Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

dua puluh lima

Awalnya, Sebastian menolak membiarkan Suri pergi berdua dengan Zoei menuju salah satu sudut di pelataran depan rumah sakit karena menurutnya Zoei dan Nael adalah orang-orang asing berpakaian aneh. Tetapi setelah Suri meyakinkan jika Zoei tidak berniat buruk, cowok itu pun akhirnya terima-terima saja ditinggal berdua dengan Nael—juga Ezra, meski Suri tidak memberitahunya sebab Sebastian akan langsung kalap jika dia tahu ada hantu yang diam-diam melayang di dekatnya. Suri mencoba bersikap ramah pada Zoei, si anak batagor—eh maksudnya, Belphegor, tapi Zoei terlalu serius untuk diajak bercanda. Berbeda jauh dengan Nael.

"Kamu mau ngomongin apa?" Suri langsung bertanya begitu dirinya dan Zoei telah berada agak jauh dari Sebastian, Nael juga Ezra. "Btw, kok Tian bisa lihat kalian, sih?"

"Biar kamu tidak repot cari alasan. Makhluk mortal itu pasti akan menganggap kamu gila kalau kamu tiba-tiba bercakap-cakap dengan sesuatu yang tidak tampak."

"Duh. Gue berasa kayak masuk ke sinetron." Suri mendengus pelan. "Tapi kalian perhatian banget, sih? Nggak nyangka, deh. Bukannya di film-film, iblis tuh biasanya jahat?"

"Iblis adalah malaikat yang menolak kemunafikan. Kami terhukum karena kami memilih menjadi diri kami yang sebenarnya. Tanpa kepura-puraan hanya untuk menyenangkan Sang Pencipta."

"Pusing banget. Neraka kan nggak enak?"

"Mungkin."

"Terus kenapa mau masuk neraka hanya untuk jadi diri sendiri?"

"Karena kami ada sebagai kami. Jika kami menyalahi jati diri kami, itu membuat kami bukan kami. Dengan kata lain, eksistensi kami jadi tanpa arti. Tidak ada yang lebih sia-sia selain keberadaan tanpa tujuan. Seperti ada, tapi tak punya maksud untuk apa. Kamu tahu, rasanya seperti cangkang kosong tanpa guna."

"Aku nggak ngerti."

Untuk pertama kalinya, satu ulas senyum tipis Zoei tertarik. "Dunia immortal memang bukan sesuatu yang bisa dimengerti makhluk mortal. Kamu adalah salah satunya."

"Iya, sih. Tapi kan nggak enak. Dalam film, pasti iblis selalu disalahkan sebagai penyebab kejahatan. Kalian selalu jadi yang antagonis. Biasanya."

"Menjadi antagonis adalah sebuah kehormatan."

"Hm, gimana bisa?"

"Karena antagonis selalu punya visi. Dia punya pandangan tentang bentuk dunia ideal menurutnya. Sedangkan pahlawan? Mereka tidak punya visi apapun. Tidak punya bayangan ideal tentang bagaimana dunia harus terbentuk. Mereka mengikuti dogma, menganggap melawan arus adalah tindak kriminal. Tugas mereka hanya satu, menghentikan antagonis. Cukup sampai disana."

"Kamu lebih pintar dari guru sejarah aku."

Zoei tertawa. Tidak keras. Tapi membuat Suri tercengang. Begitupun dengan Nael yang memperhatikan di kejauhan. Sebab, Zoei bukan tipikal iblis yang mudah tertawa. Dia memandang segala sesuatu dengan skeptis, tidak jauh beda dengan Belphegor, ayahnya yang lambang dari dosa Kemalasan.

"Kamu adalah makhluk mortal paling menarik yang pernah kutemui." Zoei berkata jujur. "Sayang, kamu meletakkan diri kamu sendiri dalam bahaya karena telah melampaui batas."

"Maksudnya?"

"Nael sudah bicara dua kali dengan kamu. Dalam dunia mortal. Juga dalam dunia mimpi. Kamu masih tidak mengerti?"

Suri menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Kalau kata Abang Calvin, aku emang sedikit lemot. Apalagi kalau penjelasannya ribet. Jangankan omongan Nael, aku aja masih nggak ngerti kenapa Soekarno-Hatta diculik ke Rengasdengklok. Sama bingung, Sukarni itu adiknya Soekarno atau Soeharto."

"Aku tidak akan menjelaskan dengan bahasa penuh kiasan seperti Nael. Meski aku tidak pernah tertarik ikut campur pada masalah antara malaikat, Sang Pencipta dan makhluk mortal. Meski aku juga tidak pernah peduli pada manusia. Tapi kamu adalah jiwa baik yang masih sangat muda. Aku tidak peduli jika kelak aku akan dapat hukuman karena terang-terangan membocorkan masalah dunia immortal dan berbicara pada makhluk mortal seperti sekarang. Kamu berhak tahu."

"Tahu apa?"

"Para malaikat marah karena tindakanmu."

"Emang aku ngapain? Ketemu malaikat aja belum pernah," Suri melotot. "Apa jangan-jangan karena kemarin-kemarin aku nggak sengaja make sikat giginya Abang Cetta buat ngambil koin dari lubang wastafel? Duh, maaf. Aku tahu Abang Cetta mirip malaikat, tapi dia seratus persen manusia, kok. Dan dia sayang sama aku. Pasti dia maafin aku hehe meskipun mungkin berasa agak nggak enak gitu ya pas sikat gigi. Tapi suer, aku nggak berniat buruk."

"Bukan itu."

"Terus apa?"

"Kamu membantu jiwa-jiwa yang tersesat menyelesaikan urusan mereka dan pergi ke atas. Itu menyalahi takdir."

"Hah? Tapi kan... kasian..."

"Dunia ini bukan dunia dongeng. Jika dunia ini menyenangkan, maka manusia tidak akan merasa perlu mencari Tuhan. Maka tidak akan ada keyakinan tentang hidup setelah mati. Jika dunia ini tak penuh dengan darah, air mata dan rasa sakit, manusia tidak akan membutuhkan surga. Justru, mereka ingin jadi immortal, agar bisa tinggal di dunia selamanya."

"Terus maksudnya kamu ngomong gini ke aku sekarang apa?"

"Kamu datang kesini untuk membantu jiwa yang tersesat itu."

"Ezra?"

"Buat kami, dia tidak punya nama."

Suri menghentakkan kakinya. "Dia punya nama. Dia pernah hidup. Namanya Ezra."

"Terserah."

"Kenapa dengan Ezra?"

"Jangan bantu dia. Kamu akan membuat para malaikat lebih marah lagi."

"Terus kalau malaikat marah, mereka akan ngapain?"

"Mereka akan menemui Sang Pencipta. Meminta pada-Nya agar menghukummu."

"Sang Pencipta itu siapa, sih? Tuhan? Dewa?"

"Makhluk mortal memberi banyak julukan pada-Nya. Tuhan. Dewa. Apapun sebutannya, jelas mengarah pada sesuatu yang sama." Zoei berkata. "Kami tidak pernah tahu bagaimana cara Sang Pencipta memutuskan, atau menghakimi. Sebab Dia adalah misteri, serupa dengan semesta yang telah Dia ciptakan."

"Aku mungkin nggak ngerti apa-apa soal dunia kamu. Atau tentang Sang Pencipta. Atau tentang malaikat. Tapi aku tahu, Sang Pencipta nggak akan menghukum seseorang karena berbuat baik."

"Kamu kira kamu berbuat baik?"

"Iya." Suri tersenyum. "Kamu sendiri tadi yang bilang, kan? Kita nggak tahu bagaimana cara Sang Pencipta menghakimi. Karena itu, aku mau ngikutin suara hati aku aja. Hati aku bilang ini benar buat dilakukan. Jadi aku nggak peduli."

"Kamu benar-benar keras kepala."

Suri nyengir. "Bukan cuma kamu yang pernah bilang gitu."

"Jadi kamu akan tetap membantu jiwa yang tersesat itu?"

"Namanya Ezra!"

Zoei menyerah. "Iya. Maksudku, kamu akan tetap membantu Ezra?"

Suri mengangguk. "Aku udah janji. Aku mungkin hobi bohong. Atau diam-diam ngabisin yoghurtnya Abang Calvin. Atau nyoret-nyoret mukanya Abang Chandra waktu lagi tidur pakai liptint. Tapi aku nggak pernah mengingkari janji yang udah aku buat."

"Ah, aku mengerti sekarang."

"Maaf, ya. Maaf juga kalau nanti kamu dihukum."

Zoei menggeleng. "Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk menjelaskan situasinya pada kamu, apapun resikonya. Sama seperti kamu, aku tidak akan mengingkari janjiku. Hanya saja, aku punya satu peringatan terakhir. Suatu malam, kelak jika langit mati, itu artinya para makhluk dunia immortal telah memburumu. Tetaplah ada dalam lingkaran garam. Jangan sampai terputus. Hanya itu yang bisa melindungimu."

Meski tidak mengerti, Suri menganggukkan kepalanya. "O.. ke. Makasih, ya."

Zoei mengangguk.

"Aku boleh nanya, nggak? Nael dan kamu... kenapa kalian mau ngambil resiko dihukum untuk ngasih tau aku?"

"Karena tindakan kamu itu... meski dianggap menyimpang terlalu jauh... tapi juga terlihat seperti salah satu manifestasi kasih tanpa batas. Kamu punya kasih tak terhingga, bahkan pada makhluk berbeda dimensi dengan kamu. Mungkin karena itu, Nael merasa simpati. Begitupun denganku."

"Emangnya itu jelek?"

"Kasih adalah apa yang membuat kehidupan jadi bermakna, Oriana Suri Laksita. Tapi dia seperti api. Jika berlebih, dia akan menghancurkan. Kasih tanpa batas. Itu adalah alasan kenapa Nael ada."

Suri manggut-manggut.

Zoei tersenyum. Lagi. "Terimakasih. Suatu kehormatan sudah bisa bertemu dengan kamu."

"Aku juga."

n  o  i  r

Mereka masuk ke dalam rumah sakit setelah melepas kepergian Nael dan Zoei. Suri cukup terkejut, sebetulnya, karena Nael dan Zoei pergi dengan cara yang wajar. Mereka menyusuri trotoar, dengan kaki menapak tanah. Ini pasti karena Sebastian. Sebastian sendiri tampak baik-baik saja. Jelas dia tidak suka mengobrol dengan Nael, namun itu tidak sampai membuat mood Sebastian memburuk.

Suri belum pernah ke rumah sakit jiwa sebelumnya. Jadi, dia sempat agak kaget ketika baru masuk, satu-dua pasien langsung menghampirinya. Gadis itu menghentikan langkah beberapa detik, mencengkeram lengan Sebastian kuat-kuat seperti tengah berlindung. Selama ini, orang dengan penyakit mental yang pernah Suri lihat adalah orang gila yang kerap berkeliaran di jalan. Mereka kotor dan tampak liar.

Seperti mengerti, Sebastian beringsut agak sedikit ke depan, hingga sosoknya yang tinggi mampu melindungi Suri. Cowok itu mungkin takut hantu, dan paranoid pada segala sesuatu berbau dunia ghaib, tapi untuk urusan semacam ini, dia benar-benar gentleman yang bisa diandalkan. Melihat wajah Sebastian yang tidak ramah, dua pasien langsung mundur beberapa langkah. Mereka menatap Sebastian dengan ragu.

"Kondisi mental mereka mungkin tidak sehat, tapi mereka seratus persen aman." Mendadak sebuah suara terdengar dari seorang perawat yang berjalan mendekati mereka. Perawat itu sempat berbicara sebentar dengan dua pasien yang tadi mendekati Suri sebelum berpaling lagi pada mereka. "Ada yang bisa saya bantu?"

"Hng..." Suri bergeser dari balik punggung Sebastian. "Aku kesini mau ketemu seseorang. Namanya... Zahra."

"Zahra?" Alis perawat itu berkerut, matanya menatap Suri dengan teliti.

"Kami hanya mau berkunjung. Ada hal penting yang harus Suri sampaikan pada pasien yang namanya Zahra itu. Kami kesini atas permintaan salah satu anggota keluarganya."

"Anggota keluarga?" Lipatan di kening perawat itu kian dalam. "Saya tahu Bu Zahra yang kalian maksud, hanya saja, ada prosedur yang perlu di—"

"Ini semua keinginan Ezra. Ezra mau aku ketemu Zahra."

Ucapan Suri langsung membungkam perawat tersebut. Dia menatap Suri dan Sebastian bergantian sekali lagi, kemudian menghembuskan napas sebelum akhirnya mengangguk. "Oke, saya mengerti. Mari, saya antar ke tempat Bu Zahra." Katanya, yang membuat ekspresi penuh harap Suri langsung berganti menjadi air muka penuh kelegaan.

Mereka berjalan menyusuri koridor yang tidak terlalu ramai. Ada satu-dua pasien dengan tingkahnya masing-masing, seperti menatap udara kosong hingga bergerak hiperaktif diselingi racauan aneh. Rumah sakit itu cukup asri. Ada banyak pohon peneduh yang tumbuh, dan sebuah taman beralaskan rumput di bagian tengah. Perawat yang menemani mereka sempat menjelaskan dan memberitahu Suri agar tidak merasa takut, sebab pasien yang dilepas menghabiskan waktu di koridor tanpa penjagaan biasanya terhitung cukup stabil secara emosional. Hanya mereka yang memiliki gangguan mental parah seperti paranoia berlebihan yang diisolir dari keramaian.

Tidak butuh waktu lama hingga langkah mereka berhenti di depan sebuah pintu kamar. Pintu itu tertutup. Ada nomor dan deretan huruf yang membentuk nama Zahra di bawahnya. Zahra bukan tipe pasien yang tidak stabil, tetapi dia sendiri yang memilih menutup diri dari lingkungan. Kamarnya tampak rapi dan bersih, setidaknya itu yang bisa Suri lihat dari bagian depannya.

"Aku masuk dulu, ya. Kamu tunggu disini aja." Suri berkata pada Sebastian sementara tangannya telah terjulur meraih kenop pintu.

"Nggak bisa."

"Kenapa?"

"Gue bukan supir atau pengantar." Sebastian mendengus. "Lagian kalau misalnya pasien ini bertindak esktrem gimana? Bukannya khawatir ya, tapi kalau lo sampai kenapa-napa, nanti gue bisa habis dicabik-cabik tiga abang lo."

"Tenang aja. Zahra nggak akan ngapa-ngapain aku."

"Yakin banget."

"Ezra bilang gitu."

Jawaban Suri membuat kening si perawat yang masih berada di dekat mereka berlipat. Namun Sebastian memilih tidak memperpanjang lebih jauh. Dia membiarkan Suri masuk seorang diri, meski ada sebercak rasa khawatir yang perlahan menyebar. Cowok itu menghela napas, menyandarkan punggung ke tembok seraya melarikan matanya ke langit biru yang bersih dari awan sementara Suri menghilang masuk ke dalam ruangan.

Zahra sedang duduk di sudut sembari memeluk kakinya sendiri ketika Suri masuk. Rambutnya berantakan. Kulitnya pucat, dan ada beberapa memar yang telah menguning di lengannya. Sebuah gelang terpasang di tangan kanan, berisi informasi singkat tentang dirinya dan jenis gangguan mental yang dia miliki. Ketika Zahra mengangkat wajah dari lutut, Suri bisa melihat kalau gadis itu masih muda. Paling hanya satu atau dua tahun lebih tua dari Abang Chandra. Matanya yang hampa memandang penuh tanya saat bertemu pandang dengan mata Suri.

"Halo," Suri menyapa ragu-ragu.

"Kamu salah kamar."

"Enggak, kok." Meski kedengaran sedih, tapi suaranya sangat manis. Keraguan Suri lenyap sedikit demi sedikit. Dia bergerak mendekati Zahra. "Aku benar mau kesini, mau ketemu Kak Zahra."

Zahra mendelik. "Saya nggak kenal kamu."

"Aku juga enggak. Tapi aku tahu tentang kakak dari Ezra."

Mendengar nama itu, Zahra seketika terdiam. Wajahnya kontan digelayuti mendung tebal. Sendu mewarnai matanya yang sewarna obsidian. Dia tampak lara. Seperti terluka. Berlebihan, mengingat Suri hanya menyebut nama Ezra.

"Kak Zahra?"

"Ezra nggak pernah punya teman anak perempuan kayak kamu. Jangan bohong."

"Emang nggak. Aku baru kenal Ezra seminggu yang lalu." Suri diam sejenak, lantas menyambung meski sempat tidak yakin. "Ezra ada disini. Sayangnya, Kak Zahra nggak bisa lihat dia."

Zahra terperangah. Lalu entah dari mana, matanya yang berkabut perlahan terhiasi kilat serupa kaca. Tidak butuh waktu lama hingga kaca-kaca itu retak, luruh dalam bentuk air mata yang mengalir begitu saja di atas pipinya yang kering dan pucat. Suri menghela napas. Setelah bertemu dengan Kesha, Sarah, hingga Nenek, bagian terberat adalah mengabarkan tentang mereka pada sanak saudara yang masih hidup. Suri mungkin tidak benar-benar bertemu Khansa secara langsung. Calvin juga tidak mengatakan apa-apa tentang mendiang Nenek Khansa, tapi Suri yakin, jika Khansa tahu perihal arwah Nenek yang datang menemui Suri, gadis itu pasti juga akan menangis.

"Aku tahu ini gila. Dan mungkin susah dipercaya. Kenalin, nama aku Suri. Aku bisa lihat apa yang nggak bisa dilihat sama kebanyakan orang. Manusia menyebut apa yang nggak bisa dilihat itu sebagai hantu. Tapi ada juga yang bilang kalau mereka adalah jiwa yang tersesat."

Zahra diam. Dia tidak menjawab, tapi perlahan tangannya yang sempat menegang kaku dan sikapnya yang penuh waspada berubah rileks. Suri menganggapnya sebagai tanda jika Zahra bersedia mendengarkannya lebih jauh.

Suri mulai bercerita tentang pertemuannya dengan Ezra yang tiba-tiba. Tentang Ezra yang meminta bantuannya hingga dia berada disini dan tahu nama Zahra. Tak lupa Suri juga sempat bercerita tentang hantu-hantu yang tinggal di rumahnya, tentang Sarah, tentang Kesha, juga tentang Nenek. Dia menerangkan bagaimana arwah-arwah yang telah mati itu tidak bisa menemukan jalan ke atas karena terhambat oleh urusan yang belum selesai di dunia, dan bagaimana buat jiwa-jiwa seperti Ezra, terjebak diantara orang-orang hidup tanpa tujuan pasti adalah sesuatu yang menyiksa.

"Karena itu, aku disini untuk menyampaikan pesan dan pertanyaan dari Ezra. Ezra ada disini. Tapi Kak Zahra nggak bisa lihat dia."

"Dia... ada dimana?"

"Di sini. Di sebelahku." Suri berpaling pada Ezra. "Kamu mau nanyain apa ke kakak kamu?"

Ezra diam sejenak. Dia menatap pada Zahra yang tidak bisa melihatnya, lantas perlahan wajahnya teraliri oleh sendu. "Gue ingin tahu... apakah kalian semua, Papa, Mama, dan lo... pernah menganggap gue anggota keluarga walau hanya sekali?"

Suri terdiam sebentar, tapi lantas dia menyampaikan pertanyaan itu pada Zahra.

"Keluarga?" Zahra bergumam, terasa seperti tengah mengejek entah siapa. "Gue nggak akan ada disini jika itu bukan karena lo. Papa nggak akan segitu downnya sampai-sampai perusahaannya sempat nggak terurus setelah lo pergi. Mama nggak akan seberduka itu jika dia nggak pernah menganggap lo sebagai anaknya. Dan lo masih bertanya apakah kita menganggap lo sebagai keluarga?"

Mata Ezra merah saat dia bicara lagi. "Kalau kalian sayang sama gue, kalian nggak akan mencerca gue setiap hari seperti tanpa lelah. Ezra was such a disgrace to our family. Ezra didn't try hard enough to get into university. Ezra was a plain stupid. Ezra has no future. Kerjaan Ezra cuma main. Ezra hidup di dunia khayal. Ezra nggak seperti Zahra yang pintar. Nggak seperti anaknya Om Iman yang bisa jadi asdos. Even Mama told me once that its better for me to never exist in the first place. It hurts, Zahra. Kalau kalian menganggap gue sebagai anggota keluarga kalian, kalian nggak akan membuat hidup gue terasa di neraka setiap hari."

Suri kembali menyampaikannya. Tentu dengan modifikasi kalimatnya sendiri yang lebih halus. Rasanya dia seperti menjadi perantara dalam pertengkaran kakak-beradik.

"Lo nggak pernah sadar, kan? Kita semua melakukan itu karena kita semua ingin lo menjadi lebih baik. Ezra was such a disgrace our family. Bukan berarti lo nggak bisa apa-apa atau lo membawa citra buruk. Kita hanya pengen lo jadi lebih baik. Lo nggak pernah belajar. Kerjaan lo hanya main. Pulang malam, gaul sama orang nggak benar. Lo nggak belajar giat untuk masuk universitas. Kita semua khawatir sama lo. Papa khawatir sama lo. Mama juga. Kenapa? Mereka takut saat mereka sudah nggak ada, lo nggak cukup kuat buat survive. Dunia itu keras, Ezra. Dunia nyata lebih kejam dari dunia khayal lo."

Ezra terdiam. Begitupun Suri yang bungkam. Zahra kian berurai air mata ketika akhirnya dia memilih meneruskan.

"That night, in your birthday night, that night when you killed yourself, kita semua sudah mempersiapkan kejutan ulang tahun untuk kamu. Kamu ingat kamera yang pernah kamu inginkan setengah mati? Yang pernah membuat kamu dan Papa bertengkar? Papa already bought it as your present. Ketika dia menolak membelikan lo waktu itu, bukan karena Papa benci lo. Dia cuma ingin anaknya belajar gimana caranya bersabar." Zahra menyeka air mata dari pipinya. "But you're a fool. You jumped. You killed yourself. You broke us, and there is no chance for us to become whole again."

Suri menelan ludah, menoleh terpatah pada Ezra yang kini tampak terperangah. "You... committed suicide? Lo bunuh diri?!"

Bahu Ezra perlahan turun. Ada penyesalan yang perlahan menggurati wajahnya. Dia tidak mengatakan apa-apa lagi.

"You're a fool. Dumbest fool ever."

"Sori." Ezra berbisik pelan dengan kepala tertunduk. "I'm so sorry."

"Ezra bilang dia minta maaf." Suri memberitahu, yang hanya dibalas Zahra dengan isak.

"I was a fool, indeed. So sorry. Tapi semuanya udah terjadi. Gue nggak mungkin balik lagi. Maaf. Tell Papa and Mama that I'm very sorry. Forgive me. Forget me. Then lead a happy life."

Suri menghela napas. "Ezra kepingin kalian bahagia."

"Happiness is no longer in our dictionary. Dari awal, lo lupa satu hal. Hidup lo bukan milik lo sendiri. I can't sleep at night. I can't do anything because the memories of you are haunting me! You broke me. You broke Papa. You broke Mama. You ended yourlife out of your sadness, and you passed that sadness to us!"

Ezra membisu.

Suri menghela napas. "Kak Zahra—"

"I had enough. Suri, maaf, tapi saya mau sendiri. Kamu bisa keluar sekarang."

Zahra terlihat sangat sedih. Dia kembali memeluk lututnya. Semula, Suri berniat menghiburnya, tapi kemudian dia sadar jika Zahra butuh waktu sendirian. Gadis itu pun memutuskan berpamitan. Dia beringsut menuju pintu tanpa suara, dan setelah berada di luar, wajah khawatir dari Sebastian langsung menyambutnya. Perawat yang tadi mengantar mereka masih berada disana, memandang Suri dengan tatap penasaran.

"Ada apa?"

"Kak Zahra butuh ditenangkan. Tapi aku sudah menyampaikan apa yang mau Ezra sampaikan."

Perawat itu tampak tidak mengerti, namun tidak mengatakan apapun. Dia melangkah masuk ke dalam kamar. Sayup-sayup, Suri bisa mendengar suara lembutnya kala perawat tersebut berusaha menenangkan Zahra. Suri jadi merasa bersalah. Tapi dia jelas butuh berbicara sebentar dengan Ezra sebelum Ezra benar-benar menghilang.

"Kita harus ngomong." Suri berkata tegas, menuding pada kursi taman di dekat koridor tempat mereka berada dengan tatapan yang langsung dibalas Ezra dengan gumam tak jelas.

"Gue bisa tebak lo bakal bilang begitu."

Sebastian sempat tercekat takut. Wajahnya memucat, tapi dia membiarkan Suri dan Ezra—yang tidak bisa dia lihat—bergerak menuju kursi taman. Suri duduk disana. Ezra ikut mengambil tempat di sebelahnya. Setelah mereka duduk, barulah Suri kembali bicara.

"Lo bunuh diri?!"

"Kenapa sekarang lo jadi marah-marah sama gue?"

"Bodoh. Masih nggak nyadar juga?"

"I took my own life. My. Own. Life. Lo nggak berhak marah."

"Rasanya gue pengen nampar lo sekarang," Suri mendelik. "Taking your own life. Taking it from who? When your life is over, it's not you who will miss it. Your own death is something that happens to everybody else. You might had ended your life to end your sadness, but the sadness will last forever. You passed it to your family. To your friends. To those who think of you as a valuable person."

"Suri,"

"Kakak lo terjebak disini karena dia insomnia. Karena bayangan tentang lo menghantui dia. Dan lo masih bilang kalau gue nggak berhak marah? What a fool. Lo memang benar-benar jahat."

"Bukan gitu."

"Terserah."

"Gue menyesal, oke? I was angry that night. I was sad. I was depressed. Tapi semuanya sudah terjadi. There's no way back. Ketika gue bilang gue ingin keluarga gue bahagia, gue benar-benar tulus." Sosok Ezra perlahan memudar, lebur dengan udara. Suri bisa menebak jika dia akan segera pergi. "Gue salah, gue tau itu. Gue terlalu impulsif. Gue terlalu egois. Nggak seharusnya gue mengakhiri hidup gue sendiri. Tapi itu semua sudah terjadi. Gue hanya bisa berharap mereka yang masih hidup bahagia."

Suri menarik napas. Panjang. Dan dalam.

"Maafin gue. Maaf juga kalau gue udah merepotkan lo. You're a good soul. Iblis itu benar. Lo punya kasih tanpa batas. Seandainya saja gue bisa ketemu lo sedikit lebih awal, kalau saja gue punya teman seperti lo, mungkin gue nggak akan berakhir begini."

"Ezra,"

"You see, nobody understands me. Salah gue kalau gue nggak sepintar kakak gue dalam soal akademik? Orang tua gue expect terlalu banyak. Dan gue merasa bersalah membuat mereka kecewa. I was depressed. No one was there to help, because everyone saw me as a horrible person. No one thought that it was hard for me, until it's too late."

"Ezra,"

"Thankyou, Suri. Gue harap hidup lo bahagia, dan nggak ada lagi yang berakhir seperti gue. See you when I see you."

Hanya dengan begitu saja, Ezra benar-benar menghilang. Suri menggigit bibirnya. Ada kesedihan entah darimana datang merayapi batinnya. Ezra... Zahra... dan keluarga mereka. Sekarang, setelah Suri pikir-pikir lagi, tidak ada yang benar-benar salah. Ezra tentu telah bertindak bodoh dengan bunuh diri, tapi keluarganya jelas tidak seharusnya mencerca Ezra mati-matian hanya karena cowok itu tidak hidup mengikuti ekspektasi mereka. Oh, betapa besar akibat yang bisa ditimbulkan oleh kesalahpahaman antar anggota keluarga. Berusaha memadamkan muram yang menggelayuti benaknya, Suri menatap pada langit biru.

Mendadak, dia jadi merindukan Ayah, Bunda dan ketiga kakaknya.

n  o  i  r

Sebastian benci melihat Suri yang murung. Jadi, dia mencoba bersikap manis pada gadis itu sepanjang sisa perjalanan pulang mereka. Tapi Suri masih tidak terpengaruh. Entah apa yang dia bicarakan dengan Zahra—atau hantu Ezra—hingga dia sampai sekelabu itu. Sebastian tidak ingin tahu, namun dia tidak suka melihat mendung yang mewarnai wajah Suri. Karenanya, Sebastian memutuskan mampir di McDonald's dan mengajak Suri makan siang. Usahanya berhasil, sebab Suri langsung berseru kegirangan begitu tahu Sebastian akan mentraktirnya makan siang disana.

"Kalau aku nambah, kamu masih mau bayarin, kan?" Itu adalah pertanyaan pertama Suri setelah Sebastian kembali dari meja kasir dengan sebuah nampan berisi berbagai jenis junk food di atasnya.

Sebastian berdecak. "Nyesal deh gue udah ngajak lo kesini."

"Kamu boleh aja nyesal. Tapi aku senang. Hehe. Jarang-jarang makan bareng cowok ganteng yang bukan kakak sendiri."

"Kisah cinta lo ini memang semenyedihkan itu, ya?"

"Iya. Tapi sekarang udah nggak?"

Sebastian menyedot coke dalam gelasnya tanpa peduli. "Bodo amat."

"Iya. Soalnya kan udah kenal kamu."

Sebastian hampir terbatuk.

Suri berlagak menepuk punggung tangan Sebastian pelan, lalu lanjut menjilati es krim cone yang dia pegang. "Jangan kaget gitu, dong. Biasain mulai dari sekarang, oke? Soalnya gini-gini kan aku adiknya Abang Chandra. Dan Abang Chandra itu tukang gombal paling jago yang pernah aku kenal."

Sebastian memutar bola matanya. "Nggak usah banyak omong soal gombal-menggombal kalau makan es krim aja belum benar."

"Hah? Maksudnya?"

Sebastian meraih selembar tisu, kemudian mencondongkan tubuh sedikit dengan tangan yang terulur guna membersihkan noda es krim di sudut bibir Suri. Suri terdiam, lalu pelan-pelan wajahnya memerah. Manis, Sebastian membatin tanpa dia sadari, yang langsung membuatnya melotot sedetik kemudian. Refleks, cowok itu melemparkan tissue di tangannya ke atas meja, tepat di depan Suri.

"Bersihin sendiri. Lo kira gue babu lo?"

Suri cengengesan. "So romantic."

Sebastian menyentakkan kepala, berniat balik menjawab ucapan Suri dengan kalimat menusuk andalannya ketika mendadak ponselnya bergetar. Cowok itu mengangkat salah satu alis, mengecek ponsel dan langsung bermuka masam tatkala mendapati sederetan kontak milik Kat terpampang di layar. Ini orang kenapa lagi? Batinnya berbisik, sebelum dia memilih menolak panggilan tersebut.

Tapi Kat memang pantang menyerah. Dia menelepon lagi. Sebastian kembali memilih opsi reject. Lalu itu berulang. Setelah tiga kali Kat menelepon—dan semuanya Sebastian tolak—cowok itu akhirnya memutuskan mengirimkan sebaris pesan untuk membuat Kat diam.


To : Cathleena

Nanti aku telpon balik. Aku sibuk.


Setelah mengirimkan pesan itu, Sebastian

 memilih mematikan ponsel. Ada sesuatu yang janggal. Biasanya, Sebastian tidak akan langsung menolak telepon dari Kat begitu saja. Sebastian sendiri tidak mengerti, sejak kapan dia bisa mengabaikan kontak dari Kat begitu mudah.

Rasanya seperti... dia tidak ingin waktunya bersama Suri terganggu oleh telepon Kat. Sebastian mendengus. Ini aneh, pikirnya. Dia mulai tidak bisa memahami dirinya sendiri.

Tapi yah, sejak mengenal Suri, kebanyakan peristiwa yang terjadi dalam hidupnya adalah rentetan kejadian yang memang tidak dapat dimengerti.

Anehnya, Sebastian tidak keberatan dengan itu. 





bersambung. 

Kangen tiga abang, nggak? 

Wkwkwkw. Tenang. Di bab berikutnya bakal ada bagian Khansa-Calvin dan Siena-Chandra. 

Btw kayaknya gue hampir nggak ada aktivitas sama sekali ya di Wattpad tiga hari ini lol. 

Gue mau ngetik sesuatu malem ini, nggak tau diposting malam ini atau besok. 

Oke deh. 

Ciao. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro