Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#26

Keesokan harinya, Suri terbangun karena udara dingin pagi yang masuk dari jendela membelai pipinya. Ada kerut samar yang tercipta di dahi gadis itu, disusul bulu matanya yang bergetar pelan sebelum matanya benar-benar terbuka sepenuhnya. Apa yang pertama kali Suri lihat adalah langit-langit kamar, kemudian wajah milik Jia Dawala yang memandangnya sambil tersenyum. Wanita setengah baya itu selalu tampak elegan seperti biasa, meski hanya dengan setelan kaus oblong dan celana tidur.

"Sori, Mami nggak bermaksud bangunin kamu."

"Nggak apa-apa." Suri tersenyum tipis setelah dia beranjak dan duduk di tepi kasur sambil mengucek salah satu matanya. Ah ya, dia baru ingat. Semalaman dia tidur di kamar Sebastian. Sejenak, tangan Suri melekat erat pada permukaan bed cover yang melapisi ranjang tempatnya terduduk sekarang. Sebastian sudah pergi, tapi jejak bau parfumnya yang bercampur dengan aroma khas shampoo yang dia pakai masih tertinggal.

"Happy birthday, Suri."

Senyum Suri melebar pada kalimat Jia, meski terkesan agak sedikit dipaksakan. "Thanks, Mi."

"Kamu bisa mandi dulu sebelum kita sarapan sama-sama. Mami nggak akan ikut nonton konser kakak kamu hari ini, karena kayaknya Mami sudah terlalu tua buat berdesakan dengan cewek-cewek remaja." Mami terkekeh. "Tapi Gio bakal nonton. Jadi kamu bisa pergi ke konser bareng dia."

"Rencanaku emang begitu sih, Mi."

Jia menatap Suri dengan lembut, lalu mengelus sekilas helai rambut gadis itu. "Mami tunggu di ruang makan ya."

"Oke, Mi."

Mendengar jawaban Suri, Jia pun berlalu keluar dari kamar. Kesendirian membuat Suri sempat melamun meski hanya sebentar, lalu napasnya terembus pelan. Ini hari ulang tahunnya. Atau lebih tepatnya, hari ulang tahun pertama yang dia rayakan setelah bersama Sebastian. Suri punya banyak bayangan tentang apa yang ingin dia lakukan bersama cowok itu di hari ulang tahunnya, tapi well, Suri tidak bisa memaksa, kan?

Lamunan Suri terpecah ketika dia mendengar suara getar dari ponselnya, tanda ada notifikasi pesan baru yang masuk. Ternyata dari Sebastian. Hanya sebuah kalimat singkat—yang jelas tidak romantis. Suri tidak tahu bagaimana Gu Jun Pyou atau Do Min Joon akan merayakan hari ulang tahun pacar mereka, tetapi satu yang pasti, mereka tidak akan mengirimi Geum Jan Di mau pun Cheon Song Yi dengan pesan pendek tanpa emoji.

From: Eskimo<3

Hbd.

Suri meremas ponselnya dengan kesal. Terkadang, dia pikir diantara mereka berdua, dia adalah yang paling waras. Semalam, Sebastian bersikap kelewat manis, mulai dari memeluknya saat dia berniat membantu cowok itu berkemas, membangun istana bantal di lantai sambil mendengarkan ceritanya tentang apa yang dia lakukan sepanjang hari hingga menyuruhnya tidur ketika dia terbangun di tengah malam dan tidak bisa menahan diri untuk tidak mengirimi Sebastian pesan teks. Sekarang, Sebastian memperlakukannya seolah-olah Suri adalah cewek random yang kebetulan jadi teman Sebastian di Facebook.

To: Eskimo<3

Y.

Suri mendengus, lalu bangun dan pergi mandi. Dia sengaja tidak mengecek ponselnya, khawatir justru akan sakit hati. Gadis itu langsung beranjak menuju ruang makan rumah Keluarga Dawala. Mami tidak terlihat disana dan ketika Suri bertanya, Sergio bilang Mami sudah disibukkan dengan agenda yang selalu beliau lakukan saban pagi; menyirami tanaman-tanaman dalam pot yang berjajar di halaman belakang rumahnya. Sejak Mami kembali ke rumah dan tak lagi mengikuti Papi dalam setiap perjalanan bisnisnya, taman rumah Sergio kembali hidup oleh berbagai jenis tumbuhan.

"Happy birthday." Sergio berujar seraya mendorong setoples wadah Nutella mendekat pada Suri yang justru dibuat terperangah menatapnya. "Kenapa? Lo suka Nutella, kan?"

"Gue nggak tau kalau lo ingat hari ulang tahun gue."

"Oh, come on. Gimana gue bisa lupa?"

Suri menyipitkan matanya. "Gio, maaf ya."

"Untuk?"

"Gue nggak mau bikin lo sakit hati." Suri menatap Sergio dengan pandangan sok berduka. "Tapi nikung kakak lo sendiri itu nggak mau. Yah, meski pun gue emang cewek yang tikung-able."

"Idih, dasar Oriana Suri Ge-er Laksita. Maksud gue, gimana gue bisa lupa kalau setiap hari gue dengar ocehan soal hari ulang tahun lo? Mulai dari kakak-kakak lo, Siena, Kak Rana, even kakak gue yang rada idiot gitu. Gue jadi otomatis ingat walau nggak pengen-pengen banget ingat." Sergio berdecak. "Lagian, gue udah naksir sama Nadine. Jadi nggak usah khawatir. Lo tetap aman. Dan anyway, lo nggak tikung-able."

"Paling nggak menurut lo, gue masih tetap cewek body-goals."

"Terserahlah." Sergio menyahut tak peduli, tapi alisnya langsung terangkat begitu ponselnya berdering. "Waduh, kakak lo nelepon nih."

"Kakak yang mana?"

"Sun Go Kong."

"Hah?"

"Sun Go Kong. Tie Pat Kai. Wu Ching. Kakak pertama. Kakak kedua. Adik ketiga. Dan julukan buat lo... Tong Sam Chan. Soalnya lo cewek."

"Lo kebanyakan gaul sama Abang Chandra," Suri mencibir sembari menerima ponsel dari tangan Sergio yang langsung dia tempelkan ke telinganya. "Halo, Abang Chandra?"

"Bilangin sama Gio, sekali lagi dia nyebut abang pake julukan Sun Go Kong, jangan salahin abang kalau abang chidori mulutnya."

"Gio, dengar nggak?"

"So—sori, Bang." Sergio meringis.

"Good. Kamu masih di sarang si bocah termos dan si kodok Zuma?"

"Abang makin hari makin kreatif ngasih ledekan buat orang."

"Namanya juga Barachandra Tampan Aryasatya. Tapi abang serius. Kamu nanti ke konser abang sama siapa? Sama bocah termos doang? Apa si Kodok Zuma juga ikut? Bukan apa-apa sih, tapi dia udah abang blacklist dari konser abang. Kalau nekat dateng, paling juga diciduk sama bagian keamanan."

"Abang jahat!"

"Semua ini demi kondusifnya acara konser abang, Culi."

Suri memutar bola matanya, meski dia tau Chandra tidak bisa melihat ekspresinya sekarang. "Tapi Tian emang nggak bakal datang."

"Wah, sombong sekali dia."

"Dih, abang gimana sih? Tadi katanya Tian nggak bakal boleh masuk ke venue konser abang."

"Iya, sih. Walau begitu, harus ada alasan yang jelas dong. Bagaimana bisa itu Kodok Zuma mangkir dari acara akbar kakak pacarnya yang paling tampan? Sibuk jaga candi?"

"Sibuk. Ada kerjaan di Singapura. Dia baru balik nanti sore."

"Oh. Bagus." Chandra memberi jeda sejenak. "By the way, happy birthday, Culi. Karena ini hari spesial Suri, abang udah nyiapin kado yang pastinya paling mahal diantara kadonya Tri dan Malika. Aduh, kalau Malika nggak usah dibandingin kan ya. Kakak kismin kayak dia bisa ngasih apa, sih?"

"Abang!!"

"Hehehe. Yaudah. Bilangin sama bocah termos, nyetirnya hati-hati. Kalau sampai kamu kenapa-napa gara-gara dia nggak hati-hati waktu nyetir, abang bakal kutuk dia jadi Ubur-Ubur Super Mario."

"Oke."

"See you, adiknya abang yang paling cantik."

"See you juga, Abang."

Semula, begitu memasuki area VVIP dari venue tempat konser diadakan, Cetta tidak bisa menemukan Rana tidak peduli sekeras apa pun dia mencari. Beberapa kali, pandangan matanya memang tertumbuk pada sosok Siena—gadis itu datang dengan super all-out. Dia mengenakan kaus bertuliskan nama Chandra di bagian depan dan angka favorit Chandra di bagian punggung. Ada sebuah lightstick tergenggam di tangan kanannya, sementara sebuah bando yang membentuk nama Chandra nangkring di atas kepalanya. Benar-benar fangirl sejati. Di dekatnya, ada sosok Khansa yang tampak tidak nyaman berada di tengah keramaian, Calvin dengan wajah terkantuk-kantuk yang coba dia tutupi menggunakan masker wajah, Nadine yang masih saja tampil dengan setelan serba hitam dan seorang gadis berambut pendek dengan sweater yang sibuk menunduk memainkan ponselnya.

Di mana Rana sebenarnya?

"Kak Cetta!" Dari kejauhan, Siena tiba-tiba melihatnya dan langsung melambaikan tangan. Senyum lebar gadis itu kontan membuat Cetta meringis. Sebenarnya, dia ogah menghadiri konser Chandra jika bukan karena mau bertemu Rana. Sudah beberapa minggu terakhir mereka tidak bicara setelah Rana melihat foto-foto endorsenya yang berpartner dengan seorang social media influencer perempuan yang kemudian dibalas Rana dengan pergi jalan-jalan bersama Gie tanpa bilang. Kalau Rana tidak datang, mendingan dia ikut Ayah berburu pakan ikan bersama Opa Harjo.

Namun tentu saja, Cetta tidak punya pilihan lain selain mendekat.

"Halo, semuanya. Suri mana ya?"

"Suri masih di jalan sama Gio." Calvin menyahut. "Aduh, sumpah rame banget sih disini. Padahal kita ada di area VVIP. Lo bayangin seberapa ramenya degem-degem yang ngumpul di bagian Festival? Buset banget. Apa sih yang bagus dari seorang Chandra?"

"Gue juga heran." Cetta menimpali. "By the way, Rana emang nggak datang, ya?"

"Oh, ternyata kamu belum segengsi itu sampai masih mau nyariin aku."

Cetta tercekat begitu mendengar suara seorang perempuan yang sangat dia kenal. Refleks, kepalanya tertoleh pada satu arah, hanya untuk dibikin lebih terkejut lagi sedetik setelahnya. Sepasang mata milik Rana menatapnya. "Kamu..."

"Segitu lupanya sama aku sampai nggak bisa ngenalin aku?"

Cetta melotot, menatap pada rambut Rana yang tak lagi terjulur panjang sampai ke punggung. Gadis itu memotongnya hingga garis batas atas lehernya. "Kamu potong rambut?"

"Dimi, kamu belum buta kan?"

"Aku serius, Rana."

"Kenapa?" Rana memiringkan wajahnya. "Kamu nggak suka? Yah, bodo amat sih kalau pun kamu nggak suka. Rambut juga rambut aku. Potongnya juga pake duit aku."

"Pake gunting salon kali." Calvin menukas jahil, tapi langsung diam begitu Khansa menengok padanya sambil melayangkan tatapan mematikan.

"Kenapa potong rambut?" Cetta justru mulai gusar.

"Mau buang sial." Calvin menimpali sambil menatap Cetta dengan pandangan mengejek. "Biasanya cewek kalau abis putus dari pacarnya bakal potong rambut, sih. Biar buang sial."

Batin Cetta terasa seperti baru disodok balok. "Jangan ngac—Rana... kamu mutusin aku?"

Kening Rana berkerut. "Gini deh, Dimi, aku—"

"Cukup." Cetta memotong sewot, menatap kesal walau dia tidak tahu dia sedang merasa kesal pada siapa. "Aku ngga mau dengar omongan kamu."

"Tapi aku mau ngomong—"

Cetta tidak memberi kesempatan bagi Rana untuk meneruskan ucapannya, karena cowok itu justru merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan earphone dari sana. Masih dengan gerak penuh emosi, cowok itu menyumbat kupingnya dengan earphone dan menyetel lagu Radiohead keras-keras, seakan tengah berusaha menulikan diri dari suara orang-orang di sekelilingnya. Menyaksikan tindakan cowok itu, Rana melipat tangan di dada dan langsung membuang muka.

Orang-orang di sekeliling mereka tak bisa memberi respon selain air muka serba salah.

Sekitar sepuluh menit kemudian, Sergio tiba bersama Suri. Mereka langsung mengambil tempat duduk sesuai dengan posisi yang sudah ditentukan, dan tak butuh waktu lama, konser pun dimulai. Sepanjang konser, Calvin dan Sergio lebih banyak berkomentar soal aksi panggung dan kostum Chandra yang menurut mereka sangat konyol. Reaksi mereka tidak jauh-jauh dari kalimat seperti;

"Itu anak kenapa main gitarnya kayak Rhoma Irama lagi manggung sama Soneta?"

"Buset, celananya cutbray amat. Elvis Presley kalah, deh."

"Dia kira dia cool main drum kayak orang kesurupan sambil guyurin air ke badannya? Kalau mau mandi mah ya jangan sambil main drum, elah."

"Eta terangkanlah."

"Posenya kayak Goku mau kameha-meha yah."

"Anjir, liat tuh si Chandra. Berasa Spiderman mau bikin sarang laba-laba apa Naruto mau kuchiyose no jutsu?"

"Eeee... mampus dah lo hampir kepeleset di tangga panggung."

Komentar-komentar nyeleneh dua cowok itu biasanya akan langsung mengundang pelototan jengah dari Khansa dan Suri. Siena sendiri tidak terlalu memperhatikan, karena cewek itu tak henti menatap ke panggung dan memandang pada Chandra seolah Chandra adalah titisan Sephiroth yang beraksi di bawah sorotan lampu panggung. Nadine tak mengatakan apa-apa. Sedangkan Rana dan Cetta kompak duduk kaku di atas kursi dengan tangan bersedekap, mulut merengut dan membuang muka.

Sekitar setengah jam sebelum konser berakhir, Chandra maju ke tengah panggung dengan mic wireless di tangannya. Rambutnya lembab oleh keringat. Dia mengenakan heavy tanktop warna hitam yang amat kontras di kulit terangnya serta blue jeans. Begitu dia menyapa para penggemar, gemuruh jeritan para fangirls langsung terdengar.

"Thanks buat kalian semua yang sudah datang di hari yang sangat istimewa ini." Chandra berujar, yang dibalas lagi-lagi dengan teriakan histeris.

"Sekarang gue ngerti kenapa Chandra punya banyak fans." Calvin diam-diam berbisik pada Sergio. "Fansnya sinting semua."

Sergio manggut-manggut, sementara di atas panggung, Chandra kembali meneruskan kata-katanya.

"Untuk lagu yang akan gue bawakan sebentar lagi, gue akan mengundang salah satu dari fans gue buat naik ke atas panggung."

Lagi dan lagi, kalimat Chandra terjeda oleh respon histeris para penggemar.

"Di awal, gue sudah meminta kalian memasukkan nomor ponsel kalian ke dalam akuarium besar yang ada di pintu masuk venue. Gue bakal mengambil secara acak, so," Chandra menatap pada akuarium besar di atas meja beroda yang kini didorong oleh seorang crew konser mendekat padanya. "Siapa pun yang terpilih, gue hanya bisa bilang, terimakasih karena sudah mengizinkan gue dan membuat gue merasa beruntung karena sudah memilih lo."

Reaksi histeris kembali mewarnai udara saat Chandra memasukkan tangannya ke akuarium dan menarik keluar selembar kertas berisi nomor ponsel. Dia menatap nomor di kertas itu, lalu mendial serangkaian nomor pada ponselnya—mereka berpikir, dia memasukkan nomor yang ada di kertas, ketika sebenarnya yang Chandra lakukan adalah memasukkan nomor ponsel Siena. Hening menyelimuti sementara para penggemar yang datang memasang ekspresi harap-harap cemas saat Chandra menempelkan ponsel ke telinganya.

Detik berikutnya, beberapa puluh meter jauhnya dari Chandra, ponsel Siena berdering. Gadis itu terperangah. Tangannya gemetar ketika dia merogoh saku dan mengeluarkan ponselnya. Siena kontan tercekat saat melihat nama kontak Chandra terpampang di layar.

"Angkat, Siena." Nadine berujar saat melihat wajah Siena yang bingung.

Awalnya, Siena tampak ragu-ragu. Namun akhirnya, dia menjawab telepon itu dan menempelkannya ke telinga sementara tatapan para penggemar yang berada di dalam area konser kini tertuju padanya. "Halo?"

"There you are." Chandra menyeringai, berbisik pada Siena melalui telepon.

Siena tidak menyadari apa yang terjadi, hanya saja, saat beberapa kru berjalan mendekatinya, dia tau dia tidak punya pilihan. Punggung dan pipinya terasa panas ketika dia melangkah menuruni tangga dan bergerak menuju panggung. Ketika akhirnya dia tiba disana, lutut Siena betul-betul lemas karena sadar dia menjadi pusat perhatian dari sekian banyak orang yang menghadiri konser Chandra.

"Halo, Siena."

Siena hampir tidak bisa bicara dengan benar. "Ha—halo." Katanya, gugup.

Chandra menghampiri Siena, lantas mencondongkan badannya untuk memberikan kecupan lembut di pipi Siena, dilanjutkan oleh sebaris bisikan. "I'm taking you into my world."

"Kak Chandra—"

"Gue tau sebagian besar dari kalian mungkin sudah kenal dia. Yes, she is Siena Padmarini. Dia adalah salah satu penggemar gue, sama seperti kalian. Sekali lagi, gue mengucapkan terimakasih untuk kalian semua yang sudah datang dan mendukung gue dari dulu sampai sekarang. Tanpa kalian, gue tau gue nggak akan jadi diri gue yang hari ini." Chandra memulai sambil meraih tangan Siena, membiarkan jari-jarinya mengisi ruang kosong diantara jemari gadis itu dan mengeratkan genggamannya. "Gue selalu bilang kalau semua penggemar gue itu sudah seperti keluarga gue sendiri. Karenanya, disini gue sengaja memanggil Siena ke atas panggung, untuk diperkenalkan pada kalian semua."

"Chandra benar-benar cari mati." Rana bergumam tidak percaya secara tiba-tiba. "Dia nggak tau kalau Siena bisa tewas kapan aja gara-gara ulah penggemar fanatiknya."

"Nggak, kalau kalian berpikir dia pacar gue, maka jawabannya nggak."

Siena menoleh pada Chandra setelah mendengar ucapannya, tapi Chandra seperti tidak terpengaruh dan tetap menatap ke depan.

"But I love her. So much. And for that, I think I'm lucky. I'm lucky cause I'm in love with someone like all of you. I'm in love with my fan." Chandra menyambung. "Siena nggak jauh berbeda dengan kalian. Dia sudah lama jadi penggemar gue. Dia selalu datang ke setiap acara yang gue hadiri, sebagai fans. Nggak lebih dari itu. But I happened to fall in love with her. It's all my fault, not hers. Gue sayang sama dia. Gue kepingin dia jadi pacar gue. Tapi gue sadar, gue nggak bisa seegois itu. Gue nggak seharusnya pacaran tanpa mempertimbangkan perasaan kalian semua, para penggemar gue. So, hari ini gue mengakui semuanya dengan terbuka pada kalian. I can't date all of fans, after all. Jadi, dengan ini gue bertanya pada kalian semua, apa kalian mengizinkan gue memilih Siena?"

Situasi berubah kacau sesaat kemudian. Bukan karena para penggemar Chandra tidak terima dengan apa yang sudah cowok itu lakukan, melainkan karena angin yang bertiup kencang disusul hujan deras yang turun secara tiba-tiba. Hujan berangin itu datang dengan tidak terduga, membuat siapa pun langsung basah dalam hitungan detik. Petir menyambar-nyambar, membuat kerumunan massa seketika bubar. Embusan angin memperparah situasi, karena beberapa bagian pilar penyangga dan panggung bahkan sampai roboh terkena hempasannya.

Chandra tercengang, dengan cepat langsung meraih lengan Siena dan membawa gadis itu menuju ke belakang panggung terus berlanjut menuju van yang diparkir tidak jauh dari sana. Para kru bergerak cepat untuk mengarahkan para penggemar menuju tempat yang lebih aman. Pekikan panik terdengar disana-sini, termasuk di tempat Suri dan yang lainnya berada. Sebuah pilar besi bahkan hampir roboh dan mungkin sudah menimpa Rana jika Cetta tidak segera melindungi gadis itu, membiarkan lengannya yang justru terbentur. Insting untuk menyelamatkan diri dan orang-orang yang berada paling dekat dengan mereka membuat mereka terpencar. Sergio menarik Suri dan Nadine melangkah cepat melintasi venue menuju mobil mereka yang diparkir tidak terlalu jauh dari area konser. Khansa pergi bersama Calvin, dan tentu saja, Rana berakhir dengan Cetta.

"Hujan ini bukan hujan biasa." Nadine berujar begitu dia, Sergio dan Suri masuk ke dalam mobil dengan kondisi basah kuyup dan hujan masih terus saja turun.

"Ada SMS dari manajernya Kak Chandra." Sergio berkata, mengabaikan ucapan Nadine yang tak dia mengerti apa maknanya. "Kita langsung ke hotel dekat sini, karena nggak mungkin nyetir terlalu jauh dalam kondisi cuaca kayak sekarang. Tempatnya sudah disiapin sama pihak manajemen."

Suri tak menjawab, namun ketika menatap bagaimana hujan membuat segalanya jadi putih di luar kaca mobil, gadis itu tidak mampu menahan gigil.

"Kamu bisa mandi duluan dan untuk baju ganti... well... aku yakin pihak hotel nyediain kimono handuk sementara. Kamu bisa pake itu sementara kita nunggu baju kita kering." Cetta berkata tanpa pembuka ketika mereka masuk ke kamar hotel. Setelah kekacauan yang terjadi akibat hujan super lebat yang turun tiba-tiba, manajemen Chandra mengalihkan semua penonton yang hadir ke hotel dan restoran di sekitar venue konser. Memang butuh waktu agak lama, tapi itu lebih baik daripada membiarkan para penggemar menunggu di area terbuka sementara hujan masih saja mengguyur. Bagi anggota keluarganya, Chandra sengaja menyediakan masing-masing satu kamar tersendiri—tentu ada peraturan terkait seorang laki-laki dan seorang perempuan dalam satu kamar hotel, tetapi karena situasi sedang genting, resepsionis mengabaikan protokol dan membiarkan Cetta dan Rana menggunakan satu kamar yang sama.

"Rana, kenapa malah diam?"

Rana masih saja diam, menatap pada Cetta dengan rambut dan baju yang basah.

"Rana, kita bisa lanjutin debatnya setelah ini. Tapi nggak sekarang. Kamu basah. Aku nggak mau kamu sakit lagi."

"Kamu memar." Rana justru menatap pada lengan Cetta yang tadi terbentur pilar.

Cetta langsung menutup memar itu dengan telapak tangannya. "Bukan apa-apa."

"Gimana bisa kamu bilang bukan apa-apa?"

"Kamu nggak perlu sekhawatir itu. Toh aku juga bukan siapa-siapa kamu lagi."

Rana terperangah. "Maksud kamu apa?"

Cetta membuang muka. "Kamu potong rambut. Kamu mau buang sial karena udah putus dari aku, iya kan?"

Jawaban Cetta langsung membuat Rana mengembuskan napas lelah. "Kadang kalau kamu udah sebego ini, aku suka heran kenapa aku terima kamu jadi pacar aku."

"Terus aja ejek aku."

"Dasar tukang ngambek dan bikin asumsi sendiri." Rana mencibir sambil berjalan melewati Cetta dan meraih gagang telepon. Dia mendial nomor layanan kamar. "Halo. Ini saya, tamu dari lantai empat kamar nomor 406. Bisa minta tolong diantarkan kompres dingin, obat memar dan kotak P3K ke kamar saya? Yes, please. Oke, thanks."

"Aku udah bilang aku nggak apa-apa."

"Buat aku, kamu kenapa-napa." Rana lantas berdiri dari tepi kasur, matanya menatap Cetta lekat-lekat mulai dari rambutnya yang masih meneteskan air, kulitnya yang pucat karena dingin hingga bajunya yang basah.

"Mandi, Rana."

"Kamu aja duluan. Kamu lebih basah. Kamu kedinginan. Dan kamu memar."

"Rana, jangan bantah aku."

"Kamu yang nggak boleh bantah aku."

"Kiranazita Maharani,"

"Dimitrio Gilicetta," Rana tidak mau kalah, lantas tanpa dapat Cetta tebak, gadis itu tiba-tiba melingkarkan tangannya pada perut Cetta seraya merebahkan kepalanya di dada cowok itu. Dingin dan basah. Rasanya tidak terasa seperti pelukan Cetta yang biasanya hangat dan nyaman. "Kamu masih pacar aku. Jadi kamu yang nggak boleh bantah aku. Ngerti?"

Cetta justru jadi bingung. "Tapi... tapi... kamu potong rambut."

"Emang nggak boleh?"

"Boleh, sih. Tapi aku pikir..."

"Kamu nggak mikir." Rana mengetuk dahi Cetta dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya pelan. "Heran, kenapa aku masih aja sayang sama kamu."

Cetta menarik napas, lalu tangannya terangkat dan mengusap puncak kepala Rana. "Iya, soalnya kamu udah aku pelet biar nggak bisa lepas dari aku."

"Soal rambut baru aku... kamu nggak suka ya?"

"How can I?" Cetta justru balik bertanya. "Kamu bisa aja botak dan buat aku, kamu tetap jadi cewek paling cantik yang aku sayang."

"Bohong."

"Beneran."

"Nggak apa-apa, soalnya aku suka dibohongin."

"Sekarang mending kamu mandi." Cetta berkata. "Atau mau aku mandiin?"

"Boleh."

"Beneran?!"

"Nggak. Aku bohong."

Cetta merengut sementara Rana menarik diri dari dekapannya dan melangkah begitu saja dengan lagak tak peduli menuju kamar mandi.

"Kamu nggak apa-apa?"

Chandra bertanya pada Siena sesaat setelah dia menelepon manajernya dan meng-update semua akun sosial medianya untuk memohon maaf atas semua kekacauan dan memberikan nomor-nomor yang bisa dihubungi jika ada diantara penggemarnya yang membutuhkan bantuan untuk pulang ke rumah masing-masing. Gadis itu masih saja diam sejak mereka tiba di hotel. Dia tak bicara apa-apa, hanya duduk membisu di tepi ranjang.

"Siena?"

Masih saja bungkam.

"Siena?" Chandra mengulangi, kali ini lebih keras.

"Apa maksud Kak Chandra?"

"Maksudku yang mana?"

"Soal yang tadi di panggung." Siena membalas hati-hati. "Kak Chandra nggak seharusnya begitu."

"Aku sayang sama kamu."

"Tapi Kak Chandra nggak seharusnya begitu. Kak Chandra nggak seharusnya lebih memilih aku daripada penggemar Kak Chandra yang lain. Aku juga sama kayak mereka. Aku pasti bakal sakit hati kalau tau Kak Chandra pacaran sama cewek lain."

"Terus apa yang kamu mau? Aku terus sendiri seumur hidup aku?"

"... bukan begitu."

"Terus gimana?"

"Intinya, menurutku Kak Chandra seharusnya nggak kayak gitu."

Chandra memandang Siena sebentar, lalu menarik napas panjang dan menyentuh pipi Siena dengan tangannya dingin. Semula, dia mengira Siena akan menarik diri. Tapi ternyata tidak. "Aku sayang sama kamu. Dan Ayah aku bilang, aku harus berani melakukan sesuatu yang aku yakini."

"Aku nggak mau—"

Kata-kata Siena terputus karena Chandra menunduk, mencium gadis itu tepat di bibirnya. Jenis ciuman itu adalah jenis ciuman yang innocent. Hanya bibir bertemu bibir, tanpa sesuatu yang lebih.

"Don't run away from me, Siena." Chandra berujar setelah dia menarik wajahnya. "Just don't."

Rana rasa Hana

I know some of you are going to hate me for this chapter.

Terserah deh. 

Tapi gini, dari awal gue membuat cerita ini juga, tokoh utamanya bukan Suri - Sebastian, tapi Suri dan keluarganya dan masalah Suri dengan dunia ghaib. Inti sebenarnya dari cerita ini adalah itu.  Kisah Suri dengan Sebastian hanya bumbu, hanya menunjukkan progress hubungan mereka gimana, dari awal Sebastian masih terlalu dingin sampai Sebastian membuka diri dan mulai manis. Begitu pun dengan karakter yang lain. Gue nggak bisa membiarkan karakter lain nggak ber-progress dan nggak punya kemajuan, sementara karakter Suri sendiri udah kuliah, udah kenal sama orang baru dan hubungannya dengan pacarnya udah maju. 

Yes, gue tau banyak yang lebih suka Sebastian - Suri. Banyak yang lebih suka Siena - Chandra. Banyak yang lebih suka Cetta - Rana. Bahkan banyak yang lebih suka liat group chat Keluarga Cemara. Banyak yang lebih suka sama Ayah. Banyak yang lebih suka sama Melly, Wati dan Mpok Jessica. Banyak yang lebih suka sama Nael - Lucy - Sombre dan kawan-kawan. 

Tapi cerita adalah cerita. Cerita punya plotnya masing-masing. Punya alur yang harus diikuti. Cerita ini utamanya bukan menceritakan tentang kisah cinta Sebastian dan Suri. bukan. Karakter Sebastian bisa aja dihilangkan, dan itu nggak akan berpengaruh sama kelanjutan cerita. 

Gue nggak keberatan dengan orang berpendapat ini itu. Terserah kalian. Toh interpretasinya dikembalikan pada pembaca. But, you dont have the right to tell me "kak mending ceritanya fokus kesini aja" atau "kak mending karakter lain dibikin cerita sendiri aja deh." nggak bisa. Dan lo nggak berhak menyuruh gue ini-itu. 

Gue selalu bilang, gue nggak menulis buat orang lain. Gue menulis buat diri gue sendiri. Buat kepuasan gue sendiri. Jadi apa yang gue tulis adalah apa yang mau gue tulis. Gue nggak peduli kalian suka yang gimana. Kayak "kak aku yakin banyak yang setuju kalau yang lain dibikinin cerita sendiri dan fokus sama sebastian - suri aja." nah-ah. alur ceritanya bukan seperti itu. 

gue bukan orang yang mendewakan cinta terhadap lawan jenis. see, semua karakter gue bukan budak cinta. raya ninggalin je demi sesuatu yang bisa bikin dia maju. hana, somehow, akan tersadar kalau cinta itu bukan segalanya dan karakternya akan berkembang nanti. suri, out of everything, she loves her family and her brothers the most. dan begitu pun dengan abang-abangnya. nggak peduli sesayang apa mereka sama pacar-pacar mereka, akan selalu ada tempat buat suri yang nggak bisa digantiin sama rana, khansa dan siena (you'll know why later. gue nggak mau spoiler). tapi gimana caranya kalian bisa ngerasa segimana sayangnya abang-abang suri sama pacar mereka kalau nggak gue tunjukkan? gimana kalian bisa tau seberapa besar sayangnya ayah ke bunda dan sebaliknya kalau nggak gue tunjukkan? dan seberapa erat hubungan nadine sama jake meski pun mereka beda alam, kalau nggak gue tunjukkan? begitupun sebastian, sesayang apa pun dia sama suri, dia tetap logis dan mengedepankan profesionalitasnya di urusan pekerjaan. alfa nggak akan melukai temannya sendiri demi perasaannya sama Dee. azalea pergi dari adrian, karena mau membuat dirinya 'pantas' buat bareng sama adrian. 

yang terpenting dalam setiap cerita gue bukan cuma kisah cinta; tapi juga hubungan persahabatan antar karakter, kedekatan keluarga, brotherhood, dan makna tentang hidup itu sendiri. tentang apa yang benar dan apa yang salah itu selalu berbeda menurut setiap orang. nggak pernah ada standar pasti tentang benar dan salah. semua orang punya standar yang nggak sama.

kalau apa yang lo tangkap dari cerita gue hanya kisah cintanya dan baper-bapernya, i'm so sorry but you miss the main point. 

di chapter selanjutnya, Sebastian bakal pulang. Sebagian dari kalian khawatir Sebastian bakal kenapa-napa. Well, sebetulnya yang bakal kenapa-napa itu Suri. 

Tapi jangan khawatir, di chapter depan, gue akan memberikan moments Sebastian - Suri. Dan setelahnya... hm, kita lihat aja nanti ya. 

readers lama gue yang tau gue dari jaman facebook aja sampai bilang, nggak mengira gue yang katanya dulu baik hati bisa segalak sekarang. well, im never a kind person. but im very straightforward. im not going to sugarcoat my words. 

oke deh, sekian dan terimakasih. maaf juga kalau lama dilanjut. i hope you have a good night. 

ciao. 


Published in September 22nd 2017 

Semarang | 22.18

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro