delapan
Saat mereka diizinkan meninggalkan kantor polisi setelah hasil tes urine menunjukkan mereka semua negatif menggunakan zat-zat terlarang, malam telah merambat menuju dinihari. Sergio telah duduk terkantuk-kantuk di ruang tunggu, sementara Suri sudah sepenuhnya tumbang. Dalam posisi duduk, gadis itu jatuh tertidur dengan bahu bersandar pada pundak Calvin. Jaket milik Cetta menyelimuti bagian atas tubuhnya, melindunginya dari udara dingin yang menusuk. Sebastian melirik sekilas, kemudian mengaduh pelan dalam hati. Sial. Dia harus bangun jam tujuh pagi besok, yang artinya kini dia punya waktu kurang dari tujuh jam untuk tidur.
"Budi udah nungguin di depan," Cetta yang baru saja menerima telepon dari temannya tiba-tiba berujar. Dia memang sengaja meminta tolong salah satu teman kuliahnya untuk menjemput di kantor polisi. Teman yang bisa dipercaya, tentu saja, karena Cetta tidak ingin ada gosip yang tidak-tidak menyebar, entah di dunia maya atau diantara teman-teman sekampusnya. Mereka memang tidak membawa kendaraan dari rumah karena menggunaan kendaraan milik kepolisian untuk sampai di kantor polisi. Sedangkan mencari taksi atau angkutan umum lainnya pada jam-jam seperti itu sama sulitnya dengan menemukan sebatang jarum dalam tumpukan jerami.
"Yaudah. Ayo pulang," ucap Calvin, sebelum dia menguap lebar-lebar sambil mengucek bola matanya, yang Cetta balas dengan anggukan.
"Nggak usah dibangunin," Chandra berkata begitu dia melihat Cetta mendekati kursi ruang tunggu dan berniat menepuk bahu Suri. "biar gue aja yang bawa," katanya, lalu dengan mudahnya cowok itu meraih tubuh Suri dalam gendongannya. Tanpa bicara apa-apa, Chandra langsung berlalu, diikuti oleh Cetta dan Calvin yang ikut beranjak dan mengekori langkahnya menuju mobil Budi yang telah menunggu.
Sebastian kontan langsung dibikin melotot. Soalnya, sama seperti Suri dan kakak-kakaknya, dia tidak diperkenankan menyetir sendiri ke kantor polisi. Mobilnya masih berada di depan rumah Suri sampai sekarang. Tidakkah mereka merasa punya tanggung jawab turut mengajaknya dan Sergio?
"Tunggu. Gue sama adik gue gimana?" Sebastian bertanya, membuat ketiga bersaudara itu langsung menghentikan langkah.
"Hm, lo bisa ikut mobilnya Budi, sih. Cuma ya itu, kayaknya lo harus pangku-pangkuan sama adik lo di kursi paling belakang."
"Kursi paling belakang?"
"Bukan kursi yang seperti lo bayangkan, sih," Cetta menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. "Tapi mungkin lebih kayak bagasi yang dikasih kursi kecil. Budi nyimpen dispenser di bagasinya, jadi cuma ada satu kursi kecil disana. Kalau kursi depan jelas bakal diisi gue. Kursi tengah udah penuh sama Suri, Chandra dan Calvin."
Sebastian mengatupkan mulut, menekan bibirnya ke dalam satu garis lurus. Matanya menatap pada jalan raya yang membentang di depan kantor polisi. Jalan itu sepi. Hanya ada satu-dua kendaraan yang berlalu-lalang. Semuanya kendaraan pribadi. Hari sudah larut, jelas sekali mayoritas angkutan umum sudah berhenti beroperasi. Taksi yang lewat bisa dihitung jari, dan semuanya sudah membawa penumpang. Kepala Sebastian terasa pening seketika.
"Budi nyimpen dispenser?" kening Calvin dibuat berkerut saat perhatiannya tersita pada sesuatu yang lain.
"Yoi. Dispenser rusak. Udah bocor. Berhubung kos-nya Budi nggak luas-luas amat, daripada makan tempat, dia simpan aja di bagasi mobilnya."
"Kenapa nggak dikilo aja di pasar loak sekalian?"
"Mana gue tahu, Vin. Tanya aja langsung sama Budi!" Cetta tampak dongkol.
"Alah, malah ngeributin dispenser!" Chandra memotong. "Buruan, deh. Dingin nih. Kasian Suri."
Seperti baru tersadar, Cetta dan Calvin langsung kembali bergerak. Sebastian sempat berpikir sejenak, namun dia sadar dia tidak punya pilihan lain. Sebastian tidak punya rekan sekantor yang cukup dekat untuk bisa dia mintai bantuan pada waktu semalam ini. Menelepon Papi-Mami adalah pilihan terakhir yang akan dia lakukan. Selain tidak berguna, itu hanya akan mengundang kepanikan yang tidak perlu.
Dengan terpaksa, akhirnya Sebastian mengangguk pasrah pada Sergio yang langsung membuang napas pelan lewat mulut. Kepala dua bersaudara itu tertunduk saat mereka berjalan gontai menuju parkiran. Sebastian mencoba tidak berimajinasi, namun begitu melihat 'kursi' yang dimaksud oleh Cetta, seketika nyeri tanpa penyebab langsung merambati pahanya. Duduk di kursi seperti itu sudah menjadi siksaan buat orang berkaki panjang sepertinya—dan penderitaan itu masih harus ditambah dengan memangku Sergio. Perlu ditegaskan, Sergio bukan lagi bocah tiga belas tahun berbadan cungkring. Dia anak berumur sembilan belas tahun yang hampir dewasa.
Sebastian memutar bola mata. Hari ini benar-benar hari paling sial yang pernah ada.
***
Cetta membuang napas lelah sembari melemparkan ponselnya ke atas sofa. Hari ini adalah hari super melelahkan untuknya. Pertama, karena dia hanya dapat jatah tidur kurang dari lima jam setelah peristiwa yang membuat mereka semua berakhir di kantor polisi semalam. Kedua, pada pagi hari, dia harus berpacu dengan waktu mengantar Suri yang masih terkantuk-kantuk ke sekolah. Gadis itu tidak bisa bolos, karena ulangan susulannya diadakan hari ini. Kalau Suri absen lagi, kemungkinan besar Bu Asturo tidak akan mempan hanya disogok dengan senyum manis dan buket bunga untu mengatur ulang jadwal ujian susulan. Ketiga, entah darimana, Ayah tahu tentang mereka yang digelandang ke kantor polisi—meski alasan konyol itu tak urung membuat beliau merasa geli setengah mati. Namun Ayah tetap berpendapat kalau ketiga anak laki-lakinya tidak bisa bertanggung jawab pada adik bungsu mereka. Dengan patuh, Cetta harus menempelkan ponsel ke telinga kurang lebih satu jam untuk menerima siraman rohani dari Ayah. Keempat, hari ini Cetta menghabiskan waktu lebih lama di kampus karena dosennya terlambat datang.
Paling tidak, kini dia berada di rumah. Sendirian, karena Calvin masih berada di kampus dan Chandra sibuk dengan acara meet and greet yang dia adakan di sebuah mall besar di Jakarta. Damai, sunyi dan tenang. Cetta menghembuskan napas, menatap langit-langit rumahnya yang kuning gading. Kantuk menggelayuti matanya. Cowok itu hampir saja jatuh tertidur hingga mendadak, suara bel pintu yang ditekan bertubi-tubi tanpa jeda memecah keheningan suasana.
Refleks, Cetta bangkit dari duduknya. Ini belum lewat dari jam dua belas siang. Belum waktunya Suri pulang sekolah. Cetta juga tidak menerima pesan kalau akan ada tamu yang datang. Ayah masih lama pulang. Dengan kening berkerut, cowok itu melesat ke pintu depan. Seraut wajah milik seorang gadis langsung menyambutnya sesaat setelah dia membuka pintu.
"Rana?!"
"Kenapa? Kok kaget banget ngeliat pacar sendiri datang?" sambil melipat tangan di dada, Rana menampilkan wajah jutek berbalut curiga. Matanya menatap pada ruangan di belakang punggung Cetta dengan curiga. "jangan-jangan, kamu lagi sama selingkuhan kamu, ya?!"
"Astaga, enggak. Aku cuma kaget karena kamu nggak bilang-bilang mau datang."
"Emang aku harus ngasih kabar dulu? Udah kayak ketemu dokter kulit aja, harus bikin janji jauh-jauh hari," Rana menatap pada Cetta dengan kening berlipat. "ya ampun, kamu punya kantung mata!"
"Iya. Semalem aku—"
"Stop. Nggak perlu cerita. Aku udah tahu semuanya."
"Darimana kamu tahu?"
"Dari Ayah kamu."
"Ayah kasih tahu kamu?!" Cetta hampir memekik.
"Yaiyalah. Emangnya kamu. Baru ngasih kabar kalau ditanyain. Kamu tuh harusnya bisa bedain mana yang penting dan nggak penting buat dikasih tahu ke aku. Kalau masalah ngirim meme receh aja kamu rajin. Ada masalah kayak kemarin, boro-boro cerita, ngasih tau aku aja nggak!"
"Rana, aku nggak mau bikin kamu khawatir."
"Siapa juga yang bakal khawatir? Ge-er banget kamu." Rana mendengus, kemudian berjalan masuk melewati Cetta begitu saja. "Aku cuma kesal aja, orang-orang pada nanya ke aku soal kamu yang dibawa ke kantor polisi dan aku nggak tau apa-apa. Masa si Budi lebih tau soal itu daripada aku yang beneran pacar kamu?"
"Tunggu. Orang-orang tau?"
"Lagian kamu percaya aja sama Budi. Dia tuh udah terkenal ember banget di departemen aku."
"Apa?!"
"Tenang aja. Kamu nggak akan dicap kriminal sama seisi kampus. Karena nggak ada kriminal yang tampangnya sebagus kamu," Rana berkata sambil berjalan melewati Cetta, melangkah masuk begitu saja ke ruang tengah. "Kamu sendirian?"
"Iya. Chandra lagi sibuk meet and greet. Calvin biasalah ada di kampus. Dia kan dedengkot departemen. Betah banget meskipun tinggal nunggu kelar skripsi doang. Suri masih di sekolah. Baru pulang jam dua nanti."
"Yaudah, nanti aku aja yang jemput Suri. Sekalian mau ngajak dia makan cantik ke kafe Hello Kitty yang baru buka. Kamu ada jadwal photoshoot nanti sore, kan?" Rana memiringkan wajah, berhenti bergerak untuk menatap Cetta, "Kamu udah makan siang?"
"Belum." Cetta nyengir. "Kamu mau masak buat aku?"
"Nggak. Di rumah aja aku nyuci piring bisa dihitung jari, apalagi masak? Kita delivery aja. Kamu mau makan apa? Ayam goreng? Pizza?"
"Ayam goreng."
"Oke, kalau gitu kita pesan pizza."
Cetta mencibir. Kiranazita Maharani memang bukan gadis biasa. Pertama bertemu dengannya, Cetta langsung tertarik. Karena Rana adalah gadis yang cantik. Namun setelah mengobrol beberapa lama dengannya, ada banyak sifat Rana yang membuatnya berpikir gadis itu sangat unik. Rana bisa saja terlihat jutek dan tidak peduli, tapi Cetta tahu bagaimana usaha keras yang gadis itu lakukan saat melelehkan dan mencetak sendiri cokelat buatnya di hari kasih sayang. Bagaimana Rana mau menawarkan diri mengantar-jemput Suri ketika Cetta disibukkan dengan rutinitasnya sebagai salah satu artis endorse di dunia maya dan tugas kuliah. Rana juga sangat berani, hingga Suri pernah bilang kalau makhluk astral pun takut padanya. Cetta percaya ucapan Suri itu benar. Rana pernah beberapa kali dijahili oleh kaum tak terlihat saat berkunjung ke rumah di awal hubungannya dengan Cetta. Awalnya, Rana mengabaikan semua gangguan itu. Namun ketika hantu penunggu rumah menyembunyikan ponselnya, Rana langsung kalap setengah mati. Suri berkata, sisi lain Rana ketika kalap membuat hantu penunggu rumah mereka jadi kapok menjahili gadis itu.
"Terserah kamu aja," ujar Cetta sambil kembali duduk di sofa. Rana tersenyum penuh kemenangan, menelepon gerai delivery pizza langganan mereka dan mengucapkan terimakasih dengan nada manis setelah selesai memesan. Cetta hanya mendengarkan, tidak mengatakan apa-apa sampai Rana ikut duduk di sebelahnya dan menyalakan televisi.
"Dimi, kamu ngambek?" Rana bertanya, kemudian tertawa jahil. "Bagus. Sering-sering aja ngambek."
"Kok gitu?"
"Soalnya, kalau ngambek kamu jadi tambah cakep."
Cetta memutar bola matanya, lantas menarik kepala Rana hingga rebah di dadanya. Rana tidak protes. Gadis itu bahkan sengaja menyandarkan tubuhnya lebih dekat pada Cetta dengan mata menatap pada televisi yang kini menyiarkan tayangan gosip.
"Nggak penting banget, deh," Rana mencibir. "Cuma perkara artis makan indomi doang sampai masuk infotaiment. Emangnya ada orang di Indonesia Raya ini yang nggak pernah makan indomi? Lebay,"
"Kalau lebay, kenapa masih kamu tonton?"
"Ini juga mau diganti," tangan Rana meraba sofa untuk meraih remot kontrol, namun tangannya justru menggenggam sesuatu yang lain. Ketika dia melihat apa yang telah tersentuh oleh jarinya, dahi Rana langsung tertekuk. Itu adalah sebuah dompet. "Dimi, ini dompet kamu?"
"Hah? Mana?" Cetta ikut menoleh ketika Rana menegakkan punggung. "Oh. Bukan. Punya siapa tuh?"
"Punya Chandra atau Calvin mungkin?"
"Enggak mungkin. Chandra nggak akan bisa meninggalkan rumah lebih jauh dari lima meter tanpa dompet dan ponsel. Sama aja kayak Calvin. Suri jelas nggak akan punya dompet semacho itu," Cetta meraih benda tersebut dari tangan Rana, kemudian membukanya tanpa berpikir. Selain beberapa lembar uang dalam pecahan berbeda-beda, ada beberapa kartu ATM terselip disana, bersama dengan satu kartu kredit dan satu kartu tanda mahasiswa. "Oh. Ini punya bocah yang kemarin. Taro aja. Paling nanti orangnya nyariin kesini."
"Sergio Dawala?" Rana membaca nama pemilik tanda pengenal dalam dompet itu, lalu menutupnya dan meletakkan dompet itu di atas meja.
"Iya."
"Dia ganteng. Pacarnya Suri?"
Cetta melotot. "Bukan!"
"Dih, aku kan cuma nanya. Nggak usah galak-galak kayak gitu juga, keles."
"Dia bukan pacarnya Suri, Kirana sayang," Nada bicara Cetta melunak. "Dia anak yang kemarin ikut diangkut ke kantor polisi. Kejadian kemarin tuh karena kakaknya bocah ini yang super dramatis. Jadi dia sengaja bilang ke teman kantornya untuk dateng bawa polisi kalau dia nggak ngehubungi sampai jam tujuh malam. Dikira kita semua psikopat macam tokoh utama film Rumah Dara. Boro-boro psikopat, Chandra aja nggak bisa megang pisau dengan benar. Aku nggak tau urusan Suri sama Sergio apa, soalnya Suri nggak mau cerita."
"Hm, sayang."
"Apanya yang sayang?"
"Padahal menurutku Suri cocok sama dia."
"Nggak! Suri tuh masih kecil, belum boleh pacaran."
"Dimi, kalau aku harus ingetin, Suri tuh cuma beda dua tahun sama kamu."
"Tetap aja, belum waktunya buat Suri untuk pacaran!"
"Terserah kamu aja deh."
"Aku nggak mau debat sama kamu."
Rana mengedikkan bahu. "Aku juga nggak ngajakin kamu debat."
"Yaudah," Cetta menepuk dadanya. "Sini. Senderan sama aku lagi."
"Idih. Modus macam apa tuh?"
"Kan aku kangen,"
Rana memutar bola mata, namun dia menurut. Gadis itu kembali menyandarkan kepalanya di dada Cetta. Mereka tetap ada dalam posisi itu hingga kurir pengirim pizza tiba. Dan selama mereka berdekatan, ada sesosok makhluk astral menatapi keduanya dari belakang dengan pandangan iri ala Bawang Merah yang tengah melihat Bawang Putih bahagia.
Wati cemberut, sebelum melayang menyusuri tangga sambil menyanyikan lagu Aku Bukan Pilihan Hatimu dalam bisik nelangsa.
***
"Tumben lo dandan," Suri berkomentar ketika dia melihat Siena berdiri di depan cermin toilet dan sibuk memoles bibirnya dengan liptint berwarna merah muda. Asmi melayang tenang di pojok sesuai kesepakatannya dengan Suri dimana Asmi tidak akan melakukan tindakan yang menunjukkan eksistensinya jika Suri datang ke toilet bersama Siena. Meski Siena berkata dia tidak takut hantu, melihat keanehan mistis tidak akan gagal membuatnya terkejut.
"Habis ini gue mau pergi ke mall."
"Ngapain?"
"Ke meet and greetnya Kak Chandra."
"Gue juga kepingin ikut meet and greetnya Chandra!" Asmi menimpali, yang lantas Suri balas dengan delikan. Dasar hantu ganjen.
Tapi ngomong-ngomong soal meet and greet, bagaimana Suri bisa lupa? Hari ini Chandra dibuat sibuk seharian karena acara meet and greetnya di sejumlah mall di Jakarta. Dia akan sibuk mulai dari jam sembilan pagi hingga jam lima sore, mengingat ada beberapa tempat yang harus dia datangi dengan jumlah peserta meet and greet yang tidak bisa dibilang sedikit. Suri heran bagaimana bisa gadis-gadis remaja itu memuja kakaknya sedemikian rupa. Kakaknya hanya cowok tampan yang kebetulan berprofesi sebagai disk jokey. Chandra bukan penyanyi funky layaknya Justin Bieber meski cowok itu punya kemampuan rap yang lumayan dan sesekali mengunggah lagu ciptaannya sendiri di Soundcloud. Chandra memang terkenal di dunia maya, namun Suri tidak pernah mengerti kenapa gadis-gadis itu rela membayar hingga seratus lima puluh ribu rupiah untuk sekali meet and greet yang paling banter hanya diisi acara foto bersama, sedikit tanya jawabdan satu kali penampilan Chandra bernyanyi atau melakukan rap.
Namun Suri tidak akan berkomentar. Dia menyayangi Chandra. Lagipula, tidak adil jika menyamakan situasinya dengan situasi gadis-gadis remaja para penggemar Chandra. Chandra adalah kakaknya. Dia bertemu Chandra setiap hari, tidak seperti mereka yang hanya bisa mengagumi Chandra via layar ponsel.
"Meet and greet doang, kan?"
Siena menutup wadah liptintnya. "Kalaupun gue berharap lebih, kakak lo belum tentu mau sama gue, Suri."
"Kenapa begitu?" Menurut Suri, Siena adalah gadis yang sangat manis. Juga menarik. Dan pintar. Karena itu, dia paling kontra jika Siena sampai punya hubungan lebih dari penggemar – idola dengan Chandra. Alasannya sederhana; Siena terlalu baik untuk Chandra.
"Karena penggemarnya kakak lo tuh bejibun. Dan semuanya cantik-cantik. Jauh lebih cantik daripada gue."
"Lo nggak akan pernah tahu, Siena," Suri beranjak dari meja wastafel yang didudukinya setelah Siena selesai. Sebelum keluar dari toilet bersama gadis itu, Suri sempat menatap Asmi, yang langsung melambaikan tangannya sembari tertawa genit.
"Adios, calon adik iparku di alam lain!"
Bah. Suri mendengus, namun mengabaikan kata-kata ngawur Asmi.
Koridor sekolah masih ramai ketika mereka berjalan. Begitupun halaman depan. Siena tampak antusias, dia tidak berhenti tersenyum sambil tak henti mengecek penampilannya melalui kamera depan ponsel. Begitu tiba di pintu depan sekolah, keduanya berpisah. Namun sebelum Siena melangkah menjauh, Suri menyempatkan diri menyelipkan sejumput rambut Siena ke belakang telinga, membuat pipi kemerahan gadis itu terekspos jelas.
"Hati-hati. Jangan pulang kemaleman. Have fun, ya."
Siena mengacungkan jempolnya. "Bye, Suri!"
Suri melambai, menatap punggung Siena hingga gadis itu menghilang di balik pintu mobil yang menjemputnya. Lalu matanya bergerak menyapu seisi halaman sekolah yang luas, langsung berhenti begitu dia menemukan seraut wajah yang dia kenali.
"Suri!" Beberapa puluh meter di depannya, Rana tersenyum lebar sambil melambaikan tangan. Suri tercengang kaget, sebelum akhirnya turut tersenyum lebar sembari berjalan cepat menghampiri gadis itu.
Bersambung.
***********************************
***********************************
a.n : Akhirnya Rana nongol juga.
Hm masalah Kesha x Sergio bakal selesai di chapter depan, dan berganti pada masalah berikutnya yang juga nggak akan lama. Gue mencoba menulis cerita ini dengan alur yang nggak bertele-tele alias tanpa adegan-adegan nggak penting yang nggak berkontribusi pada alur wkwkw cerita ini akan punya sisi yang lumayan serius, apalagi kalau udah menyangkut dunia iblis - malaikat, tapi hanya sedikit doang kok wkwk karena fokusnya kan juga emang di teen fiction. Gue mencoba memberikan setiap karakter waktu untuk 'nongol' yang cukup lol Chandra - Siena akan berkontribusi pada alur Sebastian - Suri, dan cerita Khansa - Calvin pun juga akan berpengaruh pada alur.
Dimi - Rana? Hm, bisa dibilang lumayan. Mengingat Rana itu salah satu penasihat cintanya Suri selain Wati dan Mpok Jessica Gibson. Siapa Mpok Jessica Gibson? Wkwkwk lihat aja nanti.
Di konten mulmed ada visualisasi Rana.
Ah ya, good news for you, doain aja ya semoga Jeviar x Raya versi cetak bisa menyapa kalian tahun ini. Gue nggak tau apakah akan ada sedikit perbedaan alur, tapi so far udah nggak seberantakan versi Wattpad wkwk. Gue juga berencana menambahkan ekstra chapter baru. So, didoain aja ya semoga bener-bener jadi wkwk
Untuk Rose Quartz, mohon doanya juga lol gue akan membuat sedikit perubahan di alurnya (karena kayaknya gue sudah menyia-nyiakan karakter Aries dan ada sesuatu yang kurang di cerita itu) tapi jangan khawatir, karakter Adrian dan Azalea akan tetap sama ;)
Jinx masih di tahap yang awal banget. Gue nggak tau kelar kapan. Lagi-lagi, tinggal didoain aja wkwk. (tenang, kalaupun tulisan-tulisan gue jadi naik cetak, keluarnya nggak akan borongan. karena gue mempertimbangkan uang jajan anak sekolah dan pasti mama bakal marah kalau lo terus-terusan beli novel)
Kayaknya gue kebanyakan minta doa ya.
Untuk cerita yang lain, gue masih bingung setelah Noir selesai, cerita siapa yang akan gue rilis lebih dulu. Apakah Faris atau Rama. Cerita Hana-Dio-Edgar masih di draft, tapi entah kenapa gue ngerasa gue masih perlu sedikit berpikir lagi biar lebih mantep wkwk its funny you know, semakin banyak ilmu tentang kepenulisan yang lo dapet, semakin lo ragu untuk menuliskannya karena takut gagal.
Gue nggak pernah nyangka kalau cerita gue bisa dilihat penerbit, karena well, jumlah view cerita gue sangat-sangat kebanting dengan cerita lain yang bisa sampai dibaca jutaan. gue nggak kenal siapapun di Wattpad selain kak lovita, erisca, shela dan asa, itu pun karena dulu kita sama-sama nulis di facebook. I guess, thanks to all of you? Makasih sudah mau baca cerita gue, ngasih vote dan comment yang bikin gue semangat. Sejak pertama kali gue nulis di facebook (pertama nulis sekitar tahun 2010 kayaknya, dengan tulisan jelek dan alur yang sumpah sinetron abis) pembaca adalah orang-orang yang membantu mendewasakan gue wkwk makasih buat kalian semua yang udah baca tulisan-tulisan gue di awal, juga kalian yang udah baca tulisan gue di wattpad dan buat readers baru, welcome!
Gue berencana menyelesaikan Noir di chapter ke-30, dan so far gue sudah menyelesaikan 17 chapter. 13 chapter to go. Doain bisa selesai sebelum bulan Januari kelar! Karena btw, Noir itu proyek liburan gue sih wkwk
Dah deh. Daripada kebanyakan bacot. See you in the next chapter!
Ciao.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro