dua puluh tujuh
"Tadi di sekolah Suri ada insiden."
Suri langsung berhenti menyendok sup dari mangkuknya ketika tiba-tiba dia mendengar Calvin bicara. Malam ini, mereka makan bersama. Bukan karena Cetta mendadak ikhlas menghabiskan lebih dari sepuluh menit di dekat Chandra. Bukan juga karena mendadak Chandra mampu bertindak sebagai kakak tertua yang baik dengan mengajak ketiganya makan bersama. Melainkan karena Ayah mereka pulang tadi sore. Seperti kebanyakan anak-anak pada umumnya, Suri dan ketiga abangnya langsung kompak melakukan pencitraan begitu Ayah tiba di rumah. Mereka berlagak seperti anak baik yang tidak punya dosa, padahal hobi melakukan tindakan-tindakan bejat tidak terduga. Karenanya, Suri sama sekali tidak siap ketika tiba-tiba Calvin memunculkan isu tentang peristiwa di halaman sekolah tadi di hadapan Ayah.
"Insiden?" Ayah balik bertanya dengan alis terangkat.
"Aku juga baru tahu, tuh. Insiden apa?" Chandra bicara setelah memasukkan sesuap penuh nasi dan kuah sup ke dalam mulut. Tindakannya membuat Cetta yang duduk tepat di sebelahnya bergidik jijik.
"Jorok banget sih lo, Chan! Muncrat ke piring gue, elah."
"Halah, lo aja yang nggak tau kalau pas masih kecil dulu gue sering ngeludahin bubur lo."
"Chandra," Ayah memperingatkan, membuat Chandra langsung meringis. Cetta sendiri mendengus, kelihatan dongkol tapi tak bicara lagi. Matanya justru tertuju pada Suri.
"Insiden apa? Kok kamu nggak cerita ke abang?"
"Lupain aja. Udah lewat." Suri membalas, enggan mengungkit kejadian itu. Setiap kali mengingatnya, bayangan tentang pilar yang retak dan hampir runtuh sepenuhnya membuat bulu kuduk Suri berdiri. Dia hampir mati. Jika saja Khansa tidak menariknya tepat waktu, mungkin besok Suri sudah terbenam enam kaki di bawah tanah. Meski sering berhubungan dengan jiwa-jiwa yang telah mati, Suri tidak pernah membayangkan akan seperti apa dirinya jika waktunya kelak tiba.
"Suri hampir ketabrak mobil."
Dengan kompak, Ayah dan kedua kakak Suri yang lain menghentikan gerakan mereka. Ketiganya tampak terkejut sekaligus khawatir. Cetta bahkan mungkin sudah akan bangkit dari kursinya untuk memeriksa keadaan Suri.
"What the hell?! Suri, kamu luka?"
"Aku baik-baik aja, abang."
"Serius?"
Suri menghela napas, menyipitkan mata pada Calvin. "Abang ngapain pakai cerita-cerita segala sih?! Aku kan udah nggak apa-apa!"
"Kamu emang nggak kenapa-napa, thanks to Khansa yang sudah menarik kamu dari sana tepat waktu. Coba kalau nggak?" Calvin menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali. "Abang nggak bisa bayangin kalau adik kesayangan abang kenapa-napa."
"Khansa siapa?"
"Pacarnya Abang Calvin." Suri menyela iseng, berharap celetukan tak bertanggung jawabnya mampu mengalihkan perhatian.
"Bukan pacar." Calvin menyela cepat, tapi lantas dia menyambung. "Hehe, calon maksudnya. Doain aja."
"Hah?! Jadi waktu lo bilang jatuh cinta, lo serius?!" Chandra melotot. "Khansa. Namanya boleh juga. Cakep nggak tuh?"
"Abang, inget udah ada Siena!" Suri langsung menyambar.
Chandra nyengir. "Jadi kamu udah merestui abang sama Siena? Siena seumuran kamu kan ya? Hm, gampanglah. Nanti tunggu dia lulus kuliah dulu. Eh, apa abis lulus SMA aja langsung abang lamar?"
Suri menghantamkan pantat gelas minumnya ke meja makan. "Abang, aku tahu abang gila, tapi jangan bikin Siena ikutan gila."
"Kamu sendiri tadi yang ngingetin abang sama Siena."
"Nggak. Pokoknya Siena nggak boleh nikah muda. Apalagi sampai nikah sama abang. Bisa-bisa nanti tuanya dia dipoligami!"
"Suri, abang bukan Chandra Gymnastiar."
"Kamu betulan nggak apa-apa?" Perdebatan antar saudara itu langsung terpotong sepenuhnya saat Ayah angkat bicara. Beliau kembali kepada topik tentang peristiwa yang terjadi di sekolah tadi. Suri menghela napas. Dia menarik ujung-ujung bibirnya, memaksakan senyum meski dia tidak sedang ingin tersenyum. Suri tahu mereka pasti khawatir, apalagi setelah mendengar Calvin menerangkan sedikit tentang apa yang terjadi. Tapi tidakkah mereka juga bisa mengerti jika Suri tidak ingin membicarakan peristiwa buruk itu terus-menerus?
"Aku nggak apa-apa, Ayah. Cuma, aku nggak mau ngomongin itu." Suri menusuk makanan di piringnya dengan garpu, lalu menggigit sepotong besar. Dia sengaja mengunyah dan membiarkan makanan turun lebih dulu ke perutnya sebelum menjawab. "Soalnya seram banget. Kalau Ayah lihat gimana rusaknya pagar yang ketabrak, Ayah pasti ngerti. Aku udah nggak apa-apa sekarang, jadi nggak usah diomongin lagi, ya?"
Ayah langsung mengangguk paham. "Buat Ayah, yang penting kamu nggak apa-apa." katanya meneruskan, dilengkapi dengan senyum tipis. Ah, senyum itu. Senyum Ayah adalah senyum pertama yang jadi favorit Suri—favorit kedua adalah senyum Cetta dan ketiga tentu saja, senyum Sebastian-nya tersayang.
Buat Suri, Ayah adalah salah satu sosok laki-laki paling sempurna yang pernah ada. Lelaki itu sepintar Calvin, seramah Chandra dan setampan Cetta. Ayah juga hobi bercanda. Beliau selalu bilang kalau Suri mewarisi matanya, tapi mendapatkan gen keras kepala dan cerewet dari Bunda. Saking mengidolakan Ayah, dulu Suri ingin punya pasangan seperti Ayah.
"Begitupun juga buat abang." Cetta menimpali.
"Abang juga." Chandra ikut bicara, yang langsung direspon Cetta dengan delikan mata.
"Ikut-ikutan aja lo, ler."
"Dimitrio, language."
Cetta meringis, lalu katanya. "Maaf, Yah."
"Aku udah selesai makan." Suri berkata setelah dia menelan suapan terakhir nasi di piringnya. "Aku ke atas duluan, ya?"
"Iya. Oh ya, Ayah juga mau ngasih tau, selama satu minggu ke depan, Ayah akan ada di rumah."
"Hah?!" Kompak, Suri dan ketiga abangnya terngaga. Mata mereka terbeliak dan dipenuhi oleh sorot terkejut yang kentara.
Ayah mengerutkan dahi. "Kok kalian kayaknya nggak senang, sih?"
"Senang kok!" Suri buru-buru menyambar. "Tapi tumben aja. Biasanya Ayah kan sibuk."
"Ayah kangen anak-anak Ayah."
Oh, how sweet, pikir Suri.
"Ayah berasa ketinggalan banyak berita. Calvin katanya udah mau punya pacar. Siapa namanya itu? Khansa? Sama ceweknya Chandra juga tuh, namanya... hm... Siena ya?" Ayah seperti mengingat-ingat. "Ayah juga udah lama nggak ketemu Rana. Dimitrio, ajaklah dia main-main kesini. Bilang, Ayah kangen teh buatannya."
Cetta menekan bibirnya ke dalam satu garis lurus. "Ayah bilang kangen Rana. Rana juga bilang kangen Ayah. Kadang aku nggak ngerti, Rana tuh pacar aku apa pacar Ayah."
Ayah tertawa renyah. "Jangan cemburuan gitu, dong. Yah, meskipun Ayah masih seganteng kamu, tapi hatinya Rana cuma buat kamu, kok. Oh ya, gimana dengan princess Ayah yang satu ini? Udah punya pacar?"
"BELUM!!" Bukan Suri yang menjawab, melainkan ketiga abang yang berseru spontan pada waktu yang bersamaan.
"Oh. Kalau gitu, cari dong."
"AYAH!!!"
"Apa?" Ayah merasa heran karena ketiga anak laki-lakinya kini memandangnya dengan tatapan seperti baru saja dikhianati.
"Suri masih kecil." Cetta yang bicara.
"Aku udah gede!" Suri berseru. "Dan aku udah punya calon. Tenang aja, nanti aku kenalin ke Ayah. Oke, kalau gitu aku ke atas duluan, ya!" Suri sengaja buru-buru pergi dari ruang makan menuju lantai atas karena sudah mencium gelagat ketiga abangnya yang kelihatan dongkol. Ini berita bagus. Sudah ada lampu hijau dari Ayah. Dia tidak bisa memberi kesempatan pada ketiga kakaknya untuk menghakiminya, kemudian menggiring Ayah pada opini mereka tentang Suri yang katanya belum cukup umur buat pacaran.
Padahal, itu semua dusta. Belum cukup umur dari mananya? Jangankan untuk pacaran, untuk nonton film di bioskop saja Suri sudah tidak perlu mengkhawatirkan batas umur.
Wati dan Mpok Jessica sedang duduk di tepi ranjang saat Suri masuk ke kamar. Entah kenapa, akhir-akhir ini Wati lebih sering nongkrong di kamar Suri daripada di markas besarnya, alias kamar Cetta. Katanya sih, Wati ingin menemani Mpok Jessica, sedangkan Mpok Jessica tidak mau berlama-lama di kamar Cetta. Bukan karena Mpok Jessica tidak menyukai Cetta. Kalau ditanya suka atau tidak, Mpok Jessica pasti akan langsung berikrar agar seisi dunia tahu bagaimana dia memuja Cetta. Tetapi, kondisi mental Mpok Jessica tidak cukup kuat untuk terus-menerus melihat Cetta. Bagaimana tidak? Setiap kali Cetta bergerak, Mpok Jessica selalu dibuat terkejut. Soalnya menurut Mpok Jessica, Cetta itu seperti patung hasil karya seniman yang tidak hidup. Berada di dekat Cetta membuat Mpok Jessica lelah karena kebiasaan latahnya.
"Kata Mpok Jessica, Ayah kamu ganteng."
Suri melotot. "Jangan berani-beraninya ganggu Ayah!"
Mpok Jessica cemberut. "Ayah kamu benar-benar semerbak ulala. Kayaknya dia seumuran sama Enjes deh."
"Nggak. Awas aja Mpok Jessica berani ngegangguin Ayah atau tinggal di kamarnya. Satu-satunya perempuan yang boleh ke kamar Ayah selain aku cuma Bunda. Ngerti?"
Mpok Jessica cemberut.
"Saya dengar katanya kamu hampir mati tadi sore."
"Duh. Jangan ingetin gue lagi soal itu."
"Kenapa?"
"Karena ngeri. Gila aja. Gue nggak kebayang kalau gue mati. Gimana kalau gue nggak dijemput? Oke, gue bukan orang jahat. Tapi gue juga bukan orang baik. Lo lihat aja deretan kejahilan gue sama abang-abang. Belum lagi kebiasaan nyontek PR-nya Siena saban pagi. Gue nggak mau jadi hantu kayak lo berdua."
"Betul juga."
"Nggak usah dibahas."
"Tapi rasanya ganjil banget." Wati berkata polos. "Sejak dulu, kamu nggak pernah terlibat sama sesuatu yang berbahaya. Meski kamu pernah ketemu iblis. Atau pernah ketemu roh jahat waktu balita."
"Kok lo tau?"
"Kan saya udah lama tinggal disini," Wati menjawab. "Aneh aja. Kenapa sekarang tiba-tiba ada mobil kayak gitu yang narget kamu. Kamu kan bukan Bella Swan, dan cowok yang kamu taksir juga bukan Edward Cullen."
"Bodo, ah." Suri enggan membahas lebih lanjut, memilih meraih ponsel. Dia langsung berseru girang sesaat setelahnya. "Oh my God! Tian nelepon gue!"
"Jangan diangkat."
"Kenapa?"
"Sebagai perempuan cethar membahana, gadis manjah harus jual mahal dongggg." Mpok Jessica menjelaskan.
"Ogah. Kalau gue jual mahal, gue kagak bakal ada progress ama makhluk ganteng ini." Suri berkilah, lantas menjawab panggilan masuk tersebut dengan satu kali swipe pada layar.
n o i r
Biasanya, setiap kali selesai mandi sepulang dari kantor, Sebastian tidak pernah langsung meraih ponsel. Dia akan sibuk berjalan ke dapur, membuka kulkas kemudian kembali ke kamarnya sambil memeluk dua kaleng Pringles. Atau bermain playstation dengan Sergio. Tapi hari ini, dia ingat betul Suri belum membalas pesannya sama sekali.
Dengan rambut yang masih basah dan handuk tersampir di pundak, Sebastian membuka ponselnya seraya duduk di tepi kasur. Pesannya sudah dibaca. Tapi tak kunjung berbalas. Jengah, cowok itu mendengus kesal. Dia sibuk menimbang-nimbang. Apakah dia harus menelepon Suri? Namun kenapa juga Suri tidak membalas pesannya? Duh, bukannya Sebastian benar-benar seingin itu membawa Suri ke acara Kat. Tetapi, jika diberi pilihan mengajak Suri atau Sasha, Sebastian jelas akan lebih memilih Suri.
Sasha akan langsung mengundang tawa meremehkan dari Kat. Bukan hanya dari bagaimana caranya berpenampilan yang sepi dari barang bermerek, melainkan juga karena ucapan Sasha yang terlalu blak-blakan. Well, Suri juga bukan tipe orang yang bisa menjaga ucapannya, sih. Tapi dia masih kecil. Baru delapan belas tahun dan masih SMA. Siapapun akan memaklumi tingkah konyolnya.
Lagipula, Suri itu lebih manis dari Sasha.
Ya ampun, Sebastian berusaha menahan dorongan untuk menjitak diri sendiri. Sebetulnya, apa yang tengah otaknya lakukan? Dia sendiri sudah pernah menegaskan pada bocah itu jika sampai kapanpun, seorang Oriana Suri Laksita tidak akan menjadi tipe perempuan ideal Sebastian.
Perhatikan harga diri. Jangan telepon. Abaikan.
Itu suara hati Sebastian. Terdengar amat yakin. Sebastian menuruti suara hatinya. Dia melempar ponsel ke tengah ranjang. Lalu beberapa detik dia habiskan untuk diam. Tidak lama, kurang dari setengah menit, Sebastian sudah kembali meraih ponselnya. Cowok itu tidak berpikir dua kali ketika dia menekan tombol 'call' di profil Suri. Ponsel melakukan pemrosesan, disusul nada dering yang terdengar.
"Gila." Sebaatian mendengus pelan. Jarinya bergerak ragu-ragu ke opsi 'end call'. Dia mencoba mengumpulkan keyakinan, namun sebelum jarinya sempat benar-benar memilih opsi untuk memutus hubungan telepon tersebut, telepon sudah lebih dulu dijawab.
"Halo, Tian." Suara renyah Suri menyambut di ujung sana.
Nggak. Gue nggak senang mendengar suaranya. Apa banget, gila. "Kenapa LINE gue tempo hari nggak dijawab?"
"LINE yang man—oh, yang itu?"
"Iya."
"Harus banget aku jawab?"
"Jangan bercanda sama gue." Sebastian menyentakkan kepala. "Gue serius."
"Emang mau ada acara apa, sih?"
"Rahasia."
"Firasat aku udah nggak enak kalau kamu main rahasia-rahasiaan gini." Suri memberi jeda, membuat Sebastian sibuk menerka apa yang sedang gadis itu pikirkan. "Tian, aku masih SMA."
"Gue juga tau kalau lo masih SMA."
"Karena itu, aku belum siap kalau harus dilamar minggu depan."
Sebastian hampir melempar ponselnya ke lantai. "Emangnya siapa yang bilang mau ngelamar lo minggu depan?! Lo gila, ya?!"
"Kalau bukan lamaran, terus apa dong? Habis kamu kayaknya serius banget. Apa jangan-jangan sebenarnya kamu itu Panji temannya Saras dan kamu mau ngajak aku menyelamatkan Nusantara dari kepungan alien?"
"Gue nggak ngerti kenapa gue bisa nelepon lo."
"Muehehe, jangan diputus dulu, dong. Iya, iya, sekarang aku serius. Emangnya kita mau kemana? Dufan lagi?"
"Nggak."
"Terus?"
"Lo harus jawab dulu, jadwal lo kosong apa nggak?"
"Masih harus ditanya?"
"Oriana Suri Laksita,"
"Iya, Sebastian Dawala-ku sayang." Suri terkikik, seperti puas karena telah berhasil menjahili Sebastian. Suaranya manis. Ah, lupakan itu. "Kamu nggak usah nanya. Kamu nyuruh aku berlayar sampai Timbuktu pun aku terima."
"Timbuktu?"
"Kata Donald Bebek, Timbuktu itu ujungnya dunia."
Sebastian hampir frustrasi. "Terserah. Intinya jadwal lo kosong minggu depan. Kita bakal pergi ke acara nikahannya mantan gue."
"O—ow, yang cantik kemarin itu?"
"Kenapa? Lo minder?"
"Iya, sih. Dia lebih cantik dari aku. Tapi tenang aja. Kalau aku didandanin, aku juga pasti bakal secantik dia, kok. Apalagi kalau nanti aku udah dewasa, kayaknya dia bakal kesaing."
Sebastian ingin tertawa—oh ralat, bukan ingin lagi. Dia malah harus menahan diri mati-matian agar tidak tertawa. "Terserah. Yaudah. Gue sibuk."
"Telepon lagi nanti ya."
"Ogah. Kayak kurang kerjaan aja."
"Yaudah. Kalau kamu ogah, nanti biar aku yang telepon balik."
"Telepon ini mau gue tutup."
"Tian, tunggu!"
"Apalagi?" Sebastian membalas jengah, meski sebetulnya dia senang Suri menahannya. Tidak tahu kenapa, Sebastian ingin mendengar suara Suri sedikit lebih lama lagi.
"Jangan begadang. Jangan kebanyakan minum kopi. Banyak minum air putih. Jangan terlalu capek kerjanya." Suri diam sejenak. "Terus... jangan lupa juga mimpiin aku."
"Bodo."
Hanya dengan begitu saja, Sebastian menyudahi percakapan telepon mereka. Dari suaranya, siapapun akan menyimpulkan dia sungguh-sungguh tidak peduli pada semua yang Suri katakan. Sebastian jelas seorang pelakon yang baik. Di balik nada dinginnya, ucapan Suri berhasil membuat cowok itu tetap menatap ponsel dalam diam selama beberapa menit.
Jangan begadang. Jangan kebanyakan minum kopi. Banyak minum air putih. Jangan terlalu capek kerjanya. Minus kalimat terakhir, rentetan ucapan Suri itu membuat Sebastian berpikir. Di balik tingkah konyolnya, Suri jelas punya rasa peduli yang sangat besar pada Sebastian. Sesuatu yang sering Sebastian tunjukkan pada Kat, tapi tak sekalipun pernah Kat berikan padanya.
Sebastian menghela napas, teringat pada sebuah kutipan yang pernah dia baca.
Aku jatuh untukmu. Kamu jatuh untuknya. Terus berputar dalam siklus penuh nelangsa, ketika sebenarnya ada celah untuk bahagia.
Adakah yang lebih bodoh daripada manusia yang tengah jatuh cinta?
n o i r
Suri masih sibuk senyam-senyum sendiri pasca obrolan malam bersama Sebastian via telepon ketika suara ketukan di jendela mendadak mengejutkannya. Wati dan Mpok Jessica tidak lagi ada di kamarnya. Mereka pergi entah kemana saat Suri sedang sibuk bicara di telepon. Tapi jelas, siapapun yang mengetuk jendela itu bukan Wati atau Mpok Jessica. Dua hantu itu tidak begitu beradab, walau konon Mpok Jessica adalah sosialita kelas kakap di kalangan para hantu. Terdorong oleh rasa penasaran, Suri beranjak dari tepi jendela. Dia mengernyit kala mendapati sesosok bocah kecil yang paling banter baru duduk di bangku SMP tengah berada di balkon.
Bocah itu luar biasa pucat. Dia bukan orang Indonesia. Rambutnya pirang. Kulitnya kemerah-merahan. Dari pakaiannya, dia terlihat seperti bangsawan yang kerap Suri lihat dalam film Anna Karenina atau Pride and Prejudice.
"Hello, Mister?" Suri menyapa setelah membuka jendela, sementara sosok itu balik menatap dengan matanya yang sebiru lautan.
"Pakai bahasa Indonesia aja. Saya bisa bahasa Indonesia."
"Oh. Udah belajar, toh. Sori, soalnya muka kamu bule banget, sih. Kamu turunan meneer Belanda apa gimana?"
"Asal-usul saya udah nggak penting. Saya juga udah nggak ingat." Bocah itu menjawab. "Tapi saya disini mau ngasih tau kamu."
"Duh. Jangan bilang kamu utusannya Nael."
"Saya nggak kenal Nael."
"Loh, kenapa? Kan kalian sama-sama di dunia makhluk ghaib. Masa nggak kenal, sih?"
"Kamu kenal Ongky Alexander?"
"Nggak. Sapa tuh? Aku tahunya Pongky Barata."
"Loh, kenapa? Kan kalian sama-sama di dunia manusia. Masa nggak kenal, sih?" Hantu itu membalikkan ucapan Suri.
"Huf. Males debat, ah. Pusing. Kamu kesini mau ngapain?"
"Kecelakaan kamu yang tadi sore itu," ucapan bocah bule tersebut membuat wajah Suri langsung mendingin. "Itu nggak alami. Ini semua ada hubungannya dengan dunia makhluk ghaib. Sang Pencipta katanya sudah mengeluarkan keputusan. Kamu diperintahkan dibawa ke Sidang Tertinggi, dimana para malaikat dan iblis akan hadir disana. Sayangnya, badan mortal kamu nggak bisa menembus dimensi itu. Jangankan kamu, para hantu saja nggak bisa menuju kesana kecuali diundang. Kamu harus hati-hati. Mereka cuma punya satu cara membawa kamu kesana."
Suri tidak terlalu mengerti, tapi Si Bule kedengaran serius. "Cara? Cara apa?"
"Jiwa kamu harus terpisah dari tubuh mortal kamu."
Mata Suri langsung terbeliak. "Maksud kamu... ma—mati?"
"Mungkin saja."
"Aku belum mau mati! Tian udah mulai suka sama aku!"
"Semua orang yang dijemput oleh para malaikat pada waktu kematian mereka selalu bilang begitu."
"Ini gila."
"Kamu yang gila." Si Bule berujar lagi. "Dua iblis sudah memperingatkan kamu. Anak Belphegor dan Anak Mammon. Kamu mengabaikannya begitu saja."
"Soalnya—soalnya—"
"Saya tahu. Kamu punya kepedulian pada kami, jiwa-jiwa yang tersesat." Untuk pertama kalinya, ekspresi wajah Si Bule melunak. "Karena itu, saya merasa kamu harus diberitahu. Hantu-hantu di perumahan ini tidak ada yang berani memberitahu kamu. Tapi saya tahu, saya tidak seharusnya diam melihat kamu menghadapi sesuatu yang tidak kamu ketahui. Kamu sudah berbuat baik pada jiwa-jiwa yang tersesat. Beberapa bisa pulang. Saya senang karenanya."
"Bule—eh, maksudku, Mister, aku harus ngapain dong kalau udah begini?"
"Hindari bahaya. Tetap bertahan hidup. Dan jika bisa, tinggal dalam lingkaran garam yang tak terputus saat langit mati di suatu malam. Saat itu, para iblis dan malaikat sedang turun untuk memburumu. Bertahanlah sampai akhir. Setelah itu, mereka akan dianggap gagal dan tidak berhak memaksamu datang ke Sidang Tertinggi."
"Ini gila."
"Saya tahu. Kamu udah bilang itu tadi."
"Bukan gitu." Suri menyahut dengan memelas. "Aku—aku—nggak tahu harus bereaksi apa."
"Langit mati dan lingkaran garam. Ingat itu baik-baik."
"Mister,"
"Saya hanya bisa memberitahu sebatas itu." Si Bule memotong. "Semoga beruntung, Oriana Suri Laksita." Lalu tanpa memberi kesempatan bagi Suri untuk menjawab, dia telah lebih dulu melayang melewati balkon. Sosoknya perlahan kian mengecil, lalu lenyap ditelan jarak.
Suri ditinggal sendirian, berdiri kaku di tepi jendela balkon kamarnya. Gadis itu menatap pada langit yang gelap dengan gentar. Pada bulan yang purnama di atas sana. Langit mati. Lingkaran garam. Ini gila. Suri tidak ingin percaya, tapi dia tahu dia telah melakukan kesalahan luar biasa fatal.
Dan dia tidak punya kuasa untuk memperbaikinya.
bersambung.
Heuheuheuheu.
Btw kayaknya hari Rabu gue ke Jakarta.
Daerah Kuningan sih.
Melarikan diri dari Semarang.
Kagak.
Wkwkwk. Tapi ya gitu deh.
I guess I need a break for a while.
(terus bolos kuliah lagi) (gapapalah kan ada jatah tiga kali bolos heuheuheu)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro