Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

dua puluh tiga

Sebastian tidak pernah mengurusi orang sakit. Oke, ralat. Mungkin dia pernah mengurusi orang sakit, tetapi tidak pernah yang semerepotkan Suri. Mami tidak banyak berkata saat dia sakit. Perempuan itu hanya akan menghabiskan seharian bergelung di tempat tidur, dan bangun keesokan harinya dengan pipi yang telah lebih berseri. Sergio apalagi. Cowok itu paling anti membuat orang serumah khawatir, di luar dirinya yang termasuk tipe orang yang jarang sakit. Tidak jauh berbeda dengan Kat. Saat tidak enak badan, Kat akan mengunci diri di dalam kamarnya, dimana dia menghabiskan sehari penuh menyesal secangkir teh herbal sambil mendengarkan musik klasik tahun 1920-an.

Suri sangat rewel, mengingatkan Sebastian pada bayi yang kerap terkena demam setelah menerima suntikan imunisasi. Gadis itu menolak makan, juga menolak dipindahkan ke kamar tamu. Hampir sepagian, Suri berbaring pasrah di atas sofa dengan mata menatap langit-langit. Situasi diperparah dengan tidak adanya siapapun di rumah selain Sebastian.

Mami pergi menjemput Tante Aya, adik perempuan Papi yang sempat praktek sebagai dokter sebelum memilih fokus menjadi ibu rumah tangga. Suami Tante Aya tengah berada di luar kota. Mami tidak enak menyuruh Tante Aya datang ke rumah dengan taksi, jadi perempuan itu memutuskan menjemput adik iparnya. Sergio baru saja pergi ke luar rumah kurang dari sepuluh menit yang lalu. Katanya, dia mau membeli susu bubuk cokelat di minimarket karena persediaan susu bubuk mereka sudah habis.

Kalau boleh jujur, Suri tidak melakukan apapun selain berbaring dan menonton televisi dengan selimut terhampar di sekujur tubuhnya. Gadis itu juga tak bersuara, selain mengeluarkan hela napas yang teratur. Tetapi wajahnya begitu pucat. Lebih pucat dari kemarin, saat mereka baru turun dari roller coaster. Sebastian benci mengatakan ini, tapi dia merasa khawatir.

Itu wajar, kan? Bagaimanapun juga, Suri sudah membantu keluarganya. Dan Suri punya hubungan yang cukup akrab, baik dengan Mami maupun dengan Sergio.

"Suri,"

Mendengar namanya dipanggil Sebastian, Suri mengernyit, mendongak sedikit. "Kenapa? Kamu nggak suka nonton Boboi Boy? Mau diganti?"

Sebastian mendengus. Dia tidak peduli soal siaran apa yang mereka tonton. Kartun apapun itu, entah Boboi Boy, Upin-Ipin atau bahkan Power Rangers, Sebastian tidak peduli. Dia sudah terlalu dewasa untuk merasa jengah hanya karena film kartun konyol yang disetel berulang-ulang.

"Bukan."

"Terus kenapa? Tenang aja, rumah kamu udah nggak ada hantunya, kok. Yah, di pohon mangga ujung jalan sih masih banyak yang bersarang. Tapi mereka nggak akan berani sampai ke rumah kamu."

"Jangan ngomongin hantu!" Sebastian mendelik tegas, membuat Suri langsung nyengir.

"Sori-sori. Kelepasan. Aku lupa kalau kamu masih takut hantu."

Sebastian hampir membenturkan kepalanya ke tepi meja. "Gue nggak takut hantu. Tapi terserah lo mau ngomong apa."

"Bukannya tadi kamu yang mau ngomong?"

Oh iya. Ini anak benar juga.

"Kamu kurang fokus. Butuh akua, ya?"

"Bukan gitu." Sebastian berdecak. "Gue cuma mau nanya, kenapa lo nggak makan apa yang udah nyokap gue siapin dari tadi." Pada detik berikutnya, mata Sebastian jatuh ke sejumlah hidangan yang telah Maminya siapkan di atas meja berkaki rendah ruang keluarga. Ada nasi tim yang dicampur jagung manis dan suwiran ayam disana. Tidak lagi berasap. Sudah dingin karena dibiarkan begitu saja. Di sisi mangkuk nasi tim, ada segelas susu vanilla tanpa rasa, beberapa iris buah dan sebuah kantung plastik hitam berisi sejumlah obat-obatan yang dibawa ketiga kakak Suri dari rumah mereka.

Suri meringis. "Pengen sih."

"Terus kenapa nggak dimakan?"

"Karena lagi nggak benar-benar kepingin makan. Pusing. Aku takut muntah."

"Mana ada orang pusing yang masih bisa cengengesan kayak gitu?"

"Ada. Aku."

Sebastian menghela napas, membuat Suri terkekeh.

"Jangan kesal gitu,Tian. Makin ganteng, tau. Nanti aku jadi makin suka loh sama kamu."

"Tapi gue nggak suka sama lo."

"Bukan 'nggak'. Lebih tepatnya tuh 'belum'."

"Nggak akan." Namun entah kenapa, Sebastian tidak yakin dengan ucapannya sendiri.

"Aku nggak peduli, tapi aku kasih tau ya, aku nggak pernah terima ucapan 'nggak'."

Sebastian diam. Dan Suri pun tidak bicara lagi. Juga tidak menunjukkan tanda-tanda punya niat menyentuh makanan di atas meja. Ini tidak benar. Dari cerita ketiga kakaknya yang super dramatis tentang bagaimana rumah mereka dibuat heboh pagi-pagi buta karena suhu tubuh Suri yang di atas suhu normal, Sebastian tahu gadis itu belum sempat makan apapun dari pagi. Kini, jarum jam telah merambat perlahan menuju angka satu. Gadis itu harus makan.

"Suri, makan."

Suri menggeleng. "Nggak mau."

"Oriana Suri Laksita,"

"Tian, aku memang suka kamu. Tapi aku nggak suka dipaksa. Sama siapapun, termasuk kamu."

"Kalau gue suapin gimana?"

Suri melotot tidak percaya. Kalau saja tubuhnya tidak terasa selemas sekarang, mungkin dia sudah terlonjak dari sofa saking kagetnya. Melihat reaksi Suri, Sebastian berdecak pelan. Satu tangannya terulur, membetulkan ujung selimut Suri yang tersingkap karena gerakan mendadak gadis itu.

"Lo harus makan. Gue suapin. Gimana?"

"Cie, perhatian banget sih, Tian."

"Jangan kege-eran." Sebastian langsung menukas. "Gue ngelakuin ini biar sakit lo nggak makin parah. Kalau sakit lo makin parah, bisa-bisa sampai besok-besok abang-abang lo tetap menitipkan lo di rumah gue. Rumah gue bukan tempat penitipan bocah."

Suri mengangguk-anggukkan kepalanya. "Asal disuapin sama kamu. Baru aku mau makan."

"Cih. Dasar bocah."

"Bocah-bocah begini juga bakal jadi kesayangan kamu nantinya."

"Ngimpi aja terus." Sebastian mencerca sambil meraih mangkuk nasi tim dan sedok dari atas meja. Cowok itu menatap sejenak pada kombinasi warna cokelat, putih, dan kuning dari jagung yang menyesaki satu sisi mangkuk. Bersama Kat, dia tidak pernah punya kesempatan melakukan sesuatu semacam ini. Kat terlalu mandiri. Dia adalah wujud perempuan modern ibukota masa kini. Dia tidak pernah mengizinkan Sebastian direpotkan olehnya, walau hanya sesaat.

Atau mungkin tidak. Sebastian tidak pernah merasa direpotkan, bukan karena Kat bermaksud seperti itu. Melainkan karena sejak awal, Sebastian tidak berada dalam urutan tertinggi daftar prioritas Kat. Tidak seperti Kat yang selalu menempati urutan teratas dalam daftar prioritas Sebastian.

Ah. Sebastian menelan ludahnya, merasakan ada gumpalan pahit menyumbat tenggorokannya. Cowok itu mengambil sesendok nasi, menyuapkan ke mulut Suri yang langsung menerima suapan itu.

Sambil mengunyah, Suri berujar. "Kata almarhum Bunda aku, mimpi itu nggak apa-apa. Soalnya gratis."

"Mimpi lo ketinggian."

"Nggak apa-apa. Kan katanya nanti jatuhnya tuh diantara bintang-bintang."

"Konyol," Sebastian mendengus, mengambil satu sendok lagi nasi dari dalam mangkuk. Kembali menyuapkannya ke mulut Suri. "dimana-mana, yang namanya jatuh itu sakit."

"Waktu aku jatuh cinta sama kamu, rasanya nggak sakit."

"Lo masih kecil. Lo nggak tau apa-apa soal cinta."

Suri cemberut. "Aku udah gede, tau."

"Terserah." Sebastian menyahut. Satu sendok nasi kembali disodorkannya ke mulut Suri. Dia jadi merasa seperti seorang kakak yang tengah mengurusi adiknya. Em. Adik? Tidak. Tentu saja tidak. Sebastian tidak sudi menganggap Suri sebagai adiknya. Gadis itu terlalu agresif, tidak seperti sosok adik perempuan yang biasanya manis dan menggemaskan.

Catat ini, Suri hanya manis. Maksudnya, siapa yang tidak akan dibuat terpana sejenak saat dia tersenyum lebar hingga matanya melengkung bak bulan sabut? Manis. Tapi tidak menggemaskan.

"Lagian kalau sukanya sama kamu, belum mimpi ketinggian itu namanya." Suri terbatuk sedikit, membuat Sebastian dengan sigap meraih gelas berisi susu. Cowok itu menyodorkan gelas pada Suri yang langsung minum. Entah kenapa, refleks tangannya terulur. Dia menepuk-nepuk punggung Suri pelan, seperti berusaha membantu melegakan pernapasan Suri yang sempat tersumbat.

"Kalau makan tuh makan aja. Nggak usah sambil ngomong." Sebastian menggerutu, yang lagi-lagi masih Suri balas dengan cengiran. Anak ini benar-benar. Dia lebih mirip brand ambassador produk pasta gigi daripada bocah kelas tiga SMA yang terkapar karena kombinasi demam dan flu.

"Sori-sori," Suri terkekeh, meletakkan gelas dengan hati-hati ke atas meja. "Tapi aku serius. Suka sama kamu tuh bukan mimpi ketinggian. Soalnya kamu masih tinggal satu kota sama aku. Terus kita saling kenal juga, kan."

"Gue nggak pernah berniat kenal sama lo."

"Iya, tapi takdir bikin kita jadi saling mengenal." Suri mesem-mesem diselingi kerlingan genit. "Kayak konsep jodoh. Atau pepatah. Tuh katanya asam di gunung, garam di laut, pasti bertemu juga di belanga."

"Nggak usah berlagak jadi penyair."

"Sepanjang bertahun-tahun aku belajar bahasa Indonesia, cuma pepatah itu doang yang nyangkut. Oh ya, sama satu lagi," Suri menjentikkan jari. "Tua-tua keladi. Makin tua makin jadi. Kayak Abang Chandra. Makin tua, kelakuannya makin belangsak."

Sebastian hampir tertawa. "Sekeluarga lo emang nggak beres semua."

"Dari dulu juga Bunda udah sering bilang gitu. Nggak kebayang ya jadi Bunda aku. Pasti capek ngurusin tiga anak laki-lakinya yang kelakuannya aneh-aneh itu."

"Ngurusin lo juga capek kali."

"Nggak, dong. Aku kan anak Bunda paling manis." Suri memuji dirinya sendiri. "Tapi beneran loh. Kamu tau apa yang mimpi ketinggian?"

Sebastian menatap sisa nasi tim di mangkuk. Satu suap lagi kembali masuk ke mulut Suri. "Apa?"

"Suka sama artis Korea."

Kening Sebastian berlipat. "Maksud lo?"

"Suka sama artis Korea tuh kayak nggak bakal ada ujung bahagianya, tau nggak? Udah tanah airnya beda, kewarganegaraannya beda, bahasanya beda. Boro-boro bisa saling kenal, baru ngeliat fotonya via layar HP aja udah jejeritan nggak karuan."

"Kenapa bisa gitu?"

"Karena artis Korea gantengnya nggak kira-kira. Bikin gemes."

Sebastian mendengus.

Di luar dugaan Suri mengulurkan tangannya, menepuk-nepuk bahu Sebastian dengan lembut. Cowok itu membeku, sama sekali tidak menebak tindakan Suri. "Jangan sedih, Tian. Kamu juga ganteng, kok. Lagian kan sekarang aku sukanya sama kamu, bukan sama artis Korea."

"Bodo amat." Sebastian menyahut pendek, kembali menyodorkan sesendok nasi ke mulut Suri. Tetapi gadis itu justru menggelengkan kepalanya.

"Udah kenyang."

"Dikit lagi, elah. Tanggung."

"Nggak mau. Udah kenyang."

Sebastian memilih mengalah. Cowok itu meletakkan mangkuk yang hampir kosong ke atas meja. Lalu meraih gelas susu dan memberikannya pada Suri. Dengan patuh, Suri meraih gelas itu dan meneguk isinya, walau hanya sedikit.

"Nyokap gue belum datang. Mungkin macet, soalnya rumah Tante Aya ada di Sudirman." Sebastian melirik pada jam besar yang berada di pojok ruang keluarga. "Mending lo tidur dulu deh sampai Tante Aya datang. Daripada banyak omong. Nanti suhu badan lo naik lagi. Kalau lo mau tidur di kasur, ada kamar tamu."

"Aku tidur disini aja."

"Yaudah, bagus. Biar gue juga nggak usah repot-repot masangin bedcover di kasur kamar tamu."

"Iya. Kan aku udah ngerepotin kamu hari ini. Ngerepotin laginya nanti aja, pas udah ada Mami kamu."

"Kalau lo bawel gini, kapan tidurnya?"

"Kalau aku tidur, kamu bakal tetap disini, kan?"

"Emang lo kira gue bakal kemana?"

Senyum Suri melebar. "Nggak akan kemana-mana."

"Jangan kege-eran." Sebastian melengos. "Karena Gio belum juga balik dari minimarket, otomatis gue jadi bertanggung jawab. Kalau lo kenapa-napa, ketiga kakak lo bisa melancarkan agresi. Rumah gue bukan zona perang. Tapi lain kali, lo harus tahu diri. Jangan hobi ngerepotin orang mulu. Lo udah kelas tiga SMA. Udah gede."

"Tadi katanya aku anak kecil."

Sebastian berdecak. "Daripada bacot, mending lo tidur."

"Hehehe, jangan ngambek dong, Tian." Suri mengatur tubuh hingga menemukan posisi ternyaman di atas sofa. "Sampai ketemu lagi nanti, Tian."

"Jangan nakutin gue, dong. Lo cuma demam. Jangan berlagak seakan-akan lo mau ke akhirat."

"Kan maksudku tuh sampai ketemu lagi nanti pas aku udah bangun."

Sebastian melotot. "Kalau lo nggak tidur, gue cabut ke kamar gue."

"Iya—iya." Suri buru-buru menyahut, lantas memejamkan mata. Selama lima menit pertama, Sebastian tahu Suri belum tertidur. Gadis itu tampak berusaha keras memaksa dirinya jatuh terlelap. Sulit awalnya, tapi kemudian dia berhasil. Setelah beberapa menit berlalu, dengkur halus terlepas darinya. Sebastian menarik napas, menatap wajah Suri yang tertidur sebelum menekan jarak diantara kedua alisnya dengan jari telunjuk.

"Jangan mimpi buruk." Sebastian berujar pelan, lantas tangannya menarik selimut Suri naik hingga menutupi leher. "Cepat sembuh."

n  o  i  r

Jarum pendek jam di dinding kafe telah menunjuk pada angka satu ketika diskusi Calvin dengan Pak Bambang selesai. Lelaki paruh baya itu tampak sumringah, sempat menawari Calvin untuk memesan segelas green tea latte tambahan sebelum dia berlalu, yang lantas Calvin tolak dengan sopan. Beginilah nasib mahasiswa kesayangan dosen. Waktu bimbingan paling hanya memakan sepuluh menit, sisanya diisi dengan curhatan Pak Bambang, mulai dari istrinya yang sedang ngambek hingga persoalan politik yang memeras otak.

Setelah Pak Bambang berlalu, Calvin bergegas memasukkan draft tugas akhirnya ke dalam tas. Dia mengeluarkan ponsel, berniat mengorder taksi untuk pergi ke rumah keluarga Dawala dan menyambangi Suri tatkala sebuah suara familiar terdengar. Refleks, kepala Calvin terangkat dari layar ponsel. Ada sosok Khansa berdiri di dekat mejanya.

Gadis itu tidak terlihat seperti kemarin-kemarin. Rambutnya tidak lembab dan berbau kaporit. Rambutnya kering, tampak begitu lembut ketika jatuh menyapu punggungnya. Khansa mengenakan celana jeans dan kaus panjang berwarna broken white. Kelihatan segar. Tidak seberantakan yang Calvin ingat. Atau apakah itu karena senyum yang kini menghias wajahnya?

"Calvin?"

"Hng... lo?"

Khansa melipat tangan di dada. "Gue punya nama. Dan nama gue bukan 'Lo'."

"Sori. Maksud gue Khansa."

"Lo punya ingatan yang bagus."

"Gue nggak pernah melupakan orang yang udah nolongin gue." Calvin menyahut. "Makasih untuk kompres dan nasi gorengnya. Bilangin ke asisten rumah tangga lo, masakannya enak."

"Mbak Mul pasti senang kalau tau masakannya dipuji lo."

"Hm." Calvin bergumam.

"Gue kira anak kayak lo nggak hobi nongkrong di kafe."

"Gue kira anak kayak lo nggak hobi nongkrong di kafe." Calvin mengulangi ucapan Khansa, membuat gadis itu tersenyum simpul.

"Hari ini gue free. Ada acara keluarga tadi pagi."

"Gue habis bimbingan tugas akhir sama dosen. Dia suka ngobrol di kafe."

"Ada waktu?" Khansa mendadak bertanya.

Calvin membuka mulut. Mulanya, dia ingin bilang kalau adik perempuannya sedang sakit dan dia sedang terburu-buru. Tapi kata yang keluar justru berbunyi, "Emang kenapa?"

"Gue nggak pernah melupakan orang yang udah nolongin gue." Khansa berujar, memakai kalimat yang tadi sempat Calvin ucapkan padanya. "yang di kolam renang waktu itu, makasih. Meskipun gue harus bilang kalau hampir mati tenggelam adalah sebuah penghinaan buat gue. Makasih, Calvin. Jika bukan karena lo, mungkin gue udah berada enam kaki di bawah tanah sekarang."

"Jangan berlebihan. Kalaupun bukan gue, akan ada orang lain yang menolong lo."

"Yah, dan saat orang lain menemukan gue, mungkin itu sudah terlalu terlambat. Sejujurnya, gue sempat bingung harus marah atau berterimakasih sama lo."

"Marah? Kenapa?"

"You stole my first kiss."

Calvin memutar bola matanya. "Sumpah, gue nggak berpikir kesana ketika gue melakukan itu."

"Chill, dude. Ada waktu untuk ngopi siang ini? Gue yang bayar. Anggap aja ucapan terimakasih."

Detik berikutnya, Calvin tidak tahu kenapa kemudian dia berkata 'ya'.

n  o  i  r

Suri berada di sebuah tempat kosong.

Tempat itu terasa tidak familiar. Sekelilingnya diselimuti oleh warna hitam dan selubung tipis kabut putih. Jarak pandang amat terbatas, tetapi Suri yakin dia tidak sendirian disana. Dan dugaannya memang benar. Beberapa detik kemudian, seseorang melangkah keluar dari bayang-bayang. Tubuh itu tinggi. Rambutnya segelap malam. Pakaiannya sekelam arang. Namun wajahnya dihiasi senyum. Kulitnya pucat seperti rembulan, tampak kontras dengan warna rambut yang jatuh di dahinya.

"Nael?" Suri bergumam saat mengenali seraut wajah yang muncul itu.

"Halo, Suri. Ternyata ingatan kamu sangat baik."

Suri menghela napas, menatap pada sekelilingnya. Lalu matanya menyipit pada Nael. Dia tidak takut. Hanya curiga. "Kita dimana?"

"Menurut kamu, kita ada dimana?"

"Kita nggak lagi ada di akhirat, kan?" Suri balik bertanya, agak terdengar ragu-ragu.

"Kenapa kamu berpikir seperti itu?"

"Karena terakhir yang aku ingat..." Suri diam sejenak. "Tian nyuapin aku makan. Terus aku tidur. Tapi aku cuma flu. Jadi aku nggak mungkin meninggal karena flu, iya kan?"

Nael tertawa. Lantas dia mendekati Suri. Kian dekat. Semakin dekat. Suri tidak merasa takut. Meski Nael memperkenalkan dirinya sebagai iblis. Meski konon dia adalah anak Mammon, sosok yang kata Wati adalah satu dari tujuh iblis utama, Suri tidak gentar. Nael terasa... ramah dan baik.

Meski mungkin iblis dan baik sepertinya tidak serasa berada dalam satu kalimat.

"Sekarang pun, penilaianku masih sama. Kamu jiwa yang baik, Suri." Nael berujar. "apakah ini akhirat atau bukan? Jawabnya adalah bukan. Sederhana, aku bukan malaikat maut. Aku tidak bertugas menjemput jiwa. Anggap saja, kau benar-benar bertemu aku. Tapi hanya di dalam kepalamu."

"Aku nggak ngerti."

"Wajar, karena kamu masih muda." Nael memandang Suri dengan matanya yang sewarna obsidian. "Apa kamu tau tentang tujuh dosa paling mematikan?"

Suri menggeleng. "Tadinya nggak. Tapi terus Wati cerita."

"Ah ya, hantu yang tinggal di rumahmu itu kan?"

"Kok kamu tau?"

Nael tertawa, seperti merasa geli. "Anggaplah tidak ada rahasia di dunia para makhluk immortal. Ada tujuh dosa paling mematikan yang dikenal manusia. Kesombongan, keserakahan, hawa nafsu, iri hati, kerakusan, kemarahan dan kemalasan. Lucifer, Mammon, Asmodeus, Leviathan, Belzeebub, Amon dan Belphegor."

"Iya, itulah. Susah, jadi aku malas ngapal."

Nael terkekeh. "Manusia tahu tujuh. Tanpa paham ada yang kedelapan."

"Kedelapan?"

"Dosa paling mematikan yang kedelapan."

"Itu apa?"

"Sesuatu yang sekarang sedang kamu lakukan."

"Berarti aku pengikut iblis?"

Nael memiringkan wajah. "Pengikut iblis. Pengikut Sang Pencipta. Apakah dunia hanya tahu dua sisi itu? Dunia tidak hitam dan putih. Hanya karena kamu bertindak sedikit melenceng dengan apa yang tertulis di kitab suci, bukan berarti kamu pengikut iblis. Hanya karena kamu taat beribadah, bukan berarti kamu menjadi pengikut Sang Pencipta. Gelap tak akan ada tanpa terang. Terang tidak tercipta tanpa gelap."

"Duh, pusing. Kamu kedengaran kayak Bu Kokom, guru sejarah aku waktu SMP."

Nael tertawa. "Aku ingin sekali memberitahumu. Membuat kamu mengerti. Tapi tidak bisa sekarang."

"Kenapa?"

"Sang Pencipta bilang, belum waktunya."

"Kamu kan iblis. Kamu patuh pada Sang Pencipta?"

"Dunia bukan cerita dongeng dimana ada yang baik dan ada yang jahat. Kita semua berada pada daerah abu-abu." Nael tersenyum. "Ini peringatan keduaku, Suri. Kamu harus hati-hati."

"Hati-hati?"

"Hati-hati pada apa yang bisa kamu lakukan."

"Nael, sumpah deh, dibikin simpel aja nggak bisa, ya?"

Nael tidak sempat menjawab, karena ruangan itu perlahan memudar. Suri meleleh pada kekosongan yang hampa. Gadis itu terkesiap. Napas seperti dipaksa terhempas keluar dari paru-parunya. Detik berikutnya, ketika Suri mengerjapkan dan membuka mata, apa yang dia lihat bukan lagi ruangan hitam penuh kabut. Tetapi langit-langit kamar berwarna kuning gading.

Masih terkejut dan lemas, gadis itu mencoba bangkit. Aneh. Seingatnya, dia jatuh tertidur di sofa. Kenapa kini dia berada di atas ranjang empuk berlapis seprai yang masih beraroma pewangi pakaian? Pandangan mata Suri teredar menyapu seisi ruangan, berhenti pada satu sosok yang tampaknya telah menunggunya bangun untuk waktu yang lama.

Suri tercengang sejenak. "Lo... siapa?"

Sosok itu sempat tegang, tapi lantas dia melayang perlahan ke sisi ranjang. "Halo. Maaf bikin lo terkejut. Nama gue Ezra."

"Baru meninggal?"

Ezra tampak terkejut. "Kok tahu? Lo memang sehebat itu, ya?"

"Sehebat apa? Maksudnya gimana, sih?"

"Lo lagi beken di dunia hantu sekarang. Hantu-hantu yang baru meninggal pada nyariin lo, karena katanya ;p bisa membantu kita ke atas. Kalau hantu yang lama sih pada kesal, soalnya mereka udah terlanjur lupa kehidupan mereka waktu masih manusia."

Suri tidak tahu harus senang atau sedih mendengar dirinya dikenal di dunia para hantu.

"Jelas gue tahu. Kan lo masih ingat nama lo."

"Hehehe." Ezra nyengir. Manis. Kalau dipikir-pikir, Ezra bisa jadi adalah hantu bertampang paling lumayan yang pernah Suri temui. Soalnya Suri jarang ketemu hantu laki-laki.

"Lo mau minta bantuan? Apa? Jangan susah-susah, ya. Kalau bisa, masih area Jakarta. Kalau udah lintas negara, susah deh."

"Gue mau minta tolong ke lo untuk menyampaikan satu pertanyaan ke seseorang. Kakak perempuan gue."

"Dimana? Masih di Jakarta, kan?"

"Nggak, di Bekasi."

"Buset, itu mah bukan lintas negara lagi namanya. Udah masuk lintas galaksi."

"Bercanda." Ezra nyengir. "Di Jakarta, kok. Dan lo nggak perlu ribet nyariin dia."

"Oh ya? Emang dia tinggal dimana?"

"Sebelum gue bilang, lo harus janji lo bakal mau bantuin gue."

Suri mendengus. "Kalian tuh para hantu emang susah percaya, ya? Iya. Gue janji. Sekarang kasih tau gue, dimana kakak perempuan lo tinggal?"

"Di rumah sakit jiwa."

Jawaban Ezra sama sekali tidak Suri sangka-sangka.




bersambung. 

-----------------

-----------------

a.n : gue upload ini sekitar jam setengah tujuh, tapi karena ketika gue upload Claire de Lune sama Stress Reliever tadi sama-sama error (jadi notifnya masuk telat) gue nggak tau apakah notif chapter ini bakal langsung masuk ke lo apa nggak. 

Ini hari sabtu ya? Berarti kayaknya gue upload chapter berikutnya hari Jumat tanggal 3 Maret soalnya biasanya hari kamis dipake buat gue ngerjain tugas studio. 

Honestly, gue pusing banget semester ini lol. It would be good seandainya saja gue direpotin sama revisi dan tetek-bengek penerbitan semester-semester kemarin aja tapi well disyukuri aja kali ya.

My dad said that once I graduated, I'll be free to decide what I want to do (di luar arahan dari keluarga untuk jadi pegawai negeri aja. and somehow I agreed karena kerja di sektor swasta itu lelahnya ampun-ampunan) (oke, hidup memang melelahkan setelah kamu menginjak angka dua puluh tahun ke atas) (buat yang masih sekolah nggak usah pengen cepet-cepet gede deh. kalau bisa milih gue pengen balik aja jadi anak SD kayaknya). 

Sampai ketemu di chapter berikutnya. Te amo mucho. 

Ciao. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro