Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

dua puluh enam

"Ini hari Sabtu. Tumben banget kamu sibuk waktu kutelepon." Itu yang Kat ucapkan setelah mereka saling bertukar kata halo. Refleks, Sebastian mendengus dibuatnya. Sebastian menelepon balik Kat sesuai janjinya sesaat setelah dia tiba di rumah pasca memulangkan Suri kepada ketiga kakaknya—yang telah bersiaga menunggu di depan pintu pagar kala Sebastian tiba. Cetta dan Cslvin bahkan sempat melakukan inspeksi ala mereka sebelum benar-benar melepas Sebastian pergi. Di luar dugaan, Kat langsung menjawab pada deringan pertama. Sesuatu yang benar-benar tidak biasanya, menurut Sebastian. Sejak mereka masih SMA hingga menjadi sepasang kekasih, Kat adalah mantan pacar Sebastian yang paling sulit dihubungi.

"Aku memang selalu sibuk."

"Sibuk tidur, maksudnya?" Kat berseloroh. "Bas, aku tahu kamu itu orangnya gimana. Nggak usah bohong sama aku. Nggak ada siapapun yang bisa bikin kamu sibuk di hari Sabtu, selain aku. Bahkan Mami kamu pun nggak akan kamu hiraukan meski beliau bangunin kamu."

"Menurutku, kamu harus berhenti merasa istimewa."

Kat tertawa. Manis. Dan Sebastian benci itu. Sejak dulu, teman-temannya sesame anak cowok selalu berkata jika Sebastian memberikan hatinya pada orang yang salah. Dia mencintai gadis itu sepenuhnya, sedangkan Kat mencintai Sebastian seperlunya. Kadang, Sebastian ingin sekali membuat Kat sakit hati. Meski hanya satu kali.

"Galak banget sih, Bas."

"Aku nggak ada waktu. Apa yang mau kamu omongin sebenarnya?"

"Soal aku dan Alvaro."

Sebastian hampir menggeram begitu mendengar nama laki-laki itu disebut. Alvaro Hamid. Bagaimana dia bisa melupakan nama itu? Kat bisa saja bilang jika bukan salah Alvaro ketika hati seorang Cathleena Nirwasita teralih begitu saja dari Sebastian padanya. Sebuah kisah klasik yang telah usang dan pasaran karena terlampau sering diangkat sebagai premis cerita sinetron. Kat bilang Sebastian terlalu sibuk. Lantas dia bertemu dengan Alvaro, seorang eksekutif muda yang juga putera pengusaha kaya Syahrir Hamid. Sebastian ditinggal begitu saja, dengan hati retak yang sesak oleh rasa sakit.

"Aku nggak peduli."

"Kamu masih marah sama Alvaro?" Tanpa melihat wajahnya pun, Sebastian bisa membayangkan bagaimana ekspresi Kat terlihat saat ini. Pasti ada kerutan diantara kedua alisnya. "Grow up, Dawala. Ini semua bukan salahnya."

"Iya, ini salahku."

Salahku karena nggak pernah bisa menyalahkan kamu. Salahku karena nggak pernah bisa benar-benar membenci kamu. Salahku karena menuduh kamu selingkuh adalah sesuatu yang menurutku terlalu jahat untuk kulakukan.

"Bas,"

"Kamu mau ngomong apa? Mending omongin sekarang. Waktuku nggak banyak."

Kat berdecak. "Minggu depan aku dan Alvaro akan menikah. Kamu sahabatku, Bas. Aku pernah sangat bahagia sama kamu. Aku ingin kamu hadir di hari pernikahanku. Itu saja."

Cathleena Nirwasita mungkin adalah salah satu gadis paling jahat yang pernah tercipta.

"Bas?" Kat bergumam kala dia tidak mendengar Sebastian menjawab.

"Aku bingung." Sebastian mengakui.

"Bingung kenapa?"

"Apa kamu memang tulus mengundangku untuk berbagi bahagia atau hanya kamu mendapat kepuasan tersendiri setiap kamu menyakiti aku?"

"Bas, jangan terlalu dramatis. Kalau kamu nggak bisa datang, it's okay. Aku ngerti. Aku merasa punya kewajiban aja untuk ngasih tau kamu."

Sebastian tersenyum sedih. "Aku akan datang."

"Serius?"

"Serius." Sebastian menghela napas. Panjang dan dalam. "Aku boleh bawa teman, kan?"

"Anak kecil gebetan kamu itu?"

"Dia bukan anak kecil." Sebastian tidak tahu apa yang dia pikirkan saat dia melontarkan sepotong pembelaannya buat Suri.

"Tetap saja. Paling juga dia masih SMA. Atau seumur Gio. Hitungannya masih anak kecil."

"Aku nggak butuh kamu untuk menilai hidupku, Cathleena."

Kat tertawa. "Ah ya, benar. So, I guess, see you next week?"

"See you."

Obrolan telepon terputus. Sebastian ditinggal sendiri dalam keheningan. Lantas jarinya kembali bergerak di atas layar ponsel, membuka profil akun LINE Suri. Saat memikirkan siapa yang akan dia ajak menghadiri acara pernikahan Kat dan pemuda brengsek itu, entah kenapa satu-satunya orang yang terpikirkan oleh Sebastian hanya Suri. Sempat ragu sejenak, cowok itu akhirnya mengirimkan sebaris pesan singkat.

Sebastian Dawala : Oy

Sebastian Dawala : Minggu depan kosongin jadwal. Gue ada acara, dan gue mau lo ikut.

Sebastian tidak pernah tahu jika ada sesuatu yang bisa terdengar sangat salah, namun juga begitu benar disaat yang bersamaan.

n  o  i  r

"Anak itu bodoh."

Nael mengalihkan tatapan matanya dari garis gelap batas cakrawala di kejauhan saat mendengar Zoei tiba-tiba bicara. Setelah bertemu dengan Suri di rumah sakit, Zoei tidak langsung kembali ke rumah Belphegor. Iblis itu justru sibuk mengekori Nael pergi tanpa arah tujuan yang pasti, entah di dunia mortal atau dunia makhluk ghaib. Sesuatu yang sebetulnya mengherankan. Nael memang mengenal Zoei, tapi mereka tidak cukup dekat. Namun, Nael memilih tetap diam.

"Maksud kamu?"

"Makhluk mortal itu bodoh." Zoei menolehkan kepalanya pada Nael. "Aku tidak mengerti jalan pikirannya. Kenapa harus mencari bahaya untuk menyelamatkan makhluk lain, yang bahkan tidak pernah dia kenal?"

"Kasih tanpa batas." Nael berbisik.

Zoei berdecak. "Karena itu, aku tahu kenapa kamu lemah padanya, hingga merasa perlu repot-repot memperingatkannya lebih dari sekali."

"Kamu juga peduli."

"Darimana kamu menarik kesimpulan itu?"

"Kamu mengambil risiko akan dihukum oleh ayah dan saudara-saudaramu hanya untuk memperingatkannya. Dengan jelas, tidak dalam kias seperti yang kulakukan. Tandanya, kamu juga peduli."

Zoei mendengus. "Dia masih muda."

"Jiwa yang begitu murni, kan?"

Hening sejenak, hingga Zoei menjawab. "Ya. Aku tidak pernah tahu bagaimana cara Sang Pencipta menghakimi makhluk kreasinya. Maksudku, ada jiwa-jiwa bergelimang dosa yang punya kesempatan mencicipi surga. Namun ada juga para ahli ibadah yang lantas dianggap berbuat kesalahan fatal dan dimasukkan ke neraka. Kamu tahu, pengadilan oleh-Nya adalah sesuatu yang penuh misteri. Tidak bisa diraba, atau diduga. Bahkan oleh kaum kita."

"Dunia tercipta dalam kegelapan, Zoei." Nael tersenyum. "Karenanya, ia menyimpan banyak rahasia."

Obrolan mereka terputus ketika mendadak, sebuah pusaran udara muncul di dekat keduanya. Kening Nael berlipat, sementara wajah Zoei langsung memucat. Dia seperti tahu apa arti dari kemunculan pusaran udara tersebut. Dan memang, tidak sampai dua detik setelahnya, sosok lain muncul di hadapan mereka. Nael mengenali sosok itu. Apalagi Zoei.

Dia adalah Belphegor. Iblis yang mewakili Kemalasan, salah satu dari dosa-dosa paling mematikan. Wajahnya tidak ramah, tapi dia juga tidak terlihat seperti sedang marah. Matanya menatap sekilas pada Zoei.

"Salam, Belphegor." Nael memberikan sedikit gestur penghormatan, yang diabaikan begitu saja oleh Belphegor.

"A—apa kamu ada disini untuk menjemputku?" Zoei bertanya dengan tersendat-sendat.

"Unfortunately no, Son. Tapi kau jelas akan dihukum untuk tindakan cerobohmu bicara pada makhluk mortal."

"Bagaimana dengan Nael?"

Mata Belphegor berpindah pada Nael. "Itu urusan Mammon, bukan urusanku."

"Dimana Mammon?" Nael bertanya.

"Entahlah. Meski aku yakin Mammon juga nantinya akan mencarimu. Kalian sudah dengar kabar tentang keputusan yang akhirnya dibuat Sang Pencipta?"

"Sang Pencipta sudah membuat keputusan?"

Belphegor mengangguk. "Dia ingin makhluk mortal itu dibawa ke Sidang Tertinggi, dimana para malaikat dan iblis akan berada disana untuk menyaksikan. Tentu saja, bukan hanya untuk menonton, tapi juga memberikan pernyataan sikap. Semua wajib hadir tanpa kecuali."

"Termasuk dia?" Zoei seperti terfokus pada sesuatu yang lain.

"Dia?"

"Si dosa paling mematikan kedelapan."

Ucapan Zoei membuat mereka diselimuti keheningan. Makhluk mortal memang mengenal tujuh dosa paling mematikan, yang diwakili oleh tujuh iblis paling utama, namun ada legenda diantara para makhluk immortal tentang dosa paling mematikan kedelapan, berikut sesosok iblis yang mewakilinya. Mereka menyebut iblis itu Noir, yang berarti hitam. Keberadaannya serupa mitos. Tidak ada yang tahu dia berada dimana, meski dia eksistensinya tidak diragukan. Karena itulah mereka menyebutnya Noir. Hitam. Gelap tanpa jejak.

"Tidak ada yang tahu."

"Sayang sekali." Zoei tampak kecewa.

"Bagaimana dengan Suri? Apa dia akan mati?" Kali ini, suara Nael yang terdengar.

"Secara teknis, belum waktunya dia mati betulan."

"Lantas, bagaimana cara membawanya menuju Sidang Tertinggi jika dia belum mati? Tubuh mortal tidak bisa menembus dimensi itu, kan?" Zoei berujar heran.

"Hanya ada satu cara," Belphegor menjawab enggan. "Kita harus membawanya tanpa membuatnya mati sebelum waktunya. Untuk itu, dia harus berada dalam satu kondisi. Manusia menyebutnya koma."

Zoei terperangah, sementara Nael terlihat sibuk berpikir. Entah apa yang terlintas dalam benaknya. Isi pikirannya sama sekali tak terbaca melalui ekspresi di wajahnya.

n  o  i  r

Khansa baru saja meraih pegangan tangga kolam renang setelah melakukan lima belas kali gerakan bolak-balik ketika sebuah tangan terulur padanya. Refleks, gadis itu menatap ke atas. Senyumnya seketika terkembang, diiringi oleh mata yang menyinarkan keterkejutan kala dia menyadari siapa pemilik tangan itu. Tidak lain dan tidak bukan, Calvin Raskara.

"Surprised much?" Calvin bertanya sambil tertawa ketika Khansa meraih tangannya dengan jari-jari yang basah kena air kolam.

"Nggak menebak lo akan datang lagi."

"Kenapa?" Calvin mengulurkan handuk besar yang pasti didapatkannya dari Pak Purnomo pada Khansa. Dia menggunakan handuk itu untuk melindunginya dari rasa dingin, juga untuk mengurangi jejak basah di kulit dan pakaian renangnya. "Karena gue identik dengan angka enam yang lo anggap angka sial?"

"It's not funny." Khansa mengedikkan bahu. "Kenapa kesini? Skripsi lo apa kabar?"

"Baik."

Khansa mencibir. "Kepercayaan diri lo itu, somehow terasa mengganggu buat gue."

"Gue serius." Calvin tertawa. "Gue kesini mau ngeliat lo. Sesederhana itu."

Khansa hampir tersedak. Ini bukan pertama kalinya dia bicara dengan laki-laki. Juga bukan pertama kalinya dia didekati oleh laki-laki. Tapi seumur hidupnya, Khansa belum pernah bertemu cowok se-to the point Calvin. Ditambah lagi, wajah cowok itu tanpa dosa ketika mengatakannya. Seperti mengatakan kalimat itu semudah mengucapkan selamat pagi.

"Kok diem?"

Khansa tampak jengkel. "Capek."

"Udah makan siang? Kalau gue sih belum."

"Terus, apa hubungannya sama gue?"

"Hm, kalau kita sama-sama belum makan siang, kita bisa makan siang bareng."

"Gue masih ada latihan." Khansa berkilah. Bukan karena dia tidak merasa nyaman berada di dekat Calvin, tetapi karena ini semua tidak adil. Cowok itu terlihat sangat santai. Bicaranya seperti tanpa beban. Sementara sejak tadi, Khansa sudah dibuat khawatir dunia bisa mendengar suara debar jantungnya yang tak beraturan.

"Bohong. Gue udah tanya pelatih lo, dan beliau bilang untuk hari ini latihan nggak berlanjut sampai sore."

Khansa ingin membenturkan kepalanya ke tembok.

"Makan siang bareng gue, mau nggak?"

"Mmmm." Khansa bergumam panjang, tidak menjawab pertanyaan Calvin.

"Biar impas." Calvin langsung menyambung. "Kemarin gue udah bersedia ditraktir minum kopi. Kita bahkan ngobrol banyak."

Ah ya. Khansa ingat itu. Dia bukan tipe gadis yang mudah banyak mengobrol dengan orang lain sebetulnya. Namun kemarin di kafe, mengobrol dengan Calvin terasa berbeda. Pandangan cowok itu tentang beberapa masalah membuat Khansa kagum. Dari cara Calvin memandangnya, Khansa tahu dia juga berhasil mengejutkan cowok itu. Namun tentu saja, dia merasa tidak bisa langsung bersedia. Ini tidak adil. Calvin bisa bicara tanpa berpikir. Mengapa dia harus merasakan detak jantungnya berubah tidak karuan?

"Kalau gue nggak mau?"

"Aw. You're going to break my heart then."

Khansa mendengus. "Gue nggak mau."

"Oh, come on. Kita sepakat jadi teman di kafe tempo hari."

"Bukan teman makan siang."

"Girls and their things are indeed silly." Calvin mengusap rahangnya, memandang Khansa dengan tatap menilai. "Sampai kapan lo mau jual mahal begitu? Nggak Rana, nggak cewek-cewek gebetannya Chandra, nggak lo. Semua sama aja."

"Maksud lo?"

"Sama-sama jual mahal."

Khansa tidak sempat menjawab. Bukan karena dia kehabisan kata-kata. Bukan juga karena Calvin mendadak lebih dulu bicara. Tetapi karena suara dari ponsel Calvin memecah suasana diantara mereka. Calvin sempat meliriknya sekilas sebelum mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya dan membungkam raungan benda itu hanya dengan satu kali swipe.

"Yo, kenapa?"

Entah siapa yang menelepon. Namun kelihatannya penelepon itu cukup akrab dengan Calvin. Khansa mulai menerka-nerka. Apakah itu laki-laki... atau perempuan? Jangan-jangan, di balik tampang anak pintarnya yang terkesan mengintimidasi, sebenarnya Calvin itu jelmaan playboy?

"Hah? Jemput Suri? Buset, Tri, gue lagi sibuk. Duh. Gila lo. Nggak, sesibuk-sibuknya gue, gue nggak akan membiarkan adik gue tercinta naik taksi. Hng. Tapi mobil kan lo bawa? Oke-oke. Yaudah. Nanti gue langsung cabut ke sekolahnya Suri. Dia balik jam tiga, kan? Sip, nanti kelar makan siang gue kesana. Hah? Gue makan siang sama siapa? Rahasia, dong. Nggak—nggak sama buku. Sori ya, gue nggak semengenaskan itu. Udahlah nggak usah kepo. Oke. See ya."

Obrolan selesai secepat dimulai.

"Adik laki-laki gue. Dia sibuk photoshoot. Maklum, selebgram. Jadi dia nggak bisa jemput adik bungsu gue yang cewek di sekolah."

"Adik lo masih SD?"

"SMA. Kenapa?"

"Buset. Udah SMA aja masih diantar jemput."

"Karena dia cewek," Calvin menimpali. "Cewek emang seharusnya dilindungi."

"Oh please, gue bahkan pulang-pergi sekolah naik metromini sejak SMA. Dan jangan lupa, gue bisa memuntir lengan lo dengan begitu gampang kemarin-kemarin."

"But I saved your life." Calvin berujar, membungkam Khansa dengan telak. "Ada masanya cewek butuh perlindungan. Termasuk lo."

Gadis itu mencibir.

"Yaudah, yuk."

"Yaudah yuk apaan?"

"Kita makan siang bareng. Habis itu kita ke sekolah Suri."

"Kita? Emang gue bilang gue mau?"

"Lo harus mau. Karena gue butuh teman ngobrol, dan lo juga butuh makan siang."

"Gue nggak lapar."

Sedetik kemudian, seperti berkhianat, perut Khansa berbunyi. Wajahnya kontan memerah. Dia jengah, mendengus kesal untuk menutupi rasa malu.

"See?" Calvin tersenyum penuh kemenangan. "Gue tunggu dua puluh menit lagi di depan."

n  o  i  r

"Abang Chandra ngajakin lo nge-date?!"

Itu adalah reaksi pertama Suri sesaat setelah Siena bercerita padanya sementara mereka menyusuri koridor menuju depan sekolah. Suara Suri sangat keras, membuat beberapa siswa lain yang berjalan di sekitar mereka ikut menolehkan kepala. Spontan, Siena langsung menutup mulut Suri dengan telapak tangan, membungkamnya sebelum mengoceh lebih jauh tentang dirinya dan Chandra.

"Jangan keras-keras, dong!" Siena berseru pelan, namun Suri masih saja melotot.

"Ini gila, Siena. Jangan mau!"

"Tapi abang lo baik."

"Halah, cowok belangsak dimana-mana sama aja. Mereka cuma baik pas ada maunya."

"Ketemuannya di mall kok, bukan di kamar hotel."

Mata Suri menyipit. "Lo tau soal Abang Chandra dan gaya hidupnya yang super laknat itu?"

"Tau." Siena menjawab ringan. "Nggak apa-apa. Gue sayang abang lo apa adanya."

"Siena, tolong jangan gila."

"Suri, lo udah ngomong 'jangan gila' dua kali. Gue harus tegaskan, gue nggak gila sama sekali."

"Tapi ini Abang Chandra—"

"Justru karena yang ngajak Abang Chandra makanya gue mau."

"Siena, jangan biarkan cinta membuatmu buta."

"Suri, tolong, abang lo nggak seburuk itu." Siena menggeleng-gelengkan kepalanya. "Lo pernah nonton film nggak, sih? Biasanya, di film-film itu bad boy kayak abang lo selalu taubat setelah jatuh cinta sama good girl macam gue."

"Yakin banget lo good girl?"

"Pasti, dong!" Siena berseru penuh percaya diri. "Gue nggak pernah minum alkohol. Nggak ngerokok. Nggak tattoan. Nggak pakai narkoba. Dan nilai ulangan gue nggak pernah kebakaran."

"Kalimat terakhir lo membuat gue merasa tersindir."

"Intinya, gue bakal tetap jalan sama Kak Chandra," Siena tersipu, membuat Suri gemas setengah mati. Bukan gemas ingin mencubit. Tapi gemas ingin membuat Siena sadar dari guna-guna abangnya. Namun kelihatannya percuma. Siena sudah jatuh terlampau dalam pada pesona Chandra yang penuh kepalsuan.

"Terserah lo." Suri mendengus, lantas berbalik hanya untuk mendengar jerit tertahan dan kehebohan dari orang-orang di sekitarnya. Gadis itu terkesiap keras tatkala dia menyadari sebuah mobil melaju cepat ke arahnya tanpa kendali. Kelihatannya rem mobil itu blong. Suri tercekat, segalanya berlangsung begitu cepat. Namun, sebelum semuanya terlambat dan sesuatu yang buruk terjadi, dia telah ditarik dengan keras ke samping. Sangat keras, hingga dirinya dan si penarik sama-sama kehilangan keseimbangan. Mereka jatuh bersamaan di atas permukaan keras paving block halaman sekolah Suri, sementara mobil yang melaju tanpa kendali telah berakhir menabrak salah satu pilar pintu pagar. Pilar itu hancur seketika, menyisakan reruntuhan batu-bata merah dan debu kelabu yang amat tebal.

Suri masih terdiam penuh keterkejutan, bahkan ketika dia mendengar suara Calvin dan Siena kompak menyerukan namanya. Dalam sekejap, puluhan orang telah merubungnya dan penariknya—atau penyelamat hidupnya—yang ternyata seorang gadis.

"Suri! Kamu nggak apa-apa?"

Wajah Suri masih pucat ketika dia mengangguk terpatah. Calvin tampak lega, lalu dia mengalihkan perhatian pada gadis yang sama-sama terduduk di samping Suri. Gadis yang juga penyelamat hidup Suri.

"Khansa, lo nggak apa-apa?"

Cewek yang ternyata bersama Khansa itu ikut mengangguk, lalu sibuk menenangkan Calvin agar tidak panik. Guru-guru telah keluar dari bangunan sekolah, juga beberapa satpam. Mereka ramai mengelilingi mobil yang kapnya telah mengeluarkan asap. Suri menelan ludah, terhenyak kala menyaksikan seberapa besar kerusakan pada pilar pagar yang tertabrak.

Ada rasa dingin menyapa tengkuknya saat dia menyadari, jika dia menjadi yang tertabrak, mungkin dia sudah mati.






bersambung. 

Ternyata disini nggak ada abang Chandra.  

Wwwkwk. 

Btw, gue lagi stress (lagi) setelah membaik kemarin. 

Gue capek. Satu-satunya yang menahan gue buat tetep masuk kuliah sekarang adalah karena ekspektasi keluarga besar terutama bokap. Kalau nggak sih ya, kayanya gue udah bakal mengunci diri di kamar kost dan cuma keluar buat nyari makanan. Atau kabur kemana kek ke Jogja kek tanpa tujuan. 

Honestly, working in a big team doesn't suit me. Di awal semester tiga gue sempet nanya ke bokap-nyokap apakah gue boleh transfer ke departemen ekonomi/politik/hubungan internasional apapun itu, dan reaksinya tidak sesuai harapan. (sebenernya sepupu-sepupu gue juga kayaknya mengalami ini lol kayak kita tuh suka pengen masuk IPS pas SMA tapi nggak pernah boleh). 

A week ago my mom called and I literally blamed her and my father for everything. For their selfishness that they didn't let me go for IPS when I was in senior high school and stuffs. I expected them to let me give up, but then my mom replied, "be strong for at least a couple of years and you'll know why your family forced you to go for engineering/medical/architecture school. "

I'm just one step away to the real depression, you know. Lol, I mean, this is not the life I want to live but well, I have no other choice since I can't support myself financially. 

Somehow I think I hate my family. They're the reason why I don't kill myself when I want to. They're the reason why I'm trying so hard to keep my sanity. And the reason why I'm afraid of imperfections and failures. 

Yah, jadi curhat. 

Intinya gitu. For those who read this, I hope you're happy with your life right now. 

Ciao. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro