dua puluh delapan
ATTENTION : Oke. Pertama-tama, gue mau memberitahu sesuatu. Gue tau, nggak semua dari kalian suka baca filsafat. Tapi ini adalah tulisan gue. Ini adalah cerita gue. Buat gue, karya entah apapun itu bentuknya dari mulai tulisan, gambar hingga musik adalah seni. Pembuatnya pasti mencurahkan semua inspirasi, tenaga dan waktu untuk itu. Hanya dalam tulisan, gue bisa benar-benar jadi diri gue. Membagi apa yang gue mau tanpa sensor.
Kalau kalian perhatiin, nggak ada tokoh yang benar-benar antagonis atau protagonis dalam tulisan gue. Karena kenyataannya, hidup memang seperti itu. Gue hanya berharap untuk mereka yang membaca cerita gue nggak membawa-bawa sentimen pribadi dan persoalan agama. Karena inilah gue. I'm open to every possibilities. I have dark thoughts. Sesuatu yang nggak bisa gue sampaikan di dunia nyata tapi hanya bisa lewat tulisan.
Karya adalah seni. Seni adalah ekspresi kebebasan. Kamu punya hak tidak menyukai sebuah karya, tapi kamu nggak punya hak mendikte pembuatnya untuk begini dan begitu.
Wkwkwk oke sekian.
***
Awalnya, Sebastian menduga kedatangannya akan disambut Suri seperti saat dia menjemput gadis itu sesaat sebelum pergi ke Dufan. Tapi ternyata tidak. Sejenak sebelum mobilnya sempat mencapai bagian depan pagar rumah Suri yang tinggi, telah ada empat pria berderet menanti kedatangannya. Tiga diantaranya sudah Sebastian kenal. Mereka adalah kakak-kakak Suri yang sebuas singa liar. Sedangkan yang satu sudah berusia setengah baya. Wajahnya masih menyisakan gurat ketampanan masih muda, walau telah ada beberapa bagian di rambutnya yang memutih. Mudah meneka jika laki-laki setengah baya itu adalah ayah Suri. Wajahnya sangat mirip dengan Cetta, dan dia punya senyum serupa Calvin.
Tiba-tiba, Sebastian merasa nervous luar biasa tanpa dia tahu apa penyebabnya.
"Halo, kamu pasti Sebastian." Laki-laki setengah baya itu menyapa tatkala Sebastian sudah turun dari mobil. "Saya ayahnya Suri. Saya sudah banyak dengar cerita tentang kamu dari Suri sepanjang minggu ini."
Sebastian menjabat tangan Ayah. "Saya harap bukan yang jelek."
"Sebetulnya agak aneh." Ayah mengakui. "Kebanyakan cerita Suri tentang kamu selalu baik. Sebaliknya, cerita dari Dimitrio, Chandra dan Calvin selalu jelek. Saya bingung, jadi saya putuskan untuk ketemu kamu dulu. Well, kamu laki-laki yang rapi. Saya suka pribadi yang rapi. Bukan untuk saya loh, tapi buat anak saya. Suri itu... jujur saja, dia itu tipe cewek yang berantakan."
Ayah Suri pasti seseorang yang luar biasa jujur, itu penilaian Sebastian. Tawanya renyah dan tulus. Kini, Sebastian bisa menyimpulkan ketidaknormalan yang dimiliki oleh Suri serta ketiga abangnya kemungkinan besar berasal dari mendiang ibu mereka.
"Ye, Ayah, dia kan mau ke acara nikahan mantannya. Makanya penampilannya rapi. Masak ke acara nikahan mantan berantakan. Gimana bisa mantannya nyesal udah ninggalin dia kawin duluan?" Chandra langsung nyerocos, membuat Sebastian melotot.
"Man... tan? Dari mana lo tau kalau yang mau nikah itu mantan gue?" Sebastian berusaha keras menahan supaya nada suaranya tidak terlalu tinggi. Bagaimanapun juga, dia harus menjaga citra baik di depan ayahnya Suri. Meski akal sehatnya bertanya-tanya kenapa Sebastian merasa penting terlihat baik di depan lelaki separuh baya itu, dia tidak peduli.
"Dari adik gue tersayang, tentu aja. Jangan kira mentang-mentang dia suka sama lo, dia akan mengkhianati kakak-kakaknya. Sori-sori ya, kalau gue sama lo tenggelam di laut, Suri pasti bakal lebih memilih menyelamatkan gue daripada lo!" Chandra berujar penuh semangat, tidak lupa menjulurkan lidah dengan esensi mengejek di akhir kata-katanya.
Sebastian mendengus.
"Barachandra, jangan ngomong kayak gitu sama Sebastian." Ayah berkata tiba-tiba. Hati Chandra seketika terluka.
"Ayah kok malah belain ini bocah, sih?!"
"Jangan bersikap nggak sopan gitu. Gimanapun juga, Sebastian tamu kita pagi ini. Dan Suri sayang sama dia. Bersikap yang benar, ngerti?" Ayah membalas tegas, lalu berpaling lagi pada Sebastian. Ditatap seperti itu, Sebastian langsung terkesiap. "Mending kita masuk dulu sekarang. Suri masih dandan. Biasalah, namanya juga perempuan. Cetta, kamu bikinin minum, ya? Sebastian suka kopi? Atau teh?"
"Coffee will be fine."
"Ternyata kita satu selera." Ayah tertawa renyah, agak terdengar sedikit girang. "Cetta, bikinkan kopi buat Ayah dan Sebastian."
"Lah, kok aku?!" Cetta terlihat tidak terima dengan sikap kelewat ramah Ayah pada Sebastian.
"Karena rasa kopi kamu yang paling mirip sama rasa kopi buatan Bunda. Kalau minta tolong Chandra atau Calvin, nggak deh. Bisa-bisa Ayah malah keracunan."
Cetta cemberut.
"Sana, bikin. Jangan pilih kasih gitu, dong. Ketika Rana yang minta, baru kamu langsung gerak nggak pakai bantah. Kalau Ayah yang minta, langsung cemberut yang panjangnya ngalah-ngalahin tol Cipularang." Cetta mendengus pelan, lalu berbalik untuk masuk lebih dulu ke dalam. Sebelum dia benar-benar masuk ke dalam rumah, Ayah sempat bicara lagi. "Kopi untuk Sebastian jangan dikasih garam atau lada. Oke?"
Sebastian tercengang mendengarnya.
"Santai saja. Kakak-kakaknya Suri memang seperti itu. Mereka cemburuan. Sudah turunan dari Bunda-nya."
Sebastian tidak tahu harus menjawab apa. Dia hanya bisa memamerkan senyum canggung hingga deretan gigi-giginya yang putih terlihat. Untunglah, Ayah selalu mampu mencairkan suasana.
"Ayo, kita masuk dulu. Saya mau ngobrol banyak sama kamu."
n o i r
"Nggak biasanya kamu punya kantung mata," Rana berujar seraya menyapukan perona pipi tipis-tipis di wajah Suri. "Kalau kakak perhatiin, kamu juga kelihatan murung. Kenapa? Bukannya harusnya kamu senang? Hari ini kamu kan bakal pergi ke acara nikahan mantannya cowok itu."
"Iya, sih."
"Cowok tuh biasanya nggak ngajak sembarangan cewek ke acara pernikahan semacam itu, loh. Apalagi yang menikah ini mantannya." Rana berhenti sejenak, matanya sibuk menilai riasan wajah Suri. Hari ini, Suri tampil lebih spesial dari biasanya. Dia mengenakan terusan warna biru langit, dengan tepi gaun yang menyapu lutut. Rambut hitamnya tergerai. Kesan feminin terlihat jelas di wajahnya karena sapuan makeup lembut yang Rana pulaskan.
"Iya, sih."
"Kok jawabnya gitu terus dari tadi?"
"Aku bingung harus ngomong apa, Kak."
"Nggak biasanya kamu kayak gini." Rana berujar sembari bangkit dari tempatnya duduk untuk meletakkan palet eyeshadow di tangannya ke atas meja belajar Suri. Kuas-kuas berderet disana, beberapa telah ternoda oleh cairan cokelat foundation dan jejak-jejak loose powder. "Ada apa? Kamu ada masalah?"
Suri mengangguk. "Tapi aku bingung gimana cara nyeritainnya ke Kak Rana."
Rana terlihat berpikir sejenak. "Apa ada hubungannya soal insiden di halaman sekolah tempo hari?"
"Kak Rana udah tau?"
"Dimi ngasih tau aku. Katanya, Calvin yang ngejemput kamu di sekolah waktu kejadian itu. Dimi juga bilang, kamu mungkin udah terluka parah kalau temannya Calvin yang namanya Khansa itu nggak nolongin kamu." Rana memandang Suri lekat. "Kenapa? Peristiwa itu masih membuat kamu merasa nggak enak? Atau jangan-jangan, kecelakaan itu berhubungan dengan masalah... ehm... kamu tau, dunia ghaib?"
Ini yang Suri suka dari Rana. Rana adalah tipe orang yang bisa membaca situasi dengan mudah, berbeda dengan ketiga kakak juga ayahnya. Maka wajar Rana dan Cetta sering saling berdebat karena menurut Rana, Cetta tidak peka dalam membaca suasana. Abangnya itu memang tampan, tapi kalau sudah urusan memahami kode-kode dari perempuan, nilainya jeblok berat.
"Sebetulnya, kurasa iya."
"Mau cerita sama kakak? Kakak akan dengerin, kok. Tenang aja."
"Beneran? Tapi janji ya, Kak Rana nggak akan menilai aku gila? Karena sumpah, ini semua susah dipercaya."
"Kita sama-sama gila, Suri. Dalam sesuatu yang berbeda. Kakak nggak akan nge-judge kamu hanya karena keanehan kamu berbeda dari keanehan kebanyakan orang."
"Oke. Nanti pulang nanti, aku akan telepon. Atau cerita, kalau Kak Rana mau menginap disini malam ini."
"Sleepover? Sounds nice."
"Di kamarku, tapi. Bukan di kamar Abang Cetta."
Wajah Rana setengah malu setengah jengah. "Of course. Lagian, darimana kamu bisa berkesimpulan kakak mau tidur di kamar Dimi?"
"Kelihatannya." Suri nyengir.
"Okay. Now, chin up. You're a queen. Kalau kamu murung terus-terusan, nanti mahkotanya jatuh."
Suri terkekeh. "Thankyou, Kak Rana." ujarnya seraya memeluk Rana secara tiba-tiba. Rana dibuat terperangah selama sesaat. Di awal pertemuannya dengan Suri, gadis itu tidak bisa dikategorikan ramah. Suri sangat defensif ketika Cetta membawa Rana ke rumah dan memperkenalkannya sebagai pacar pada kali pertama. Suri bersikap seperti Rana baru saja merebut mainan kesayangannya. Namun seiring dengan berlalunya waktu, kini Suri sudah seperti adik perempuan Rana sendiri.
"For what?"
"Karena sudah membuat aku merasa cantik hari ini." Suri melepaskan rangkulannya pada leher Rana masih dengan senyum lebar di wajah. "Dan karena sudah jadi kakak terbaik buatku... juga kesayangannya Abang Cetta."
Pipi Rana bersemu. "Sekarang, gimana kalau kita turun? Sebastian pasti udah datang. Dengerin aja suara ketawanya Ayah kamu yang gede itu? Beliau nggak akan tertawa seperti itu kalau ngobrol dengan ketiga abang kamu yang slengean itu, kan?"
Suri setuju dengan ucapan Rana. Gadis itu beranjak bangkit dari ranjang. Sebelum pergi ke lantai bawah tempat dimana Sebastian, Ayah dan ketiga kakak laki-lakinya berada, gadis itu sempat berhenti sejenak untuk memandang pantulan dirinya di cermin. Suri selalu merasa dirinya cantik, tapi penampilannya kini berada pada level yang berbeda. Matanya tampak lebih hidup karena sapuan eyeshadow tipis berwarna kecokelatan di mata. Alisnya jauh lebih rapi. Ada rona merah samar yang manis di pipinya.
"Kamu cantik." Rana berkata, seperti mengerti kemana pikiran Suri bermuara. Suara balik menatap Rana dari cermin, lantas ujung-ujung bibirnya kembali tertarik. Rana tidak tahu betapa Suri berharap, untuk satu kali saja hari ini, Sebastian juga berpendapat seperti itu pada penampilannya.
n o i r
Sebastian baru menyeruput tegukan pertama dari cangkir kopinya ketika dia melihat Suri diikuti Rana menuruni tangga melalui sudut mata. Refleks, cowok itu langsung tersedak. Setengah terbatuk, Sebastian meletakkan kembali cangkir kopinya ke atas meja. Ayah memberi kode pada Calvin yang lantas dengan ogah-ogahan melesat ke dapur mengambil minum. Sebastian tampak merasa bersalah, dan meminta maaf ketika beberapa teguk air mineral berhasil melegakan tenggorokannya yang sempat terasa tersumbat.
"Sori, Om."
"Kenapa? Kopi kamu rasanya asin, ya?" Ayah berpaling pada Cetta. "Dimitrio, Ayah pernah bilang apa soal jangan pernah menjahili makanan tamu?"
"Sumpah, aku masukin gula, Yah. Kalau emang beneran niat ngejahilin ini orang sih, daripada garam mending aku masukin bubuk lada aja sekalian." Cetta terlihat dongkol.
"Nggak, Om. Rasa kopinya manis." Sebastian menarik napas, lalu mencuri-curi pandang pada Suri yang kini telah duduk di atas sofa. Gadis itu berada di tengah, diapit oleh Cetta dan Rana di kiri-kanannya.
"Terus kenapa bisa keselek?"
"Hm... itu..." Sebastian melirik Suri.
"Kenapa?" Suri menaik-turunkan alisnya penuh percaya diri. "Aku cantik, ya?"
"Dih. Ngimpi."
"Enteng amat itu rahang," Calvin mendesis pada Sebastian diiringi pelototan. "Tenang, Suri. Buat abang, selalu kamu yang tercantik."
"Cantik mana sama Kak Khansa?"
"Waduh." Chandra nyeletuk. "Pertanyaan super sulit abad ini tuh."
Calvin memutar bola matanya.
"Terserah abang mau bilang apa. Dan kamu, Tian, walau kamu jutek gitu, aku tetap tahu apa arti pandangan kamu tadi. Dalam hati, sebetulnya kamu bilang aku cantik. Cuma kamu gengsi aja. Duh, tsundere-tsundere gimana gitu, ya. Jadi makin naksir deh aku."
Sebastian ingin mencibir, namun kehadiran Ayah membuatnya menahan diri. Alih-alih mengejek Suri seperti biasa, cowok itu justru beranjak bangkit dari sofa. Lalu katanya, "Udah mau sore. Mending kita jalan sekarang."
"Tunggu dulu, Tian."
"Apa lagi?" Sebastian hampir kehilangan kesabaran.
"Kamu ganteng hari ini." Suri nyengir-nyengir centil. "Baru nyadar kemeja kamu warnanya biru juga. Ih, kita sehati banget nggak sih?"
"Cuma kebetulan."
"Kebetulan yang menyenangkan."
"Jadi lo mau nemenin gue ke acaranya Kat apa enggak?"
"Hehe, jangan sensi gitu dong." Suri ikut beranjak dari sofa. Dia merapikan bagian depan rok gaunnya serta memeriksa isi clutch berwarna senada dengan pakaiannya sebelum beralih pada Rana. "Gimana? Aku udah oke kan, Kak?"
"Selalu oke," Rana mengacungkan ibu jari.
"Sip. Sayang banget deh sama Kak Rana,"
"Sama abang nggak?" Cetta menyela.
"Sayang juga sama abang," Suri bergeser sedikit mendekati Cetta, lalu membungkuk dan mengecup cepat pipi Cetta. "Sayang sama abangnya aku yang paling ganteng."
"Abang juga mau!" Calvin menyambar, membuat Suri buru-buru berjalan mendekatinya untuk melakukan tindakan sama seperti yang telah dia lakukan pada Cetta. "Sayang juga sama abangnya aku yang paling pintar."
"Abang gim—"
"Sabar, abang," Suri memotong kata-kata Chandra sebelum cowok itu sempat menyelesaikan ucapannya. Langkah kakinya bergerak cepat menuju Chandra. Suri lagi-lagi melakukan sesuatu yang sama seperti yang telah dia lakukan pada dua abangnya sebelumnya. "Sayang juga sama abangnya aku yang paling belangsak."
"Kok gitu?!" Chandra protes, yang hanya Suri balas dengan tawa.
"Ayah, aku pergi dulu, ya."
"Oke. Jangan lupa, pulang sebelum jam sepuluh malam. Gimanapun, kamu itu masih SMA. Masih perlu jam malam."
"Ayah, jam malamnya Suri itu jam delapan," Cetta menyergah cepat.
"Itu mah masih sore, Dimitrio."
"Ayah—"
"Udah, mending kalian langsung pergi aja. Takutnya keburu Cetta. Sebastian, jaga putri Om baik-baik ya? Dia putri satu-satunya sekaligus yang tercantik di rumah sekarang. Jangan sampai Suri kenapa-napa."
Sebastian mengangguk, dia menyempatkan diri menjabat tangan Ayah sekali lagi sebelum pergi. "Kita pergi dulu, Om."
"Hati-hati."
Kalau saja bukan karena Ayah, Chandra, Calvin dan Cetta mungkin sudah kehilangan akal sehat mereka dan menerjang Sebastian agar tidak jadi membawa Suri pergi menghadiri apapun acara itu yang berkaitan dengan mantannya. Apalagi dengan ketentuan jam malam yang molor hingga pukul sepuluh malam pula. Ayah memang benar-benar sudah kehilangan akal sehat. Tapi mereka tentu saja tidak berkutik dibuatnya. Ketiga bersaudara itu hanya bisa menatap punggung Sebastian dan Suri yang sekarang telah menghilang di balik ambang pintu.
"Ah," Ayah bergumam tiba-tiba, memecah kesunyian mencekam yang sempat berkuasa. "Ayah suka anak itu. Sebastian benar-benar tipe anak baik yang cerdas. Juga mandiri. Bukannya menghambur-hamburkan uang orang tua, dia justru berjuang sendiri meniti karirnya sebagai programmer. Anak muda yang berdedikasi."
"Duh, Yah, dia cuma pencitraan di depan Ayah." Calvin berkata jengah, yang langsung didukung oleh dua saudaranya yang lain.
"Kenapa dia harus pencitraan?"
"Mungkin karena sebenarnya dia hanya pura-pura jutek? Jangan-jangan dia naksir Suri juga. Masuk akal, kan?" Cetta mulai berspekulasi.
"Kalau gitu bagus, dong." Ayah justru kelihatan senang, dan itu berhasil membuat ketiga anak lelakinya langsung ternganga. Menyaksikan apa yang terjadi di depannya, Rana hanya bisa diam menahan tawa. "Sebastian kelihatannya bertanggung jawab. Dan serius. Nggak kayak kalian yang kebanyakan main-main."
"Ayah!"
"Apa? Duh, kalian bertiga itu harus mengurangi rasa cemburu kalian yang berlebihan. Adik kalian sudah besar. Sudah hampir dua puluh tahun. Biarinlah dia bersenang-senang. Lama-lama dia bisa stress kalau dipaksa belajar melulu." Ayah beralih pada Rana. "Rana, Om baru saja bawa bibit bunga kamboja baru. Om taruh di halaman belakang. Mau lihat?"
Rana langsung antusias. Sebenarnya, dia tidak terlalu menyukai tanaman. Namun, dia senang mendengar bagaimana Ayah akan bercerita. Segala sesuatu bisa jadi sangat romantis jika Ayah sudah membicarakannya. Entah itu tetesan air dari talang atap, hingga kelinci yang mati karena lupa dimasukkan kembali ke kandang. Rana menyukai kata-kata penuh seni dan kias semacam itu.
"Boleh,"
"Yaudah, yuk."
Keduanya kompak bangkit dari sofa, lantas berjalan menuju halaman belakang tanpa mempedulikan tiga bersaudara yang masih mematung di tempat mereka duduk. Rana dan Ayah sibuk mengobrol. Suara mereka kian sayup-sayup seiring dengan jarak yang semakin jauh sampai hilang sama sekali. Sejenak, Chandra, Calvin dan Cetta tenggelam dalam kesunyian.
"Gila," Chandra bergumam tiba-tiba. "Ini nggak bisa dibiarkan."
Calvin mengangguk. "Ayah nggak boleh ikut-ikutan simpati sama Sebastian. Pokoknya nggak boleh!"
"Kita harus melakukan sesuatu," Chandra menimpali.
"Apa?" tanya Cetta.
"Kita harus menghancurkan citra Sebastian di depan Ayah. Lo tau, kayak yang sering nongol di drama-drama India itu. Kita harus bisa membuat Sebastian kelihatan jelek sampai-sampai Ayah jadi ilfil sama dia."
"Drama banget, elah." Cetta mendelik. "Tapi gue setuju. Caranya gimana?"
"Kita perlu diskusi. Rapat besar berikutnya malam ini. Di kamar Cetta."
Kening Cetta kontan berlipat. "Kenapa harus di kamar gue?"
"Karena kamar lo paling rapi. Jadi paling enak dibuat berantakan lagi."
Calvin lagi-lagi manggut-manggut. "Setuju."
"Kampret."
n o i r
Siapapun yang menikah, dia pasti orang yang luar biasa. Itu kesimpulan yang Suri tarik sesaat setelah Sebastian menghentikan mobil di area parkir gedung hotel tempat acara pernikahan diadakan. Yah, mungkin lebih tepat disebut resepsi, karena tidak ada atribut keagamaan apapun yang tampak disana. Lapangan parkir penuh oleh deretan mobil-mobil licin yang mengilat diterpa sinar matahari sore. Suri terlalu sibuk mengagumi bagian depan hotel besar tersebut hingga dia tidak sadar Sebastian telah bergerak melepaskan safety belt-nya.
"Oh—thanks." Suri berujar saat sabuk pengamannya sudah terlepas. "Baik banget. Aku jadi makin cinta."
"Kita udah telat banget. Acara pernikahannya tadi pagi. Acara resepsinya dimulai jam tiga sore tadi. Tipe cewek manja kayak lo pasti nggak pernah ngebuka seat belt sendiri. Jadi biar nggak lama, gue bukain aja." Sebastian berkilah dengan penjelasan panjang-lebar bernada dingin.
"Enggak juga. Diantara tiga abang, hanya Abang Cetta yang sering ngelepasin safety belt aku."
"Terserah."
Tanpa memberi kesempatan bagi Suri untuk menimpali, Sebastian membuka pintu mobil dan beranjak turun. Suri terperangah sejenak, lalu ikut turun. Dia berjalan cepat dalam balutan flatshoes warna putih yang terpasang di kedua kakinya, memutari setengah bagian mobil hingga berada di dekat Sebastian yang di luar dugaan justru mengulurkan tangannya.
"Kenapa?" salah satu alis Suri terangkat karena heran.
"Hold my hand."
"Cie, romantis banget."
"Jangan salah sangka." Sebastian menyentakkan kepala, ada sorot frustrasi bercampur geli di matanya. Duh, apa yang dia pikirkan sampai-sampai dia bisa mengajak Suri ke acara pernikahan Kat dan Alvaro? Tapi mau bagaimana lagi? Ini terasa benar untuk dilakukan. "Biasanya, dalam acara pernikahan, orang itu ngajak pasangannya."
"Jadi aku pasangan kamu, dong?" Suri cengengesan. "Duh, harusnya nggak bisa langsung gini. Kamu harusnya nembak aku dulu pakai bunga dan balon-balon romantis. Biar kayak anak-anak hits kekinian teman-temannya Abang Chandra. Kalau bisa sih sekalian suruh Abang Chandra bawa fotografer. Kali aja video aku jadi viral dan aku bisa jadi selebritis."
"Lo bukan pasangan gue. Tapi gue mau orang-orang, terutama mantan gue berpikir kayak gitu."
"Oh, kamu pasti mau bikin mantan kamu nyesal ya?"
"Nggak. Gue mau bikin dia kesal. Soalnya dengan membuat orang-orang berpikir lo adalah pasangan gue, itu akan membuatnya malu. Gimana bisa gue meninggalkan dia, cewek cantik, bodygoals dan dewasa demi seorang anak SMA yang masih bocah dan pakai flatshoes kemana-mana kayak lo?"
"Idih, jahat banget."
"Jadi, lo mau pegang tangan gue apa nggak?"
Suri nyengir. "Kalau kamu maksa, oke deh." Gadis itu meraih jari-jari Sebastian dengan jemarinya. Terasa hangat. Dalam jarak yang begitu dekat, Suri baru menyadari betapa Sebastian sangat menjulang. Tingginya mungkin hanya sebatas bahu cowok itu. Jika Suri nekat memeluk Sebastian, wajahnya akan bertemu dada.
Sebastian juga wangi. Suri suka cowok wangi. Apalagi sore ini, dimana Sebastian terlihat sangat rapi. Kemeja biru langit memeluk tubuhnya dengan sempurna. Lengannya digulung sampai siku, memperlihatkan sepasang tangan besar yang pasti kuat menggendong Suri kemana saja. Kancing teratas kemejanya sengaja dibuka, menampilkan jejak selangka pada bahu yang lebar dan dada yang bidang.
Tempat resepsi diadakan sudah ramai oleh tamu undangan. Beberapa yang kelihatannya teman Sebastian semasa sekolah dan kuliah menyapa. Sering pandangan mereka jatuh pada Suri yang langsung berlagak bersembunyi malu-malu di balik punggung Sebastian. Jika sudah ditanya, Sebastian akan menjelaskan dengan sopan bahwa Suri adalah temannya datang ke acara pernikahan sore ini. Mereka bilang Suri cantik. Kebanyakan bergurau tentang bagaimana selera Sebastian akan perempuan sudah berganti. Tentu saja. Cathleena Nirwasita adalah sosok perempuan dewasa yang berjalan tanpa cela di atas hak sepatu setinggi tujuh sentimeter. Suri kebalikannya. Gadis itu manis, namun wajahnya masih penuh oleh nuansa keluguan khas kanak-kanak.
"Bas!" Kat berseru saat melihat Sebastian dan Suri berjalan mendekatinya. Suaranya tinggi dan riang. Dia terlihat cantik hari ini, dengan rambut tertata dalam sebentuk sanggul modern dan gaun pernikahan yang menunjukkan lekuk tubuhnya. Di sebelahnya, seorang laki-laki bertuksedo hitam merangkul pinggul Kat. Dia adalah sosok si pengantin pria, Alvaro.
"Aku nggak mengira kamu betulan datang." Kat memeluk Sebastian, lantas beralih pada Suri dan mereka melakukan gerakan cipika-cipiki dengan sedikit canggung. "You're very pretty. Jadi dia betulan pacar baru kamu? Oh my, aku kira kamu hanya bercanda. Siapa namanya?"
"Suri." Suri menjawab cepat, mengabaikan Sebastian yang mendelikkan mata padanya.
"Ah ya, Suri. Lovely name." Kat melirik sekilas pada Sebastian. "I see. Selera kamu terhadap perempuan sekarang sudah berubah."
"Mungkin karena aku lelah dibikin sakit hati oleh para perempuan yang sudah benar-benar jadi perempuan?" Sebastian tersenyum miring. "My love life is no longer your business, Kat. You're out of it."
"Dude, chill. She has no bad intention. Kamu nggak perlu khawatir. Sekarang, dia istriku. Dia nggak akan merecoki hidupmu lagi." Alvaro angkat bicara. "Ah ya, halo, Suri. I'm so sorry. Perdebatan orang dewasa memang sering terlihat berlebihan, tapi kami bertiga teman, kok."
"Teknisnya, aku juga bukan anak kecil lagi." Suri cemberut, kesal dianggap anak kecil terus-menerus. "I turned 18 this year. Kalau di KTP, aku udah dewasa."
Tawa Kat pecah. "She is funny. Ah, Bas, makasih udah datang. Meski telat. Sebentar lagi, kita mau mulai acara lempar bunga."
"Lead a happy life, Kat." Sebastian berujar, meski dingin, dia jelas tulus. Kat menatap cowok itu sejenak, lalu mengangguk diiringi senyum. Suri langsung antusias begitu dia mendengar Kat bicara soal lempar bunga. Dia sering menyaksikan adegan itu di film-film yang memuat acara pernikahan di dalamnya. Sang pengantin yang berbahagia akan berbalik, kemudian melemparkan buket bunga ke belakangnya, ke arah kerumunan. Konon, siapapun yang mendapatkan buket tersebut akan menyusul menuju pelaminan sesegera mungkin.
"Ini seru!" Suri berujar pada Sebastian yang hanya diam sementara Kat dan Alvaro membuat pengumuman. "Kamu mau ikut acara lempar bunganya?"
"I have no interest in getting married."
"Jangan gitu, dong. Aku sayang kamu, tapi aku nggak mau jadi perawan tua."
"Emangnya gue bakal nikah sama lo?"
"Maunya."
Sebastian menyentakkan kepalanya, jengah. Namun dia sama sekali tidak protes saat Suri menariknya menuju tengah ruangan, dimana Kat sudah bersiap untuk melemparkan bunga ke arah kerumunan. Para tamu undangan sudah berkumpul. Mayoritas adalah perempuan, sementara kebanyakan tamu laki-laki berkumpul di sudut sembari memegang gelas minuman. Sebastian adalah satu dari sedikit yang berada di dalam kerumunan pemburu buket bunga.
"One... two... three..." Kat menghitung, dan pada akhir hitungan ketiga, dia melemparkan buket bunga di tangannya. Buket itu membumbung tinggi ke udara, diiringi oleh hela napas tertahan dari puluhan pasang mata yang memandang padanya. Mata Suri terfokus pada buket itu ketika buketnya melayang turun. Dia mundur tanpa melihat dengan cepat, memperkirakan dimana buket itu mendarat. Pada akhirnya, Suri memang berhasil mendapatkan buket tersebut, tetapi terjadi sebuah insiden yang tidak terduga-duga.
Secara tidak sengaja, Suri menabrak semua meja berisi hidangan. Meja itu langsung goyah, membuat wadah-wadah besar berisi makanan di atasnya berjatuhan. Beberapa yang berbentuk cairan menodai sebagian pakaian Suri, menyepuh warna biru langitnya dengan jejak basah beraneka aroma. Terdengar seruan tertahan dari seisi ruangan. Kat tercekat dengan telapak tangan menutupi mulut. Sebastian ikut melotot. Sementara Suri mengerjapkan mata seakan tidak mengerti situasi yang sedang dialaminya. Cewek itu masih memegang buket bunga dengan erat sembari terduduk diantara jejak-jejak makanan yang sudah berantakan. Untunglah, tidak ada makanan berkuah panas disana.
"Oh, dear," Kat berbisik, berjalan cepat mendekati Suri. Di waktu yang bersamaan, Sebastian telah berjalan menghampirinya. Cowok itu menghela napas, lantas berjongkok di depan Suri dan membersihkan bekas makanan dari pipinya dengan sehelai sapu tangan. Suri melotot kaget saat menyadari jari Sebastian ada di rahangnya, dan wajah cowok itu berada pada jarak sangat dekat. Menyaksikan tindakan heroik Sebastian, kebanyakan tamu undangan, terutama yang perempuan langsung mendesah gemas.
"Hng..." Suri tampak bingung, lalu pipinya memerah. "Sori. Aku pasti bikin kamu malu."
"Banget."
Suri tertunduk. "Maaf ya."
"Chin up," Sebastian mengangkat wajah Suri lewat dagunya. "I need to clean your face. Gosh. Lo kayaknya sangat senang berbuat onar, ya? Kayak tidak ada hari tanpa berbuat onar."
"Tapi kan aku pengen dapet bunganya."
"Gue bisa ajak lo ke toko buku dan beliin banyak buket bunga kayak gitu."
"Ralat. Bukan dapat buket bunganya, tapi dapat magicnya."
Sebastian menghela napas. "Come on. Mending kita ke toilet ssekarang."
Suri menurut. Sambil menahan rasa malu karena tatapan orang-orang yang tertuju padanya, dia meraih lengan Sebastian yang terulur untuk membantunya berdiri. Para perempuan masih menatap Sebastian dengan pandangan kagum ketika mereka berjalan beriringan menuju toilet yang Sebastian maksud.
Tempat itu sepi saat mereka tiba disana. Suri tidak yakin apa Sebastian boleh masuk ke toilet perempuan, tapi karena menurutnya ini situasi darurat, dia tidak bertanya. Dia membiarkan Sebastian membasahi sapu tangan dengan air dari keran, lantas menggunakan sapu tangan itu untuk menghapus bekas-bekas noda makanan di pakaian Suri.
"You just ruined your gown."
"Terus sekarang aku jadi jelek, ya?"
"Dari dulu emang udah jelek."
"Jahat." Suri cemberut, menatap pada kumpulan baby's breath di tangannya dengan lesu. "Tapi iya, sih. Aku juga merasa jelek sekarang."
Sebastian memandang Suri sebentar. Tiba-tiba, dia merasa bersalah sudah bicara seperti itu pada Suri. Cowok itu mengambil tempat duduk di sebelah Suri, lantas berujar pelan.
"Enggak kok. Cantik."
Suri mengangkat wajah, tersenyum manis. "Makasih."
"Bunganya, maksud gue." Sebastian berkilah.
"Mulai deh jual mahalnya." Suri terkikik. Sebastian hanya diam, namun tatkala sejenak kemudian sudut matanya mendeteksi bahaya, dia langsung menarik Suri bangkit cepat-cepat dari atas bangku koridor toilet yang mereka duduki. Insting Sebastian benar. Sepersekian detik kemudian, entah apa penyebabnya, bingkai lukisan yang digantung di tembok jatuh ke atas bangku. Bingkai itu besar dan berat. Kacanya langsung pecah berkeping-keping setelah benturan.
"That was close." Sebastian menghela napas, menatap jejak-jejak lukisan yang sudah jadi pecahan kaca dan kayu. Sayup-sayup, dia mendengar suara langkah mendekat. Pasti pihak keamanan hotel, atau siapapun yang mendengar suara ribut dari jatuhnya bingkai tersebut. Suri masih diam, membuat Sebastian otomatis berpaling padanya. "Lo baik-baik aja? Ada yang luka?"
Suri tidak menjawab. Matanya nanar menatap pada sisa-sisa kaca, kayu, dan tepi bangku besi yang penyok setelah terhantam bingkai tersebut. Pelan, dia mengigit bibirnya.
"Suri?"
Sebastian dibuat kian bingung ketika alih-alih menyahut, Suri justru mulai gemetar ketakutan.
bersambung.
So I just canceled my trip to Jakarta (sigh) (so sorry asa, ka lop and eris) Gue nggak tega meninggalkan teman-teman gue dan melarikan diri juga nggak akan bikin semua masalah gue kelar lol.
And shela did too because of her midterm exam.
Siang ini gue udah minum kopi untuk yang ketiga kalinya mengingat gue ada kelas jam satu siang nanti lol I need sleep that bad seriously setelah semalam nggak tidur karena ngerjain tugas.
Lo tau, terkadang untuk menghadapi sebuah masalah, lo hanya perlu berhenti berjuang. Itu aja. Gue stress banget dari awal sampe pertengahan semester ini. I was angry, sad and lost in confusion tanpa tahu penyebabnya tuh apa sampai beberapa kali gue menangis sendiri di toilet dengan lebay.
Tapi kemudian gue berpikir, yaudahlaya. hidup memang seperti ini. life is a curse in disguise. its so full of misery and there's nothing you can do about it. Just let it go. Terima aja. Emang ada jaminan lo benar-benar dilahirkan untuk bahagia? Nggak usah pura-pura semangat. Nggak usah pura-pura kuat. Dan nggak usah sok-sok berkata pada diri sendiri, "sabar, this too shall pass."
And it helps a lot. At least, I'm in a better condition today.
Lol jadi ya begitulah. My class started in half an hour, soooo, see you in the next chapter I guess?
Jangan lupa komennya.
Love, Renoz.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro