Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

delapan belas

Khansa Amarissa.

Dua hari berlalu sejak pertemuan Suri dengan Nael dan Nenek di belakang lab bahasa, dan nama itu tak pernah sekalipun meninggalkan benak Suri. Suri kesulitan menemukan perempuan pemilik nama tersebut. Pertama, karena perempuan bernama Khansa Amarissa itu tidak memiliki akun sosial media yang aktif dia gunakan secara berkala. Suri mencoba mengiriminya pesan, namun tidak kunjung berbalas. Kedua, karena tidak seperti Kesha yang mengekorinya, Nenek tidak ikut Suri pulang ke rumah. Selain khawatir akan mengganggu Mpok Jessica dan Wati, dia juga berkata lebih senang berada di dekat cucunya untuk memantau keadaan gadis itu.

Jelas sekali, satu-satunya jalan untuk menghubungi Khansa Amarissa adalah dengan mendatanginya langsung di tempat tinggalnya, atau gelanggang olahraga tempatnya biasa berlatih. Sesuai dengan keterangan Nenek, ternyata Khansa adalah seorang atlet renang yang akan berlaga dalam kompetisi tingkat propinsi yang diadakan enam bulan lagi—setidaknya begitulah isi artikel yang tertampil ketika Suri mengetikkan nama Khansa pada kolom mesin pencari.

"Pusing banget, ada apa sih emangnya?"

"Masalah dunia lain." Suri menjawab pertanyaan Wati.

"Masalah dunia lain? Ada hantu lagi yang minta tolong?"

Suri mengangguk.

Mpok Jessica mengerucutkan bibir. "Enak banget, deh. Seandainya saja Enjes masih ingat masa lalu Enjes, Enjes juga mau minta tolong sama gadis syantiek cethar membahana kayak kamu. Enjes kan juga pengen bersantai manjah di atas sana bareng malaikat."

"Ngomongin malaikat, hari ini ada iblis yang nemuin gue."

"Iblis?" mata Wati membulat. "Kamu nggak bohong, kan?"

"Emang kenapa sih dengan iblis? Kok kayaknya kasta mereka tinggi banget sampai kalian semua para hantu pada heran."

"Kamu beneran nggak tahu apa-apa soal iblis?"

"Nggak. Ngapain juga tahu. Kan nanti juga gue pulangnya ke surga, bukan ke neraka."

"Ge-er banget kamu. Persis Abang Chandra."

"Tapi gue bukan fakboi kayak Abang Chandra." Suri mendesis. "Kenapa? Lo tahu soal iblis? Boleh ceritain dong. Btw, tadi iblisnya punya nama. Nael. Gue kira kembarannya Nael Horan member One Direction itu kan. Ternyata bukan. Ganteng banget, parah. Kalau dia manusia, kayaknya gue udah khilaf."

"Ganteng mana sama Sebastian?"

"HAHAHAHAHA." Suri terbahak, lantas menyahut cepat. "Gantengan Nael kemana-mana, lah."

"Kok nggak pindah hati ke Nael?" Wati justru penasaran pada sesuatu yang lain.

"Karena gue masih waras. Nggak kayak lo. Ngenes amat harus cinta beda alam. Ini tuh bukan Twilight. Dan gue bukan Bella Swan. Walaupun gue nggak kalah cakep dari si Bella."

"Namanya beneran Nael?"

"Yoi. Katanya dia anak Mamet. Emang ada gitu iblis betawi?"

"Mammon, bukan Mamet," Kalau saja tubuhnya tidak menembus tembok, Wati mungkin sudah membenturkan kepalanya kesana berkali-kali. Wati bukan hantu yang serius, tapi jika sudah membicarakan iblis, tidak sepatutnya Suri bersikap penuh canda seperti itu.

"Serius banget sih, Wat." Suri mendelik, lalu beralih pada Mpok Jessica yang sedari tadi diam. "Mpok Jess kenal juga?"

"Enggak ada yang nggak tau soal dunia iblis. Enjes pasti tau dong."

"Dunia iblis, dunia hantu, dunia malaikat. Bedanya tuh apa, sih? Gue pusing?"

"Di dunia tidak terlihat itu ada tiga makhluk. Iblis, malaikat dan hantu. Kalau kata iblis, hantu itu jiwa-jiwa yang tersesat. Gimana ya, kita kan emang arwah gentayangan yang nggak bisa menemukan jalan ke atas," Wati mengawali, membuat Suri berpikir bahwa sebenarnya hantu itu tidak bodoh-bodoh amat. "Ada tujuh iblis utama di neraka, karena jumlah dosa paling mematikan juga ada tujuh. Lucifer mewakili kesombongan, Mammon mewakili keserakahan, Asmodeus mewakili hawa-nafsu—"

"Hm, berarti kayaknya Abang Chandra kesurupan Asmodeus."

Wati mendelik, membuat Suri spontan langsung meringis.

"Muehehe. Sori-sori. Lanjut deh,"

"—Leviathan mewakili iri hati, Beelzebub mewakili kerakusan, Amon mewakili kemarahan dan yang terakhir Belphegor mewakili kemalasan."

"Curiga nih kayanya gue ditumpangi Belphegor. Makanya jadi bego ampun-ampunan. Muehehe."

"Kalau kamu ditumpangi iblis, kamu udah jadi korban rukyah."

"Kayak exorcistnya Emily Rose?"

"Kamu kebanyakan nonton film horor."

"Daripada lo, kebanyakan nonton sinetron." Suri membalas tidak mau kalah. "Oh. Apa semua iblis tuh ganteng-ganteng, ya?"

"Mayoritas iblis laki-laki. Makanya kebanyakan penghuni neraka perempuan. Kan perempuan lemah sama yang ganteng-ganteng."

"Soalnya gemes kan kalau liat yang ganteng-ganteng," Suri terkekeh. "Oh, gitu."

"Nael bilang apa sama kamu?"

"Cuma say hi. Terus gue ajarin kissbye."

Wati melotot, berpandangan tak percaya dengan Mpok Jessica. "Serius?!"

"Dua rius malah."

"Berarti kamu manusia pertama yang ngajarin iblis untuk kissbye!" Wati jadi heboh. "Dia bilang apa lagi ke kamu?"

"Lupa." Suri mengedikkan bahu, perhatiannya kembali tertuju pada layar ponsel dimana jendela mesin pencari yang menampilkan hasil pencarian tentang Khansa Amarissa masih terbuka. "Gue minta bantuan Abang Calvin aja kali, ya? Besok kan dia nggak ada kelas. Sementara gue harus sekolah. Duh, deg-degan. Besok nilai matematika gue keluar."

"Nilai ulangan?"

"Yoi. Doain ya biar nilai gue di atas delapan."

"Kalau nggak dapet delapan? Batal dong jalan sama Sebastian?"

"Woyajelas tidak! Tinggal gue tip-ex aja nilainya, terus gue ganti pake angka delapan koma lima." Suri menyeringai licik, lantas beranjak dari meja belajarnya. "Gue ke bawah dulu. Lo sama Mpok Jessica jangan bikin kekacauan aneh-aneh di kamar gue!" Suri mengucapkan kalimat terakhir dengan penuh penekanan, kemudian pergi ke luar kamar.

Suasana rumah tidak begitu ramai. Chandra belum pulang, ada jadwal nge-DJ di sebuah klab malam terkenal. Cetta sudah masuk kamar sejak sore. Bukan untuk tidur pastinya, tapi untuk bertelepon ria dengan sang kekasih tercinta, siapa lagi jika bukan Rana seorang. Kalau Calvin sih berhubung jomblo, jadi paling kerjaannya kalau nggak mengelus buku-buku setebal dosa, pasti nongkrong di depan televise. Entah menonton serial Ultraman, Detective Conan atau kartun jadul lainnya.

Dugaan Suri benar. Saat dia menuruni tangga menuju ruang keluarga, Calvin ada disana. Kakaknya itu tengah bersandar di sofa, dengan semangkuk popcorn karamel di pangkuan dan sekotak yoghurt stroberi berembun di atas meja.

"Culi? Tumben nggak belajar?" Calvin bertanya sambil memasukkan beberapa butir jagung ke mulutnya.

"Kan udah kemarin."

"Oh, tobatnya cuma kemarin doang."

"Kemarin tuh masalahnya bukan cuma ulangan matematika, abang." Suri mengerucutkan bibir. "Aku nggak mau bahas soal itu."

"Apa? Jadi kamu mau nemenin abang nonton Helga sama Arnold?"

Suri menatap sejenak pada layar televisi yang masih menampilkan wajah karakter gadis galak bernama Helga yang diam-diam menyukai karakter Arnold setengah mati. Herannya, semakin dalam Helga menyukai Arnold, Helga justru bersikap makin pedas pada cowok itu. Huf. Bahkan sejak masih bocah, cewek-cewek sudah diajari apa itu artinya jual mahal. Makanya banyak cewek jaman sekarang yang jomblo. Soalnya mereka ketinggian pasang harga dan kebanyakan kode-kodean. Suri sih ogah membuang-buang waktu untuk yang seperti itu.

Mending tembak langsung. Apalagi kalau bidikannya jitu. Bisa-bisa langsung ditaksir balik.

"Nggak. Aku mau minta bantuan abang."

"Hm? Tumben. Mau minta bantuan apa? Ajarin rumus lagi?"

"Bukan." Suri mengeluarkan ponsel, menunjukkan informasi tentang Khansa Amarissa yang masih terpampang jelas di layarnya. "Aku mau abang pergi ke gelanggang olahraga besok. Terus abang temuin cewek ini."

"Khansa... Amarissa? Dia teman kamu?"

"Bukan, sih. Aku juga nggak kenal."

Calvin melotot. "Jangan bilang kalau ini berhubungan sama dunia hantu-hantuan lagi!"

Suri meringis. "Kurang lebih sih kayaknya begitu, bang."

"Suri, kan abang udah bilang kalau dunia hantu-hantuan itu nggak aman. Masih untung kamu ketemu hantu yang baik kemarin-kemarin. Coba kalau ketemu hantu yang jahat kayak di film The Conjuring atau The Omen? Abang nggak mau adik abang kenapa-kenapa!"

"Ih, abang. Ini tuh hantunya juga baik. Neneknya Khansa yang meninggal tiga hari yang lalu nggak bisa pergi dengan tenang karena khawatir sama Khansa. Aku nggak tega mau nolak, soalnya aku jadi keingat Oma." Suri menatap Calvin dengan pandangan memelas. "Plis, bantu aku sekali ini aja. Habis ini, aku nggak akan berurusan lagi sama dunia hantu-hantuan. Aku janji!"

"Beneran?"

"Janji!" Suri berseru lebih keras, kali ini sambil mengacungkan jari kelingkingnya. "Jadi abang mau bantu aku, kan?"

Calvin tampak berpikir sejenak, lalu menghela napas sebelum akhirnya balas meraih jari kelingking Suri dengan jari kelingkingnya sendiri. "Oke, deal. Sekarang, abang harus bantu dengan gimana?"

"Temuin Khansa besok. Dia nggak kuliah karena fokus sama bidang olahraga. Dia atlet renang, abang. Menurut info dia bakal ikut kejuaraan nasional enam bulan mendatang. Pasti dia lagi sibuk latihan. Abang temui dia, minta nomor teleponnya."

Calvin tersentak kaget, matanya terbeliak lebar. "Dih. Nanti kalau dia kege-eran dan nyangka abang naksir dia gimana?!"

"Emang naksir selalu berarti minta nomor telepon?"

"Enggak sih. Tapi kan Suri, kebanyakan cewek bakal mikir begitu."

"Hm, berarti waktu Gio minta nomor telepon aku, sebenarnya dia naksir aku kali ya?" Suri menangkup pipinya yang menghangat tiba-tiba. "Ya ampun, aku terjebak cinta segitiga antara kakak-beradik."

"Kayak judul sinetron." Calvin mencibir. "Tapi apa harus banget sampai minta nomor teleponnya?"

"Harus, abang." Suri menjawab tegas. "Bilang aja, ini soal almarhum neneknya. Abang mau, kan? Sebenarnya aku bisa aja kesana besok, tapi takutnya pulang sekolahnya sore dan dia udah nggak di gelanggang olahraga lagi. Mau nyari hantu neneknya juga bingung, sementara waktunya udah mendesak banget."

"Mendesak?"

"Soal itu, abang nggak perlu tahu. Tapi aku jamin, ini semua seratus persen aman."

Calvin menatap Suri sejenak. "Kirim fotonya ke LINE abang. Siapa namanya tadi?"

"Khansa Amarissa. Kayaknya dia seumur abang, sih."

"Hm. Khansa, ya? Oke deh."

Suri bersorak. "Yay! Makasih abang!"

"Makasih aja nggak cukup."

"Hm?" alis Suri terangkat. "Maksud abang?"

Calvin mengetuk-ngetuk pipi kanannnya dengan jari telunjuk. "Cium abang dulu."

"Dih."

"Udah lama juga kan kamu nggak cium abang."

"Oke-oke." Suri menurut, membungkuk dan mengecup cepat pipi kakaknya. "Makasih abangnya Culi yang paling baik. Culi sayanggg banget sama abang."

"Kalau sayang, temenin nonton dong."

"Sampai jam sepuluh aja, ya?"

Calvin tersenyum, lalu mengacungkan jempol yang Suri balas dengan tawa kecil. Cowok itu bergeser ke sudut sofa, memberikan tempat yang luas untuk adiknya berbaring dan menumpangkan kepala di pahanya. Jarinya memainkan helai rambut Suri, sementara mata mereka tertuju pada layar televisi yang masih menampilkan film kartun.

Memiliki tiga kakak laki-laki berarti memiliki tiga penjaga yang lebih galak dari anjing herder kantor polisi. Namun itu tidak selalu buruk. Memiliki tiga kakak laki-laki juga dapat berarti memiliki tiga sumber tawa yang tidak pernah kehabisan akal membuat Suri ceria, juga sandaran setiap kali Suri merasa sedih. Karena separah apapun tingkah laku ketiga kakaknya, Suri tahu pasti sesuatu; mereka bertiga menyayanginya lebih dari apapun di dunia ini.

n  o  i  r

Jam istirahat makan siang kembali tiba. Seperti hari-hari biasa, Sebastian bergeming di meja kerjanya. Dia tidak berniat pergi ke luar. Matahari bersinar demikian terik, melihat terangnya langit saja sudah membuat keningnya berlipat. Sasha lagi-lagi sempat mendekatinya, mengajaknya makan bersama. Jawaban Sebastian masih serupa. Dia menolak. Kadang, Sebastian tidak mengerti kenapa Sasha tidak kapok ditolak.

Ah, bicara penolakan, Sebastian teringat pada Suri. Bukan berarti karena keberadaannya penting buat Sebastian, tapi karena gadis itu serius dengan ucapannya. Suri tidak datang ke rumahnya sepanjang pertengahan hingga akhir minggu dengan alasan persiapan belajar untuk ulangan matematika. Mami sempat muram, namun lantas dia memuji Suri. Sebastian dengan sengit menyela, berkata Suri melakukannya hanya demi pergi seharian ke Dufan bersama Sebastian. Sebuah keputusan yang salah, karena Mami justru makin mengidolakan Suri. Dia menganggap Suri sebagai gadis bertekad kuat yang rela berkorban.

Rela berkorban, Sebastian mencibir dalam hati. Cowok itu membuka kaleng kopi dingin keduanya hari ini, lalu meraih tas dan mengeluarkan sebuah kotak bekal. Mami mengirimkannya sejam yang lalu via fasilitas Go-Jek. Sebastian tidak pernah bilang kalau dia terlalu malas untuk keluar makan siang, namun seorang ibu tetaplah ibu. Mereka mengenal anak-anak mereka lebih dari siapapun.

Tangan Sebastian baru bergerak membuka tutup kotak bekal tersebut ketika ponselnya bergetar. Sekilas, Sebastian melirik. Dari Suri. Biasanya, dia tidak akan mengutamakan ponsel daripada makanan, tetapi Sebastian telah terlanjur penasaran. Cowok itu meletakkan kotak bekalnya di atas keyboard, meraih ponsel dan membuka pesan yang masuk.

Suri mengirimkan foto seorang gadis berseragam SMA dengan selembar kertas ulangan dengan nilai dalam tinta merah di tangannya. Suri tersenyum ceria, menampakkan deretan gigi-giginya. Nilainya tujuh koma lima. Sebastian bisa menebak telak dengan sekali lihat. Namun Suri menghapusnya menggunakan tip-ex, mengganti angka tujuh dengan angka delapan. Tanpa sadar, Sebastian tertawa kecil.

Suri : Nilaiku di atas delapan

Suri : Berarti minggu depan kita ke Dufan

Sebastian Dawala : Sabotase macam apa itu

Sebastian Dawala : Kalau mau merekayasa, yang bener dikit, kek

Suri : IH SIAPA YANG REKAYASA?!

Suri : Beneran kali

Suri : Tadi Pak Acong salah ngoreksi. Jadi nilainya dibenerin.

Sebastian Dawala : Hm

Suri : Jangan ham-hem ham-hem gitu :(

Suri : Ke Dufan, kan? :--------(

Suri : Aku udah belajar rajin :''''''''''''''''(

Suri : Nggak ikut Abang Cetta ke mall

Suri : Nggak main sama ke rumah kamu juga :-------------------(

Suri : Jangan di-read aja dong :------------(

Jika obrolan itu terjadi minggu lalu, tidak diragukan lagi, Sebastian akan langsung menolak mentah-mentah. Tetapi tidak sekarang. Cerita Mami tentang Suri yang giat belajar selama akhir pekan kemarin—ditambah celetukan sepintas Sergio tentang Suri yang mendadak jadi jarang muncul di akun sosial medianya membuat Sebastian berpikir betapa gadis itu masih sangat muda dan naif. Suri berpikir sangat sederhana. Harusnya Sebastian tidak bersikap sekasar itu pada Suri. Dia hanya siswa SMA, dengan tiga kakak laki-laki super protektif. Wajar jika Suri punya cara yang berbeda untuk mengekspresikan sesuatu—termasuk tentang bagaimana dia menunjukkan rasa sukanya pada Sebastian secara terang-terangan.

Kalau dipikir-pikir, Suri mengingatkan Sebastian pada dirinya dulu ketika masih SMA. Seantero sekolah mengenalnya sebagai cowok dingin, namun jadi luar biasa norak dalam perjuangannya mendapatkan hati seorang Cathleena Nirwasita. Meski pada akhirnya hubungannya dengan Kat hanya berlangsung beberapa tahun, kenangan masa SMA itu selamanya menjadi sesuatu yang konyol tetapi patut diingat bagi Sebastian.

Sempat berpikir sejenak, akhirnya Sebastian mengetikkan pesan balasan.

Sebastian Dawala : Akhir minggu ini. Jam tujuh gue ke rumah lo.

Sebastian Dawala : Kalau sampe gue harus nunggu, acara ke Dufannya nggak jadi.

Suri : BENERAN?!!!!!!

Sebastian Dawala : Hm.

Suri : SERIUS KAN?!!!!!!

Sebastian Dawala : Hm.

Suri : ANJRITTTTT

Sebastian Dawala : Sekali lagi lo ngetik pake capslock, gue nggak mau balas lagi.

Suri : Hehehe. Maaf.

Suri : Oke, sampai ketemu lagi nanti, Tian!

Suri : Bentar lagi ada kelas seni

Suri : Jangan lupa makan siang, ya. Jangan minum kopi aja, nanti kamu bisa tepar kayak Abang Chandra

Suri : Have another handsome day {}

Suri mengakhiri obrolan singkat mereka dengan sebuah stiker berupa seorang gadis yang meniupkan hati dari jarak jauh. Sebastian mendengus, tapi entah kenapa gelak samar justru terlepas dari mulutnya sesaat kemudian. Dia tidak pernah mengobrol memakai emoji atau stiker. Kebanyakan percakapannya adalah dengan Sergio atau kedua orang tuanya. Bahkan Kat bukan tipe orang yang suka menggunakan stiker dan emoji.

Sebastian terdiam, lalu jarinya mengetikkan sesuatu.

Sebastian Dawala : Belajar yang bener

Namun sebelum pesan itu sempat terkirim, logika Sebastian menatapnya dengan jengah. Cowok itu menyentakkan kepalanya, memutuskan menghapus apa yang sudah dia ketik. Lalu menggantinya dengan kata yang lebih singkat.

Sebastian Dawala : Oke.

Sebastian mengirim pesan itu, tapi tidak segera terbaca oleh Suri. Sepertinya gadis itu sudah masuk ke kelas seni. Sebastian menghela napas, jarinya melakukan scroll up untuk melihat sekali lagi gambar yang Suri kirimkan. Senyumnya, dan nilai bertulis tinta merah di atas kertas ulangannya. Wajahnya yang bersih dari riasan dan seragam SMA-nya semakin menegaskan pada Sebastian berapa jauh perbedaan umur antara Kat dengan Suri.

Buat Sebastian, rasa suka seorang gadis pada seorang laki-laki adalah sesuatu yang serius. Satu hubungan untuk selamanya. Tetapi tidak untuk Suri, terutama ketika Sebastian tahu Suri belum pernah sekalipun punya pacar. Menentukan orang yang disuka tidak begitu sulit buat Suri. Dia hanya ingin bersenang-senang, mengisi masa remajanya dengan cerita konyol macam remaja lain. Kat tidak akan merasa harus berjuang berhari-hari melakukan apa yang dia suka demi pergi bersama Sebastian ke tempat yang menyenangkan. Karena gadis itu tidak memiliki pola pikir sesederhana pola pikir Suri. Di sisi lain, dia juga sudah banyak membantu keluarga Sebastian. Mami tidak lagi terlalu sedih memikirkan Sarah, dan Sebastian terselamatkan dari eksistensi makhluk astral yang dibencinya setengah mati.

Mendadak, rasa bersalah menyeruak dalam dada Sebastian. Cowok itu menghela napas, meraih kotak bekalnya yang tadi terabaikan. Well, satu hari di Dufan tentu tidak akan melukai siapapun, dan Sebastian bisa membuat Suri merasa senang. Anggap saja itu upah untuk usaha kerasnya dalam belajar dan bantuannya karena sudah menyelesaikan masalah perhantuan di rumah Sebastian.

n  o  i  r

Chandra sengaja datang ke sekolah Suri sejam sebelum kegiatan belajar berakhir karena satu alasan; untuk melihat Siena. Cetta sempat memandangnya curiga ketika tadi dia bangun lebih pagi dari biasanya—dimana sangat tidak biasa bagi Chandra untuk bangun di bawah jam dua belas siang, terutama ketika dia baru sampai di rumah pukul lima pagi.

Chandra mengabaikan keraguan Cetta, diikuti khotbah dramatis tentang bagaimana selama ini Chandra merasa berdosa karena tidak bersikap perhatian pada Suri. Padahal, Suri hanya alibinya. Memang, sekali buaya akan tetap jadi buaya.

Sesaat setelah dia turun dari mobil, beberapa siswa langsung menatapnya. Chandra kontan senyam-senyum kege-eran. Pasti mereka semua mengenalinya sebagai disk jokey terkenal ibukota. Kalaupun mereka tidak mengenalnya, mereka pasti terpesona dengan penampilannya. Chandra terkekeh, melanjutkan langkah dengan lagak sok cool sebelum mendekati meja guru piket untuk bertanya tentang kelas terakhir Suri. Guru piket itu tampak takjub, sempat mengajaknya mengobrol sesaat sebelum menawarkan diri menunjukkan dimana kelas seni berada. Daripada berjalan-jalan sendirian di tengah kumpulan anak-anak berseragam SMA, Chandra lebih suka dikawal oleh guru tersebut—meskipun yah, guru itu tidak berhenti mengajaknya bicara.

Pintu kelas seni agak sedikit terbuka saat Chandra sampai disana. Kelas seni tidak serupa dengan kelas biasanya, dimana pintu terdapat di belakang deretan baku penonton dan panggung kecil berisi berbagai jenis alat musik berada jauh di sudut lain ruangan. Di sisi kanan dan kiri tembok, terdapat sejumlah peralatan seni lukis seperti kanvas dan kuas yang berjajar rapi. Perhatian seisi kelas tengah tertuju pada panggung kecil di depan mereka, sehingga hampir seluruh penghuni kelas tidak menyadari kehadiran Chandra dan guru piket yang kini berdiri di ambang pintu.

Chandra hanya memperhatikan, tapi senyum tebar pesonanya langsung berubah jadi ringisan ketika dia bertemu pandang dengan Suri yang gilirannya tiba untuk naik ke atas panggung bersama Siena. Suri melotot, membuat Chandra menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Tetapi tentu saja, gadis itu tidak bisa memekik galak pada kakak sulungnya. Tidak ketika dia berada di atas panggung bersama Siena. Dari apa yang Chandra tangkap, kelas seni tengah membahas tentang musik akustik dan setiap siswa maju ke depan secara berkelompok. Siena dan Suri membentuk duo. Sesuatu yang mudah ditebak, karena Suri tidak punya teman dekat lain selain Siena.

Siena meraih sebuah gitar. Membuat Chandra terkejut pada awalnya, karena dia tidak pernah tahu Siena bisa memainkan gitar. Mereka menyanyikan sebuah versi pendek dari lagu Love Yourself dari Justin Bieber. Lagu yang dulu pernah Chandra cover dan diunggahnya ke akun Soundcloud.

Pada petikan pertama jari tangan Siena pada senar gitarnya, Chandra dibuat terpana.

https://youtu.be/cqzldD6pHcs

Siena punya suara yang indah, dan sangat khas. Berbeda dengan suara Suri yang terdengar lebih lembut. Namun dalam lagu itu, suara mereka menjadi begitu padu. Chandra tercengang. Pertama, dia tidak menduga Siena punya kemampuan musik yang cukup bagus. Kedua, dia tidak pernah mendengar Suri bernyanyi sebelumnya. Penampilan itu hanya berlangsung satu setengah menit, tetapi berhasil menyihir orang-orang yang menonton. Saat penampilan Suri dan Siena akhirnya berakhir, Chandra jadi salah satu yang bertepuk tangan paling keras—hingga Siena menyadari kehadirannya dan dibuat terbelalak karenanya.

Chandra meringis, menatap pada dua gadis yang kini memandangnya sembari turun dari panggung. Cara mereka melihatnya jelas berbeda. Suri tampak galak, sedangkan Siena terlihat malu-malu dan terkejut. Cowok itu menghela napas, melambai dengan kaku.

Chandra tidak tahu apakah menjemput Suri lebih awal hari ini jadi keputusan yang bener. Mungkin saja iya. Dia bisa mengetahui bakat tersembunyi yang dimiliki Suri, sekaligus mendengarkan suara Siena yang sangat angelic. Hm. Mendadak sebuah ide terlintas dalam benaknya.

Satu sesi makan siang bersama Siena—juga Suri—tentu bisa menjadi tambahan suntikan semangatnya hari ini. Terutama saat nanti malam, dia masih harus beraksi di balik booth disk jokey. Chandra terkekeh, melangkah menjauhi ambang pintu dan melirik arloji yang melingkari pergelangan tangannya. Empat puluh lima menit adalah lama waktu dia harus menunggu.

n  o  i  r

Calvin menutup pintu mobil dengan hati-hati—tentu saja karena itu mobil Cetta, dimana jika Calvin memulangkannya dengan bekas lecet atau benturan, Cetta akan langsung membunuhnya tanpa berpikir—sebelum melangkah memasuki area gelanggang olahraga yang cukup ramai. Beberapa orang sempat menatapnya ingin tahu, tetapi Calvin mengabaikannya. Tangannya menggenggam ponsel yang menampilkan foto milik Khansa Amarissa di layar. Kakinya mengarah menuju arena kolam renang indoor tempat para atlet berlatih mempersiapkan diri untuk kejuaraan yang akan datang. Namun sebelum Calvin bisa sampai disana, seseorang telah lebih dulu menahan langkahnya.

"Maaf, Mas siapa ya?"

Calvin memiringkan wajah, menatap orang itu. Dia adalah pria setengah baya dengan kumis tebal dan peluit terkalung di leher. Kulitnya cokelat, pertanda sering terbakar matahari. Sebuah topi bertengger di kepalanya. Untuk ukuran usianya, pria itu punya tubuh yang bugar dan tampak liat oleh otot. Mudah bagi Calvin menyimpulkan jika sosok itu adalah pelatih dari salah satu cabang olahraga.

"Saya mencari Khansa. Khansa Amarissa. Dia salah satu atlet renang yang berlatih disini," Calvin mengangkat ponsel, menunjukkan wajah Khansa di layarnya. "Nama saya Calvin Raskara. Saya mencari dia karena ada hubungannya dengan mendiang neneknya."

Kening pelatih itu berkerut. "Neneknya Khansa yang meninggal lima hari lalu?"

Calvin mengangguk.

Pelatih itu balik menatap dengan curiga, namun langsung menuding pada deretan bangku yang melekat ke tembok dengan pandangan. "Mas Calvin ya? Hm, tunggu sebentar. Saya panggilkan dulu Khansa-nya."

"Terimakasih, Pak." Calvin berujar lugas, lalu bergerak mendekati tempat duduk. Beberapa orang lalu-lalang. Kebanyakan dari mereka adalah atlet dan pelatih. Butuh waktu cukup lama bagi Calvin untuk menunggu, hingga suara seorang gadis terdengar, membuat kepala Calvin refleks tertoleh hanya untuk mendapati sesosok gadis dengan rambut basah sedang berdiri beberapa meter dari tempatnya duduk. Gadis itu mengenakan hoodie kebesaran dengan bordir nama sebuah grup renang terjahit di bagian dadanya. Wajahnya tidak terlihat ramah, malah cenderung jutek.

"Calvin Raskara? Kamu mencari saya?"

"Khansa Amarissa?" Calvin beranjak dari duduk, lalu berjalan ke arah Khansa. Setelah berdiri berhadapan, Calvin menyadari kalau Khansa adalah gadis yang terhitung mungil. Gadis itu hanya sepantaran bahunya.

"Iya. Ada apa ya? Tadi katanya, kamu mau ketemu saya karena ada hubungannya dengan mendiang Oma?" Khansa memiringkan kepala, alisnya berkerut curiga. "Kamu kenal Oma saya?"

"Bukan saya. Tapi adik saya. Kalau saya ceritain sekarang, bakal terlalu panjang." Calvin menghela napas. "Intinya, adik saya minta nomor telepon kamu. Ini penting. Dia nggak bisa datang sendiri karena sibuk sekolah."

Khansa tersenyum masam. "Dan kamu harap saya percaya?"

"Maksud kamu?"

"Saya nggak ngasih nomor telepon saya ke orang yang nggak dikenal. Apalagi kalau tiba-tiba dia menjual nama Oma. Saya kira kamu serius. Tapi ternyata nggak. Ya sudah." Khansa mendengus, kemudian berbalik dan berniat pergi menjauh. Tapi dengan cepat, Calvin langsung menahan lengannya, membuat Khansa melakukan tindakan defensif dengan memuntir lengan Calvin secara refleks. Spontan, cowok itu mengaduh kesakitan.

"Jangan pegang saya tanpa izin, oke?"

"O—oke. Sekarang tolong lepasin tangan saya."

Khansa mendengus. "Kamu yang keenam hari ini."

"Keenam?" Calvin bertanya seraya mengusap lengannya yang masih mendenyutkan nyeri.

"Orang keenam yang minta nomor telepon saya. Dan saya masih nggak akan ngasih." Khansa menatap Calvin dengan pongah. "Mending kamu pulang sebelum tangan kamu benar-benar patah."

Asem. Kenapa harga diri Calvin terasa tertohok oleh ucapannya?

"Saya nggak seperti cowok-cowok lain yang minta nomor telepon kamu untuk kepentingan yang nggak penting. Ini serius."

"Atas dasar apa saya harus percaya kamu?"

"Karena saya jujur."

"Halah. Dari lima orang lainnya, kamu itu yang paling rese." Khansa melipat tangan di dada. "Angka enam memang selalu berarti pertanda sial. Dajjal. Iblis. Kamu."

"Lo nyamain gue dengan Dajjal?!" Calvin melotot, merasa kesabarannya sudah habis untuk bisa tetap bersikap formal nan sopan.

"Tuh kan, keluar aslinya." Khansa menyentakkan kepala. "Gue sibuk." Sambungnya, lantas gadis itu berbalik dan melangkah pergi begitu saja, meninggalkan Calvin terperangah sendirian di tempatnya berdiri. Geram, Calvin mengepalkan tangannya sementara benaknya memendam kekesalan yang telah purna.

Untuk pertama kali dalam hidupnya, harga diriCalvin terasa ditusuk telak oleh seorang gadis.





bersambung. 

*************************************

*************************************

a.n : Hm, Noir lagi. Berhubung paling banyak yang milih Noir so yah 

Btw, besok gue kayaknya akan ngepost lagi. Entah SR atau AD. Tadinya gue mau ngetik AD atau SR malam ini, tapi jadinya malah ngetik JINX versi tulis ulang wkwkwk ternyata banyak sekali bagian yang menurut gue lebih bisa disederhanakan. 

Karena dulu biasa nulis fanfiction Justin Bieber, penyakit gue adalah sering menulis panjang lebar dan kurang fokus. Karenanya, di cerita ini gue mencoba fokus pada alur utama. Gue tau kalian ada yang nge-fans sama Dimi x Rana, Siena x Chandra bahkan sampai Sergio x Kesha. Gue berencana membuat sesuatu yang fokus pada mereka, sebenarnya. Entah itu hanya extra chapter atau novelet pendek (cerita yang pendek yang biasanya nggak lebih dari sepuluh bab) 

Oh ya, video Suri dan Siena nyanyi sudah gue masukin ya. Harusnya pakai seragam sekolah sih lol tapi anggap aja itu suara mereka ketika nyanyi. Dan yang main gitar Siena. 

Oke deh, sekian. 

See you in the next chap. 

PS : btw ada disini yang join grup Telegram bersama anak-anak RP dan beberapa readers gue yang lain? Lol, i'm so sorry kalau gue keliatan hyper di grup wkwkwk 

Ciao

  

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro