dua
"Dimana Suri?" Calvin bertanya begitu dia keluar dari kamar mandi setelah mereka berempat selesai makan malam, dan hanya mendapati Cetta serta Chandra di ruang tengah. Chandra seperti biasa, sedang sibuk memegang ponsel. Tidak jauh beda dengan Cetta, meski Cetta melakukannya sambil membaca buku dan meletakkan ponselnya begitu saja di atas meja. Jelas, cowok itu tampak tengah menunggu pesan dari seseorang.
"Katanya mau belajar."
"Bohong banget," Calvin membalas sambil berjalan menuju dapur, dan kembali lagi ke ruang tengah dengan sebotol air mineral dingin di tangannya. Dia tidak sedang mengejek adik bungsunya, namun sejak mereka masih kecil, Suri tidak pernah menunjukkan minat pada kegiatan belajar mengajar. Gadis itu lebih suka berlarian riang di lapangan daripada berada di kelas dan mengeja alfabet di hari pertamanya masuk TK. Ayah dan Bunda tidak pernah memarahi Suri sekalipun dia memiliki beberapa nilai merah di raport saat SMP, namun bukan berarti Calvin mengabaikannya begitu saja. Dia pernah beberapa kali mengajak Suri belajar, namun selalu diakhiri dengan adegan yang selalu nyaris serupa; Suri jatuh tertidur dengan pipi menempel pada lembaran buku tulis.
"Biarin aja. Mungkin dia lagi galau."
"Galau?" Ganti kening Chandra yang berkerut sesaat setelah mendengar ucapan Cetta.
"Katanya dia kepingin pacaran."
"Nggak boleh!" Calvin langsung berseru cepat. "Suri masih kecil."
"Suri cuma beda empat tahun dari lo, kalau gue harus ngingetin,"
Ucapan Chandra sontak membuat Calvin dan Cetta berpandangan, "Jadi lo mendukung keinginan Suri buat pacaran?!" keduanya bertanya hampir serempak.
"Enggak juga, sih. Tapi gue nggak melarang Suri pacaran karena dia masih kecil. Gue oke-oke aja Suri mau pacaran, asalkan calonnya bisa mempertanggungjawabkan. Maksud gue, kalaupun nanti Suri pacaran, pacarnya harus berhasil melewati uji kelayakan yang gue berlakukan."
Calvin berdecak. "Cowok jaman sekarang tuh belangsak semua. Contohnya lo." Katanya menuding pada Chandra.
"Gue nggak belangsak, Vin. Tapi buat apa jadi cowok seksi kalau cewek cuma satu?"
"Najis," Cetta mendesis.
"Yah, tetaplah setia pada moral kalian itu, adik-adikku sayang," Chandra menyahut santai. "Tapi biarkan gue menikmati masa muda gue. Raja dangdut Rhoma Irama aja pernah bilang kalau masa muda adalah masa yang berapi-api. Pahamilah cita-cita hidup kakakmu yang ganteng ini."
"Gue baru tau kalau hidup lo punya cita-cita," Calvin mencerca.
"Tentu dong! Cita-cita gue adalah muda foya-foya, tua kaya-raya dan mati masuk surga. Jamaah bilang apa? Aamiin!"
"Berapi-api juga kalau nggak modal sama aja bohong," Cetta menyindir.
"Maksud lo apa ya, Tri?"
"Jangan panggil gue Tri!" Cetta berseru jengkel.
"Lah, kan itu emang nama lo. DimiTRIo Gilicetta."
"Jangan potong nama gue seenak udel!"
"Oh. Gue baru tau kalau udel rasanya enak."
"Monyet lo."
"Kalau Bunda masih ada, mungkin mulut lo udah jontor karena disambelin."
"Oh."
"Terusin aja perdebatan kalian deh," Calvin menatap kedua saudaranya dengan wajah lelah sebelum memutar tubuh dan berjalan menuju pintu kamarnya. "Mending gue ngerjain sesuatu yang lebih berfaedah."
"Pacaran mulu lo sama buku!" seru Chandra dengan nada mengejek.
"Seenggaknya buku nggak akan hamil." Adalah yang jawaban Calvin yang terdengar sebelum ditutup oleh suara keras bantingan pintu. Chandra tercengang sebentar, namun kemudian langsung terkekeh samar.
"Gila, tuh pintu kayaknya lebih tahan banting daripada hati lo, Ta."
"Maksud lo?"
"Iya. Hati lo yang setiap hari tertindas karena menghadapi Rana." Chandra masih mengejek, kali ini dengan membawa nama gadis yang telah Cetta pacari selama setahun tiga bulan belakangan.
"Bacot!" Cetta berseru sebelum meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja, kemudian beranjak dan masuk ke kamarnya sendiri dengan cara yang hampir serupa dengan Calvin—alias sama-sama diakhiri oleh bantingan pintu.
"Dasar adik-adik kurang ajar," Chandra bergumam sebelum kembali sibuk dengan deretan akun sosial medianya. "Mereka nggak tau kalau harga kusen pintu sekarang itu lagi mahal-mahalnya."
***
"Kakak-kakak lo emang selalu seribut itu, ya?" Kesha tidak bisa menahan diri untuk bertanya setelah dia mendengar suara bantingan pintu untuk yang kedua kalinya. Pertanyaannya otomatis membuat Suri berhenti memainkan ponsel dan mengangkat wajah untuk menatap padanya. Suri menarik napas sejenak. Bukan, bukan karena dia frustrasi akibat ulah kekanakan ketiga kakaknya, melainkan karena bagaimana Kesha terlihat luar biasa menawan bahkan setelah berstatus sebagai orang mati. Dia memang pucat, namun bukan pucat dalam artian buruk. Hanya dengan satu sentuhan perona pipi dan bibir, Kesha mungkin bisa memenangkan kontes Miss Universe di dunia mereka yang tidak kasat mata.
"Kakak-kakak gue itu cuma penampilan luarnya doang yang beres. Dalamnya mah onderdil rusak semua."
Di luar dugaan, Kesha tertawa. "Lo lucu."
"Gue sudah sering dengar itu selama delapan belas tahun gue hidup," Suri menyahut. "Suri cantik banget. Suri lucu banget. Suri imut banget. Duh, udah bosen deh dengernya."
"Oh. Pantesan kakak-kakak lo kayak gitu. Adiknya aja kayak gini. Apa jangan-jangan udah keturunan." Kesha bermuka masam.
"Keturunan kece? Emang!"
"Gue nyerah deh kalau emang harus debat sama lo."
Suri tertawa, memilih berhenti memainkan ponsel dan menatap lebih lekat pada Kesha. "Soal Sergio Dawala, gue boleh nanya nggak?"
"Nanya apa?"
"Dia suka cewek yang kayak gimana?"
Kesha menyentakkan kepala. "Kayaknya gue salah minta tolong sama orang."
"Jangan pelit, dong! Kan lo udah nggak satu alam lagi sama Sergio! Bagi-bagi dikit kek sama gue yang selama delapan belas tahun ini tidak pernah merasakan kasih sayang dari makhluk bernama laki-laki!"
"Lah, emang bokap dan abang-abang lo bukan laki-laki?"
"Duh, beda dong! Lo boleh aja cantik, tapi ternyata agak tulalit. Dikit."
Kesha memberengut. "Sebenernya disini yang bodoh itu lo atau gue?"
"Lo."
Kesha berusaha menyabarkan diri. Kalau saja dia tidak butuh bantuan cewek bernama Suri ini, dia mungkin sudah melayang pergi dari rumah itu sejak tadi. Bagaimana tidak? Seluruh penghuni rumah itu punya otak yang tidak waras. Bahkan sampai ke hantu penunggunya sekalipun tidak bisa dikategorikan normal. Well, Kesha tidak tahu apa indikator untuk menyebut hantu normal atau tidak berhubung dia baru seminggu jadi hantu, tapi di belahan dunia mana ada hantu yang punya hobi mengintipi manusia mandi—hampir setiap hari?!
Atau mungkin ada. Ah, kalau memang benar begitu, dunia betul-betul sudah tidak beres. Kesha jadi ingin buru-buru menyelesaikan urusannya, jadi dia bisa sesegera mungkin pergi ke atas tanpa harus berhadapan dengan segala kekonyolan yang tidak masuk akal lebih lama lagi.
"Sergio suka cewek yang kalem."
"Gue banget, dong!"
Ekspresi wajah Kesha berubah masam. "Sergio suka cewek yang jago masak, jadi bisa bikinin dia bekal makanan setiap hari. Sergio nggak pemilih soal makanan. Dia selalu menghargai effort yang dikeluarkan oleh seseorang ketika membuatkan dia makanan. Sergio lebih suka pakai kaus dan celana jeans. Dia bukan maniak kendaraan. Enggak pernah menuntut orang tuanya untuk membelikan macam-macam barang mahal kayak anak muda jaman sekarang. Sergio juga pintar. Dia suka makan es krim di kedai es krim dekat SMA 44, terutama es krim rasa susu. Sergio punya satu kakak cowok, kayaknya seumuran sama abang lo yang paling tua. Namanya Sebastian."
"UWAW!"
"Kenapa?"
"Jangan-jangan Sergio Dawala itu belahan hati gue yang lama hilang," Suri mulai sibuk cengengesan sementara khayalnya melanglang buana entah kemana. "Gue suka masak. Meskipun nggak seenak masakannya chef Marinka, hasil masakan gue masih cukup layak kok dimakan sama manusia. Gue juga demen habis sama cowok yang nggak ribet masalah penampilan. Gue juga suka makan es krim! Ini pasti tanda kalau Sergio ditakdirkan untuk gue. Siapa tau nanti kita bisa makan es krim sama-sama. Hm, senangnya."
"Emangnya lo udah dibolehin pacaran sama abang lo?"
Senyum di wajah Suri langsung lenyap tak berbekas. "Jangan ingetin gue soal itu!"
"Sergio itu anak baik. Dia nggak akan macarin seorang cewek kalau nggak dapat restu dari keluarganya."
"Dih?! Kenapa?! Harusnya dia berani dong kayak gimana Gu Jun Pyou bisa memperjuangkan Geum Jan Di walaupun nggak direstui sama emaknya yang nenek sihir itu!"
"Karena Sergio bukan Gu Jun Pyou."
"Ya emang! Kan gue juga bukan Geum Jan Di! Jan Di sama gue mah cakepan gue kemana-mana keles."
"Terus kenapa lo menyamakan situasi Sergio dengan situasi keluarga Gu Jun Pyou dan pacarnya yang namanya Geum Jan Di?!"
"Biar enak aja perumpamaannya."
"Oh."
"Iya."
"Jadi, kapan lo bakal mulai nyari Sergio?"
Suri berpikir sejenak. "Secepatnya."
"Gue pegang omongan lo."
"Tapi sebenarnya, apa yang mau lo sampaikan sama Sergio?"
"Enggak usah khawatir. Nanti waktu lo ketemu dia, gue akan mengikuti. Lo hanya perlu mengulangi apa yang gue ucapkan ke Sergio."
"Oh, baguslah. Soalnya gue paling malas menghafal cerita orang, apalagi kalau harus menerangkan kembali. Rasanya kayak disuruh presentasi secara terselubung."
"Don't worry, gue nggak akan membebani lo."
"Jujur ya, lo tuh hantu paling pengertian yang pernah gue temui."
"Am I?"
"Yoi." Suri diam sejenak, kemudian matanya tertuju pada jam digital yang tergeletak di atas nakas. Dia belum mengantuk, namun jika dia tidak tidur sekarang, terdapat kemungkinan hingga sembilan puluh persen dia akan bangun terlambat besok. Suri tidak mau ambil resiko, karena jangankan alarm, Cetta saja biasanya butuh waktu lebih dari dua puluh menit untuk benar-benar membuatnya beranjak dari atas kasur. "Gue tidur dulu deh, ya? Soalnya kalau gue telat bangun lagi besok, alamat gue bakal harus pergi ke sarang dementor lagi."
"Sarang dementor?"
"Ruang guru sekolah gue."
"Oh."
"Iya, soalnya besok gue ada ulangan Biologi."
"Ulangan Biologi? Kok lo nggak belajar?"
"Udah tadi."
"Cuma baca selembar doang?"
"Sisanya improvisasi ajalah, alias mengarang indah. Lagian, bisa mabok gue kalau ngapalin bagian tumbuhan dari mulai tudung akar lah, sklerenkim lah, klorenkim lah. Lo tau, setiap otak itu punya ambang batas kerja maksimal. Dan ambang batas maksimal gue berhenti pada satu lembar."
Kesha menyentakkan kepala. "Yaudah."
"Oke. Selamat malam."
"Malam."
"Oh ya, Kesha, gue tau lo nggak tidur, tapi tolong, selama gue tidur jangan membuat kegaduhan yang tidak perlu. Ketiga abang gue memang nggak takut hantu, tapi bukan berarti mereka nggak akan heboh kalau ngeliat lampu kamar hidup-mati sendiri, atau benda-benda berpindah mendadak di depan mata."
"Gue nggak sejahil itu, kok."
"Baguslah. Berarti lo nggak kayak Wati yang jahilnya ampun-ampunan." Suri berbaring di atas kasur, kemudian menarik selimutnya. "Selamat malam."
"Lo nggak matiin lampu?"
"Hng, gue nggak bisa tidur dengan lampu yang dimatikan."
"Kenapa?"
"Karena kondisi gelap membuat gue lebih jelas melihat apa yang nggak gue lihat. Bahkan meskipun gue lagi tidur. Susah dimengerti, gue tau. Apalagi lo baru jadi hantu selama seminggu ini, kan?" Suri menatap pada Kesha sekali lagi sebelum mengubah posisi tubuhnya menjadi berbaring menyamping, sepenuhnya memunggungi Kesha. "Selamat malam." Katanya mengulang.
"Selamat malam, Suri."
Tidak ada lagi percakapan. Kesha hanya duduk diam di atas kursi belajar, mengawasi Suri yang tergeletak tenang. Lalu matanya terarah pada sejumlah bingkai foto yang menghiasi beberapa titik di dinding kamar Suri. Dia punya keluarga yang bahagia, itu yang bisa Kesha simpulkan.
Namun kenapa kesan yang justru dia dapatkan adalah sebaliknya? Mengapa dalam pandangannya, Suri justru tampak seperti pribadi ceria yang kesepian?
***
Keesokan harinya, Suri terbangun pukul lima lewat tiga puluh menit.
Bukan karena suara Cetta yang berusaha menariknya keluar dari alam mimpi, melainkan karena perdebatan antara dua perempuan yang membuat lelap tidurnya terusik. Seraya mengucek matanya, Suri beranjak bangun dari kasur, hanya untuk mendapati Kesha dan Wati sedang sibuk adu mulut di depan jendela yang gordennya masih tertutup rapat.
"Kalian kenapa, sih? Berisik banget!" Suri berseru sambil menguap, menghentikan sejenak perdebatan antara dua makhluk tak kasat mata tersebut. Serempak, Kesha dan Wati sama-sama menoleh padanya.
"Kamu kok nggak bilang sih kalau ada hantu baru disini?!" Tanpa basa-basi, Wati langsung bertanya.
"Ini kan rumah gue. Suka-suka gue dong."
"Waduh, nggak bisa gitu dong!" Wati tidak terima. "Sebagai hantu senior, posisi saya harus dihormati. Anak baru ini harus diospek sebelum boleh tinggal di rumah ini! Apalagi kalau sampai goda-godain my baby, bakal langsung saya tendang dia ke pohon mangga punya tetangga depan rumah!"
Suri turun dari kasur, namun langsung berjengit ketika telapak kakinya menyentuh ubin yang dingin. "Kesha nggak akan tinggal di rumah ini selamanya."
Wajah kesal Wati berubah jadi penasaran. "Maksudnya?"
"Dia cuma tinggal sebentar. Nanti juga pergi kalau urusannya udah selesai."
"Oh," Wati menatap pada Kesha dengan pandangan mencibir. "Bagus, deh."
"Kenapa? Lo ngerasa kesaing karena Kesha lebih cantik dari lo?"
"Idih, amit-amit!" Wati langsung berseru dengan lagak dramatis. "Sori-sori ya, nggak level, cyin! Yaudah, bagus deh kalau dia hanya sementara disini. Dan kamu, hantu albino! Awas aja kalau kamu goda-godain my baby! Kalau sampai saya tahu kamu godain my baby hunny bunny sweety, kamu bakal saya bunuh!"
"Teknisnya, lo berdua sama-sama udah mati." Suri mengingatkan.
"Oh iya. Yaudah. Intinya, begitu!" Wati menganugerahkan satu tatapan mengancam pada Kesha yang balik memutar bola mata sebelum hantu itu ngeloyor pergi dari kamar Suri.
"Dia siapa?" Kesha bertanya setelah Wati sudah benar-benar pergi.
"Hantu rumah gue. Dia sudah tinggal disini sejak gue masih kecil," Suri menguap malas ketika matanya terarah pada jam digital di atas nakas. Hari ini mungkin jadi rekor dimana Suri bangun pagi tanpa perlu dibangunkan oleh kakak-kakaknya. "Dan dia naksir abang gue setengah mati."
"Tiga-tiganya?"
"Bukan. Abang Cetta doang. Wati itu dulunya hidup di tahun 80-an. Jadi dia masih sangat-sangat old-fashioned. Abang Chandra terlalu brengsek buat dia, dan abang Calvin lebih tertarik berpacaran sama buku. Gue biarin aja dia tinggal di kamar abang Cetta, selama dia nggak gangguin orang-orang rumah."
"Hidup lo benar-benar unik ya?"
"Kalau hidup gue biasa aja, lo nggak akan lagi ada disini dan ngomong sama gue sekarang," ujar Suri sembari melenggang masuk ke kamar mandi, membuat Kesha hanya bisa diam menonton pintu yang tertutup. Sebentar, terdengar suara air mengalir disusul suara khas orang yang menyikat gigi sebelum Suri kembali keluar dari sana.
"Udah?" alis Kesha berkerut.
"Emangnya gue harus luluran?"
"Paling nggak, mandi kek."
"Enggak perlu. Gue nggak mandi aja udah banyak yang naksir. Apalagi gue mandi, bisa-bisa cewek satu sekolah jomblo semua."
Kesha bergidik jijik, yang Suri balas dengan tawa. Sambil mengamati Suri yang kini membuka lemari untuk mengeluarkan seragamnya, Kesha bertanya-tanya bagaimana seseorang bisa terlihat begitu congkak namun sangat manis pada saat yang bersamaan. Pada sekali lihat, orang-orang mungkin akan beranggapan Suri adalah gadis manis kalem yang pendiam. Namun setelah berbicara dengannya beberapa lama, karakter aslinya baru muncul; gadis ceria dengan pikiran acak yang tak mudah ditebak.
"Gue mau ke sekolah. Lo mau ikut apa tetap tinggal disini?"
"Kapan lo berencana nyari Sergio?"
"Santai. Nanti gue coba tanya ke temen gue, atau ke abang-abang gue. Tingkah laku mereka boleh aja nggak normal, tapi kalau lo mau tahu, abang Chandra itu yang punya Jakarta."
Kesha melotot. "Masa?"
Suri mengangguk. "Beneran. Mall dan tempat gaul mana di Jakarta yang nggak pernah diinjak sama abang Chandra? Kalau abang Calvin sih kenalannya kebanyakan mahasiswa dan kalangan orang-orang pinter gitu, soalnya kan dia anak yang rajin belajar. Abang Cetta mungkin nggak segaul abang Chandra dan abang Calvin, tapi bohong banget kalau nggak ada rakyat Instagram yang nggak kenal dia!"
"Emangnya dia siapa?"
"Lo nggak pernah main Instagram ya?"
"Akun sosial media yang gue punya cuma Facebook."
"Yah, pantesan. Facebook mah bukan levelnya abang-abang gue lagi."
Kesha mendengus. "Buruan ke bawah. Nanti lo telat."
"Oh iya. Hampir lupa. Yaudah, nanti kalau gue udah dapet info lanjutan soal si Ganteng, gue bakal ngasih tau lo."
Kesha tidak menjawab, tapi dia jelas setuju dengan kata-kata Suri. Selesai bicara, Suri kembali sibuk mematut diri di depan cermin, menambahkan satu sentuhan jepit rambut berbentuk bunga dengan warna merah muda yang tampak kontras di atas rambut hitamnya. Gadis itu memutar badan, baru berniat keluar dari kamar ketika pintu kamarnya diserbu dari luar macam terkena serangan angin ribut.
"SURI!! BANGUN!! NANTI KAMU TEL—" Ucapan Chandra sepenuhnya terputus begitu dia melihat Suri telah berseragam lengkap, dengan rambut yang sudah disisir dan dihiasi oleh sebuah jepit. "Kamu... udah bangun?"
"Menurut abang?"
"Tumben banget. Kamu nggak sakit, kan?" Wajah Chandra berubah cemas.
"Aku yang harusnya heran. Tumben banget abang udah bangun sepagi ini?"
"Kan dari semalam abang di rumah."
"Oh. Tumben nggak nge-mall dan bawa cewek lagi."
"Suri," Chandra menatap adik bungsunya, "kamu masih marah sama abang soal yang kemarin?"
"Menurut abang?"
"Jangan ngomong begitu sama abang."
Suri menggeram. "Abang pikir aja sendiri! Kalau Bunda masih ada, emang abang bakal bisa bawa-bawa cewek kayak gitu ke rumah?!"
"Suri,"
"Aku capek. Aku nggak mau ngomongin itu. Aku nggak akan marah, asal abang janji sama aku kalau abang nggak akan bawa cewek lagi ke rumah."
Chandra terdiam sejenak, lalu menganggukkan kepalanya.
"Terus kenapa sekarang abang yang ke kamarku? Abang Cetta mana? Abang Cetta pergi lagi?!"
"Enggak." Bukan Chandra yang menjawab, melainkan Cetta. Sesaat kemudian, pintu kamar dikuak lebih lebar, menunjukkan Cetta dan Calvin yang sudah berdiri di sana, tepat di ambang pintu. Keduanya terlihat sudah rapi, dengan rambut basah khas orang yang baru mandi. Suri baru menyadari kalau ketiga abangnya berbau seperti shampoo dan shower gel, sesuatu yang mana sangat langka dia lihat di pagi hari.
"Kalian... kenapa sih?" Suri justru jadi takut. Apa jangan-jangan abang-abangnya kesambet hantu penghuni pohon kersen dekat masjid? Tumben banget pagi-pagi seperti ini sudah rapi layaknya model siap fashion show.
"Hari ini kita bertiga bakal nganter kamu ke sekolah," Calvin menyahut. "Dan ngomong sama guru matematika kamu biar kamu bisa ikut ulangan harian susulan."
Mereka pasti bercanda. Mata Suri seketika melotot, menatap pada wajah ketiga kakaknya bergantian. Dia mencoba mencari dusta, namun apa yang dia temukan justru kebalikannya. Mereka semua sungguh-sungguh. Astaga. Suri menelan ludahnya sebelum kembali bertanya dengan susah payah,
"Kalian serius?"
"Menurut kamu, kucrut ini bakal mau bangun dan mandi jam lima pagi kalau kita semua cuma bercanda?" Cetta melirik pada Chandra yang langsung mendengus keras-keras.
"Enggak."
"Yaudah. Kita sarapan dulu sebelum berangkat." Calvin berkata lagi, membuat Suri dibuat tercengang sejenak di tempatnya berdiri.
Ya ampun, kemungkinan di atas delapan puluh persen, Bu Asturo akan semaput hari ini.
Bersambung.
******************************************
******************************************
a.n : Seneng kan u pada gue posting lagi
Abis gimana ya nggak ada kerjaan
Cerita ini enteng banget diketik sih soalnya banyakan dialog daripada narasi
Dawala brothers belon nongol
Sabar ya, nanti juga muncul pada waktunya
Okedah seqian
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro