dua puluh
Dua hari kemudian.
"Lo mau langsung balik? Tumben nggak betah di kampus. Kenapa? Baru sadar kalau selama ini lo jadi kuli departemen dan udah kepingin buru-buru keluar?"
Spontan, Calvin mendengus kala mendengar ucapan Saga, salah satu teman kuliahnya sesaat setelah dia keluar dari ruangan dosen pembimbing dengan draft Tugas Akhir siap revisi di tangan. Yah, biasanya Calvin tidak akan langsung pulang. Sebagai mantan ketua himpunan sekaligus salah satu organisatoris paling aktif di departemennya, Calvin punya banyak kenalan dan teman-teman untuk diajak kumpul-kumpul bareng sebelum dia selesai menyusun Tugas Akhir dan memperoleh gelar sarjana—yang berarti ucapan selamat tinggal pada kampus dan statusnya sebagai mahasiswa untuk kemudian memasuki realita yang sesungguhnya. Tapi hari ini, Calvin harus buru-buru pergi ke gelanggang olahraga. Tujuannya tidak lain adalah tidak bukan menjaga Khansa Amarissa dari segala macam marabahaya. Sejujurnya, Calvin sendiri tidak mengerti apa maksud kata-kata Suri. Tetapi kelihatannya, adik perempuannya itu sangat serius dengan apa yang dia ucapkan.
"Gue ada perlu."
"Soal gebetan, ya?" Saga menukas jahil sambil mengiringi langkah Calvin ke area parkir. Hari ini, Cetta berbaik hati mengalah dengan membiarkan Calvin membawa mobil ke kampus. Di rumah mereka hanya ada dua mobil, satu milik Ayah—yang setia dipakai Cetta mengantar-jemput Suri—dan satu lagi milik Chandra. Buat mereka, haram hukumnya menggunakan mobil Chandra kecuali sedang kepepet, karena hanya Tuhan yang tahu peristiwa bangsat macam apa yang pernah terjadi di mobil itu.
"Kenapa lo berkesimpulan seperti itu?"
"Karena nggak ada yang lebih penting bagi seorang Calvin Raskara, mahasiswa berprestasi kita daripada kampus selain adik perempuan tercinta dan... pujaan hati."
"Najis. Bahasa lo Bombay banget."
"Tapi bener kan tebakan gue?"
"Salah." Calvin berujar. "Gue ada perlu sama seseorang."
"Cewek apa cowok?" Saga masih saja meneruskan ledekannya.
"Bencong."
"Jam segini mah bences belum pada keluar, Vin."
"Terserah lo deh," Calvin menyentakkan kepala sambil menarik keluar kunci mobil dari saku celananya. Cowok itu menekan satu tombol, memastikan pintu mobil tidak lagi terkunci sebelum meraih kenop pintunya.
"Buru-buru banget nih, Pak Haji?"
"Sori, Ga. Tapi sumpah gue ada urusan penting dan itu nggak ada hubungannya sama dunia pergebetan-an seperti yang lo maksud. See you, kay?" Calvin masuk ke mobil, menghidupkan mesin dan melambai sekilas pada Saga lewat kaca yang sudah diturunkan.
"Belanda masih jauh, Vin."
"Tapi Izrail bisa aja udah dekat, Ga." Calvin menyahut setengah geli, lantas tersenyum sekali lagi pada Saga sebelum menaikkan kembali kaca mobilnya. Cowok itu menekan klakson, mengemudikan mobil keluar dari lot parkir dengan kelihaian yang sempurna, membuat siapapun tidak akan menyangka jika cowok itu lebih banyak naik kendaraan umum dan duduk di passenger seats tiap kali acara bermobil bersama keluarga maupun teman-temannya. Udara panas, dan decit bannya meninggalkan debu-debu beterbangan buat Saga.
Saga mendengus, menatap pada plat nomor mobil Calvin yang kian mengecil seiring dengan melajunya mobil tersebut meninggalkan pelataran parkir gedung departemen teknik arsitektur.
"Tuh anak kadang suka nggak pake Bismillah kalau ngomong," Saga geleng-geleng kepala. "siapa yang berani ngejadiin Izrail sebagai candaan? Dasar pea. Mati aja lo baru tau rasa." Dengusnya, meski diam-diam ada harap dalam hatinya bahwa itu bukan pertanda akan terjadi sesuatu yang buruk dengan sahabatnya.
n o i r
Khansa tidak mengerti kenapa sejak pertemuannya dengan si angka enam, dia jadi rajin tertimpa sial. Kesialan pertama terjadi kemarin, tepatnya sehari setelah dia bertemu cowok aneh angka enam itu. Mbak Mul, asisten rumah tangganya salah mengoleskan sesuatu di atas roti sandwich bekal harian Khansa setiap pergi latihan ke gelanggang olahraga. Alih-alih mengoleskan mentega, Mbak Mul justru mengoleskan wasabi.
Dikiranya, wasabi itu adalah mentega green tea karena warnanya yang hijau. Sebagai salah satu korban tren anak-anak kekinian, Mbak Mul menganggap jika apa-apa yang diberi green tea pasti selalu lebih baik daripada yang original, karena rasa khas teh hijau mampu mendompleng harga versi original menjadi jauh lebih mahal. Nggak percaya? Coba bandingkan harga kue cubit mamang SD dengan harga kue cubit restoran dan kafe-kafe yang menyediakan beragam varian dari mulai green tea hingga red velvet. Harganya bisa berbeda hingga tiga kali lipat.
Khansa kira, kutukan angka enam akan berhenti disana. Ternyata dugaannya salah. Hari ini, dia kembali tertiban sial, dengan daya rusak kesialan lebih parah dari yang kemarin. Dia bangun kesiangan, praktis begitu dia tiba gelanggang olahraga, sebagian besar teman-temannya sesama atlet cabang olahraga renang telah naik dari kolam untuk beristirahat. Bukan itu saja, Khansa juga harus rela kena semprot habis-habisan dari Pak Purnomo—lelaki paruh baya berkumis tebal yang selama beberapa tahun belakangan setia menjadi pelatihnya.
"Kamu harus belajar bertanggung jawab, terutama soal waktu. Karena itu, sebetulnya saya agak nggak setuju ketika orang tua kamu menolak menempatkan kamu di asrama bersama atlet yang lain." Pak Purnomo menyudahi omelan panjang pendeknya, mungkin merasa bersalah juga melihat bagaimana Khansa tak berhenti tertunduk sejak tadi. "Ya sudah. Ganti pakaian. Sebagai hukumannya, tidak ada waktu istirahat buat kamu. Lima belas kali bolak-balik. Lakukan."
"Siap, Pak." Khansa membalas, lantas langsung beralih ke ruang ganti. Enaknya, ruangan itu kini kosong karena hampir semua atlet tengah berada di luar gelanggang olahraga. Entah mereka sibuk membuka kotak bekal makanan mereka, atau sekadar mengobrol. Atau juga menelepon restoran vegetarian dan menggunakan layanan delivery. Diantara mereka, ada beberapa yang terlahir dari keluarga berkecukupan seperti Khansa sehingga tidak perlu khawatir memikirkan masalah biaya menggunakan fasilitas delivery restoran vegetarian ternama.
Perut Khansa keroncongan, namun meminta tambahan waktu pada Pak Purnomo bahkan hanya untuk menggigit roti isi selai kacang dalam kotak bekalnya adalah sesuatu yang menurut gadis itu kesalahan. Lagipula dia hanya perlu melakukan lima belas kali bolak-balik, dan itu bukan masalah besar.
Pak Purnomo tidak kelihatan, entah dimana. Arena kolam renang hampir sepenuhnya kosong. Khansa menyempatkan diri melakukan pemanasan selama beberapa menit sebelum terjun ke air. Berbanding terbalik dengan udara yang gerah, air kolam terasa dingin kala membasuh kulitnya. Dengan giat, Khansa memulai latihan. Putaran pertama... kedua... kelima... semua terlewati dengan baik.
Lalu tiba putaran keenam.
Mendadak, Khansa diserang keram. Perutnya terasa kaku sementara otot-ototnya tercengkeram oleh nyeri. Tersentak, Khansa mencoba berhenti bergerak, berharap tidak adanya gerakan yang tak perlu dapat membuat tubuhnya mengapung dengan sendirinya. Namun sakit yang menyengat anggota gerak dan perutnya membuatnya tidak bisa berhenti meronta. Perlahan namun pasti, gadis itu mulai tenggelam ke dasar.
Khansa bertanya-tanya, apakah mungkin dia akan mati?
Well, jika iya, betapa ironis. Dia menghabiskan hampir seumur hidupnya menentang orang tua hanya karena obsesinya pada kolam renang. Obsesinya pada sesuatu yang tidak pernah dia tahu, kelak akan membunuhnya.
Air mulai mengalir masuk ke hidungnya, lalu ke mulutnya. Mencekiknya. Khansa nyaris benar-benar tidak bisa bernapas. Tubuhnya melemas, kehilangan tenaga bahkan hanya untuk melakukan gerakan kecipak guna menarik perhatian siapapun yang mungkin ada di luar sana.
Mungkin dia akan benar-benar mati. Tidak apa-apa. Khansa mencoba menenangkan dirinya. Itu bukan masalah besar. Sekalipun dia mati, dia tidak akan sendirian. Oma pasti sudah berada disana, di suatu tempat yang Khansa berani bertaruh, lebih indah dari tempatnya berada sekarang.
Khansa menyerah. Gadis itu memejamkan matanya, membiarkan air menenggelamkannya kian jauh hingga ke dasar. Cahaya terasa kabur, kian lama kian menyamar dan menyekapnya dalam kegelapan purna. Hanya saja, sebelum kesadaran Khansa hilang sepenuhnya, dia mendengar suara sesuatu yang jatuh ke air. Entah apa itu. Khansa tidak tahu.
Lamat-lamat, angka enam berkelebat dalam benaknya. Cowok angka enam. Putaran keenam. Angka enam memang angka sial.
n o i r
Area kolam renang sepenuhnya kosong dan sepi ketika Calvin tiba, membuat cowok itu tak berhenti merutuki diri sendiri dalam hati. Astaga. Apa dia datang terlambat? Duh, padahal Calvin sudah berusaha keras meminimalisir segala macam kesalahan yang mungkin akan ditemukan oleh dosen pembimbingnya pada draft Tugas Akhir untuk menghindari kemungkinan terlambat seperti ini. Sepertinya semua atlet sedang beristirahat. Kesal, Calvin memutar langkah. Dia berniat pergi ke halaman, berpikir bisa menemukan Khansa disana ketika samar telinganya mendengar suara kecipak ribut.
Keningnya seketika berkerut. Suara kecipak itu telalu aneh karena suaranya terdengar acak, macam seseorang tengah tenggelam dan sedang berusaha mendapatkan pertolongan—yang mana tidak wajar, mengingat mereka yang berlatih disana adalah perenang mahir dengan kemampuan yang telah diakui. Sempat membatu di tempatnya berdiri, Calvin memutuskan mengikuti instingnya. Matanya langsung melotot lebar sampai bukaan maksimal tatkala dia melihat seorang gadis nyaris tenggelam. Melihat bagaimana ganjil posisi tubuhnya, mudah buat Calvin menebak kalau gadis itu mengalami keram.
Calvin bukan anggota tim pemadam kebakaran. Atau tim penyelamat. Dia bukan seseorang dengan jiwa sosial tinggi. Apalagi superhero pembasmi kejahatan—di luar obsesi tidak biasanya pada karakter bernama Ultraman. Namun Calvin tidak berpikir panjang kala dia melepaskan jaket, mengeluarkan dompet dan meletakkan tasnya di bagian kering pinggir kolam renang sebelum melompat. Pengalamannya sebagai anggota kelompok pencinta alam selama kuliah menjadikan memiliki kemampuan survival yang mumpuni. Tidak butuh waktu lama bagi Calvin untuk meraih leher gadis itu, lantas menariknya ke tepi.
Lagi-lagi Calvin dibuat tercekat saat dia tiba di tepi. Gadis itu adalah gadis jutek yang memuntir lengannya ke belakang tempo hari. Khansa Amarissa yang berwajah dingin. Dia tidak bernapas, dan perlahan Calvin dirambati kepanikan. Spontan, cowok itu langsung melakukan tindakan pertolongan pertama yang dia tahu. Tangannya sibuk menekan dada dan perut Khansa agar air keluar. Di sisi lain, entah siapa yang mengabarkan, gelanggang olahraga mulai dipadati oleh mereka yang penasaran.
Sementara Khansa juga masih belum bernapas.
Merasa terdesak, Calvin pun melakukan sesuatu yang tidak pernah dia duga akan dia lakukan pada orang asing, apalagi seorang gadis. Cowok itu meniupkan udara ke mulut Khansa melalui mulutnya, lantas melanjutkan gerakan tangannya menekan perut dan dada gadis itu untuk mengeluarkan air. Usahanya tidak sia-sia. Khansa terbatuk, mengeluarkan air dari mulut dan hidungnya. Matanya perlahan terbuka, mengernyit, sorotnya lemah saat dia menatap pada Calvin.
"... angka enam?" suara itu hanya bisikan samar, tapi masih cukup keras untuk bisa didengar Calvin. Menunduk dengan rambut basah yang menempel ke dahinya, Calvin membuang napas. Wajahnya memerah. Sial. Dia bukan pahlawan kesiangan. Mengapa dia sampai merasa harus repot-repot memberi napas buatan pada gadis yang bahkan tidak pernah menunjukkan sikap manis sekalipun padanya?
Kerumunan di sekitar mereka kian membanyak. Khansa tampak tidak percaya, tetapi dia terlalu lemas untuk beranjak. Calvin seperti mengerti, tangannya baru akan terulur untuk membantu Khansa, tapi itu tidak pernah benar-benar terjadi karena sesaat kemudian, Pak Purnomo menyeruak kerumunan. Lelaki separuh baya itu melotot khawatir pada Khansa yang masih terbaring di tepi kolam, juga pada Calvin yang berlutut di dekatnya dengan sekujur tubuh basah kuyup.
"Cepat bawakan handuk!" Pak Purnomo berseru pada seseorang, membuat sebuah tangan dari kerumunan menjulurkan handuk tidak lama kemudian. Separuh tergopoh, Pak Purnomo menghampiri Khansa, membantunya beralih pada posisi duduk sambil menyampirkan handuk besar di bahunya. "Kamu nggak apa-apa?"
Calvin berdecak, lalu bangkit. Kerumunan otomatis terbelah, memberinya akses untuk lewat. Dia berjalan pergi begitu saja, tidak menyadari bagaimana Khansa menatap punggungnya yang basah hingga dia berbelok di pintu keluar.
n o i r
Siena uploaded new picture
siena padmarini kangen makan ini :')
suri laksita dan 73 lainnya menyukai ini
barachandra aryasatya cie ternyata facebooknya masih aktif
siena padmarini hng... iya kak
barachandra aryasatya yaudah yuk
siena padmarini yuk apa?
barachandra aryasatya ayo kita hunting Taichan sama-sama :) <3
suri laksita abang jangan ganjen barachandra
barachandra aryasatya apasih kamu anak kecil bukannya belajar
suri laksita kalau aku anak kecil berarti siena juga anak kecil
suri laksita abang bisa dipanggil KPAI kalau macarin anak di bawah umur
barachandra aryasatya halah
dimitrio bacot lo dijaga
barachandra aryasatya HASTAGAH
barachandra aryasatya ada apa dengan orang-orang hari ini????????? kenapa pada buka facebook?
dimitrio bukannya lo seneng?
dimitrio since dedek gemesh lo nggak berkuasa sampe facebook?
suri laksita coba kalo komen-komenannya di facebook, siena padmarini udah abis disantet kali sama fans abang
barachandra aryasatya kepikiran sesuatu
suri laksita jangan aneh-aneh. jangan berani macem-macem sama temen aku
siena padmarini suri.........
suri laksita iya, gue tau lo terharu, santai aja sien, nggak usah bilang makasih
siena padmarini dih ge-er
barachandra aryasatya ternyata suaranya siena padmarini bagus
barachandra aryasatya bikin single bareng yuk^^
dimitrio terus nanti judulnya "Jodohku"
barachandra aryasatya alah sampah lo kira anang asanti
barachandra aryasatya gimana pretty siena? mau ya bikin lagu bareng aku? nanti kita perform akustikan bareng :) ^.^
barachandra aryasatya kok nggak direspon sih? :(
barachandra aryasatya kamu nggak mau ya, siena padmarini?
dimitrio jam istirahat anak sekolah udah abis, beruk
barachandra aryasatya ohiya lupa :(
barachandra aryasatya duh cintaku terhalang bel masuk sekolah :(
dimitrio musnah dah lo
n o i r
Sampai waktu latihannya selesai, Khansa tidak melihat Calvin dimanapun. Apa cowok itu langsung pulang? Bukan berarti Khansa berharap Calvin menunggunya hingga selesai latihan—dia tetap meneruskan latihan meski Pak Purnomo sempat menyuruhnya pulang untuk beristirahat. Khansa merasa bersalah pada cowok angka enam itu. Jika Khansa jadi dia, gadis itu tidak akan merasa harus repot-repot melakukan tindakan pertolongan pertama, bahkan sampai memberikan napas buatan. Mencium seseorang yang buatnya menyebalkan secara tidak langsung pasti adalah sesuatu yang menyiksa. Terutama jika malam harinya, Khansa habis makan seporsi semur jengkol.
Duh, lagi-lagi wajahnya memerah karena malu.
Khansa menghela napas, memilih menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi bus yang kini dia tumpangi. Setelah keputusannya untuk tidak meneruskan kuliah dan fokus pada renang, dia sudah serupa anak tiri bagi kedua orang tuanya, walau rasa sayang mereka membuat mereka masih menerima Khansa di rumah. Papa melakukan apa yang dia bisa untuk mematahkan impian Khansa di bidang olahraga, entah itu mulai dari melarang Khansa pindah ke asrama para atlet hingga mencabut fasilitas supir antar-jemput yang dulu setia mengantar-jemput Khansa pergi ke sekolah. Untunglah, Pak Purnomo mengerti dan bersedia memberi banyak toleransi buat gadis itu.
Waktu berlalu dengan cepat, seperti desir pasir diantara jari yang tak disadari. Langit telah berubah jadi biru gelap saat bus berhenti di sebuah halte. Khansa dan dua orang lainnya turun, berjalan di atas trotoar lantas berpisah pada arah yang berbeda. Angin petang meniup rambut Khansa yang basah, membuatnya lagi-lagi teringat pada peristiwa di kolam renang dan bagaimana cowok angka enam telah menyelamatkan nyawanya.
Bagaimana bisa dia tahu? Dan apa yang dia maksud soal hubungan dengan Oma? Khansa menyesal sudah menyangsikan ucapan cowok angka enam dan memuntir tangannya tempo hari. Kini, Khansa hanya bisa berharap cowok angka enam itu akan muncul setidaknya sekali lagi. Betapa konyol dan mustahil.
Atau tidak terlalu konyol dan jauh dari mustahil, karena sedetik kemudian, Khansa mendengar suara geram kucing garong di belakangnya, disusul oleh pekik tertahan seorang cowok ketika kakinya tersandung tempat sampah di tepi jalan hingga dia nyaris jatuh dengan sangat tidak patut di atas trotoar. Refleks dengan raut wajah dialiri keterkejutan, Khansa berbalik. Matanya terbeliak kala dia menyadari sosok itu tidak lain dan tidak bukan adalah si angka enam yang kini tengah sibuk adu sangar dengan seekor kucing hitam.
"... angka enam?"
Dengan wajah meringis khas orang yang baru tertangkap basah, Calvin menggaruk kepalanya sambil kakinya menendang kucing di dekatnya dengan santai. Kucing itu tersaruk ke semak-semak, menatap pada Calvin dengan matanya yang kuning seolah-olah Calvin adalah manusia paling jahat yang pernah ia temui sepanjang eksistensinya sebagai makhluk berkaki empat.
"Tenang aja. Kucing garongnya udah baik-baik aja. Kucingnya cewek. Dia cuma butuh dimengerti."
Khansa mengangkat sebelah alis, menatap sekilas pada tong sampah yang kini isinya sudah berhamburan di jalan. "tapi tong sampahnya penyok. Jadi dia nggak baik-baik aja."
Calvin cengo. "Jadi lo lebih peduli sama tempat sampah daripada kaki gue yang sekarang nyut-nyutan karena nggak sengaja kepentok tempat sampah yang kalau boleh gue tambahkan ya, terbuat dari lempengan besi?!"
Khansa menghela napas. "Hhh, angka enam memang selalu berarti pertanda sial."
"Lo bilang apa?"
"Nggak apa-apa. Btw, nama gue Khansa."
Calvin mendengus. "Udah tau."
"Emang. Dan gue bilang itu bukan karena gue pengen lo tau nama gue, tapi karena gue yang pengen tau nama lo," Khansa berdecak. "Nama lo siapa? Jelas lo nggak akan terima kalau gue panggil lo dengan sebutan si angka enam."
"Jelas. Lo kira gue Dajjal?"
"Mirip."
"Jangan ngajak ribut."
"Oke. Sori. Nama lo siapa?"
"Lo bisa panggil gue yang mulia."
Khansa berbalik. "Salah gue ngajak ngomong orang gila."
"Oit, jangan cabut dulu." Calvin bergerak cepat, menghadang langkah Khansa sebelum gadis itu bisa bergerak. "Nama gue Calvin."
"Hm. Ngingetin gue sama pelajaran kimia yang nggak mau gue inget-inget lagi. Setelah gue pikir-pikir, kayaknya gue lebih suka panggil lo dengan sebutan si angka enam." Khansa mengedikkan bahu, berjalan melewati Calvin begitu saja lalu menyambung. "Rumah gue di dekat sini."
"Terus?"
"Nggak mau ngecek kaki lo apa gimana gitu? Siapa tau aja bonyok dan kudu diamputasi."
Calvin menyentakkan kepala. "Gue mau ikut ke rumah lo. Tapi bukan buat ngeliat kaki yang bonyok."
"Buat apa?"
"Numpang makan," Calvin berpikir sejenak. "terus numpang kencing."
Khansa hampir tidak mengerti. "Lo kan cowok. Kencing di pohon juga bisa."
"Kata adek gue, mayoritas pohon itu ada penunggunya. Daripada titit gue disihir jadi terong karena gue kualat, mending gue cari aman."
Khansa hampir tertawa. Ingat, hampir. "Gue nggak biasanya nerima tamu gembel kayak lo, tapi karena lo udah melakukan tindakan heroik di kolam renang hari ini, gue rasa gue nggak punya pilihan lain."
Calvin menyeringai. "Lo emang nggak punya pilihan lain."
n o i r
"Good morning, pangeran tampan dari negeri seberang! Akhirnya ya, setelah seminggu penuh aku menanti, kamu datang juga. Duh, mana lagi nih abang. Abang Chandraaaaa!! Abang Calviiiiin!! Abang Cettaaaaa!!! Tian udah dateng elah buruan panasin mobil kelyaaaaaan!!!"
Sebastian belum lagi turun dari mobil ketika suara heboh Suri sudah menyambutnya. Cowok itu berdecak, menepikan mobil di sisi pagar tinggi rumah Suri. Dia melirik sekilas pada tas besar berisi berbagai jenis makanan dan peralatan piknik di kursi belakang—amunisi yang telah disiapkan oleh Mami bahkan sejak pagi-pagi buta. Mami begitu antusias dengan acara Sebastian dan Suri ke Dufan hari ini. Wanita itu bahkan sampai melarang Sergio yang memelas minta ikut karena khawatir kehadiran Sergio akan merusak momen-momen Suri dan Sebastian berduaan.
Suri langsung menghampiri mobil Sebastian setelah mobil itu berhenti. Hari ini, dia mengenakan terusan warna biru laut yang menyapu hingga lututnya. Rambutnya disisir lurus dan rapi, tergerai menyentuh punggung. Dia tersenyum cerah, selama sejenak membuat Sebastian bingung harus bicara apa.
"Pagi. Duh, udah ganteng aja." Suri menyapanya lewat luar kaca mobil yang sengaja Sebastian biarkan terbuka.
Sebastian mendengus. "Lo mandi nggak, sih?"
"Mandi, dong. Pake bathbom galaksi, jadi air dalam bathtub sampai item-item gaul gitu. Kata Gio, kamu suka segala sesuatu yang berbau galaksi."
Gio kampret.
"Kalau kamu suka galaksi, aku bisa kok jadi bintangnya."
Sebastian hampir melengos. "Gue tanya soalnya ada belek di mata lo."
"Hah?! Yang bener?!" Suri langsung heboh sendiri, lantas bercermin di kaca spion mobil Sebastian. Tanpa gadis itu sadari, Sebastian telah menatapnya, meneliti setiap jengkal penampilan gadis itu dan bertanya-tanya bagaimana penampilan innocent nan polos khas anak kecil bisa membuat Sebastian terperangah sejenak sebelumnya.
"Kamu bohong," Suri cemberut ketika selesai bercermin. "Nggak ada beleknya, kok."
"Ini udah mau jam tujuh. Kenapa lo belom siap?"
"Duh, tungguin. Kan abang-abang juga mau ikut ke Dufan."
Mata Sebastian melotot. "Abang-abang lo ikut?!"
"Jangan kecewa gitu, Tian. Saat ini kita belum bisa jalan berdua, tapi percayalah, nanti juga akan tiba saatnya."
Sebastian mendengus. Kenapa juga dia harus merasa sekaget itu hanya karena ketiga kakak laki-laki Suri ikut pergi ke Dufan? Bah, salah besar jika dunia berpikir dia ingin berdua saja dengan Suri. Suri kan hanya bocah SMA yang belum tahu apa-apa tentang dunia.
"Tian, kamu marah?"
"Nggak."
"Hm, yaudah." senyum ceria Suri kembali lagi. Dan Sebastian suk—oke. Lupakan. Sebastian hampir saja melakukan kesalahan. "tunggu disini sebentar mau ya? Pliss?"
"Lima belas menit."
"Sip. Oh ya, sebelum itu," Suri merogoh saku terusannya, mengeluarkan sekaleng kopi dingin yang bagian luarnya telah berembun. Kopi dingin favorit Sebastian. Merek yang setia digunakannya selama bertahun-tahun belakangan. "Aku nggak suka minum kopi, tapi aku suka kopi ini. Meski kata Abang Cetta nggak boleh sering-sering. Karena rasanya enak, aku beliin satu buat kamu. Mau kan?"
Sebastian terperangah.
"Tian?"
Otomatis, tangan Sebastian terulur. "Yaudah, sini."
"Tunggu disini sebentar, oke?" Suri berujar lagi setelah kopi itu berpindah ke tangan Sebastian, lalu dia berbalik dan kembali masuk ke dalam masih diiringi dengan teriakan heboh. "Abangggg!! Buruaaannnnnnn!! Elahhhh ngapain lama-lama nyari kacamata doang, Abang Chandraaa?! Di Dufan juga numpuk tukang jualan kacamata!!!"
Di atas jok mobilnya, Sebastian menatap sekaleng kopi dingin di tangan kanannya. Dia ingat bagaimana dulu, Kat selalu mentertawakan kegemarannya pada kopi kalengan. Kat juga penikmat kopi, namun dia berada pada level yang lebih serius. Buat Kat, kopi kalengan bukan kopi betulan, berbeda dengan kopi-kopi hasil karya barista yang dibuat dengan beragam teknik. Satu lagi perbedaan diantara mereka, yang kemudian kian membanyak hingga bermuara pada perpisahan keduanya.
Cowok itu menghela napas, membuka kemasan kopi kaleng itu dan menyesap isinya. Pahit-manis yang dingin mengalir menuruni kerongkongannya. Mata Sebastian terarah lagi ke dalam rumah, lalu tanpa bisa dia tahan, mulutnya bergumam pelan hampir tanpa suara.
"Thanks, Suri."
bersambung.
***********************************
***********************************
a.n : hari ini gue balik ke semarang T.T
plis doakan agar semester ini aku masih bisa lancar menulis
dan ip tetap bagus.
kudoakan untuk kalian semua juga
kiss mwah mwah mwah
btw makasih buat komen dan vote di chapter sebelumnya.
ciaowwwwwwww.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro