Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#31

"Kasih tau aku," Suri tidak tau kenapa napasnya terengah ketika dia mengatakan itu. "Apa kamu emang udah ngerencanain semuanya dari awal? Sejak sebelum kamu masuk ke rumahku dan tinggal sama Wati juga Melly?"

"Jangan menatapku seolah-olah aku baru saja mengkhianatimu. Faktanya, aku adalah pihak yang terkhianati di sini. Oleh makhluk-makhluk yang kuanggap teman, oleh keadaan, oleh waktu, bahkan oleh Sang Pencipta yang kukagumi. Kamu tidak semenarik itu, pada awalnya, Oriana Suri Laksita." Blanc memberi jeda sejenak. "Tetapi tidak setelah kamu berurusan dengan dunia tak kasatmata lebih dari yang seharusnya. Saat kamu mempertanyakan dalam hatimu tentang apa yang harus dan tidak harus. Ketika kamu memilih mengikuti kata hatimu daripada ancaman tentang dosa dan pahala. Kamu mengingatkanku padanya. Setelah hampir seribu tahun berlalu dalam hampa, kamu memberiku harap bahwa mungkin saja, suatu saat nanti, aku bisa bertemu lagi dengannya. Dan ternyata, firasatku tentang itu tidak salah."

Suri menatap Blanc dengan nanar. Sekian banyak memori tentang waktu-waktu yang pernah dilaluinya bersama hantu-hantu yang tinggal di rumahnya—dan tentu saja Mpok Jessica termasuk di dalamnya—lewat dengan cepat serupa kilas-balik dalam film bisu. Dia selalu mengira segala perhatian itu, mulai dari yang menyebalkan hingga yang menghangatkan dada adalah ketulusan. Nyatanya, semua tak lebih dari sekedar kebohongan memuakkan.

"Aku nerima kamu tinggal di rumahku dengan tulus."

Blanc memandang Suri dengan sorot mata yang sulit diterjemahkan. "Kamu bersikap seolah kita adalah sahabat lama. Mengharukan sekali. Apa kamu memang benar-benar menganggapku sebagai sahabat? Kamu berhak membenciku, karena aku juga tidak merasa butuh pengakuan atau penghargaan dari makhluk mortal sepertimu. Hanya saja, aku melakukan ini semua bukan tanpa alasan. Sama seperti kamu yang ingin melakukan apa saja untuk menyelamatkan ibumu, aku juga ingin menyelamatkan Noir dari takdir. Takdirnya terlalu buruk untuk makhluk sebaik dirinya. Melihatnya terhukum. Melihatnya harus merendahkan diri di depan Sang Pencipta membuatku marah. Kenapa aku dan dia harus jadi korban dari skenario kejam seperti itu? Seandainya saja Sang Pencipta tidak sejahat itu, dia tidak akan menciptakan aku atau Noir dengan kemampuan merasa lebih dari yang seharusnya seperti ini."

Rasa sesak merambati dada Suri, membuatnya kian sulit bernapas. Namun diantara tarikan napasnya yang makin memberat, Suri masih mampu melontarkan sebaris tanya. "Terus apa yang mau kamu lakukan?"

"Aku mau kamu membantuku."

Sebastian masih membenci hantu.

Awalnya, dia benci hantu karena hantu adalah makhluk tanpa wujud nyata yang mampu membuat jantungnya berdegup dua kali lebih cepat hanya dengan memunculkan diri. Sebastian berani pada manusia mana pun, tapi dia paling takut sama yang namanya setan. Kemudian, dia benci hantu karena hantu membuatnya harus berurusan dengan gadis seperti Suri terlalu sering—dimana kalau harus Sebastian ingatkan, Suri adalah salah satu dari banyak jenis orang yang akan Sebastian hindari di dunia ini. Sekarang, dia benci hantu karena mereka sudah membuatnya gagal merayakan ulang tahun Suri hari ini. Bukan itu saja, salah satu dari mereka—Sebastian tidak peduli meski Calvin bersikeras kalau makhluk itu lebih mirip siluman ular putih dalam drama kolosal Mandarin ketimbang hantu—telah membawa pacarnya pergi tanpa jejak.

Kepala Sebastian kian sakit. Bahunya pegal. Wajahnya semakin muram karena mendengar percakapan antara Nadine dan tiga laki-laki aneh berpakaian serba hitam yang kini berada di dalam kamar hotel Chandra.

"Sori kalau aku membuatmu tidak nyaman, Nona." Sombre tiba-tiba menyela, membuat pembicaraan serius antara dirinya dan Nael terhenti. "Tapi bolehkah aku melakukan sesuatu kepada rambutmu?"

Kening Nadine berkerut. "Rambutku?"

"Iya." Sombre tersenyum malu-malu, membuat Ernest harus membuang muka karena merasa jijik menyaksikan tingkah laku pemimpinnya. "Akum au memegang rambut kamu."

"Tapi kenap—" Ucapan Nadine terhenti karena Sombre sudah melebarkan kelopak matanya dan memandang pada Nadine layaknya seekor anak anjing kelaparan yang minta diberi makan. Jika ekspresi Sombre itu dikonversi ke dalam dunia anime, mungkin Sombre sudah terlihat seperti karakter sok imut dengan mata berkilau-kilau serupa lampu disko di diskotik. "Oke."

"Nadine!" Jake yang berdiri di sebelah Nadine langsung protes. "Harusnya cuma aku yang boleh megang rambut kamu, dong!"

Ekspresi wajah Sombre yang innocent langsung berubah sangar sementara jari telunjuknya menunjuk pada Jake—yang bagi mereka yang tak mampu melihat hantu seperti orang-orang lainnya di ruangan, Sombre lebih tepat dikata tengah menunjuk pada udara kosong. "Oy, hantu jelata, mending kamu diam aja!"

Cetta menatap Sombre dengan tatapan tak nyaman, lalu membungkuk dan berbisik pada Rana. "Lihat tuh orang yang kamu bilang ganteng dari tadi. Ternyata dia sinting."

Rana mengernyit, lalu balik membalas ucapan Cetta dengan pongah. "Nggak apa-apa sinting, yang penting ganteng."

Sombre kontan berbalik pada Rana, meniupkan satu ciuman dari jarak jauh. "Kamu punya mata yang bagus, Nona Cantik!"

Cetta melotot. "Apa lo bil—" Cowok itu mungkin sudah siap menerjang Sombre serupa singa lapar menerkam mangsanya kalau saja Rana tidak bertindak cepat dengan mencengkeram bagian belakang pakaian yang Cetta kenakan, membuatnya jadi batal meneruskan langkah. Sombre menatap Cetta dengan pandangan mengejek, lalu mengacungkan ibu jari terbalik sebelum kembali berpaling pada Nadine tanpa peduli Cetta kini menatapnya dengan murka.

"Boleh ya pegang rambutmu?" Sombre bertanya seperti anak kecil meminta lolipop.

"... boleh."

"Nadine," Jake menyela dengan wajah terluka. "Aku nggak nyangka."

"Duh."

Mengabaikan Jake, Sombre meraih bagian bawah rambut Nadine yang dicat warna ginger, kemudian menariknya beberapa kali. Ada kalanya dia menarik cukup keras hingga Nadine mengerang kesakitan, yang sontak memicu Sergio juga Jake melayangkan tatapan mematikan mereka pada Sombre.

"Ternyata rambutnya asli." Sombre berujar setelah puas menyentuh rambut Nadine. "Habisnya rambut kamu kelihatan palsu-palsu gimana gitu. Kalau emang beneran rambut palsu, aku mau nanya kamu belinya dimana. Soalnya kebetulan aku lagi nyari rambut palsu warna pirang."

"Sombre... bisakah kamu setidaknya... um... bertindak sedikit waras? Dan lagi, tolong jangan gunakan bahasa makhluk mortal itu. Kamu bukan makhluk mortal."

"Diam, Ernest. Bagaimana pun juga, aku itu masih atasanmu dan aku punya hak untuk menghukummu kalau kamu bertingkah kurang ajar." Balasan Sombre sontak membuat Ernest bungkam. "Soalnya kata salah satu serpent yang kebetulan pernah berpapasan denganku, aku mirip dengan bintang dari Korea Selatan. Ah, itu membuatku tersanjung. Aku pernah tak sengaja tersasar kesana saat berniat jalan-jalan ke Menara Eiffel—kamu tau, meski pun aku ini undertaker, tapi aku undertaker yang keren dan tidak ada makhluk keren yang belum pernah ke Menara Eiffel. Ternyata tempat itu bagus juga. Ada banyak gadis cantik dan makanan enak. Lalu—"

Semenit kemudian, Sombre menjelma menjadi tour guide paket wisata lengkap Korea Selatan, mulai dari Seoul hingga Pulau Jeju.

"... selain itu, bagian menarik lainnya dari sejarah Korea Selatan adalah kisah Jang Ok Jung. Aku menonton dramanya sampai lima belas kali. Menurutku Raja Sukjong itu bodoh sekali karena sudah menyuruh Jang Ok Jung minum racun. Aku menangis waktu adegan Kim Tae Hee mati. Dia sangat cantik." Sombre bercerita dengan penuh semangat, tanpa peduli bagaimana sisa orang di ruangan itu memandangnya dengan tatapan lelah. "Aku juga menangis waktu dia menikah dengan artis tidak penting itu. Aku sempat berniat mengeluarkan kartunya lebih awal ke Departemen Pencabutan Nyawa, tapi Sang Pencipta langsung turun tangan menahanku."

"Sombre, sejujurnya, tidak ada yang peduli soal Korea Selatan."

"Aku peduli. Karena ada serpent yang bilang aku bisa terlihat seperti artis Korea Selatan kalau aku punya rambut pirang. Sayangnya, di departemenku, warna rambut selain hitam itu dilarang." Sombre melipat tangan di dada sambil menggembungkan pipi. "Bagaimana kalau mulai sekarang kalian memanggilku Sombre-oppa?"

"Serpent?" Nadine justru tertarik pada satu kata yang tidak menjadi fokus ucapan Sombre.

"Yah, serpent. Makhluk dimensi ketiga." Sombre menatap Nadine sejenak. "Hm, kalau kupikir-pikir, kamu mengingatkanku pada beberapa makhluk dimensi ketiga yang pernah kutemui. Terutama karena lensa kontak yang kamu pakai untuk menutupi warna matamu."

Airmuka Nadine yang semula tenang langsung berubah dan dengan cepat, gadis itu membelokkan topik pembicaraan. "Jadi menurut kamu, apa yang bisa kita lakukan untuk nemuin Suri?" tanyanya seraya berpaling pada Nael yang sedari tadi terlihat sudah siap meninju Sombre keras-keras.

"Aku tidak tau, karena Blanc memiliki—"

"Kenapa?" Nadine kontan bertanya begitu Nael menghentikan ucapannya secara tiba-tiba diikuti matanya yang terbelalak lebar, seolah dia baru saja merasakan sesuatu yang tidak terduga.

"Aku rasa aku sudah menemukannya."

Itu adalah kalimat terakhir yang Nael katakan sebelum sosoknya menghilang begitu saja dari tempatnya berdiri, membuat semua yang berkumpul di ruangan itu—kecuali Ernest dan Sombre tentu saja—beranjak dari duduk mereka dengan mata terbelalak lebar. Sebastian tercekat, begitu pun dengan Rana, Khansa dan Siena. Lain halnya dengan tiga abang yang saling berpandangan seperti mereka baru saja menemukan teori ilmiah terpenting abad ini.

"LO LIHAT TADI?!" Chandra memekik.

"IYA!" Calvin tidak kalah heboh.

"JANGAN-JANGAN DIA—" Cetta memulai.

Ketiganya mengakhiri secara serempak. "—NINJA?!!!"

Detik berikutnya, satu tinjuan keras dari Rana dan Khansa mendarat di bahu Cetta dan Calvin, sementara Siena hanya memutar bola matanya, jengah menyaksikan tingkah laku Chandra.

"Kemana Nael menghilang?" Nadine bertanya, membuat Sombre langsung berbalik dan menatap keluar jendela yang diselubungi oleh tirai tipis.

"Kamu masih punya sensorik yang bagus, Noir."

Nael tau menghilang begitu saja serupa dirinya melebur dengan udara kosong di depan kakak-kakak Suri dan makhluk mortal lainnya yang berada di ruangan itu adalah sebuah kesalahan. Namun, gerak refleksnya langsung bertindak sesaat setelah dia merasakan keberadaan Blanc yang juga bersama Suri. Ini di luar dugaan Nael. Nael mengira, Blanc akan menahan Suri bersamanya sebagai umpan. Namun ternyata tidak. Kurang dari dua belas jam, dia sudah muncul kembali.

Sosok Blanc melayang tepat di atas puncak Monumen Nasional. Ketinggian, langit malam yang masih berselubung kabut sisa hujan dan sepinya jalanan membuat keberadaan keduanya tersamarkan. Di samping Blanc, Suri melayang. Gadis itu tampak seperti tak mampu bergerak, seolah energinya sudah dihisap habis hingga ke titik hampir maksimal.

"Apa yang mau kamu lakukan?"

"Kamu sebetulnya sudah tau, tapi kamu masih saja bertanya." Blanc menarik seringai. "Satu dari banyak alasan mengapa aku jatuh untukmu dengan begitu dalam."

"Jangan bergurau denganku, Blanc." Nael menggeram sementara mendung mulai berputar diantara mereka. "Aku tidak punya waktu banyak. Jika kita berada dalam ruang dan waktu yang sama lebih lama dari ini—"

"Ah, bahkan kamu masih saja peduli pada takdir yang rusak itu." Blanc menatap Nael sebentar, lalu menyambung. "Tapi aku memang tidak berniat menghancurkan kota ini. Setidaknya, bukan sekarang."

"Apa yang sudah kamu lakukan pada Suri?!"

Blanc tersenyum penuh misteri. "Kenapa tidak kamu cari tau sendiri?"

Lantas usai mengucapkan kalimat itu, sosok Blanc langsung menghilang. Dirinya lenyap, seperti terhisap ke dalam mendung yang berarak. Ketidakberadaannya membuat hukum gravitasi kembali berlaku pada Suri yang semula masih melayang di udara. Tubuh gadis itu meluncur jatuh menembus angin. Dia mungkin saja akan berakhir menghantam paving block di bawahnya dengan keras jika Nael tidak segera melesat cepat, kemudian menangkap tubuhnya dan melingunginya dalam dekapan dari dinginnya embus angin malam.

"Na... el?"

"Kamu aman denganku."

Hanya satu kalimat, tapi Nael mampu meyakinkannya. Suri menghela napas, namun tidak merasakan udara dingin malam mengalir masuk ke paru-parunya. Alih-alih dingin, Suri justru merasa hangat. Aneh. Apakah iblis memang selalu terasa sehangat ini?

Suri tidak tau apa yang terjadi, tetapi yang jelas tidak sampai sepuluh detik kemudian, apa yang memenuhi pandangan matanya bukan lagi langit malam melainkan dinding sebuah kamar berwarna kuning gading. Kakinya tidak menapak ke lantai karena Nael masih menggendongnya, merengkuhnya ke dada seperti ingin melindunginya dalam peluk. Rasanya nyaman. Suri mungkin akan memilih menghabiskan waktu sedikit lebih lama lagi disana jika saja dia tidak mendengar suara langkah, disusul oleh kata-kata dari seseorang yang amat familiar.

"Biar gue aja."

Suri lelah, namun matanya yang semula sudah akan terpejam kembali terbuka dan tatkala dia menatap pada satu arah, pandangannya bertemu dengan iris mata milik Sebastian. "Tian?"

"Come on, Big Baby." Suri tau Sebastian berusaha keras tidak bersikap kasar terhadap Nael. Seperti mengerti, Nael mengikuti apa yang Sebastian inginkan. Dalam waktu singkat, Suri langsung berpindah tempat, dari yang semula berada dalam pelukan Nael ke dekapan Sebastian. "God, you're skin is cold."

"Enak aja! Suri adik gue! Biar gue aja yang gendong!" Chandra tiba-tiba berseru.

"Eh, Suri juga adik gue ya!" Cetta ikut angkat bicara.

"Bacot lo semua! Gue yang lebih berhak!" Calvin menyela karena tidak mau kalah.

"DIAM!!!" Satu seruan kompak dari Khansa, Rana dan Siena kontan membuat ketiganya lagi-lagi terbungkam.

"Apa yang barusan terjadi?" tanya Nadine.

"Rumit." Nael menjawab singkat. "Intinya, untuk saat ini, dia aman. Mungkin aku akan kembali lagi kesini ketika diperlukan. Untuk sekarang, aku bersama Ernest dan Sombre harus pergi. Kami baru saja menerima panggilan dari Tujuh yang Utama melalui telepati."

"You don't have to." Sebastian menukas. "I'll keep her safe. There's no need for you to come to her anymore. After all, you bring nothing but trouble to her."

Nael terdiam sejenak, lalu tersenyum muram. "Kamu benar. Tapi masalah ini bukan masalah yang bisa dihadapi oleh makhluk mortal. Dia tidak akan menyerah. Dia pasti akan kembali. Dan di balik semua tindakannya malam ini, dia punya alasannya sendiri."

Sebastian tak menjawab, namun matanya menyipit tajam pada Nael.

"Kami pergi dulu."

Kemudian, seperti dikomando, sosok Ernest, Sombre dan Nael lenyap dari sana dalam sekedipan mata. Meski ini bukan kali pertama, tapi tampaknya semua orang yang berada dalam ruangan masih saja dibuat terkejut. Dan ketiga kakak laki-laki Suri masih saja saling menatap dengan mata hampir meloncat keluar dari rongganya.

"MEREKA PASTI LAGI KEMBALI KE KONOHA UNTUK MELAPOR PADA HOKAGE!!"

Untuk sisa malam itu, Suri minta tetap ditempatkan di kamar Chandra. Dia bahkan tidak minta ditemani Sebastian, melainkan minta ditemani oleh ketiga kakak laki-lakinya. Walau sempat bingung, ketiga kakak laki-laki Suri mengabulkan keinginan itu dengan senang hati. Tapi tentu saja mereka perlu waktu untuk memindahkan barang mereka yang tersebar di kamar masing-masing—juga Chandra yang merasa harus mengabari Ayah, mengatakan jika Suri kini sudah baik-baik saja dan Ayah bisa datang ke hotel setelah hari terang. Karenanya, Suri dan Sebastian sempat punya waktu hanya berdua setelah Sergio dan Nadine kembali ke kamar hotel mereka.

"Kamu bikin aku khawatir." Sebastian berujar sambil duduk di atas karpet, tepat di samping ranjang tempat Suri berbaring. Jari telunjuk cowok itu bergerak di atas telapak tangan Suri, membentuk pola lingkaran berkali-kali, yang lebih mirip benang kusut.

Suri mengerutkan dahi. "Kamu?"

"Emang nggak boleh? Kamu kan pacar aku."

"Tian."

"Apa?"

"Mending kayak biasanya aja, deh." Suri memejamkan matanya sejenak. "Aku jadi aneh kalau lihat kamu kayak gini. Kayak bukan kamu."

Sebastian merasa tertohok. "Tapi katanya kamu pengen aku manggil kamu—"

Suri membuka kelopak matanya, lalu menatap Sebastian diikuti senyum yang merekah di wajahnya. "Aku suka kamu karena kamu itu kamu. Awalnya, aku emang ngerasa kayak kamu nggak sayang sama aku. Tapi kalau dipikir, kamu sayang sama aku dengan cara kamu sendiri. Itu yang bikin aku spesial. Dan lagi, aku juga nggak mau disamain sama mantan kamu."

Sebastian terdiam, namun kemudian senyumnya ikut melebar. Sebastian jarang sekali tersenyum terang-terangan seperti itu. Melihatnya membuat Suri ingin mengambil kamera dan mengabadikan wajah Sebastian untuk ditatap ulang setiap malam sebelum tidur.

"Jangan lebar-lebar senyumnya. Tambah ganteng. Nanti aku makin sayang."

"Oriana."

"Mmm?"

"Thank you for being born to this world. For coming to me. For making my life less lonely."

"Anytime, Tian. Anytime."

Sebastian beringsut mendekat, lalu secara tak terduga, laki-laki itu membungkuk untuk menanamkan kecupan seringan bulu di wajah Suri—mulai dari keningnya, kedua kelopak matanya, pucuk hidungnya, hingga... bibirnya.

"I'll see you tomorrow."

"See you tomorrow."

"Goodnight."

Sebastian menutup percakapan-nyaris-fajar mereka dengan satu belaian di puncak kepala Suri, disusul sebuah kecupan lembut di dahi.

maap kemaleman. jadi hari ini gue mayan hectic dan ngerjain tugas dulu karena kuliah itu mahal bosque 

sudah diposting yah. 

anyway, gue berencana bikin fillers/cerita-cerita sampingan yang nggak gue masukkin di cerita utama karena nggak berpengaruh terhadap plot secara keseluruhan, misalnya kayak gimana waktu cetta nembak rana, gimana reaksi suri saat tau kalau tian masang fotonya buat lockscreen, gimana dulu ayah-bunda, gimana khansa dan rana kalau lagi dating, gimana siena dan chandra sebelum chandra notis siena, gimana masa kecil suri dan abang-abangnya waktu nakal dan bikin repot ayah-bunda. 

kalian mau lihat side story yang seperti apa? mungkin request kalian bisa gue pertimbangkan. 

wkwkwkwk oke deh sekian karena udah malem juga dan gue belom mandi 

i'll see you in the next chapter and 

ciao! 


Published in October 25th 2017 

Semarang | 21.40 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro