dua belas
Hampir seminggu sudah berlalu sejak terakhir kali Suri datang ke rumahnya. Hampir seminggu pula sejak Sebastian resmi mengungsi ke kamar tidur Sergio setiap malam karena tidak bernyali tidur sendirian di kamarnya. Setelah berkomunikasi dengan Suri—yang detilnya sama sekali tidak ingin Sebastian tahu—hantu Sarah memang tidak lagi mengganggunya seperti saat malam itu. Namun tetap saja, Sebastian masih dibuat paranoid karenanya. Lagipula, lebih aman tinggal di kamar Sergio sementara. Jadi dia tidak harus menahan diri untuk pergi ke toilet tiap malam hanya karena membayangkan wajah-wajah seram dari sejumlah film horor yang pernah dia tonton.
Hari ini hari Sabtu. Sebastian sudah menelepon kedua orang tuanya, memastikan kepulangan mereka. Mami sempat heran, karena tidak biasanya Sebastian terlihat menanti-nanti kepulangan mereka, namun setelah Sebastian bilang ada seorang anak perempuan bernama Suri yang perlu bicara dengannya, Mami pun tidak bertanya lagi. Bagus, karena Sebastian juga tidak ingin menjelaskan. Dirinya dan Sergio sudah cukup tersiksa minggu ini. Pertama, karena tidur Sebastian tidak nyenyak, hingga kinerjanya di kantor menurun. Kedua, karena Sergio benci harus berbagi kamar dengan kakaknya.
Seperti biasa, Sergio bangun lebih dulu. Dia melemparkan ujung selimut, lantas turun dari kasur dan bergerak langsung pada kalender yang tergantung di dinding. Tangannya meraih sebatang spidol merah, mencoret satu tanggal terakhir yang sudah dilingkari dengan sepenuh rasa tanpa menyadari kalau Sebastian yang ikut terbangun kini sedang memperhatikannya.
"Itu apa?"
Sergio tersentak, lalu melotot. "Yaelah, kak! Lo ngagetin gue!"
Sebastian memutar bola matanya dengan malas, lalu ikut bangun dari posisi berbaringnya. "Tanda silang itu... artinya apa?"
"Countdown."
"Gue juga tau, Gio."
"Countdown menuju terbebasnya kamar gue dari imigran gelap," Sergio menyindir, mengabaikan reaksi dramatis Sebastian saat dia meletakkan spidolnya kembali ke atas meja.
"Lo sebut gue imigran gelap?!"
"Apa dong? Pengungsi? Kebagusan. Emangnya lo korban bencana alam?"
"Gue korban konflik antara dua dunia, Gio."
Sergio mencebikkan bibirnya. "Sarah nggak mengganggu lo, Kak. Dan konflik yang lo bilang itu hanya imajinasi karena lo udah kelewat parno sama makhluk yang namanya set—"
"Jangan disebut!" Sebastian memotong keras.
"Kenapa?"
"Karena nanti dia bisa tahu kalau dia lagi diomongin!"
"Halah."
"Lagian lo perhitungan banget sih sama kakak lo sendiri. Jarang-jarang juga kan gue numpang ke kamar lo. Malah lo tuh harusnya inget dong siapa yang dulu sering menyelamatkan lo dari omelan Mami karena lo main bola sambil hujan-hujanan," Sebastian turun dari kasur. "Kalau urusan Suri dan hantu Sarah kelar hari ini, gue bakal balik ke kamar gue malam ini juga."
"Kalaupun urusannya nggak beres hari ini, lo nggak punya pilihan lain."
"Maksud lo?"
"Izin suaka lo untuk berlindung di kamar gue hangus malam ini."
Sebastian melotot. "Kok gitu, sih?"
"Dunia itu kejam, kak." Sergio menyahut malas, lantas berjalan menuju kamar mandi dan menghadiahkan satu bantingan pintu pada Sebastian yang langsung membuang napas. Cowok itu menatap gamang pada kalender di dinding kamar Sergio yang beberapa tanggalnya telah dinodai coretan tinta merah. Duh. Dia tidak takut hantu—oke, dia mungkin takut hantu. Tapi bukannya itu wajar? Semua manusia di dunia ini pasti punya sesuatu yang mereka takuti. Seperti bagaimana Sergio takut melihat sarang lebah, atau Mami yang membenci laba-laba. Sebastian tidak takut pada sarang lebah, atau bergidik setiap melihat serangga menggelikan seperti laba-laba atau kecoak. Dia hanya membenci makhluk astral. Itu saja.
Itu wajar, kan?
Ah, gila. Apa yang sedang dia pikirkan? Sebastian menolehkan kepala untuk menatap pada pintu kamar mandi yang tertutup. Ada suara air mengalir dari dalam sana, disusul senandung samar Sergio dan suaranya menyikat gigi.
Oke, Sebastian. Tarik napas. Hantu Sarah tidak semenyeramkan itu.
Sebastian mencoba menganggap Sarah sebagai adiknya, namun usahanya gagal. Dia masih sangat kecil ketika Sarah meninggal. Dia tidak pernah benar-benar merasakan perbedaan dalam hidupnya saat Sarah masih ada, atau setelah anak perempuan itu meninggal. Dia tidak mengenal Sarah sama sekali, kecuali lewat memori samarnya kala berusia tiga tahun yang bisa dihitung dengan jari. Buatnya, Sarah adalah orang asing. Hantu yang tidak dia kenal. Dan pikiran itu mampu mendirikan bulu kuduknya.
Sebastian berdecak, lalu menggelengkan kepalanya berkali-kali. Tidak-tidak. Dia tidak boleh berpikir negatif. Urusan Suri dengan hantu Sarah akan selesai hari ini juga, dan voila! dia bisa kembali ke kamar tidurnya tanpa harus berebut selimut dengan Sergio setiap malam. Sekarang, yang perlu dia lakukan hanya memastikan ulang sesuatu. Maka, tangannya pun meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas samping tempat tidur. Tangannya mengetik sebentar, lalu mengirimkan pesan tersebut untuk orang tuanya.
To : Mami
Pesawat Mami-Papi landing jam berapa? Mau aku jemput?
n o i r
Lagi dan lagi, Rana datang ke rumahnya tanpa Cetta duga. Waktu masih menunjukkan pukul setengah delapan pagi ketika bel pintu depan dipijit bertubi-tubi. Cetta yang sedang sibuk menyikat gigi harus bergerak tergopoh-gopoh menuju pintu depan, karena dua saudaranya yang lain tidak bisa diharapkan. Chandra masih tepar di atas tempat tidur karena baru pulang jam empat pagi setelah beraksi di sebuah tempat dugem ibukota, sementara Calvin juga tengah asyik ngorok karena menghabiskan sepanjang malam hanya untuk menyetel ulang serial The Rugrats dan Hey, Arnold kesukaannya. Suri? Paling juga masih tidur. Saat libur begini, tidak peduli sesore apapun gadis itu jatuh terlelap, dia baru akan terbangun lewat dari jam sembilan pagi.
"Ya ampun, Dimi!" Rana melotot ketika melihat bagaimana wajah Cetta terlihat setelah pintu dibuka. Cowok itu masih menjepit kepala sikat gigi di mulutnya. Ada busa yang terlihat di sudut bibirnya. Rambutnya berantakan, dengan mata yang sayu khas orang baru bangun tidur.
Cetta berujar tidak jelas, yang menurut Rana terdengar seperti tunggu sebentar, sebelum berbalik dan kembali berlari ke dalam. Alis Rana mengerut, namun gadis itu tidak menahan gerakan Cetta. Dia berjalan ke ruang tengah setelah sebelumnya menutup pintu depan. Ruangan itu sepi. Sangat mudah bagi Rana menebak kalau tiga saudara Cetta yang lain masih berenang di alam mimpi.
"Kamu kok nggak bilang kalau mau dateng?" Tidak lama kemudian, Cetta keluar dari kamar mandi sembari mengeringkan wajahnya dengan handuk. Rambutnya sudah disisir hingga terlihat lebih rapi, dan aroma mint yang khas dari pasta gigi melekat pada udara di sekelilingnya. Dari semua versi Dimitrio Gilicetta yang pernah dilihat Rana, versi baru bangun tidur adalah favoritnya. Cetta hanya Cetta. Apa adanya, tanpa pakaian rapi yang membuatnya terlihat seperti model rumah mode ternama. Cetta yang manusiawi selalu mampu melelehkan hati Rana.
"Karena aku memang nggak niat datang."
"Lah, terus?"
Rana menyodorkan kantung plastik hitam yang sejak tadi dibawanya. "Kamu inget Om Satrio?"
"Om kamu yang kerja di salah satu industri makanan itu?"
Rana mengangguk. "Semalem dia baru main ke rumah. Ngobrol sama Papa. Terus pas pulang, dia ninggalin banyak indomi dan superbubur. Karena aku suka indomi, jadi indominya aku simpan buat aku. Daripada mubazir, superbuburnya aku kasih aja buat kamu."
"Ya ampun."
"Nggak usah merasa tersanjung. Atau berterimakasih. Soalnya superbubur juga kan nggak enak."
Cetta berdecak, tapi lantas matanya menatap Rana lembut. Kemudian, tangannya terulur mengacak rambut gadis itu. "Makasih ya."
"Kan aku udah bilang, kamu nggak perlu bilang makasih," Rana berujar. "Mending kamu ambil sebungkus, terus kamu bikin sekarang. Kemarin aku lihat kulkas kamu masih penuh. Sekalian deh dikasih telur rebus, kecap sama potongan jamur. Oh iya, sekalian bikinin aku teh manis juga, ya."
Kening Cetta berkerut. "Kata kamu tadi superbubur nggak enak?"
"Iya, tapi mendadak aku jadi kepingin."
Setahun lebih sudah berlalu sejak mereka pertama saling mengenal, tapi Rana tidak pernah berubah. Selalu ada sisi darinya yang mengejutkan Cetta. Kadang menyenangkan. Kadang menyebalkan. Seperti sekarang. Tetapi Cetta menurut. Cowok itu mengambil alih kantung plastik dari tangan Rana, lantas bergerak menuju dapur. Rana sendiri memilih menunggu di ruang tengah, menghidupkan televisi lantas menggantu channel setiap sepuluh detik sekali.
Dibanding Chandra dan Calvin, Cetta adalah yang paling ahli di dapur. Sejak masih kecil, dia adalah yang paling sering menawarkan bantuan pada Bunda sementara ketiga saudaranya yang lain sibuk dengan urusan mereka. Bunda mengajari Cetta bagaimana cara membuat banyak hidangan, sembari memberitahu kalau kemampuan memasak itu penting untuk dikuasai bukan hanya perempuan, tapi juga laki-laki. Setelah Bunda meninggal, satu-satunya yang bisa membuat hidangan favorit keluarga mereka dengan cita rasa yang hampir sama adalah Cetta. Jadi Ayah menyerahkan tanggung-jawab masak-memasak dan berbelanja bulanan pada Cetta. Chandra bertugas membagi-bagi alokasi keuangan keluarga mereka, sementara Calvin wajib melunasi tagihan listrik, air, internet, tv kabel dan telepon setiap awal bulan tiba. Masalah bersih-bersih seperti mencuci piring dan mengepel lantai dibagi bergiliran diantara mereka berempat.
Pembagian tugas itu membuat Suri dan ketiga kakaknya menyadari bagaimana Bunda adalah sosok yang sangat luar biasa. Perempuan itu sangat berjiwa besar, mengurusi empat anak yang hiperaktif selama bertahun-tahun tanpa pembantu dan baby sitter. Bunda juga tidak pernah mengeluh, bahkan hingga penyakit itu menjemput nyawanya. Tidak jarang, mereka merasa sangat merindukan Bunda. Namun mereka juga percaya kalau sekarang, Bunda sudah berada di tempat yang lebih baik. Dan tanpa rasa sakit.
Cetta kembali ke ruang tengah sekitar tiga puluh menit kemudian, dengan mangkuk bubur yang telah dicampur irisan jamur, daun bawang, telur rebus, kerupuk dan kecap di tangan kanan, serta secangkir teh manis hangat di tangan kiri. Cowok itu meletakkan hidangan hasil karyanya di atas meja, menunjukkannya pada Rana.
"Tuh, udah."
"Hm, mendadak aku kenyang."
"Maksud kamu?" Cetta lagi-lagi dibuat heran.
"Kamu aja yang makan." Rana beranjak dari sofa, mendekati Cetta lantas berjinjit untuk memberikan satu kecupan singkat di pipi cowok itu. Kemudian tanpa mempedulikan ekspresi wajah Cetta yang tidak menyangka akan mendapat ciuman tidak terduga, gadis itu meneruskan. "aku ke kamar Suri dulu deh. Mau ngelanjutin obrolan rahasia perempuan di kafe Hello Kitty tempo hari."
Cetta menghela napas, memegang pipinya yang baru saja dicium Rana sembari menatap pada sosok pacarnya yang berjalan riang menuju tangga. Tentu saja, harusnya dia tahu sejak awal. Rana tidak berniat menyuruh Cetta memasak untuknya. Ini adalah satu dari banyak cara unik Rana agar Cetta sarapan pagi. Senyumnya perlahan terkembng. Gadis itu jelas bukan gadis biasa. Namun seperti Suri, Rana bukan gadis aneh.
Dia hanya tercipta dengan istimewa.
n o i r
Suri tengah mematut diri di depan cermin ketika seraut wajah menyembul tiba-tiba di ambang pintu kamarnya yang sengaja dibiarkan terbuka. Bukan, bukan wajah milik Wati. Melainkan wajah milik Rana. Dan sudah bisa dipastikan, setiap kali Rana muncul di rumah, Wati tidak akan berani berada di dekat Cetta. Alasannya sederhana, amukan kalap Rana saat Wati menyembunyikan ponsel gadis itu sudah cukup membuat Wati memandang Rana sebagai pribadi yang sangat menyeramkan. Wati bahkan percaya, dia bisa mati dua kali jika dia berada di dekat Rana lebih dari sepuluh menit.
"Kak Rana?" Suri mengernyit, lantas menolehkan kepalanya.
"Hai. Tumben udah bangun." Rana tersenyum, berjalan masuk ke kamar Suri. Matanya menatap penampilan Suri dari ujung rambut hingga ujung kaki. "kamu mau pergi? Kemana?"
"Ke rumah cowok yang aku ceritain tempo hari!" Suri menyahut antusias, sejenak melupakan sisir dan botol pewarna bibir yang tergeletak di atas mejanya. Gadis itu berjalan mendekati Rana, lantas mereka duduk bersebelahan di tepi ranjang. Suri memang sudah bercerita tentang Sebastian pada Rana ketika Rana menjemputnya di sekolah minggu lalu. Dari semua gadis yang pernah ketiga kakaknya pacari, Rana adalah satu-satunya yang bisa dekat dengan Suri. Sifatnya yang tidak biasa membuat Suri merasa memiliki teman baru yang bisa diajak bicara banyak hal, terutama masalah cowok dan pacaran—karena Siena juga sama tidak berpengalamannya seperti Suri.
"Pagi ini?"
"Iya. Dia sendiri yang minta aku datang ke rumahnya pagi ini. Nggak boleh sampai telat, gitu katanya."
"Kenapa kamu nggak minta dijemput aja?"
"Karena katanya, dia harus jemput Papi-Maminya di bandara. Papi-Maminya pulang dari perjalanan bisnis hari ini."
Rana mengerutkan dahi. "Itu artinya... kamu bakal ketemu sama Papi-Maminya?"
Suri nyengir, lalu mengacungkan jempol. "Betul sekali!"
"Cepet juga. Dulu, Kak Rana harus nungguin sampai tiga bulan setelah resmi pacaran, baru abang kamu ngenalin Kak Rana ke Om Kelana." Om Kelana yang dimaksud Rana adalah Ayah dari Suri dan ketiga kakak-kakaknya. Rana tidak sempat bertemu dengan Bunda, karena wanita itu meninggal beberapa bulan sebelum Cetta dan Rana saling mengenal.
"Duh. Sayangnya, situasinya nggak seperti yang Kak Rana tebak."
"Maksudnya?"
"Aku ke rumahnya karena ada urusan sama hantu rumahnya," Suri meniup helai rambut yang jatuh di dahinya. "jadi, Sebastian itu ternyata takut banget sama yang namanya hantu. Jelas-jelas kelihatan gimana mukanya selalu pucat setiap kali ada yang menyinggung soal hantu-hantuan atau film horor di depannya. Kebetulan, di rumahnya Sebastian tuh ada hantunya. Hantunya masih kecil, dan kemungkinan besar hantu mendiang adik perempuannya Sebastian yang meninggal udah lama banget. Tadinya sih hantunya tenang-tenang aja, nggak ganas gitu, tapi setelah aku dateng kesana buat ngembaliin dompet Sergio, hantunya jadi ganas. Kayakny dia caper."
"Tunggu. Jadi cowok yang kata kamu gantengnya ngalah-ngalahin Jerry Yan itu takut sama hantu?"
Suri mengangguk, membuat Rana langsung melotot.
"Oh my God!" dia berseru frustrasi, dengan pronounciation serupa gadis-gadis geng plastik di film Mean Girls.
"Nggak apa-apa, kak. Aku tetap suka Sebastian apa adanya."
"Kamu serius, Suri?"
"Kenapa sih, kayaknya semua orang ngira aku cuma bercanda? Aku tuh emang hobi bercanda, tapi kalau untuk urusan Sebastian, aku bukan serius lagi, melainkan udah..." Suri mengangkat dua jari dari tangan kiri dan kanannya ke atas kepala, membentuk tanda swear yang justru lebih mirip telinga kelinci playboy. "... dua rius!"
"Tapi dia takut hantu, loh."
"Nggak apa-apa. Makanya Tuhan menciptakan cinta. Biar yang beda-beda bisa jadi satu. Kan saling melengkapi." Suri terkekeh. "Lagipula, dia nggak takut kecoak, kak. Jadi dia bisa melindungi aku dari kecoak dan aku bisa melindungi dia dari... hantu."
Rana berdecak. Dia memahami rasa suka Suri pada Sebastian yang tampaknya tidak main-main. Awalnya, Rana tidak pernah percaya sama yang namanya cinta pada pandangan pertama. Namun setelah melihat Suri dan bagaimana cara gadis itu membicarakan Sebastian di depannya, dia jadi berpikir, Sebastian pasti punya aura yang tidak main-main hingga bisa mencuri hati Suri sedemikian rupa. Tetapi tetap saja, membayangkan ada cowok tampan yang tampangnya bisa bersaing dengan artis Taiwan takut pada hantu adalah sesuatu yang membuat Rana ilfil.
"Yaudah. Jadi kamu bakal ketemu orang tuanya Sebastian buat masalah... ngusir hantu itu?"
"Iya." Suri mengangguk.
"Berarti Sebastian cuma manfaatin kamu dong?"
"Iya sih, kak. Tapi nggak apa-apa. Paling nggak, aku jadi punya alasan buat lama-lama ada di rumahnya. Kalau kata pepatah sih, witing tresno jalaran soko kulino. Siapa tahu makin lama dia ngeliat aku, dia lama-lama jadi suka. Hehehe."
Rana menjentikkan jarinya. "Kakak punya ide."
"Apa?"
"Orang-orang bilang, kalau mau ngedapetin hati cowok, kamu harus ngambil hati ibunya dulu. Jadi untuk hari ini, misi kamu harus bisa membuat Mami-nya Sebastian terpesona dan suka sama kamu."
Suri menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Emangnya siapa di dunia ini yang nggak suka sama aku? Mustahil ada deh, kayaknya."
Rana berdecak. Dia paling tidak suka jika sisi over percaya diri milik Suri—yang tidak jauh beda dengan Chandra—mulai muncul. "Duh, Suri, tapi kebanyakan ibu-ibu itu sukanya anak perempuan yang kalem, lucu dan murah senyum. Kecil kemungkinan Mami Sebastian akan suka sama kamu kalau kamu kelihatan kayak anak pecicilan yang hobi bangun siang."
"Hm. Benar juga ya. Terus aku harus gimana?"
"Kalau itu sih," Rana melipat tangan di dada, menarik seulas senyum jumawa. "Serahkan semuanya pada Kiranazita Maharani!"
n o i r
Sebastian sedang minum teh di ruang keluarga bersama kedua orang tua dan adiknya ketika dia mendengar suara bel pintu depan. Itu pasti Suri. Dia sudah memberitahu kedua orang tuanya tentang siapa Suri yang akan datang ke rumah mereka, juga rentetan peristiwa yang bisa membuat keduanya mengenal gadis SMA itu—namun tidak benar-benar menceritakan pada Mami kalau itu berhubungan dengan hantu yang telah tinggal di dapur rumah mereka selama bertahun-tahun. Tanpa disuruh, Sergio beranjak dari sofa menuju pintu depan. Cowok sembilan belas tahun itu sudah menebak kalau Suri tidak akan datang sendirian, mengingat dia punya tiga kakak laki-laki yang protektif. Dan benar saja, hari ini, Suri diantar oleh Cetta—serta seorang gadis cantik berambut panjang yang Sergio tebak pacar Cetta, menilik dari bagaimana Cetta selalu berjalan di belakang gadis itu dengan gaya seperti melindungi.
"Kamu pasti yang namanya Suri," Mami langsung bangun dengan antusias dari duduknya begitu Suri melangkah masuk ke ruang keluarga. Sebastian tahu Mami selalu ramah pada orang baru, namun dia tidak menduga Mami akan langsung berjalan menghampiri Suri, kemudian memeluknya seperti telah lama akrab. "Bas sudah cerita kalau kamu mau datang."
Suri tampak tercengang sebentar, tapi dengan cepat menguasai dirinya, "I-iya, Tante."
"Cantik sekali," Mami memuji. "Bas dan Gio juga sudah cerita banyak tentang kamu. Dari cerita mereka, Tante tahu kamu orang yang sangat menyenangkan."
Bah, Sebastian mencibir dalam hati. Dasar, Mami. Apanya yang menyenangkan? Perasaan tadi, Sebastian justru lebih banyak bercerita tentang Suri yang tukang pembuat onar. Meski diam-diam dia mengakui hari ini Suri terlihat lebih kalem dari biasanya. Gadis itu mengenakan setelan warna peach yang begitu muda. Rambutnya digerai hingga ke punggung, dipermanis oleh dua jepit berwarna senada baju. Suri terlihat seperti... perempuan dalam arti sebenarnya.
"Saya kakaknya Suri, Tante, Om," Cetta ikut memperkenalkan diri ketika pandangan kedua orang tua Sebastian teralih padanya. "dan ini pacar saya. Namanya Rana."
Masih dengan ramah, Papi balik menjabat tangan Cetta dan tersenyum pada Rana. Mami lebih parah lagi, dia bahkan sempat memuji selera berpakaian Cetta yang menurutnya sederhana namun berkelas sebelum menarik Rana mendekat dan melakukan gerakan cipika-cipiki khas perempuan-perempuan yang tergabung dalam satu arisan.
"Mm... Tante, kalau boleh tahu, Tian udah cerita belum ya soal alasan kenapa aku kesini?"
Sebastian melotot. Pertama, karena Suri memanggilnya Tian. Hell, dia benci panggilan itu. Kedua, sejak kapan Suri jadi bisa bicara dengan sebegitu sopannya? Matanya langsung melirik pada Mami. Gila. Gawat kalau Mami sampai jatuh hati pada Suri. Bisa-bisa, urusannya dengan gadis itu tidak akan selesai setelah masalah hantu Sarah ditanggulangi. Tidak. Ini tidak bisa dibiarkan.
"Belum. Memangnya ada apa, ya?"
"Soal hantu yang tinggal di dapur rumah ini," Suri mengawali dengan hati-hati. Dia sempat menebak Mami Sebastian akan tercengang dan menatapnya dengan pandangan aneh. Namun ternyata tidak. Wanita paruh baya itu memang sempat terkejut, tapi hanya sebentar.
"Hantu?"
"Tentang pintu dapur yang sering terbuka dan tertutup sendiri," Sebastian mencoba membantu menjelaskan. "selama ini kita selalu ngira kalau itu semua ulah Gio yang pelupa. Tapi ternyata nggak. Itu semua ulah hantu."
"Tunggu. Itu kan sudah terjadi bertahun-tahun. Kenapa baru diungkit sekarang?"
"Karena Suri ini bisa lihat hantu, Mam. Waktu Suri kesini, hantu itu kayaknya senang karena akhirnya ada yang menyadari keberadaan dia. Jadi malamnya, dia gangguin aku. Karena aku benci tinggal serumah sama hantu—"
"Takut kali maksud kamu," Mami berseloroh geli, membuat Sebastian melotot kesal karena kehilangan harga diri.
"Mami!"
"Sori-sori. Lanjutin cerita kamu."
"Iya. Intinya aku nggak suka yang begituan. Jadi aku minta tolong Suri komunikasi sama hantu itu. Turned out, hantu itu bukan sosok asing buat kita," Sebastian menghela napas, "hantu itu adalah roh Sarah yang masih tertahan di rumah ini."
Senyap seketika. Senyum sepenuhnya lenyap bukan hanya dari wajah Mami, tapi juga wajah Papi. Rana dan Cetta mengunci mulut karena tidak tahu harus mengucapkan apa, sementara Suri dan Sergio kompak menatap pada Mami dengan khawatir.
"Mam? You okay?"
Suara Sebastian seperti membuat Mami tersadar. "Maksud kamu... Sarah tertahan di rumah ini?"
Sebastian membuka mulut, berniat menjelaskan lebih jauh, namun Suri telah lebih dulu menyela. Dengan rinci, gadis itu menceritakan apa yang dia tahu tentang dunia orang-orang mati. Tentang sebuah tempat di atas yang ingin dituju oleh roh-roh yang telah meninggal—yang membuat Suri mengambil kesimpulan bahwa atas yang dimaksud mungkin saja adalah semacam akhirat. Namun, diantara jiwa-jiwa yang tak lagi bernyawa, ada sebagian yang kurang beruntung harus tertahan di dunia karena jalan mereka terhalang oleh urusan dengan orang-orang yang masih hidup. Suri juga bercerita tentang Kesha, dan bagaimana gadis itu menyelesaikan urusan antara Kesha dan Sergio agar Kesha bisa benar-benar pergi dengan damai.
"Jadi... Sarah belum bisa pergi karena tertahan oleh kami yang masih hidup?" Kini ganti Papi yang bicara, sementara Mami jadi lebih banyak diam. Wanita itu tampak seperti sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri.
"Menurutku begitu. Berhubung Sarah meninggal sebelum Gio ada, kemungkinan besar yang menahan Sarah untuk tetap ada di rumah ini adalah Tante, Om, atau Tian."
"Berhenti panggil gue Tian!" Sebastian yang tidak tahan akhirnya mendesis kesal.
"Apa dong? Masa dipanggil Abas? Nggak cocok, muka kamu nggak ada arab-arabnya sama sekali."
Sebastian mendelik, tapi tidak membalas ucapan Suri karena Papi sudah keburu bicara lagi.
"Mungkin sama kamu, Bas?"
Sebastian menggeleng. "Aku hampir nggak ingat Sarah, Pi. Dia meninggal saat aku masih terlalu kecil. Aku hanya ingat dia samar-samar. She was like... a stranger to me. Sori, Mam."
"Begitupun dengan Papi."
"Mungkin itu karena tante," Mami memotong, menatap pada Suri diiringi helaan napas dalam. "diantara orang-orang di rumah ini, tante paling sering berandai-andai kalau Sarah masih ada. Memang begitu. Tante selalu ingin anak perempuan. Bukan berarti Mami nggak sayang kamu, Gio. Tapi kamu pasti mengerti."
Sergio mengangguk paham. "It's okay, Mam."
Mata Mami kembali beralih pada Suri. "Tante nggak tahu kalau itu membuat Sarah menderita dan menahannya terus-menerus di rumah ini. Dia sudah nggak ada. Nggak seharusnya dia tetap ada di dunia orang-orang yang masih hidup. Suri, kasih tahu Tante gimana caranya biar Sarah nggak perlu lagi tersiksa seperti sekarang."
"Aku bisa bantu tante ketemu Sarah." Suri berkata, meski nampak ragu. "tapi aku nggak janji tante bisa lihat Sarah."
Mami tersenyum getir. "Nggak apa-apa. Yang terpenting sekarang adalah gimana supaya Sarah bisa pulang ke tempat yang seharusnya. Tante senang kamu mau bantu Tante."
Suri balik tersenyum. Melihat bagaimana Mami Sebastian menatap padanya membuat Suri teringat Bunda. Pandangan itu adalah pandangan seorang ibu.
Pandangan yang sangat Suri rindukan.
n o i r
Mereka semua sepakat untuk tetap tinggal di ruang keluarga ketika Suri dan Mami beranjak menuju dapur. Sebetulnya, Cetta merasa penasaran. Dia memang tumbuh besar bersama Suri yang punya kemampuan istimewa, namun dia tidak pernah benar-benar melihat Suri menggunakan kemampuannya. Sekarang, ketika terungkap bagaimana kemampuan Suri bisa membantu orang lain, Cetta jadi ingin menyaksikan prosesnya dengan mata kepala sendiri. Namun tentu saja, senyum Rana yang menakutkan berhasil menahannya untuk tetap duduk diam di sofa. Sebastian sendiri tampak mencoba mengalihkan perhatiannya pada sesuatu di ponselnya, tapi wajahnya masih saja pucat dan tampak paranoid.
Gila. Setakut itukah Sebastian pada hantu? Rana harus mengakui kalau itu membuatnya jengah, namun dengan penampilannya yang serupa model Giorgio Armani, Rana diam-diam memutuskan kalau ketakutan Sebastian itu bisa dimaafkan. Betul apa kata Suri. Tidak ada yang sempurna di dunia ini.
Suasana berubah hening. Tidak ada yang bersuara, bahkan Papi yang biasanya tidak bisa berhenti mengajak kedua anak laki-lakinya mengobrol tiap berada di rumah. Suri merasa lega begitu dia masuk ke dapur dan mendapati Sarah masih berada di tempatnya yang biasa, di dekat pintu dapur yang kini separuh terbuka. Tidak ada angin, namun pintu itu masih bergerak lambat.
"Sarah ada disana." Suri menuding pada tempat Sarah duduk sambil terus mengajak Mami mendekat. "dia sudah lama sekali ada di rumah ini. Bertahun-tahun. Dia nggak bisa bicara atau berjalan, makanya aku sempat kesulitan berkomunikasi sama dia."
Mami tidak mengatakan apa-apa, tapi tarikan napasnya kian memberat.
Pada sebuah titik dimana mereka sudah ada di depan Sarah, Suri berhenti, lantas mengajak Mami untuk duduk. Mami hanya bisa melihat udara kosong, tetapi percaya saat Suri berkata Sarah ada di depan mereka. Kelihatannya, Sarah mengenali perempuan setengah baya yang datang bersama Suri. Dia langsung berhenti memainkan pintu, matanya yang berupa rongga tertuju pada Mami dengan lekat.
"Tante bisa bilang apa yang mau Tante bilang sama Sarah," Suri memberitahu.
Jeda sejenak. Mami seperti tengah mengumpulkan tenaga, juga kata-kata. Wajahnya diliputi sendu. Matanya yang muram tampak diselubungi oleh kabut yang sewaktu-waktu bisa mengembun menjadi air mata.
"Sarah," Ada getar dalam suaranya. "Mami mau minta maaf. Maaf kalau sikap egois Mami sudah menyiksa kamu selama ini. Kalau saja Mami tahu, Mami nggak akan berlama-lama berduka untuk kamu. Maafkan Mami. Mami kangen kamu, tapi Mami akan bahagia kalau kamu bahagia. Kamu bisa pergi, Nak. Biar kakak dan adik kamu yang menjaga Mami. Mami nggak mau menahan kamu di tempat yang membuat kamu jadi sosok asing lebih lama lagi."
Suri menggigit bibirnya ketika menyadari satu-dua air mata Mami mulai menetes. Sikap Mami Sebastian mengingatkannya pada mendiang Bunda. Dan sama seperti ketiga kakaknya yang lain, Suri paling tidak bisa melihat Bunda menangis. Ragu sejenak, gadis itu akhirnya membuka tasnya, menarik sehelai tisu dari dalam sana dan mengulurkannya untuk menghapus air mata wanita setengah baya di sebelahnya. Mami sempat terkejut, tapi kemudian senyum tipisnya terkembang di antara air mata. Membuat perasaan Suri jadi terasa ringan.
"Sarah masih ada disini," Suri berbisik, menyadari bagaimana sosok Sarah perlahan-lahan mulai memudar. Sebelum Sarah hilang sepenuhnya, gadis itu meraih tangan Mami Sebastian, mengulurkannya pada tempat dimana kepala Sarah berada. Mami masih tidak melihat apapun, hanya udara kosong, namun bagi Suri, wanita itu kini tengah menyentuh rambut di puncak kepala Sarah—seperti tengah memberitahu seberapa banyak rindu yang disimpannya untuk Sarah selama belasan tahun.
Detik demi detik terlewati, lalu menjelma menjadi menit. Ketika sosok Sarah sudah sepenuhnya lebur dengan udara, Suri menghela napas. Dia menolehkan kepala pada Mami, lantas tersenyum.
"Sarah sudah pergi. Kali ini, untuk selamanya. Jangan khawatir, tante. Dia pasti bahagia."
Apa yang terjadi selanjutnya tidak Suri duga. Mendadak, Mami menariknya ke dalam pelukan. Begitu erat. Di bahunya, perempuan setengah baya itu mengucapkan terimakasih sambil terisak. Suri sempat bingung sejenak, tapi kemudian tangannya terangkat untuk balik memeluk Mami. Mereka saling mendekap selama beberapa saat, tanpa sadar jika yang lain sudah jengah menunggu di ruang keluarga dan menyaksikan apa yang keduanya lakukan.
Cetta menarik sebuah senyum tipis, tampak bangga dengan adiknya. Tangannya ikut menarik Rana mendekat, merangkulnya erat. Sergio terperangah bingung harus berbuat apa, sedangkan Papi kelihatan terharu dengan apa yang baru saja beliau saksikan.
Bagaimana dengan Sebastian? Hampir sama dengan Sergio, Sebastian bingung harus memberi respon macam apa. Dia senang melihat Mami memeluk Suri erat, karena dia tahu seberapa besar keinginan Mami untuk memiliki anak perempuan. Namun di sisi lain, dia merasa khawatir karena gadis yang dipeluk ibunya adalah Suri.
Karena Mami yang jatuh hati pada Suri akan jadi kiamat bagi Sebastian.
bersambung.
**********************************************
**********************************************
a.n : hm, untuk visualisasi Maminya Bas, ada di konten mulmed.
Oh ya, tenang aja, Suri dan ketiga abang adalah tokoh utama jadi ya nggak perlu khawatir suri dan ketiga abang tidak menjadi fokus.
Karena well, sebenernya gue nggak akan membahas detail tentang dunia iblis-malaikat. Hanya sekilas yang kira-kira bakal melibatkan Suri sedikit.
Dah gitu aja. Urusan dengan Sarah selesai. Hantu macam apa yang berikutnya bakal muncul? :3 wkwkwk
Makasih untuk semua vote dan comment di chapter sebelumnya, vote dan comment di Jinx, Kita, Stress Reliever, Senja, makasih yoh.
Buat kalian yang bertanya masalah penerbitan tulisan gue, hm, didoain aja semoga lancar dan prosesnya cepat kelar. Karena dunia penerbitan itu nggak sesederhana gue nulis, terus gue kasih ke editor dan kemudian nongol. Kadang ada masanya penulis dan editor berbeda pendapat, kayak menurut gue, bagian ini tuh penting, tapi menurut editor nggak dan harus dihapus. Kadang memperjuangkan bagian-bagian yang menurut lo membuat cerita lo jadi 'bernyawa' itulah yang susah wkwkwk.
Buat gue, dunia tulis-menulis, karakter, plot dan pembaca itu sesuatu yang penting. Menulis itu bukan masalah menerbitkan buku, at least buat gue. Jadi didoain aja, oke? Toh tujuan gue join wattpad bukan untuk nerbitin buku, tapi untuk nulis sesuatu.
Yah, gue jadi kebanyakan curhat. Oke deh, sekian. Sampai ketemu di chapter berikutnya.
Ciao.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro