empat belas
"Gue mau kasih tau sesuatu sama lo sebelum kita turun," Suri berujar sesaat setelah mobil yang mereka tumpangi masuk ke dalam garasi rumahnya. Gaya bicaranya terkesan misterius, membuat Siena yang duduk di sebelahnya terkesiap. Reaksi tidak jauh berbeda juga ditunjukkan Cetta—yang siang ini menjemput Suri dan Siena di sekolah seperti biasa, karena Chandra adalah anak raja yang haram hukumnya disuruh-suruh, sementara Calvin sudah mengambil tanggung jawab menyediakan makanan kecil untuk kerja kelompok Suri dan Siena. Cowok itu menatap pada adik perempuannya lewat kaca spion dalam, yang dibalas Suri dengan picingan mata.
"Abang turun duluan aja," katanya, membuat Cetta sempat terperangah sesaat.
"Emang kamu mau ngomongin apa sama Siena?"
"Rahasia. Cuma perempuan yang boleh tahu."
Mata Cetta memicing curiga. "Masalah pacar-pacaran, ya?"
"Abangku sayang, kalau aku mau diskusi masalah gaet-menggaet hati Sebastian Dawala, mending sekalian aja aku curhat sama Kak Rana," Suri mendengus, "Siena tuh sama nggak berpengalamannya sama aku. Segel jomblonya belum dilepas sama sekali."
Siena memberengut kesal pada Suri.
"Bagus, dong. Anak-anak kecil kayak kalian tuh emang harusnya fokus belajar, nggak usah deh pake pacar-pacaran dulu. Apalagi lihat gaya pacaran anak sekarang. Bikin ngeri."
"Abang tuh nggak pernah mengerti perasaan kawula muda. Kalau abang ngeri sama gaya pacaran anak sekarang, jadi menurut abang gaya pacaran yang normal tuh kayak gimana? Gaya pacaran abang sama Kak Rana? Dih." Suri mendesis.
"Suri, abang belum tua-tua banget. Abang cuma beda dua tahun sama kamu, kalau abang harus ingetin."
"Kalau gitu abang harusnya nggak ngelarang aku pacaran karena kita cuma beda dua tahun! Abang sendiri waktu pertama pacaran sama Kak Rana juga masih seumur aku!"
"Abang udah sembilan belas tahun waktu itu."
"Yaelah, bang, beda setahun doang!"
"Abang tuh cowok."
"Dunia juga tahu abang cowok."
Siena mengunci mulut, memilih diam diantara perang saudara yang tengah berkecamuk.
"Maksud abang, karena abang cowok, abang bisa jaga diri abang. Beda sama kamu. Abang-abang ngelarang kamu pacaran ya karena kita punya tanggung jawab ngejagain kamu. Terutama setelah Bunda nggak ada dan Ayah sibuk ngurus kerjaan."
"Abang sih bukan menjaga, tapi me-nge-kang."
"Suri,"
"Udah, ah. Aku lagi malas debat. Abang masuk ke dalam duluan aja. Dan tenang, aku nggak lagi berniat ngomongin Sebastian sama Siena. Bisa gawat nanti kalau Siena sampai naksir sama Sebastian. Malas deh saingan sama teman sendiri."
Cetta menghela napas. Dia menatap Suri sejenak, tapi tidak mengatakan apapun lagi. Cowok itu menuruti kehendak Suri, langsung turun dari mobil tanpa mencabut kunci, walau mesinnya sudah dimatikan.
"Nanti jangan lupa kunci mobilnya dibawa masuk."
Suri hanya mengacungkan jempol tangan kanannya, dan Cetta pun berlalu masuk ke dalam rumah lewat pintu yang tersambung dengan garasi.
"Sebenarnya lo mau ngomong apa, Sur?"
"Soal hantu di kamar gue."
"Oh. Hantu yang namanya Wati itu?"
"Bukan. Kalau Wati mah kan lo udah kenal. Semalam, rumah gue dikunjungi pendatang baru."
"Hantu... baru?"
Suri menganggukkan kepala. "Dia minta dipanggil Mpok Jessica. Mungkin kalau di dunia para hantu, dia udah setara Syahrini atau Paris Hilton kali ya. Gaya ngomongnya macam sosialita kelas atas, cuma berhubung Hermes dan Louis Vuitton belum buka cabang di dunia perhantuan, makanya Mpok Jessica nggak nenteng tas Hermes sambil belanja kemenyan."
Siena menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Sumpah, hantu yang pernah ketemu sama lo kenapa bentuknya selalu aneh-aneh, sih?"
"Gue juga nggak tau. Kalau bisa milih, gue pengennya mah ketemu sama hantu yang mukanya sebelas-dua belas gitu sama G-Dragon atau Changmin TVXQ kek gitu. Tapi kayaknya nggak ada hantu secakep itu. Kalau iya, udah dari lama Wati pensiun jadi fans berani matinya Abang Cetta."
"Hm... oke, gue ngerti."
"Jadi jangan takut atau kaget kalau tiba-tiba Mpok Jessica bikin onar, oke? Meskipun gue juga udah ultimatum dia semalam. Kalau dia sampai bikin kelakuan yang aneh-aneh di rumah gue apalagi sampai cari ribut sama tamu yang datang, dia harus ciaobella."
"Ciaobella?"
"Sori. Cabut dari rumah gue, maksudnya."
"Oh." Siena manggut-manggut. "Oke. Gue paham."
"Sip. Oh ya, dan satu lagi. Lo harus menghindari tiga pintu kamar yang berderet di lantai bawah. Terutama pintu kamar paling kiri yang banyak tempelan sticker klab malam dan suvenir luar negerinya. Lo sangat-sangat diharamkan mendekati pintu itu, apalagi menatap pemiliknya tepat di mata."
Siena melotot. Suri gila. Memangnya Chandra itu titisan Medusa sampai-sampai tidak boleh dipandang tepat di mata?
"Kok gitu, sih?! Lo tau nggak Sur, berada di rumah idola lo tuh kayak jadi impian semua penggemar. Masak ngedeketin pintu kamar atau nyapa Kak Chandra aja nggak boleh?!"
"Duh, Siena sahabatku, gimanapun juga gue harus melindungi lo dari ancaman fakboi. Lo masih terlalu baik buat Abang Chandra. Mengertilah."
Siena menghela napas. "Oke."
"Yaudah. Kalau begitu, briefing kita selesai," Suri menyandang tas sekolahnya di bahu, lalu turun lebih dulu. Sebelum masuk ke rumah, gadis itu mencabut kunci mobil yang masih tertancap dan melaksanakan pesan Cetta, mengunci semua pintu mobil. Tentunya setelah memastikan Siena sudah turun. Berdua, mereka melangkah memasuki rumah Suri.
Suri tidak menduga kalau suasana rumah akan jauh lebih ramai dari perkiraannya. Ketika membuat pengumuman semalam, dia hanya mewajibkan minimal satu dari tiga kakaknya untuk ada di rumah sebagai penanggung jawab bagian konsumsi selama dia dan Siena mengerjakan tugas kelompok. Alih-alih satu, ketiganya berada di rumah. Cetta tengah sibuk mencuci piring kotor bekas sarapan tadi pagi, sementara Calvin bekerja di depan kompor. Chandra? Kayaknya cowok itu lagi kesambet, karena begitu Suri dan Siena masuk ke ruang tengah, mereka mendapati Chandra tengah fokus membaca buku setebal dosa karya Dan Brown.
"Kok Abang Chandra ada di rumah?" Suri menatap tidak suka, sudah mampu mencium bau kucing garong dari tingkah laku tidak normal Chandra.
"Ya ampun, Suri. Kan abang memang anak rumahan." Chandra menyahut kalem, membuat mata Suri langsung terbeliak.
"Abang sehat nggak, sih?!"
"Sehat wal'afiat, Suri. Sehat banget malah." Chandra terkekeh, membuat Siena spontan langsung menunduk dan tersipu malu. "Halo, Siena. Kita ketemu lagi, ya. Hehehe."
Dengan protektif, Suri langsung berdiri di depan Siena. Tangannya bertolak pinggang, sementara matanya masih menyipit penuh curiga pada Chandra. "Nggak usah sok akrab sama Siena!"
"Loh, Siena kan penggemar abang." Chandra membela diri. "Abang udah sering banget ketemu dia waktu meet and greet. Atau pas abang rilis single terbaru abang tiga bulan lalu. Masa kamu nggak tahu sih?"
"Sangal-singel-sangal-singel, abang tuh nge-rap macam orang kumur-kumur. Nggak usah berasa elit banget kenapa, sih?"
"Nggak! Lagu-lagunya Kak Chandra selalu bagus dan enak, kok!" Siena menyambar sewot, membuat Suri menolehkan kepalanya dan menatap Siena dengan pandangan terluka.
"Suri, kamu jahat banget sama abang. Kamu nggak capek apa jadi anti-fans abang?" Chandra menyentakkan kepala. "Apa abang harus rilis remake lagu Bolo-bolonya Joshua dulu, baru kamu mau berhenti jadi anti-fans abang?"
"Bodo amat, deh." Suri mendengus, kemudian menarik lengan Siena menuju kamar tidurnya yang berada di lantai atas. Siena sempat melirik pada Chandra yang langsung menyunggingkan senyumnya dengan lihai. Senyum andalannya untuk melemahkan hati para gadis perawan. Berhasil. Siena langsung menunduk, ada rona merah menyebar di wajahnya, mengiringi senyum yang tertahan.
Chandra menatap gadis itu hingga Siena menapaki tangga. Begitupun dengan Siena yang sesekali masih melihat sekilas pada Chandra. Di suatu kesempatan, dengan gaya picisan macam orang tengah kasmaran, Chandra berlagak merogoh saku depan hoodie yang dia kenakan. Tidak ada apapun yang dia keluarkan. Tangannya kosong, namun cowok itu telah membentuk tanda hati dengan jempol dan jari telunjuk tangan kanannya, mengarahkannya langsung pada Siena dengan wajah semanis pangeran dalam dongeng pengantar tidur.
Praktis, Siena hampir dibuat kejang karenanya.
Chandra tertawa kecil kala menyaksikan bagaimana muka Siena kian memerah. Sangat jelas, membuatnya jadi terlihat seperti tomat. Ah, tidak. Bukan tomat. Tomat terlalu jelek untuk dipakai mengumpakan wajah Siena. Kelopak mawar merah muda yang cantik lebih tepat untuknya. Siena. Chandra mengeja nama itu dalam hati.
Chandra rasa dia sudah menemukan mawarnya.
n o i r
Suri menyesal sudah mengajak Siena kerja kelompok di rumahnya.
Jika saja dia tahu Chandra akan berada di rumah seharian ini, mungkin Suri akan ngotot supaya tugas mereka dikerjakan di rumah Siena. Chandra tidak bisa berhenti mencari perhatian. Sepanjang sore hingga petang menjelang, Chandra seperti tidak kehabisan alasan untuk masuk ke kamar Suri. Pertama, dia datang membawakan dua gelas es sirup rasa jeruk di atas nampan—sesuatu yang seharusnya mustahil terjadi mengingat sifat malas Chandra yang menjadi-jadi. Saking malasnya, Cetta bahkan pernah menggelari Chandra dengan sebutan Raja Berekor dari Negeri Seberang yang haram disuruh-suruh. Kedua, Chandra juga datang membawakan mangkuk besar berisi popcorn dan kepingan biskuit cokelat yang Suri tahu pasti Calvin beli di minimarket terdekat. Ketiga, Chandra rajin menyembulkan kepalanya di ambang pintu dengan alasan memantau kerja kelompok Suri.
Suri hampir saja mencak-mencak pada kakak tertuanya, namun dia menahan diri. Bagaimanapun juga, Chandra lebih tua dari Suri. Suri tidak boleh terlalu kurang ajar, takut kualat. Selain itu, kehadiran Mpok Jessica juga turut menjadi alasan. Kalau dia mendengar Suri memekik keras pada abangnya, bisa-bisa hantu sosialita itu akan lelah karena latahnya yang kambuh. Jadi meski kesal setengah mati, Suri hanya bisa menatap tajam setiap kali dia memergoki Siena dan Chandra saling bertukar pandang.
Untunglah, menjelang jam tujuh malam, pekerjaan mereka hampir selesai. Satu-satunya bagian yang perlu ditambahkan hanya nama di sudut kiri atas lukisan berbahan kulit telur yang mereka buat, dan Suri setuju melakukannya. Cukup adil, berhubung Suri tidak banyak berpikir. Otak eksaknya mandek, dan kemampuan seninya juga bisa dikatakan nol. Mungkin satu-satunya keahlian Suri memang hanya melihat makhluk-makhluk yang sebetulnya tidak ingin dia lihat. Dunia itu memang tidak adil.
"Culi?"
Suri dan Siena tengah membereskan kuas-kuas bekas melukis ketika kepala Calvin muncul di sudut pinru.
"Kenapa, bang?"
"Udah mau jam makan malam. Cetta pergi tadi sekitar jam lima, soalnya ada acara bareng temen-temennya sesame manusia endorse. Kamu tahu sendiri, abang nggak bisa masak apapun yang enak, kecuali indomi sama popcorn. Kecuali kamu mau makan popcorn rasa karamel lagi buat makan malam, kita harus beli atau order makanan dari luar."
"Aku nggak mau popcorn. Udah hampir mabok makan popcorn mulu," Suri berujar. "Hm. Nasi goreng di perempatan aja deh. Kayaknya enak."
"Nasi goreng kambing?"
Suri mengangguk, lalu menatap pada Siena. "Kamu suka nasi goreng kambing nggak?"
"Boleh, deh."
"Tapi kan perempatan tuh lumayan jauh, Suri."
"Terus kenapa?"
"Mobil kan dipake Cetta."
"Minjem mobilnya Abang Chandra aja."
"Ogah. Penuh bungkus kondom. Ngeliat aja jijik, apalagi masuk." Calvin langsung bergidik.
"Hm. Bener juga." Suri mengusap rahang, tapi kemudian meneruskan dengan ringan. "Yaudah, nggak apa-apa. Hitung-hitung abang olahraga. Katanya mahasiswa pencinta alam. Konon udah sering naik gunung. Masak beli nasgor di perempatan yang nggak seberapa jauh aja udah nyerah? Ah, cemen nih abang! Buktikan dong kejantanan yang selama ini abang bangga-banggakan!"
Calvin merasa ter-pe-la-tuk. "Oh ya jelas nggak, dong! Puncak Rinjani aja udah abang gapai! Yaudah, oke! Abang cus ke perempatan buat beli nasgor sekarang. Cuma demi adik abang tersayang, nih."
"Sekalian beliin aku minuman juga ya, bang?"
Calvin menghela napas. "Emang kamu mau minum apa?"
"Mogu-mogu rasa anggur!" Suri berseru penuh semangat, kemudian berpaling pada Siena yang masih diam. "Lo mau apa, Siena?"
"Hm... susu rasa pisang."
Kening Calvin berkerut. "Susu rasa... pisang?"
Siena menganggukkan kepalanya dengan wajah malu-malu, membuatnya tampak menggemaskan. Sempat melihat bagaimana Siena bersikap selama beberapa jam terakhir, Calvin harus mengakui jika Siena jauh lebih kalem daripada Suri. Gadis itu tidak secerewet Suri, lebih banyak diam dan fokus apa yang dia kerjakan.
"Iya. Susu rasa pisang. Ada kok, dari Indomilk. Kotaknya warna kuning."
"Oh. Oke. Yaudah, kalau gitu abang langsung otw deh."
"Sip." Suri mengacungkan jempol. Calvin tersenyum geli pada adiknya, kemudian menyempatkan diri mengacak-acak helai rambut gadis itu sebelum berlalu pergi. Tidak lama, Suri dan Siena kembali ditinggal berdua di dalam kamar.
"Suri,"
"Hm?"
"Gue mau minum. Air putih ada di dapur, kan?"
"Yoi," Suri membenarkan, tapi langsung buru-buru menambahkan. "Ingat radius aman dari pintu kamarnya Abang Chandra, oke? Gue mau mandi dulu, deh. Rasanya udah lengket banget punggung gue karena keringat. Sekalian keramas. Lo mau mandi juga nggak? Kalau mau, nanti gue keluarin cadangan handuk dan sikat gigi tambahan."
"Hm, boleh," Siena menyahut. "Yaudah. Nanti gue mandi abis lo."
Suri tidak mengatakan apapun lagi, tapi wajahnya jelas menyiratkan kalau dia setuju dengan ucapan Siena. Gadis itu membiarkan Siena melangkah keluar kamar untuk pergi ke dapur, sementara dirinya sendiri masuk ke kamar mandi. Wati tidak kelihatan. Mungkin sibuk merencanakan pertemuan antar para petinggi dunia hantu bersama Mpok Jessica sang sosialita. Sesuatu yang patut disyukuri, karena kolaborasi kehadiran Wati dan Mpok Jessica sudah lebih dari cukup membuat Suri merasa dirinya dikutuk karena bisa melihat makhluk-makhluk sebangsa mereka.
Waktu bergulir. Detik berdetak. Tetes-tetes air mengalir menuju lubang pembuangan, dan Suri sepenuhnya lupa dengan segala sesuatu di luar kubikel shower tempatnya berada. Termasuk tentang bagaimana Siena butuh waktu yang lama untuk kembali ke kamarnya, sementara satu-satunya abangnya yang berada di rumah tidak lain dan tidak bukan hanya Chandra seorang.
n o i r
Siena baru saja mengisi gelas dengan air dingin dari dispenser ketika tiba-tiba suara Chandra terdengar, membuatnya terkejut setengah mati. Gadis itu tersentak, tapi untung dia bisa menguasai diri hingga gelasnya tidak jatuh ke lantai dan membuat keributan yang tidak perlu. Tingkahnya membuat Chandra menarik sebuah senyum geli, yang sontak direspon Siena dengan wajah memerah karena malu.
"Kak... Chandra?"
"Kita ketemu lagi." Chandra berujar. "Aku udah lama tau kalau Suri punya teman dekat yang namanya Siena, tapi baru kali ini aku benar-benar lihat kamu pas lagi main ke rumah. Kamu emang jarang kesini, ya?"
"Hng, sebenarnya nggak jarang-jarang banget, Kak," Siena menyahut. "Cuma kebetulan pas aku main kesini, Kak Chandra lagi nggak ada di rumah. Atau masih tidur karena pulang pagi."
"Iya. Biasanya kalau main di klab baru kelar menjelang pagi. Kamu nggak pernah ke klab malam ya?"
Siena tampak salah tingkah. "Iya, Kak. Belum cukup umur soalnya."
"Udah lama nge-fans sama aku?"
Kalau saja Calvin atau Cetta ada disana, mungkin dia sudah muntah-muntah melihat bagaimana Chandra bicara menggunakan aku-kamu.
"Dari SMP, Kak. Waktu pertama kali Kak Chandra rilis video blog di Youtube. Tadinya nggak sengaja ngedenger lagu kakak dari Soundcloud teman. Eh ternyata lagunya enak banget. Iseng nyari-nyari, ketemu channel Youtube Kak Chandra. Bukan cuma lagunya yang enak, orangnya juga..." Siena tidak meneruskan kata-katanya. Wajahnya kian memerah, seolah dia hampir saja mengucapkan apa yang tidak seharusnya diucapkan.
"Orangnya kenapa?" Chandra memancing dengan wajah super kepedean.
"Hng..." Siena menghindari tatapan Chandra. "... ganteng."
Chandra merasa aneh. Seakan ada dorongan dalam dirinya untuk mendekati Siena, kemudian menggoda gadis itu lebih jauh hingga rona merah di pipinya semakin tegas. Dari sekian banyak gadis yang pernah Chandra dekati, tidak pernah ada satupun dari mereka yang seperti Siena. Kebanyakan dari mereka berusia sepantaran dengan dirinya, dengan pengalaman akan dunia malam yang tidak perlu ditanya. Siena... begitu polos dan mudah tersipu pada sesuatu yang sepele.
"Aku boleh jujur tentang kesan pertamaku waktu ngeliat kamu?"
"Hng?" Siena tampak bingung.
"Kamu cantik."
Siena terperangah, seperti tidak mempercayai apa yang baru saja dia dengar.
"Kamu cantik." Chandra mengulang, lantas perlahan, senyum mautnya yang tidak pernah gagal menggaet hati kaum hawa kembali terkembang. Siena menggigit bibir, tidak menduga akan mendapat pujian dan senyuman luar biasa mempesona dari seseorang yang telah lama dianggapnya sebagai idola. Katakan padanya, dia tidak sedang bermimpi, kan?
Chandra tidak mengerti. Mereka berdiri saling berjauhan, terpisah jarak hampir enam meter jauhnya. Siena berdiri di balik deretan meja konter dapur, sementara dirinya di ambang pembatas antara dapur dengan ruang makan. Namun entah bagaimana, jarak itu seperti tidak pernah ada.
Alih-alih terpisah rentang, Chandra justru merasa dirinya selangkah lebih dekat dengan Siena.
n o i r
Selesai Suri mandi, Siena telah berada di kamar. Gadis itu diam saja, pikirannya seperti sedang melayang entah kemana. Suri sempat memanggil namanya beberapa kali, namun Siena tidak menjawab. Ketika Suri memekik lebih keras, barulah Siena merespon dengan bahu tersentak kaget. Wajahnya tampak terkejut, seperti baru saja tertangkap basah melakukan sebuah kesalahan besar.
"Lo kenapa, deh?" Suri malah jadi penasaran.
"Hng—nggak apa-apa." Siena hampir gelagapan, lantas otaknya berputar keras untuk mengalihkan Suri pada sesuatu yang lain. "Lo... udah mandi?"
"Kalau belum gue nggak akan ada di depan lo sekarang."
"Oh iya. Bener juga."
"Lo kenapa, sih? Abis ketemu Wati atau Mpok Jessica?"
"Nggak, kok."
"Yaudah deh. Mending lo mandi sekarang, jadi nanti waktu Abang Calvin datang bawa makanan, kita bisa langsung makan bareng. Seragam lo dilipat aja. Lo bisa pinjem baju gue. Dibalikin minggu depan juga nggak apa-apa."
"Oke." Siena mengiyakan, lantas beranjak tepi kasur Suri dan berjalan menuju kamar mandi. Tangannya terulur meraih kenop pintu, membukanya hingga aroma kuat dari shower gel dan shampoo yang Suri pakai langsung menguar ke seisi ruangan. Sebelum Siena benar-benar masuk ke dalam kamar mandi, Suri menyempatkan diri memberitahu gadis itu tentang handuk dan sikat gigi cadangan yang nanti akan Siena perlukan.
"Handuk sama sikat gigi cadangan ada di dalam rak di luar kotak shower ya."
"Sip."
Hanya begitu saja, pintu kamar mandi pun tertutup. Tidak lama kemudian, suara air yang mengalir dari shower terdengar. Sembari menunggu Siena selesai mandi dan Calvin pulang, Suri mengeringkan ujung-ujung rambutnya dengan handuk. Mulutnya menyanyikan senandung samar yang hampir tidak terdengar saat tangannya meraih pintu balkon. Suri menebak dia akan mendapati semilir angin malam menerpa rambut dan kulitnya yang lembab, namun ternyata dugaannya salah. Bukannya angin malam yang menyejukkan, dia justru dikejutkan dengan kehadiran sekumpulan hantu yang tidak diundang.
Hantu-hantu itu terdiri atas berbagai lapisan usia, dengan dandanan yang berbeda-beda. Ada yang serupa gembel. Ada yang nampak elit seperti Mpok Jessica. Ada yang hanya berwujud gadis remaja berambut panjang serupa Wati. Namun ada pula yang punya penampilan cukup menyeramkan dengan baju compang-camping penuh rembesan noda darah. Mereka semua sedang berkumpul di balkon, membentuk lingkaran macam kelompok berkemah mahasiswa dengan Mpok Jessica sebagai pusat perhatian. Semuanya kompak menoleh saat mereka menyadari keberadaan Suri.
"Bonjour, gadis manja khatulistiwa!" Mpok Jessica menyapa dengan gaya jumawa melebihi Jamie Chua, "ada apa nih tiba-tiba nongol? Mau ngegosip cetar bersama kita-kita para sosialita sebadai samudera?"
"Nggak!" Suri berseru, membuat latah Mpok Jessica kembali kumat. Kali ini dengan cara yang sangat tidak patut, karena sejuta kata-kata kotor termuntahkan dari mulutnya tanpa bisa direm. Bukan hanya kata enggak-iya-enggak-iya lagi yang kini terlontar dari Mpok Jessica, melainkan juga kalimat serupa,
"Crot—ekh-crot-ekh-crot—meninggal—akh!"
Suri hampir membenturkan kepalanya sendiri ke tembok.
"Wati!" Suri berpaling pada Wati. "Ngapain lo ngajakin setan-setan nggak jelas ke rumah gue?!"
"Bukan saya, kok." Wati membela diri, melirik sejenak pada Mpok Jessica. "Ini semua tamu-tamunya Mpok Jessica."
Suri meniup sejumput rambut yang jatuh di dahinya dengan frustrasi. "Mpok Jessica, aku udah ngizinin Mpok Jessica tinggal disini, tapi dengan catatan Mpok Jessica nggak banyak tingkah kayak Wati."
"Maksud kamu tuh apa, gadis manja khatulistiwa?"
"Maksudku, ada syarat dan ketentuan yang harus Mpok Jessica ikutin kalau mau tinggal di rumahku!"
"Kayak ibu kos aja," Mpok Jessica mencibir, membuat Suri balik melotot padanya.
"Anak kos sih mending. Mereka bayar. Lah kalau Mpok Jessica sama Wati?!" Suri berujar dengan kesal, namun mencoba menjaga suaranya agar tetap rendah. "Ada dua syarat yang harus Mpok Jessica dan Wati penuhi kalau mau tetap tinggal di rumahku. Pertama, dilarang jahil dan mengganggu orang-orang di rumah. Berlaku juga untuk tamu yang baru datang. Kalau kalian ngelanggar, aku bakal panggil Kak Rana kesini."
"Duh, ampun deh!" Wati berseru. "Saya nyerah kalau udah urusannya sama cewek itu!"
Mpok Jessica hanya menatap Wati sejenak, sementara hantu lainnya setia jadi penonton. Ada diantara mereka yang takjub, mungkin tidak mengira kalau ada anak perempuan seperti Suri yang seolah tidak kenal rasa takut pada mereka. Padahal sebenarnya, Suri juga tidak seberani itu. Hanya saja, berhubung mereka semua berada di rumahnya, dia merasa punya hak untuk mengatur.
"Terus?"
"Syarat kedua, nggak boleh ngajak hantu-hantu lain kesini. Entah buat ngumpul, apalagi buat tinggal bareng. Karena rumah ini masih menjunjung tinggi moral, tidak boleh ada kumpul kebo bahkan meskipun itu sesama hantu. Rumah ini juga nggak nerima pengungsi, karena rumah ini bukan panti kemanusia—maksudnya panti kehantuan!"
"Kalau Enjes manjah menolak gimana?"
"Yaudah. Enjes manjah bisa ciaobella sekalian dari rumah ini!" Suri berseru kesal, lagi-lagi harus mendelik ketika Mpok Jessica kembali latah. Mpok Jessica merengut, tampak tidak suka kegiatan sosialita kelas atasnya terganggu oleh kehadiran Suri, tapi akhirnya dia sepakat dan mengusulkan agar kegiatan sosialitas kelas atas komunitas hantu tersebut dipindah ke tempat tinggal hantu lain. Usai memastikan jika tidak akan ada lagi perkumpulan para hantu yang bertempat di rumahnya, Suri menyuruh mereka semua pergi. Hantu-hantu itu menurut. Dalam waktu singkat, mereka semua melayang entah kemana. Mungkin pulang ke tempat tinggal masing-masing, termasuk Mpok Jessica. Suri menebak, Mpok Jessica akan menghabiskan semalaman buat curhat pada Wati di halaman belakang. Bodo amat. Suri tidak peduli.
Balkon kembali kosong. Suri ditinggal dalam keheningan malam, sementara Siena sepertinya masih berada di dalam kamar mandi. Angin berembus, membelai kepala Suri yang basah hingga terasa dingin. Mata gadis itu terarah pada langit yang gelap, pada bintang-bintang gemerlapan yang tersebar di atasnya serupa konfetti tahun baru. Suri bertanya-tanya, seperti apakah tempat yang dimaksud oleh hantu-hantu itu sebagai atas. Apakah tempat itu indah? Apakah Bundanya bahagia disana?
Suri menghela napas. Dia tidak seharusnya mengingat sesuatu yang menyedihkan seperti itu. Kesedihannya bisa saja ikut membuat Bunda sedih. Semula, dia tidak pernah tahu jika roh dapat tertahan di dunia orang hidup dan menjelma menjadi hantu gentanyangan, seperti yang terjadi pada Kesha, Sarah, Asmi hingga Wati. Diam-diam, dia bersyukur Bunda bisa langsung pergi ke atas sana tanpa harus menjadi sosok asing diantara orang-orang hidup yang tak bisa melihatnya. Bunda tidak perlu merasa tersiksa atau kesepian.
Renungan Suri terpecah ketika mendadak sudut matanya menangkap sosok Calvin yang melangkah dari mulut jalan. Ada kantung plastik hitam dan kantung plastik putih bercapkan lambang sebuah jaringan ritel di tangan kanannya. Namun yang membuat Suri terperangah adalah karena Calvin tidak berjalan sendiri. Ada seorang gadis di sisinya. Calvin tampak asyik mengobrol dengan gadis itu, tapi dengan sekali lihat, Suri tahu kalau sosok yang sekarang tengah bersama Calvin bukan manusia. Sosok itu serupa dengan Wati dan Mpok Jessica. Dia adalah hantu.
"Abang!" Suri berseru dari balkon tatkala posisi Calvin semakin mendekati pintu pagar rumah mereka, sebuah ide jahil terlintas di kepalanya. Refleks, Calvin pun mendongakkan kepalanya ke atas. Begitupun dengan hantu wanita yang ada di sebelahnya.
"Suri! Jangan nongkrong di balkon kalau habis keramas. Nanti kamu masuk angin!"
"Sebentar doang kok, bang." Suri terkekeh, lalu sibuk mengerling. "Cieee... jalan sama cewek cieeee. Tumben..."
Calvin mendengus. "Nggak sengaja ketemu Tiara di dekat warung nasi goreng. Berhubung katanya rumahnya deket-deket sini juga, yaudah abang ajak aja jalan bareng. Daripada jalan kaki sendirian nggak ada temen, kan?"
"Tiara tuh bohong, abang!"
Calvin mengernyit sebentar pada Tiara yang masih ada di sebelahnya, lantas kembali mendongak pada Suri. "Maksud kamu?"
"Rumahnya bukan di blok sini, atau deket-deket sini. Tapi di pohon beringin dekat gerbang komplek."
"Pohon... beringin?" Salah satu alis Calvin terangkat.
"Yoi."
Wajah Calvin memucat begitu dia menyadari sesuatu. Lehernya terasa kaku seketika. "Maksud kamu—"
Suri mengangguk sembari melipat tangan di dada. "Dugaan yang betul sekali, abang." Ujarnya, menirukan nada suara yang biasa digunakan oleh pramusaji Pizza Hut setiap kali calon pelanggannya memilih sebuah menu.
Calvin melotot. Dia betul-betul tidak berani menoleh. Dan ketika suara Tiara kembali terdengar memanggil namanya, bulu kuduk Calvin seketika kompak berdiri. Tanpa dikomando, cowok itu langsung berlari sekencangnya masuk ke dalam rumah, sementara Suri tertawa terbahak-bahak sampai perutnya terasa mulas.
Buset. Tidak hanya Cetta dan Chandra yang punya pengagum di dunia ghaib, ternyata pesona Abang Calvin pun tak luput menjerat hantu untuk menyukainya. Kalau sudah begini, sepertinya Calvin perlu mempertimbangkan untuk menyudahi masa lajangnya. Masalahnya, Suri tidak tahu apakah gadis yang bisa cocok dengan kakak keduanya itu benar-benar ada di dunia ini. Calvin adalah karakter yang sangat sulit, dan kebanyakan cewek tentu tidak akan tahan pacaran dengan cowok yang jelas akan meletakkannya di urutan keempat dalam daftar prioritas setelah Suri, buku dan tidur.
Kalaupun nantinya Calvin bisa benar-benar punya pacar, Suri punya firasat, gadis itu bukan gadis biasa.
bersambung.
**************************************
**************************************
a.n : Haloh
Sori baru muncul lagi haha sebetulnya gue nggak berniat ngepost karena gue nggak berpikir gue lagi bisa ngetik dua hari belakangan karena mentally exhausted dan seharian ini sama kemarin bahkan gue abisin buat tidur wkwk i dont have any mental disorder but sometimes anxiety gets the best of me kayak gue kepikiran sesuatu yang nggak seharusnya dipikirin (seperti penilaian orang pada tulisan gue, komentar orang pada diri gue secara personal) dan itu bikin stress banget sampe nggak bisa ngapa-ngapain.
tapi sekarang ternyata udah lebih legaan dikit karena fangirling dan nonton drakor wkwkwk
Ah ya, di konten multimedia ada visualisasinya Siena.
Btw, thankyou buat semua vote dan komen di chapter-chapter sebelumnya. Have a wonderful night and see you in the last chapter
Ciao
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro