, selama lo mampu jadi cowok bertekad baja, gue nggak akan bosan menanti. Sampai kapanpun, tetaplah berjuang!" ujar Suri seraya membuka buku menu.
Sergio menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Lo ngomong apa sih sebenarnya?"
"Gue mau pesan es krim rasa strawberry dengan taburan kacang pistachio. Lo suka es krim rasa susu kan?"
"Darimana lo tahu?"
"Kesha."
"Oh ya, soal Kesha—"
"Tadi di jalan macet,"
Sergio tercengang. "Terus?"
"Gue capek. Kepanasan. Haus. Lapar. Biarin gue makan es krim dulu sebelum gue jadi penerjemah buat lo berdua, oke? Menerjemahkan kata-kata hantu ke kata-kata manusia, lebih tepatnya."
"Tukang pos?" Sergio tercekat. "Maksud lo, Kesha ada disini sekarang?!"
"Bingo."
"Dimana?!"
Suri menunggu hingga pramusaji yang mencatat pesanan mereka berlalu, lalu menjawab. "Kalaupun gue kasih tau, lo juga nggak akan bisa melihat dia."
Sergio terdiam.
"Lo anak Rajawali?!" Keheningan itu terpecah tidak sampai satu setengah menit kemudian oleh sebuah pertanyaan bernada tidak menyenangkan. Pertanyaan yang tidak datang dari Sergio atau dari Suri, melainkan dari seorang cowok berseragam SMA dengan lambang SMA 44 terjahit di bagian sebelah kanan kemeja putihnya. Sempat dibikin tercengang, reaksi Suri berikutnya tidak Sergio duga.
Gadis itu bangkit dengan wajah menyala. "Maksud lo apa ya?!"
"Waduh, udah salah tempat, masih songong pula!" anak cowok itu balik berseru sebelum memanggil beberapa temannya yang duduk tidak jauh dari meja Suri dan Sergio. "Guys, sini! Ada anak sok jago dari SMA sebelah yang harus diajari tata-krama!"
Sergio mengerutkan dahi, berusaha membaca situasi. Lalu sebuah kesadaran menghantamnya. Astaga. Bagaimana dia bisa lupa bagaimana buruknya hubungan antara SMA Rajawali dengan SMA 44? Bahkan sejak dia masih bersekolah di SMA 44, dia sudah sering mendengar berita tawuran antara anak-anak sekolahnya dengan murid SMA Rajawali—bahkan yang terparah pernah membuat selusin seniornya digiring ke kantor polisi sebelum akhirnya dikeluarkan dari sekolah secara tidak terhormat.
Sergio merasa bodoh karena telah mengajak Suri bertemu di kedai es krim yang paling banter hanya berjarak lima ratus meter dari pintu gerbang sekolahnya.
Kesadaran itu jelas datang terlambat, sebab sekelompok anak SMA 44 yang lain telah berdiri dan mendekati meja tempat mereka berada.
"Sori, tapi disini gue nggak berniat tawuran. Jadi mending lo semua balik ke kursi lo masing-masing kalau lo masih mau hidup," Suri berujar congkak, secara otomatis melukai harga diri anak-anak cowok tersebut.
"Lo itu buta atau apa? Jelas lo nggak punya pasukan atau punya kesempatan manggil bala bantuan!" salah satu anak cowok menukas, lalu matanya jatuh pada Sergio. "Dan lo! Lo anak SMA Rajawali juga, kan?! Kenapa lo diam?! Kasih tau cewek lo ini buat jaga omongannya kalau masih mau lihat matahari terbit besok pagi!"
"Gue bukan cowoknya."
"Oh ya?" Seorang yang lain menimpali dengan senyum sinis. "Pengecut. Kalau udah urusan gini aja mendadak lo mau cuci tangan."
"Gue bukan cowoknya." Sergio mengulang tegas seraya ikut bangun dari bangku. "Dan gue juga bukan anak SMA Rajawali. Gue alumni 44, yang teknisnya, gue adalah kakak kelas lo semua."
"Bah. Menurut lo kita sebego itu untuk percaya?!"
"Terserah lo, gue nggak memaksa lo untuk percaya atau nggak."
"Nggak ada anak SMA 44 seculun lo, bray!"
Sergio melotot. Apa kata mereka tadi? Mereka bilang dirinya culun?
"Sekarang lo berdua harus ikut kita ke markas. Biarin anak-anak kelas dua belas yang memutuskan baiknya lo berdua diapain."
"Idih, ogah!" Spontan, Suri berseru.
"Emang lo kira gue butuh persetujuan lo?"
"Kagak." Suri berdecak, berpaling pada Sergio sebelum berbisik keras. "Lo ini alumni 44 beneran kan?"
"Menurut lo?" Sergio jadi sewot.
"Bilang dong sama mereka, jangan kurang ajar sama kakak kelas!"
"Lo lihat sendiri tadi, kan? Mereka nggak percaya sama gue!"
"Hm." Suri mengamati penampilan Sergio sejenak. "Iya juga, sih. Soalnya penampilan lo polos kayak anak baik-baik. Ganteng lagi. Mayoritas anak SMA 44 terutama cowoknya kan tampangnya sebelas-dua belas sama Andhika Kangen Band."
"Apa lo bilang?!"
Suri memanyunkan bibir, menatap pada salah satu dari sekelompok anak SMA 44 yang baru saja membentaknya. "Enggak apa-apa, tadi ada lele terbang."
"Alah, kebanyakan bacot! Bawa aja mereka langsung ke markas!" Cetus yang lain.
"Oke. Kita bakal kooperatif dan mengikuti apa mau kalian. Tapi tolong jangan kasar," Sergio akhirnya bicara.
"Kok lo nggak melawan sih?!" Suri tampak tidak setuju. "Kalau di sinetron, biasanya cowok ganteng kayak lo itu kan jago bela diri."
"Ini bukan di sinetron." Sergio mendengus.
Keduanya pun pasrah digiring keluar dari kedai es krim menuju tempat yang disebut-sebut sekelompok anak SMA 44 itu sebagai markas. Suri sempat memberontak, terutama setelah melihat bagaimana lezatnya es krim stroberi tersaji pada gambar yang terpampang di papan menu, tapi pada akhirnya dia tidak berdaya. Garis cahaya matahari mulai memudar ketika mereka berada di luar kedai, dan sempat berjalan satu-dua langkah hingga mendadak, Sergio menggenggam pergelangan tangan Suri dengan erat.
"Lo kenap—"
Kata-kata Suri sepenuhnya tertahan ketika Sergio berseru keras seakan memberikan komando. "Lari!"
Refleks, Suri mengikuti. Dia langsung berlari sekuat tenaga tanpa kenal lelah macam Ninja Hattori yang hobi mendaki bukit turuni lembah. Berlari sambil digandeng cowok sekece Sergio turut memberikan suntikan semangat baginya, sementara beberapa meter di belakang mereka, sekelompok anak-anak SMA 44 yang tidak rela tangkapan mereka lolos begitu saja ikut mengejar. Beruntung Sergio cukup mengenal lingkungan sekitar sekolahnya. Dia memimpin arah menuju gang-gang sempit tempat warga bermukim, yang membuat sekelompok anak-anak SMA berseragam berantakan itu kesulitan mengekori mereka. Suri sempat terjatuh hingga mendapat hadiah luka lecet di lutut serta siku, namun akhirnya mereka berhasil meloloskan diri dari kejaran anak-anak SMA 44 yang kalap.
"Gila!" Suri berseru otomatis begitu langkah mereka melambat setelah memastikan mereka telah lepas dari buruan pengejar mereka. "Anak-anak SMA 44 emang nggak ada yang waras!"
"Kenapa lo nggak bilang dari awal?" Sergio balik bertanya sembari mengatur napas. "Kenapa lo nggak bilang kalau lo anak Rajawali?!"
"Gue anak ayah dan bunda!"
"Sumpah, gue nggak lagi minat bercanda!"
"Apalagi gue?!" Suri menyahut dengan nada tak kalah tinggi, lalu gadis itu meringis kesakitan. "Lihat dong, lutut sama siku gue sampai luka kayak gini!"
Sergio bungkam, namun matanya menatap pada luka lecet di kulit Suri dengan teliti. Pada akhirnya, cowok itu menghela napas.
"Sori."
"Kalau permintaan maaf bisa menyelesaikan semuanya, buat apa ada hukum dan polisi?"
Bukan Suri yang menjawab. Suara itu datang dari mulut gang, beberapa meter jauhnya dari tempat mereka berada. Refleks, kepala Suri dan Sergio tertoleh pada satu arah hanya untuk mendapati tiga pemuda tinggi berdiri disana. Posisi mereka yang memunggungi cahaya matahari menciptakan kesan dramatis serupa adegan kejutan ketika superhero muncul dalam film-film murahan minim biaya. Sergio tercengang, sementara wajah Suri langsung memucat seolah dia baru saja menerima vonis mati.
"ABANG?!!"
"Iya, Suri, iya. Abang tahu, pasti sakit. Jangan khawatir. Abang ada disini." Chandra manggut-manggut dengan gaya berlebihan. "Dan kamu, anak muda. Beraninya kamu membuat Culi terluka sampai kayak gitu. Lihat saja, kami akan membuatmu menyesal karena sudah dilahirkan!"
"Lo aja kali, gue kagak," Cetta menyela, membuat suasana dramatis yang telah Chandra bangun langsung runtuh seketika. Cowok itu melangkah mendekati Suri, diikuti oleh Calvin yang wajahnya turut dirambati kepanikan setelah menyadari ada darah pada luka di lutut dan siku adiknya.
"Abang—"
Suri tidak sempat meneruskan ucapannya, karena Cetta keburu memberikan punggungnya sembari berkata. "Diomongin nanti aja. Sekarang kamu naik ke punggung abang."
"Dan lo," Calvin menatap tegas pada Sergio. "Jangan harap lo bisa lari, ya."
Sergio menelan ludah. Dia tidak tahu apa yang terjadi. Namun firasatnya mengatakan, dia tengah melibatkan dirinya sendiri terhadap sesuatu yang tidak menyenangkan.
Bersambung.
**************************************
**************************************
a.n : luv banget loh sama kelyan yang sudah komen di chapter chapter sebelumnya mwah wkwkwk
Visualisasinya Sergio ada di konten mulmed (lo semua free untuk membayangkan siapapun, but in case you're not a fan of bts, please just leave him alone. gue bukan army. fandom gue cuma satu, itu pun karena kim jongin (+ baby sehun and park chanyeol) but i do mind hate and all kind of hates are not allowed in my stories)
soal kapan di next, gue nggak tahu wkwk bisa aja sehari sekali, dua hari sekali atau tiga hari sekali, tergantung pertimbangan (halah)
see you in the next chap!
Ciao.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro