#25
Nadine meletakkan hairdryernya ke atas meja rias sesaat setelah dia selesai mengeringkan rambut. Lantas gadis itu menarik laci meja yang sama dan mengeluarkan sejumlah produk makeup seperti liquid foundation dalam bentuk cushion dan beberapa tube pewarna bibir. Setengah diantaranya adalah lipstik, dan sisanya adalah lipgloss. Nadine mengernyit, mengamati deretan warna-warna dalam tube pewarna bibir tersebut sebelum memilih salah satu warna yang paling jarang dia pakai. Bukan karena dia tak suka, tapi warna-warna semacam itu tak cocok buatnya digunakan untuk aktivitas sehari-hari—meski Jake selalu bilang kalau Nadine terlihat cantik dengan warna apa saja.
"Jadi dia mendapat keistimewaan itu hari ini?"
Nadine menatap Jake yang kini melayang di tepi kasurnya dengan pandangan geli lewat pantulan di cermin. "Maksud kamu?"
"Bocah Sergio itu. Kamu memilih warna peach karena kamu mau pergi sama dia hari ini. Iya, kan?"
"Kemungkinan iya. Kemungkinan nggak."
"Nadine,"
"Come on, Jake. Jangan cemburu begitu. Aku sama Sergio nggak ada apa-apa. Kita cuma bakal jalan dan makan bareng. Itu aja. It's an innocent dinner."
"Dia jelas suka sama kamu."
"Dan kamu cemburu?"
"Sebagai makhluk beda alam dari kamu, apa aku boleh cemburu?"
"Berbeda alam bukan berarti kamu nggak boleh punya perasaan." Nadine berhenti bicara sejenak untuk meratakan sapuan pewarna bibir di bibirnya dengan jari. "Dan kamu itu temanku. Satu-satunya teman yang aku punya dari dulu sampai sekarang. Jadi jangan cemburu begitu."
"Oh ya? Gimana dengan anak itu?"
"Sergio cuma... well, manggil dia teman kayaknya terlalu awal."
"Bukan Sergio. Anak itu. Siapa namanya? Suri, kan?"
Gerakan tangan Nadine langsung terhenti saat dia mendengar nama Suri. Lalu gadis itu menghela napas dan menyelipkan sejumput rambutnya yang baru dicat warna ginger ke belakang telinga. Saat berkonsentrasi pada pantulan wajahnya di cermin sekarang, Nadine menyadari betapa kontras penampilannya dengan setelan hitam, rambut yang dicat warna mencolok dan bibir berlapiskan warna peach. Terang bertemu gelap. Vibrant bertemu kelam. Gelap dan terang. Seperti sebuah keseimbangan.
"Suri?"
"Iya, Suri. Bukannya kamu setertarik itu sama dia sampai-sampai kamu mendekati temannya hingga kakak laki-laki dan pacarnya?"
"Apa yang kulakukan pada Khansa hari itu bukan karena aku punya maksud lain mendekati Suri. Begitu juga soal kakak laki-lakinya dan pacarnya yang berwajah dingin itu." Nadine berkilah. "Aku cuma..."
"Cuma apa, Nadine?"
"Cuma ingin berteman dengannya."
"Benar-benar sesuatu yang bukan kamu." Jake memiringkan wajah. "Kamu nggak pernah punya teman dari kecil, kecuali aku. Dan kamu nggak terlihat bermasalah dengan itu. Bakal aneh banget kalau sekarang tiba-tiba kamu kepingin berteman sama orang yang awalnya cuma kamu dengar namanya lewat bisik-bisik para hantu."
"Dia jelas bukan cewek biasa."
"Emang ada cewek biasa yang bisa membuat salah satu iblis paling utama bersedia membongkar penyamarannya selama hampir satu millennium sekaligus membuatnya jadi bodoh banget sekarang?"
"Jake, jangan gitu."
"Kamu nggak tau apa yang lagi diomongin sama para hantu sekarang. Noir berkali-kali menemui Suri dan nolongin dia ketika dia diganggu oleh hantu-hantu akibat ulah Blanc. Bodoh banget. Kalau aku jadi dia, aku jelas tau pola berulang ini cuma tes untuk melihat apa Noir bakal selalu dateng setiap kali Suri butuh pertolongan."
"Jake,"
"Apa pun itu, aku harap itu nggak akan membawa pengaruh buruk buat kamu." Jake berujar, seperti enggan berlama-lama membicarakan Suri. "By the way, bocah itu, Sergio, dia bakal sampai disini sebentar lagi. Dia bahkan pake parfum banyak banget hanya karena mau jalan sama kamu."
"Hm, bagus."
"Kamu suka sama dia?"
Nadine terkekeh. "Nggak."
"Terus kenapa bilang bagus?"
"Kelihatannya dia baik."
"Dia pernah patah hati. Kamu tau soal mantan pacarnya itu, yang jadi awal buat Suri untuk ikut campur dalam urusan dunia tak terlihat. Dia adalah bukti nyata kalau efek dari kematian bisa lebih besar daripada kematian itu sendiri. Sekarang mungkin dia udah nggak patah hati. Tapi... sama kamu, apa dia bakal patah hati lagi?"
Nadine menolehkan kepala, lalu sebentuk senyum penuh misteri tertarik di wajahnya. "Oh, siapa yang tau, Jake?"
"Biasanya aku nggak pernah protes dengan urusanmu. Nggak peduli siapa yang kamu ajak ngomong. Nggak peduli siapa yang kamu permainkan. Tapi sebaiknya jangan yang ini, Nadine."
"Kenapa? Tumben banget kamu peduli sama perasaan manusia."
"Aku selalu peduli."
"Ah ya, waktu itu kamu juga kelihatan cukup peduli sama perasaan Khansa Amarissa."
Jake mendengus. "Dia bisa jadi homo kalau kamu bikin dia patah hati."
"Aku nggak punya rencana bikin dia patah hati."
"Berarti kamu punya rencana untuk jatuh cinta sama dia?"
"Nggak juga."
"Nadine Aishaki,"
"Kamu tuh suka galak banget. Kadang aku lupa siapa sebenarnya yang manusia dan siapa sebenarnya yang hantu disini. Tapi serius, aku nggak punya rencana bikin dia patah hati."
"Kalau gitu, berarti kamu bakal bilang iya."
Kening Nadine berkerut seketika. "Bilang iya untuk apa?"
"Dia bakal ngajak kamu datang ke sebuah konser weekend ini."
Dulu, Ayah dan Bunda pernah memberikan perhatian lebih pada Calvin dibanding perhatian yang mereka berikan pada Chandra atau Cetta—saat itu, Suri belum ada.
Entah kenapa, sejak masih kecil, Calvin bukan pribadi yang menyukai public display of affections. Berbeda dengan Chandra dan Cetta yang menyukai perhatian dari kedua orang tuanya atau bisa menatap cemburu setiap Ayah dan Bunda terlalu sibuk dengan diri mereka satu sama lain hingga terlihat seperti mengabaikan anak-anak, Calvin terlihat jarang sekali menunjukkan emosi. Jika Chandra atau Cetta bisa ngambek kalau kedua orang tua mereka tidak memberikan hadiah ulang tahun sesuai keinginan mereka, Calvin justru merasa tidak nyaman dengan perhatian anggota keluarganya yang amat tiba-tiba setiap kali dia berulang tahun. Dia punya kecenderungan menyendiri, lalu meringkuk di sudut ruangan dengan krayon di tangan kanan. Krayon itu tak dipakainya menggambar, melainkan untuk membuat pola-pola acak. Sikap anti-sosialnya kian meningkat ketika dia sudah bisa membaca. Satu-satunya saat di mana Calvin bisa terlihat sedikit emosional adalah ketika dia bertengkar dengan Chandra atau Cetta dan saat dia bersama Suri.
Awalnya, Bunda merasa khawatir dan berpikir Calvin perlu dibawa ke psikolog. Namun Ayah berhasil menenangkannya, berkata jika tingkah-laku Calvin tidak jauh berbeda dengan dirinya saat masih lebih muda—yang tentu langsung Bunda bantah karena Ayah di masa muda sama humoris dan ramahnya seperti Chandra, minus karakter playboy cap remot AC yang entah cowok itu warisi dari siapa. Kekhawatiran Bunda baru berkurang ketika akhirnya Calvin punya pacar waktu kuliah, tapi sayangnya hubungan mereka berakhir sekitar enam bulan sebelum Bunda meninggal.
Dulu, Calvin pernah menganggap apa yang Bunda khawatirkan itu aneh. Dia merasa nyaman dengan dirinya. Dia menikmati kesendiriannya. Lantas apa yang harus dipermasalahkan?
Tetapi sekarang, berada di teras belakang rumah Keluarga Daneshwara sambil memandang pada punggung Khansa yang tengah membantu ibunya menyirami tanaman dalam pot, Calvin bertanya-tanya, apa yang membuatnya bisa bertahan selama bertahun-tahun dalam kesendirian—tanpa banyak teman, hanya dengan kedua saudara laki-laki yang lebih sering dia ajak adu mulut dan bertukar ejek serta seorang adik perempuan yang lebih sering mengobrol sambil tertawa pada udara kosong.
"Saya ketemu dengan bos kamu kemarin."
Kata-kata Subiakto Daneshwara, Papa Khansa, tiba-tiba saja menyadarkan Calvin dari lamunannya. Spontan, cowok itu langsung menoleh dan tersenyum sopan. "Bos saya?"
"Tada Lazuardi." Laki-laki itu menjawab. "Bisa dibilang, mendengar ceritanya membuat saya cukup percaya sama kamu."
"Oh, memang dia bilang apa?"
"Kamu adalah salah satu pekerja paling berbakat dengan ide dan desain brilian. He even called you a genius. Kamu bisa jadi besar suatu hari nanti, tapi itu kalau kamu mengurangi kebiasaan kamu ketiduran setiap kali meeting mingguan."
Calvin tersenyum kecut. "Mungkin saya bisa mengurangi kemungkinan ketiduran kalau materi yang dipaparkan nggak semembosankan itu."
"Buat mereka yang jenius, sesuatu yang biasa saja memang terlihat membosankan. Tapi terus terang aja, Tada banyak memuji kamu. Bagus, karena saya kenal dia dari muda. Dia bukan tipe orang yang murah hati soal memuji."
"Apa saya harus tersanjung?"
Subiakto Daneshwara tertawa. "You sure one hell of a man. Melihat gimana pedulinya kamu sama anak saya, saya nggak mengira kalau kamu sedingin itu menanggapi pujian dari bos kamu sendiri. Bos yang berada dalam posisi tinggi, kalau saya harus nambahin."
Calvin meringis. "Karena jujur aja, saya nggak tau apa saya harus sesenang itu hanya karena sebuah pujian. Dipuji atau nggak dipuji, faktanya tetap desain saya bagus. Sama aja kayak kita mau bilang apa pun tentang Einstein. Atau Isaac Newton. Mau ada orang bilang mereka bodoh pun, dunia nggak akan percaya mereka bodoh."
"That's a point." Papa Khansa sependapat. "Saya nggak ngerti apa yang sudah diperbuat Khansa untuk kamu, tapi untuk apa yang sudah kamu lakukan buat Khansa, saya berterimakasih."
Calvin tetap diam.
"Khansa itu... memang dari kecil agak problematic. Tipe pemberontak sejati. Dia menolak mentah-mentah saat saya dan Mamanya memaksa dia kuliah. Lalu dia pergi dari rumah, tinggal bersama neneknya hingga neneknya meninggal. Dulu saya benar-benar marah, menganggap dia terlalu keras kepala dan nggak menghargai saya sebagai orang tuanya." Laki-laki setengah baya itu mengenang. "Khansa jelas bukan perempuan yang sempurna. Saya berterimakasih karena kamu mau menerima dia, apa adanya. Meski dia bisa sangat grumpy, egois dan keras kepala."
"Kebalikannya, saya justru mikir kalau saya membawa pengaruh buruk buat dia. Mimpinya hancur berantakan gara-gara saya."
"Masalah kejuaraan waktu itu?"
Calvin mengangguk. "Kalau bukan karena masalah keluarga saya, mungkin dia nggak akan harus berhenti dari renang."
"Itu takdir, Calvin." Papa Khansa menarik napas, menatap pada Khansa yang kini memandang ke arah mereka, lalu senyumnya merekah. "Kita bisa berkeras ingin hidup seperti apa, tapi yang menentukan pada akhirnya adalah takdir. Saya yakin, kalau disuruh mengulang semuanya dari awal, dia pasti akan tetap memilih kamu."
Satu senyum tipis terbit di wajah Calvin. "Tentang dia yang nggak sempurna, mungkin memang benar. Tapi buat saya, dia selalu sesempurna itu."
"Saya punya proyek properti. Mungkin dimulai sekitar enam bulan lagi."
"Maksudnya?"
"Dananya lumayan."
"Om mau mengajak saya ikut proyek itu?"
"Kamu nggak mau?" Papa Khansa justru balik bertanya.
"Bukan begitu."
"Kayak yang saya bilang, proyeknya lumayan, terutama buat modal lamaran."
Kata-kata Subiakto Daneshwara seketika membuat Calvin tersedak sampai terbatuk-batuk. Reaksinya membuat Khansa mengangkat salah satu alis sebelum berjalan menghampiri mereka dengan alat penyiram tanaman di tangan kanan. Lantas gadis itu berkacak pinggang di depan Calvin, menatap Calvin dengan mata yang disipitkan.
"Lo kenapa deh tiba-tiba bengek gitu?" Khansa mengernyit lalu berpaling pada papanya. "Papa ngomong apa sama Ical?"
"Ical?!"
"Kenapa? Lo nggak terima?"
"Nggak ada panggilan yang bagusan?"
"Nggak, kalau buat lo mah."
Subiakto Daneshwara sempat dibikin tercengang saat menyaksikan perdebatan sepasang sejoli itu, tapi akhirnya diam-diam seulas senyum penuh pengertian merekah di wajahnya.
Sore kembali menjemput di rumah Keluarga Wiraatmaja. Sore itu, tak seperti sore-sore sebelumnya, Ayah termenung sendirian di tepi jendela kamarnya dengan setumpuk surat-surat lama dalam sebuah kotak kayu di pangkuannya. Rumah sepi, karena anak-anak memang tengah berada di luar. Calvin pergi berkunjung ke rumah Khansa, Cetta pergi menghadiri acara soft opening sebuah toko kue sebagai bagian dari promosi toko kue tersebut, Chandra berada di studio untuk mempersiapkan konser yang akan digelar akhir pekan ini dan Suri pergi ke rumah Sebastian setelah menerima kabar dari Sergio kalau Sebastian akan terbang ke Singapura untuk keperluan pekerjaan. Berada sendirian dalam sunyi membuat Ayah tak bisa tak mengenang saat-saat ketika Bunda masih ada, karena jejak perempuan itu akan selalu tertinggal pada setiap jengkal bagian rumah.
"Ayah?"
Suara Chandra yang tiba-tiba terdengar membuat Ayah langsung tercekat, kemudian kepalanya tertoleh secara refleks ke asal suara hanya untuk mendapati Chandra berada di ambang pintu. Ayah berpikir apa dia terlalu tenggelam dalam memori masa lalu hingga tak menyadari kedatangan Chandra atau suara berisik yang terdengar saat cowok itu melintasi ruang tengah? Chandra masih terlihat rapi seperti biasa, rambutnya seperti tak terpengaruh oleh serangkaian aktivitas yang dia jalani seharian, tapi garis lelah jelas menggurati wajahnya.
"Kamu udah pulang?"
Chandra memiringkan wajah, menatap pada kotak kayu dan sebuah buku harian yang ada di pangkuan Ayah. Semua itu benda milik Bunda. Surat-surat itu adalah surat yang Bunda kirimkan pada Ayah sepanjang masa kuliah mereka, mulai dari ketika Bunda baru mengenal Ayah, hingga surat terakhir yang Bunda tuliskan di malam pernikahan mereka. Warnanya sudah menguning, dan baunya seperti kenangan. Melihatnya memberikan sebentuk hantaman gelombang melankolis yang membuat tenggorokan Chandra seolah tersumbat.
"Ayah... sendiri aja?"
"Adik-adikmu sibuk dengan urusan mereka masing-masing."
"Oh ya? Culi juga?"
"Dia pergi ke rumah Sebastian."
Chandra melotot, lalu mengepalkan tangan. "Dia ngapain?!"
Ayah tersenyum lembut. "Besok hari ulang tahunnya, Barachandra. Tapi Sebastian harus pergi ke Singapura karena ada urusan pekerjaan disana. Wajar kalau adikmu sedih."
Chandra merengut hingga bibirnya nyaris maju lima senti. Ekspresi cowok itu membuat Ayah mau tak mau kian melebarkan senyum. Anak pertamanya mungkin sudah dewasa, tapi dia tetap akan selalu jadi seorang Barachandra Aryasatya, anak Ayah paling konyol yang paling sering membuat masalah dan paling mudah merajuk sejak kecil.
"Ayah lagi ngapain?"
"Cuma merapikan barang-barang ini."
Chandra menatap Ayah lekat-lekat. "Ayah lagi kangen Bunda, ya?"
"Nggak ada hari yang terlewat tanpa Ayah kangen sama Bunda kamu." Ayah terkekeh. "Dulu, Ayah pernah mikir kalau Bunda kamu itu norak. Dia mengirimkan surat ke Ayah setiap hari, diselipkan dalam bekal makan siang yang dia buat untuk Ayah. Tapi entah kenapa Ayah nggak sampai hati membuang surat-suratnya. Mungkin karena tulisan Bunda kamu bagus. Sekarang, Ayah bersyukur Bunda kamu melakukan itu. Karena seenggaknya, dengan begini... Ayah bisa ingat sama Bunda kamu."
"Aku belum pernah baca satu pun surat Bunda."
Ayah tersenyum lagi. "Mau baca salah satu?"
"Beneran?" Chandra bertanya tak percaya, mengingat selama ini Ayah tak pernah membuka surat-surat itu atau buku harian Bunda di depan anak-anaknya.
"Sini." Ayah menyuruh Chandra mendekat dengan satu lambaian tangan sebelum beranjak dari kursi yang dia duduki. Mereka bersila di atas karpet yang melapisi lantai kamar Ayah. Dulu, Ayah sering bercerita sambil memangku anak-anaknya. Tapi sekarang kelihatannya itu sudah tak mungkin karena anak-anak Ayah sudah terlalu berat untuk bisa beliau pangku.
"Ini surat terakhir yang Bunda tulis untuk Ayah di hari pernikahan." Ayah menarik selembar kertas yang terlipat rapi dari dalam kotak, kemudian membukanya. Seperti apa yang Ayah bilang, Chandra bisa melihat jika Bunda memang punya tulisan yang bagus.
Jakarta, 14 Desember 1991
Untuk kamu
Yang sekarang ada di depanku
Salam hangat,
Sebelumnya, izinkan aku memohon maaf karena mungkin ini akan jadi surat terakhir yang aku tuliskan untuk kamu. Bukan berarti karena aku sudah lelah menulis, atau tintaku sudah habis. Tapi bukankah akan terlalu aneh jika berkirim surat dengan seseorang yang tinggal serumah denganku?
Seseorang pernah bertanya padaku, apa yang sebenarnya aku inginkan dalam hidup? Dulu, aku tidak tau harus menjawab apa. Mungkin karena aku menjalani hidup ini sebagaimana adanya, tanpa harap atau praduga. Tetapi semuanya berubah saat aku melihat kamu, siang itu, di hari pertama aku menjadi mahasiswa. Rasanya seperti seseorang memberikanku sebuah kotak yang mana di dalamnya tersimpan semua yang bisa kudapatkan dari dunia. Seakan hanya dengan satu nama yang dieja Kelana Wiraatmaja, semua mimpiku menjelma jadi nyata.
Aku masih ingat seperti apa kamu hari itu, dengan kemeja putihmu yang kusut dan tak kamu rapikan. Dengan rambut hitam yang jatuh berantakan di kening. Kamu terlihat dingin, hingga langkahmu terhenti oleh kehadiran seorang bocah kecil, anak penjaga kampus kita yang terjatuh hingga es lilinnya berceceran di lantai. Kamu membantunya bangkit, menyentuh puncak kepalanya, lalu tersenyum.
Mulai hari itu, aku tau aku punya jawaban pasti setiap ada yang bertanya apa yang sebenarnya aku inginkan dalam hidup; yang aku inginkan adalah berada di sampingmu, melangkah bersamamu dan tak terpisahkan darimu hingga rambut kita sama-sama memutih, kulit kita menjadi kelabu dan semua kerupawanan termakan oleh kerutan. Aku tau itu adalah sesuatu yang sangat egois. Siapalah aku, sosok yang payah ini, ingin memaksamu terjebak bersamaku selama sisa umurku?
Tapi aku adalah aku, dan Adelina Mayesha tidak pernah menarik kata-katanya.
Namun tentu saja, kamu mengabaikanku. Kamu menganggapku aneh. Beberapa kali, kamu bahkan pernah kesal padaku. Beberapa kali, kamu pergi dengan gadis-gadis lain yang membuatku merasa cemburu. Tidak, aku tidak cemburu karena gadis-gadis itu berada di dekatmu, melainkan karena aku sadar, dalam beberapa hal, mereka lebih pantas berjalan di sampingmu daripada aku. Dalam banyak cara, mereka punya kesempatan lebih besar menarik perhatianmu daripada aku.
Tapi aku adalah aku, dan Adelina Mayesha selalu punya keberanian untuk melakukan sesuatu yang diyakininya.
Ada satu malam yang tak akan pernah kulupa tentang kamu. Malam itu adalah malam dimana untuk pertama kalinya, aku melihatmu menangis. Kamu ingat Rudiantoro? Iya, teman dekatmu itu. Kalian berteman dengan begitu akrabnya, membuatku teringat pada kata-kata Aristoteles. Ada sebuah pertanyaan teralamat padanya tentang teman. Dan katanya, friend is a single soul dwelling in two bodies. Tapi Rudiantoro pergi lebih dulu daripada kamu. Dia pamit untuk mendaki Semeru dan tak pernah pulang lagi. Kamu hancur. Hatimu retak. Dan sesuatu yang paling aku syukuri adalah aku ada disana ketika itu, untuk menahan retakannya agar hatimu tetap satu. Untuk memelukmu erat meski kamu membuat baju kesayanganku basah karena air mata.
Banyak peristiwa sudah kita lalui. Pahit dan manis. Menyenangkan dan menyedihkan. Terang dan kelam. Tapi bukankah hidup selalu seperti itu? Kamu tidak bisa melihat pelangi tanpa menahan dinginnya terpa hujan.
Kelana Wiraatmaja,
Hari ini adalah salah satu hari terindah yang akan selalu aku ingat dalam setiap episode yang kujalani sepanjang hidup, karena pada akhirnya aku mencapai mimpiku. Pada akhirnya, kamu memilihku untuk menemanimu di kala susah mau pun senang, di kala sehat mau pun sakit. Mengizinkanku menjadi rekan untuk berjalan di sebelahmu, menggenggam tanganmu, menangis dan tertawa bersamamu. Di atas segalanya, rasa syukurku karena takdir sudah mengantarmu kepadaku tidak akan pernah cukup.
Siapa yang akan mengira jika kita, aku dan kamu, akan berdiri berhadapan seperti hari ini? Lima tahun yang lalu, kita hanya teman biasa—atau mungkin kurang dari itu. Beberapa hari yang lalu, kamu bertanya, hadiah apa yang kuinginkan darimu; dan jawabku akan selalu sama, aku tak membutuhkan apa pun lagi. Kehadiranmu, kemurahan hatimu mengizinkanku menua bersamamu sudah lebih dari cukup bagiku. Terimakasih untuk jalan yang kamu tunjukkan padaku, untuk semua semangat yang kamu beri, untuk tawa dan tangis yang kamu bagi. Aku ingin memastikan bahwa untuk seterusnya, aku berjanji akan memberikanmu keadaan dalam hidup yang lebih dari sekedar 'baik-baik saja'.
Karena kamu, aku tertawa, aku tersenyum, aku menangis dan aku berani berjuang untuk sesuatu daripada yang pernah aku lakukan. Kamu akan selalu jadi cinta dalam hidupku, setengah diriku sekaligus sosok tunggal yang akan kucintai sedikit lebih lama daripada selamanya.
Salam sayang,
Adelina Mayesha
Yang menunggu dicium olehmu setelah kamu selesai membaca ini
"Aku iri." Chandra berkata dengan suara tercekat sesaat setelah mereka selesai membaca surat itu, sementara wajah Ayah terlihat dialiri oleh beragam emosi yang membuat matanya berkaca-kaca.
"Hm, kenapa?"
"Bunda seyakin itu dengan perasaannya buat Ayah."
"Dia memang selalu seyakin itu." Ayah tersenyum bangga. "Dulu, Ayah pernah bersikap buruk sama Bunda kamu. Menganggapnya aneh dan selalu mengganggu. Apalagi dengan bekal-bekal makan siang yang dia berikan ke Ayah bersama surat-suratnya hampir setiap hari. Ayah pernah mengatakan sesuatu yang membuatnya menangis, tapi Bunda kamu memang punya hati sebesar itu. Dia nggak pernah membenci Ayah."
"I was going to ask you something, honestly."
"Hm, tumben banget. Tentang apa?"
"Soal Siena."
"Kenapa sama dia?"
"Menurut Ayah, bakal bahaya nggak kalau nanti aku minta Siena naik ke atas panggung dan ngasih tau kalau dia pacarku? Aku selalu kepingin melakukan ini. Tapi... aku nggak yakin reaksi fansku nanti bakal gimana."
Ayah tak langsung menjawab dan justru memandang pada gurat tulisan tangan Bunda di atas kertas usang di tangannya, lalu mulai membaca. "Tapi aku adalah aku, dan Adelina Mayesha selalu punya keberanian untuk melakukan sesuatu yang diyakininya."
Chandra terdiam.
"Kamu itu anak Bunda kamu." Ayah menjelaskan. "Jadi kamu pasti berani melakukan sesuatu yang kamu yakini benar."
Chandra masih bungam.
Ayah tersenyum, lalu mengulurkan tangannya dan meremas pelan bahu Chandra. "Beranilah melakukan apa yang menurut kamu benar, Barachandra."
Sebastian menatap pada jam dinding yang melekat di tembok kamarnya, lalu membuang napas perlahan. Sekarang sudah setengah jam tujuh malam, dan penerbangannya nanti adalah pada jam sebelas malam. Dia belum memberitahu Suri, atau lebih tepatnya tidak tega untuk memberitahu gadis itu. Sebastian sudah bisa menebak bagaimana respon Suri. Mungkin gadis itu akan murah. Atau justru akan menyemangatinya. Apa pun itu, satu yang pasti, Suri pasti akan sedih.
Sebastian tidak mau membuatnya sedih, namun tentu saja, urusan pekerjaan adalah sesuatu yang penting.
Langkah Sebastian terasa berat ketika dia bergerak menuju lemari untuk mengambil beberapa helai pakaian sebelum memasukkannya ke dalam koper. Dia berkemas dalam diam, hingga instingnya menyadari jika dia sedang diperhatikan. Refleks, kepalanya tertoleh ke pintu dan mendapati Suri ada disana. Gadis itu menatap muram sambil setengah bersandar pada ambang pintu.
"Besok aku ulang tahun."
Sebastian menghela napas. "Sergio, isn't it? Dia yang ngasih tau lo?"
"Kalau aku bilang iya, kamu mau marah sama Gio?"
"Nggak." Sebastian menggeleng. "Gue justru... bersyukur dia udah ngasih tau lo."
Suri tetap diam.
"Jangan ngeliatin gue dengan wajah yang kayak gitu."
Suri berdecak, berjalan memasuki kamar Sebastian dan mendekatinya. Lalu begitu saja, dia turut membantu Sebastian memasukkan helai-helai pakaiannya yang sedikit ke dalam koper kecil. "Kamu bakal pulang, kan?"
"Mengingat gue masih warga negara Indonesia, jelas gue bakal pulang."
"Bukan itu maksud aku."
Sebastian meraih pergelangan tangan kanan Suri, membuat gerakannya yang tengah merapikan baju dalam koper seketika terhenti. Suri tercekat, menatap pada Sebastian dengan pandangan nanar. Sebastian balik memandangnya dengan jenis tatapan yang sulit didefinisikan. Kemudian begitu saja, tanpa aba-aba, Sebastian meraih Suri ke dalam sebuah pelukan erat.
"Penerbangan pertama setelah rapatnya selesai besok, gue pasti balik."
Suri balik memeluk Sebastian tidak kalah erat. "Kalau kamu bohong, jangan salahin aku kalau aku marah lagi sama kamu."
Sebastian menunduk, diam-diam mengubur hidungnya di lekukan bahu Suri untuk menyembunyikan satu tarikan senyum tipis. "Gue bakal balik. Gue janji."
Selama sejenak, dekapan itu tak terlepas.
Satu jam berlalu dan meski tidak suka, Sebastian tau dia harus segera pergi ke bandara. Selesai membantunya berkemas—yang berlangsung tidak lebih dari lima belas menit mengingat sedikitnya barang yang Sebastian bawa—mereka makan malam bersama Mami dan Sergio. Setelahnya, Suri tak pulang dan malah pergi ke kamar Sebastian, mengatakan dia akan tidur disana malam itu karena berencana pergi bersama Sergio ke konser Chandra besok. Sebastian tak membantah, dan mereka menghabiskan waktu bersama untuk membangun kastil bantal di lantai kamar Sebastian yang terlapisi karpet sebelum bicara tentang topik-topik random.
Suri bercerita tentang kelasnya yang padat hari ini, tentangnya yang harus menemani Siena pergi ke mall untuk mencari setelan baru yang akan dipakainya besok dan tentangnya yang hanya sempat mandi sebelum buru-buru pergi ke rumah Sebastian. Sebastian mendengarkannya bicara dengan penuh perhatian sambil menyusuri helai rambutnya dengan jari hingga cerita Suri terhenti, terganti oleh dengkuran halus. Melihat wajahnya yang tertidur, Sebastian dibikin tersenyum. Lalu dengan sangat hati-hati, cowok itu meraih tubuh Suri, memindahkannya dengan mudah ke atas ranjangnya dan menarik selimut hingga ke lehernya.
Rasanya Sebastian ingin berada disana sepanjang malam, tapi tentu saja dia tak bisa. Pada menit-menit terakhir, Sebastian menatap Suri selama yang dia mau, kemudian membungkuk dan memberikan satu kecup lembut di dahi gadis itu.
"See you soon, Love."
Halow.
Setiap kali membaca komentar dari readers yang masuk ke cerita-cerita gue, entah kenapa gue punya banyak keluh kesah untuk ditumpahkan, tapi begitu bagian ngetik author notes, entah kenapa seketika semuanya hilang.
oke, itu dramatis.
pertama-tama, buat readers yang baru sampai di profil gue (kemana aja lo hari gini baru nemu profil gue #oke #abaikan #kesongongan #gaje #gue #plis #gue #sudah #punya #cukup #banyak #heaters) gue ucapkan selamat datang, hope you enjoy your stay dan silakan baca dulu bio gue.
kedua, jikalau menurut lo pengaturan cerita gue susah dimengerti, berarti lo belum baca semua dari part awal sampe part akhir. sante. dibaca semua. dihayati. niscaya lo akan mengerti. dan jangan lupa, bacalah dengan hati yang bersih tanpa prasangka berlebih.
ketiga, gue sangat tidak mengapresiasi orang yang promote cerita di wall gue. wall gue adalah tempat readers gue menulis kesan-kesan mereka atau apa pun yang ingin mereka sampaikan terkait tulisan gue, bukan lapak iklan. mohon maaf sekali, tapi saya bukan awkarin dan lapak saya bukan tempat promosi. (btw seumur umur gue di wattpad gue nggak pernah nulis di wall orang minta cerita gue dibaca dan dikomen jadi selayaknya hukum karma, gue juga nggak mau ada orang nulis promosi di wall gue). iya, anggap aja gue sombong dan galak dan menyebalkan gpp udah biasa
keempat, kalau kalian newbie di wattpad dan mau bertanya soal masalah teknis, silakan tanya ke akun wattpad (at)WattysID karena gue bukan orang wattpad dan bukan teknisi wattpad dan bukan guide #PemulaWattpad101 okeoke
kelima, jangan maksa minta dinext cepet kecuali lo lagi kepengen gue jutekin. okeoke.
keenam, yes saya memang galak, egois, sombong apa pun itu terserahlah. i dont really care. tapi gue nggak akan berpura-pura ramah ketika menurut gue pertanyaan atau komentar yang masuk tidak patut diramah-ramahi. netizen jaman now tuh suka komentar seenak udel, pas digalakin ehhh dikatain baper, galak, jutek dan segala macem.
GAES, I HAVE FEELINGS AND I EXPERIENCE BAD DAYS TOO :(
(apasih jiji banget).
intinya gitu. i appreciate honesty and sincerity. kalau lo mau deket sama gue, mau ngobrol sama gue, silakan. tapi dengan catatan, lo emang tulus mau ngobrol dan mau temenan sama gue. bukan karena ada maksud lain untuk keuntungan lo.
like, if you cant handle me in my worst, you dont deserve me in my best.
untuk readersku yang tetap mencintaiku (plis jangan muntah plis ntar gue nangis) di luar semua sifat buruk dan kegalakanku, kalian warbyasah dan kalian pantas mendapatkan sisi manja-manja gemash dari seorang renita. (tolong jangan diludahin tolong)
oke sekian dan terimakasih sampai jumpa di chapter berikutnya
BTW IYA INI AUTHOR NOTESNYA COPAST DARI SECRET LOVE SONG karena mager ngetik lagi dan takut ada yang belom baca aja oke sekyan dan terimakasih
piss luv and ciao.
Published in September 16th 2017
Semarang | 21.27
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro