#22
"Kamu kelihatannya happy banget? Kenapa?"
Pertanyaan Mami langsung menyambut Sergio sesaat setelah cowok itu melangkahkan kakinya masuk ke ruang tengah, tempat Mami sedang duduk di sofa sambil menonton televisi. Sergio mengedikkan bahu, balik menatap ibunya dan justru bertanya.
"Maksud Mami?"
Mami berdecak karena anak bungsunya bertanya sambil masih cengengesan tanpa sadar. "Muka kamu itu. Nggak pernah berhenti senyum dari tadi."
"Oh. Nggak apa-apa."
"Habis dapat makan siang gratis?"
"Nggak."
"Habis dapat surat cinta dari adik tingkat?"
"Nggak juga."
"Atau... kamu lagi jatuh cinta, ya?"
Sergio melotot, lalu mendengus cepat. Kelewat cepat, sehingga Mami langsung tahu jika itu memang penyebabnya. "Siapa yang jatuh cinta? Nggak, kok."
Mami meletakkan majalah yang sejak tadi berada di pangkuannya ke atas meja. "Siapa sih ceweknya?"
"Cuma teman." Sergio menyahut salah tingkah. "By the way, Kak Bas mana, Mi? Nggak mungkin dia belum pulang jam segini."
"Tadi sih di dapur. Katanya mau bikin kopi."
"Oh."
"Eh ya, Mami boleh nanya nggak?" Suara Mami tiba-tiba berubah jadi lebih rendah. "Suri sama Bas lagi berantem ya? Soalnya kayaknya dari kemarin-kemarin Bas nggak nelepon Suri dan nggak ngomongin anak itu. Padahal biasanya juga nggak bisa berhenti ngomongin Suri di depan Mami. Waktu Mami tanya, kakak kamu malah sensi banget jawabnya, kayak beruang grizzly abis lahiran. Mereka emang berantem?"
"Hm... iya."
"Kok bisa?"
"Ceritanya panjang, Mi."
"Mami bisa dengerin, kok."
"Tapi aku yang nggak punya waktu buat cerita. Lagian ini urusan percintaannya Kak Bas. Mami tanya aja langsung sama dia."
"Aduh, Gio, itu sih sama aja kamu nyuruh Mami bunuh diri."
Sergio justru tertawa kecil. "Mami lebay."
"Mami serius, loh. Sebenarnya normal aja kalau mereka berantem, toh namanya juga dua kepala yang berbeda pikiran, prioritas dan pendapat. Cuma, Mami nggak mau kalau mereka sampai putus."
"Nggak bakal, Mi. Kalau mereka sampai putus, itu alamat Kak Bas bakal terjun dari puncak Monas."
"Gio!" Mami berseru memperingatkan, yang membuat Sergio meringis.
"Aku ke belakang dulu, Mi." ujarnya sambil berlalu ke dapur.
Sesuai kata-kata Mami, Sebastian memang berada di dapur. Laki-laki itu masih mengenakan kemeja kerjanya, meski kancing teratas kemeja itu sudah dibuka dan dasinya sudah dilonggarkan. Rambutnya jauh lebih berantakan dari biasanya. Sebastian tengah menatap pada udara kosong sambil menyendok gula dari dalam setoples sebelum memasukkan gula tersebut ke dalam cangkir keramik yang masih mengepulkan asap.
Sergio mengernyit heran, sengaja tidak mengatakan apa pun dan justru memiringkan wajah mengamati tingkah-laku kakaknya. Terakhir kali Sergio melihat Sebastian seperti ini adalah bertahun-tahun lalu, tepatnya sesaat setelah hubungan Sebastian dan Cathleena berakhir. Menyaksikannya terulang lagi sekarang, Sergio justru merasa khawatir. Apalagi saat Sebastian tak kunjung menyadari kehadirannya dan mengangkat cangkirnya masih dengan mata menatap hampa pada udara kosong. Sepasang bibirnya menjepit tepi gelas, mengambil satu seruput dari cairan panas dalam cangkir untuk kemudian terbatuk-batuk.
"Sialan." Sebastian mendengus dan meraih gelas lain untuk mengisinya dengan air putih.
"Kenapa? Kopinya kepanasan? Atau kopinya asin?"
Sebastian melotot saat menyadari kehadiran Sergio, tapi tak bisa berkata apa-apa karena yang tadi diambilnya memang garam, bukan gula. "Nggak usah berisik, Gio."
"By the way, weekend ini gue bakal jalan sama Nadine."
"Cewek kucing garong pemain biola yang datang ke ulang tahun lo waktu itu?"
"Atas dasar apa lo nyebut dia kucing garong?"
Sebastian menyahut tidak peduli. "Karena bajunya hitam semua. Persis kucing garong."
"See? Ini yang bikin lo nggak baikan sama Suri sampai sekarang."
Sebastian kontan memasang wajah tersinggung.. "Sekali lagi lo ngomong gitu, gue nggak peduli mau lo adik gue atau nggak, gue jitak lo sampai kepala lo punya menara."
"Ternyata benar apa kata Mami."
"Mami bilang apa?"
"Lo jadi sinting semenjak berantem sama Suri."
"Sergio Dawala,"
"Lagian, lo tuh ya, umur doang yang lebih tua dari gue. Kalau urusan menghadapi cewek, lo tetap aja newbie macam anak-anak baru akil baligh yang belajar naksir cewek."
"Oh, jelas gue lebih berpengalaman pacaran daripada lo."
"Pacaran sambil grepe-grepe?"
"Kalau lo ngomong kayak gitu di depan Suri, lo bakal tewas."
"Ampun, Kak. Ampun. Buset ya, galau bisa bikin lo segalak preman terminal Kampung Melayu."
"Terserah."
"Tapi kenapa lo belum baikan sampai sekarang?"
"Jangan tanya gue. Tanya aja calon kakak ipar lo."
"Gimana Suri bisa jadi kakak ipar gue kalau sekarang aja dia masih marah sama lo? Bisa baikan aja udah keajaiban, kayaknya."
"Sergio, lo itu benar-benar minta dijadiin samsak tinju ya hari ini?"
"Nggak, sih. Tadinya gue mau ngasih saran aja. Siapa tau saran dari gue bisa bikin lo cepat-cepat balikan sama Suri. Tapi lo balasnya nyolot melulu dari tadi." Sergio memberengut. "Lo butuh saran nggak?"
"Butuh saran dari lo?" Sebastian bertanya dengan gaya layaknya seorang artis ketika ditanya kesediaannya untuk menjadi bintang iklan produk shampoo lain, lalu kemudian terbahak dengan palsu. "Hahaha. Nggak. Makasih. Simpan aja saran lo untuk diri lo sendiri."
Sergio mengangkat bahunya. "Oh, yaudah." katanya, dan dia berniat berlalu kalau saja Sebastian tidak segera melangkah menjauhi deretan meja konter lantas berdiri tepat di depan Sergio.
"Tapi kalau lo memaksa, gue bisa dengerin saran yang mau lo sampaikan."
Sergio mendengus, menyadari kalau kakak laki-lakinya yang kelihatan dewasa itu bisa sangat konyol pada saat-saat tertentu. "Minggu depan Suri ulang tahun."
"Terus apa hubungannya?"
"Aduh, lo ini beneran nggak peka. Pantesan ditinggalin sama Kak Kat."
"Asem ya lo. Jawab aja, kenapa?"
"Sori, sori." Sergio akhirnya mengalah. "Suri itu cewek, Kak. Ce e ce we e we k. C e w e k. Cewek dimana-mana itu biasanya baperan dan mudah luluh sama tindakan ala gentleman. Jadi—"
"Gue kurang gentleman apa sih, Gio?"
"Mulut lo kurang gentle. Kasar banget kayak parutan kelapa." Sergio menjawab tanpa berpikir. "Nggak bisa gitu, Kak Bas. Setiap makhluk bernama perempuan itu lembut dan menyukai kelembutan. Kalau kata Ada Band sih, karena wanita ingin dimengerti."
"Kebanyakan pembukaan deh, langsung ke intinya aja."
Sergio berusaha menahan dongkol. "Momen hari ulang tahun Suri adalah momen yang pas buat lo menunjukkan ke dia seberapa berartinya dia untuk lo."
"Gue harus gimana? Ngasih kejutan macam cowok drama Korea? Siapa sih yang dia idolain itu? Gu Jun Pyou apa lah itu? Gue sih mau-mau aja, tapi gaji gue nggak cukup ngajakin dia ke New Caledonia dan muterin Pulau Cinta pake helikopter. Cari yang agak murah dikit, kek."
"Kok... lo tau soal si Gu Jun Pyou random itu, sih?"
"Gue coba nonton dramanya. Abis gue nggak ngerti kenapa pacar gue bisa sebegitu sukanya sama Gu Jun Pyou. Cheesy parah, anjir. Mana rambut Gu Jun Pyou nggak banget, macam cangkang keong lupa di-rebonding."
"Bodo amat dengan Gu Jun Pyou dan Pulau Cinta-nya." Sergio mengibaskan tangan. "Lo bisa kasih kejutan yang lain. Nggak semahal Gu Jun Pyou. Nggak perlu sampai ke New Caledonia. Nggak perlu sewa helikopter. Hanya perlu sedikit uang dan segunung cinta."
"Jijik banget. Lo jadi norak abis sekarang."
"Kak, lo mau gue kasih tau apa nggak?"
"Nggak terlalu, tapi kalau lo memaksa, yaudah."
Sergio mengembuskan napas, untuk kesekian kalinya berusaha menahan geram. Lalu katanya, "Yaudah. Sini gue bisikin."
Teriakan dari sejumlah gadis remaja yang memadati lahan parkir sebuah gedung label musik terkenal langsung menyambut Chandra begitu dia melangkahkan kakinya turun dari mobil. Beberapa memekikkan namanya. Beberapa dari mereka mendekat, entah minta poster yang mereka bawa ditanda-tangani atau hanya untuk mengobrol biasa. Chandra benci harus bangun dari tempat tidur sepagi ini, sebetulnya, tetapi dia tetap meladeni kumpulan gadis itu dengan ramah. Tangannya bergerak lihai membubuhkan tanda-tangan di setiap poster atau album yang mereka bawa sambil sedikit bertanya tentang kabar dan aktivitas yang tengah mereka jalani.
Chandra sadar, keramahan dan kepopuleran adalah senjata utama yang dia miliki. Berbeda dengan Cetta dengan penampilan ala modelnya atau Calvin dengan otaknya yang encer, satu-satunya yang bisa membuat Chandra bertahan sejak dulu hingga sekarang adalah cinta dari para penggemar. Karenanya, dia tidak bisa menyalahkan siapa pun ketika ada penggemarnya yang tidak menyukai Siena—atau perempuan-perempuan lain yang pernah dekat dengannya—dan tidak punya pilihan selain tetap bersikap baik walau dia sedang lelah atau moodnya tengah buruk.
Laki-laki tinggi itu hampir tiba di pintu masuk gedung ketika seorang gadis mungil tiba-tiba menghadang langkahnya. Gadis itu punya rambut panjang sebatas bahu, terlihat manis dengan poni. Pipinya bersemu merah, kontras dengan warna kulitnya yang pucat. Dia memandang Chandra malu-malu, sejenak mengingatkan Chandra pada Siena.
"Kak Chandra, boleh foto bareng?"
Harusnya Chandra menolak, tapi dia justru tersenyum lebar. "Boleh."
Mereka berpose, sementara manajer Chandra yang mengambilkan foto menggunakan kamera ponsel milik gadis itu.
"Nama kamu siapa?"
Gadis itu menjawab dengan suara lirih yang terdengar gugup. "Tasya."
"Kesini sendirian?"
Tasya mengangguk.
"Nggak sekolah?"
"Hari ini libur, Kak Chandra."
"Oh ya, bagus. Cuaca hari ini mendung. Banyak angin juga. Hati-hati nanti kalau pulang, ya. Jangan lupa belajar yang rajin." Chandra tertawa sambil mengulurkan tangannya, mengacak puncak kepala Tasya yang mengundang seruan iri dari beberapa gadis lain yang masih berada di pelataran depan gedung. Lantas Chandra berbalik, baru berniat melangkah pergi menuju pintu depan gedung tatkala angin berhembus kian kencang. Kemudian sesaat kemudian suara pekik kompak terdengar, mengiringi bagian dari kanopi gedung yang melorot jatuh akibat dihempas oleh angin yang terlampau kencang. Mengikuti insting, Chandra menarik lengan gadis yang berada di dekatnya dengan cepat, lantas merengkuhnya dalam dekap untuk melindunginya dari bagian bangunan yang terjatuh hingga menimbulkan suara keras yang mengerikan saat berbenturan dengan lantai.
Manajernya mendekat, begitu pula dengan beberapa fans lain yang terlihat khawatir dengan keadaannya. Tapi Chandra justru lebih sibuk bertanya pada gadis yang tadi berada di dekatnya. "Kamu nggak apa-apa?"
"Nggak apa-apa."
"Anginnya besar banget." Chandra berkata, lalu berbalik pada para fansnya yang lain sebelum menyambung ucapannya. "Gue nggak apa-apa, oke? Santai aja. Tapi anginnya besar banget. Mending sekarang kalian pulang. Gue nggak mau kalian sampai kenapa-napa. Pretty, please?"
Hampir serentak, gadis-gadis itu mengangguk setuju. Chandra sengaja tetap berdiri di depan gedung hingga mereka membubarkan diri. Dia baru beranjak masuk ke dalam gedung untuk memulai sesi latihan dan persiapan konser tunggalnya beberapa minggu mendatang ketika pelataran parkir sudah nyaris kosong. Manajernya menyertai, lalu mengulurkan sekaleng kopi.
"Akhir-akhir ini cuacanya jelek banget."
Chandra menatap langit, lalu mengangguk setuju. "Iya."
"Lo tetap mau konsep konser outdoor?"
"Semuanya udah fix. Dan lagi, gue lebih suka konsep outdoor."
"Kalau gitu, mari berharap nggak ada peristiwa buruk yang terjadi dan semuanya bakal berjalan lancar kayak biasa."
Chandra tersenyum lebar, lalu menepuk bahu temannya. "Everything is going to be alright, okay? As always."
"I wish, Chandra. I wish."
"Kenapa lo mau ketemu gue secara sembunyi-sembunyi kayak gini?" Brandon, manajer tak resmi Cetta langsung bertanya sesaat setelah dia berada di depan Rana. Hari ini, mulai dari siang sampai sore Cetta tidak punya kelas yang harus dihadiri. Jadi dia menghabiskan waktunya melakukan photoshoot di sebuah kafe yang berada tidak jauh dari kampus. Brandon sedang sibuk berdiskusi dengan beberapa pihak terkait aktivitas tersebut saat tiba-tiba saja Rana mengirimnya chat LINE, memintanya bertemu di belakang kafe.
Rana menjawab dengan merogoh tas yang dia bawa, mengeluarkan sekaleng larutan pereda panas dalam dan satu strip tablet hisap untuk radang tenggorokan dalam sebuah wadah plastik biru. "Kasih ke Dimi. Kata Suri, dia lagi sakit tenggorokan. Jangan bilang dari gue. Kalau bisa, jangan dikasih es dulu."
"Kenapa nggak lo kasihin sendiri?"
"Inilah jadinya kalau otak lo isinya toket doang." Rana justru ngomel. "Lo tau jelas gue lagi marahan sama dia. Mana mungkin gue nongol kesana dan tau-tau ngasih benda-benda ini ke dia? Bukannya tersanjung, dia malah bakal marah-marah karena dianggap anak kecil. Habis itu gue dan dia malah ribut. Ogah banget, deh. Energi gue terlalu berharga dihabisin buat cekcok nggak penting sama dia."
"Nggak penting gitu juga tetap lo sayang, kan?"
"That jerk is lucky to have me as a girlfriend."
"Mungkin bentar lagi juga lo bukan lagi girlfriendnya dia?"
"Sekali lagi lo ngomong gitu, mulut lo gue tampol pake dingklik warteg."
"Mana? Gue nggak lihat lo bawa dingklik warteg."
"Lo nantangin? Kalau iya, gue suruh Gie ngebut ke warteg terdekat buat nyariin dingkliknya."
"No, thanks."
"Bagus. Ah ya, larang juga dia buat ngerokok. Lihat aja, kalau gue sampai tau dia update sosial-media lagi ngerokok atau lagi minum es, lidah lo gue belah jadi dua."
"Ampun, Yang Mulia."
"Bagus. Sekarang buruan balik. Kasih itu minuman sama tablet hisap ke pacar gue."
"Siap, Yang Mulia."
Rana membiarkan Brandon berlalu, sebelum dia berjalan sendiri menuju jalan besar yang berada di belakang kafe, tempat dimana Gie menunggu bersama sepeda motornya. Cowok berjaket jeans itu langsung menoleh begitu dia mendengar suara langkah kaki Rana. Senyum merekah di wajahnya, membuat Rana bertanya-tanya bagaimana bisa dia tidak jatuh cinta dengan cowok ini meski pun dia bertemu Gie lebih dulu daripada Cetta.
"Udah?"
"Udah."
"Ketemu ama cowok lo?"
"Pake nanya lagi. Nggak-lah. Malas banget gue kalau dia sampai mikir gue seperhatian itu sama dia."
Gie tersenyum pahir. "Tapi lo memang seperhatian itu sama dia."
"Orang-orang sering bilang kalau cinta itu kayak mecin. Dia bisa bikin bodoh."
"Termasuk lo?"
"Termasuk gue."
Gie tertawa kecil. "Lo sesayang itu ya sama dia?"
Rana diam sejenak, lalu menghela napas. "Iya."
"Berarti nggak ada rencana putus dalam waktu dekat?"
"Gie, mulut lo minta disumpal sampah banget, ya? Lo ngedoain gue putus?"
"Selalu. Dari dulu."
"Kurang ajar."
Gie masih saja melepas gelak, tapi kemudian wajahnya berubah serius. "Rana, menurut lo, cinta itu apa?"
"Apa sih, lo kira lo pujangga?"
"Jawab aja."
"Cinta itu ya cinta."
"Buat lo aja deh. Menurut lo cinta itu apa?"
"Cinta itu... ketika lo sadar ada seseorang yang bikin lo lupa tentang semua hal yang pernah lo inginkan, karena cukup dengan kehadirannya, rasanya semua yang pernah lo inginkan langsung terkabulkan."
"Oh."
"Iya."
"Mau tau nggak arti cinta menurut gue?"
"Nggak."
"Cinta itu adalah ketika gue tetap mau mendengar kata-kata lo meski kata-kata itu menyakiti gue." Gie berkata. "It hurts to know that you love him that much."
"Gie, tolong ya."
"Sesimpel itu, Kirana."
"Lo menyedihkan." Rana menyipitkan matanya. "You know, I don't give a shit about love. Cinta ini, cinta itu, cinta ono. Semuanya berpulang sama yang namanya reaksi kimia. Itu mah hanya akal-akalan orang-orang bodoh penjual kata yang mendekorasi cinta itu sendiri. Tapi apa pun itu, cinta nggak pernah merusak."
Gie mengerjap.
"Cinta harusnya menguatkan, bukan melemahkan. Cinta harusnya sabar, bukan tergesa. Cinta harusnya memperbaiki, bukan merusak. Cinta harus meningkatkan, bukan menurunkan. Cinta harusnya membuat lo bahagia, bukannya membuat nelangsa." Rana berkata tegas. "Dari situ lo bisa tau mana yang cinta mana yang napsu. Udah buruan nyalain motornya, gue mau balik ke kampus. Masih ada kelas."
"Maksud lo, lo mau bilang perasaan gue buat lo itu napsu? Gitu?"
"Nggak juga. Gue hanya mau bilang, cinta itu nggak akan membuat seseorang jadi menyedihkan. Dan sekarang lo jadi menyedihkan." Rana berujar lagi, kali ini sambil bergerak naik ke boncengan sepeda motor Gie.
"I'm sad because you don't love me."
"I love you, kok. Selalu, malah."
"But you love him too?"
"Iya."
"More than you love me?"
"More than I love you."
Suri langsung mengerutkan dahi dengan heran begitu dia masuk ke dalam kamar tidurnya dan hanya mendapati sosok Melly melayang sendirian disana. Ini terasa aneh, karena biasanya, Mpok Jessica, Wati dan Melly selalu setia menyambut kepulangan Suri dari kampus setiap hari, kecuali pada malam jumat. Tentu saja karena mereka semua punya tugas suci yang harus ditunaikan alias menggentayangi manusia. Jika hanya ada Melly disana sekarang, pasti ada sesuatu yang terjadi.
"Halo." Melly menyapa sambil melayang ke sisi Suri ketika Suri duduk menghadapi meja rias dan mulai menghapus sisa-sisa sunblock, blush on dan liptint dari wajahnya.
"Kok kamu sendirian? Mpok Jessica sama Wati mana?"
"Mereka pergi."
"Kenapa?"
"Wati sama Mpok Jessica marahan."
Suri berdecak. "Nggak sampai jambak-jambakan, kan?"
"Nggak, sih."
"Bagus kalau gitu." Suri mengembuskan napas lega karena tidak bisa membayangkan akan segeger apa dunia para makhluk astral jika Mpok Jessica sang sosialita bertengkar norak dengan Wati sang pengintip setia Cetta. "Mereka berantem kenapa?"
"Wati bilang Mpok Jessica ikut aliran sesat."
"Hah? Di dunia hantu ada Peri**ndo juga?"
"Aliran sesat tuh nggak sama tau sama partai politik."
"Bodo amat. Buat gue, Peri**ndo itu aliran sesat." Suri mendelik. "Waduh, Mpok Jessica harus dirukyah kayaknya."
Melly hanya diam.
"Tapi kalau dirukyah, nanti dia muntah kemenyan."
Melly masih diam.
"Kok lo diam aja sih?"
"Saya harus ngomong apa emangnya?"
"Apa, kek. Gue berasa ngomong sama Tian tau nggak kalau dicuekin gini."
"Hm."
"Aliran sesat yang dimaksud tuh yang kayak gimana? Dia ngajakin perang? Mau cuci otak para hantu? Emangnya hantu punya otak? Atau gimana? Dia ngajakin hantu berjihad dan ngeledakin bom dimana-mana?"
"Nggak juga, sih."
"Terus?"
"Ada hantu baru yang langsung terkenal begitu dia sampai di Jakarta. Katanya dia hantu dari Lombok. Nebeng naik pesawat sama kakak kamu dulu. Buat sebagian hantu, bisa naik pesawat itu keren."
"Bodo amat, Mel. Bodo amat."
"Oke, langsung ke intinya aja. Hantu ini nyebut dirinya Vasilisa. Dia bilang dia sudah ketemu sama Blanc dan ngaku bisa ngasih tau masa lalu dari para hantu sekaligus masalah apa yang belum mereka selesaikan yang ngebuat mereka harus tertahan di dunia orang-orang hidup dan gentayangan. Otomatis, para hantu bakal tau masalah mereka yang sudah terlupakan. Terus mereka bakal menyelesaikan masalah itu dan pergi ke atas." Melly menjelaskan. "Wati bilang nggak seharusnya begitu. Karena kalau kita sudah lupa, berarti kita emang nggak punya jalan untuk sampai ke atas."
"Dan Mpok Jessica ikutan?"
"Mpok Jessica ikutan soalnya dia udah capek sama lika-liku dunia yang terlalu manjyah. Gitu sih kata Mpok Jessica. Tapi dia masih waiting list alias harus menunggu gilirannya untuk tau info soal masa lalunya dari Vasilisa. Kayak sistem antrean gitu. Wati nggak setuju."
"Mungkin Wati cuma nggak mau kehilangan Mpok Jessica?"
"Mungkin."
"Tapi kenapa lo nggak ikutan?"
"Karena menurut saya, itu menyalahi takdir."
"Kenapa lo peduli? Maksud gue... hidup diantara makhluk yang beda alam sama lo... lo ada di dimensi yang salah... pasti sepi, kan? Emang sih, sekarang lo punya gue yang cantik ini sebagai teman, tapi gue kan nggak bakal hidup selamanya, Mel. Begitu pun abang-abang dan Ayah gue. Pas kita udah nggak ada nanti, lo bakal kesepian, dong?"
"Kita itu seperti ikan yang hidup di sungai. Kita hanya berenang mengikuti alur, nggak pernah tau apa yang menunggu kita di depan. Entah sungainya mengering. Entah ada jala nelayan. Entah ada air terjun. Kita nggak pernah tau. Tapi ikan adalah ikan. Kodrat kita itu berenang, hidup di dair. Kalau kita melompat keluar dari sungai, kita menyalahi takdir. Dan menyalahi takdir itu nggak akan pernah berjalan baik." Melly menerangkan. "Jadi begitu. Saya memutuskan untuk nggak ikut-ikutan. Begitu pun dengan Wati."
"Oh."
"Tapi kalau bisa, saya minta tolong supaya kamu bisa bikin Mpok Jessica dan Wati baikan."
"Oke, nanti gue coba." Mendengar jawaban Suri, Melly tersenyum lebar, lalu melayang menjauhi Suri dan duduk di kusen jendela. Suri masih sibuk menghapus semua sisa-sisa produk kecantikan yang melekat di wajahnya, lalu dia menatap cermin. Menatap pada bayangan Melly dan matanya yang pucat. Entah kenapa, ada gentar yang tumbuh di hati Suri setelah mendengar nama Blanc.
Mungkin dia harus memberitahu soal ini pada Nael atau Zoei.
kaka pertama
pertama-tama dan yang paling utama
jadi gini, dalam sebuah cerita itu ada makna tersirat dan makna tersurat. makna tersirat itu adalah makna yang lo dapetin dengan mencermati bagian cerita dan mengaitkannya ke logika. makna tersurat itu makna yang memang tertulis secara gamblang di cerita. jadi gimana ya, gue orangnya malas meladeni pertanyaan yang bisa lo temukan dengan berpikir secara logis gitu. kayak apa ya, sebenernya kalau lo berpikir lebih panjang dan menghubungkan clue-clue yang ada, lo bisa langsung tau jawaban dari pertanyaan itu.
tapi gapapa sih. semakin sedikit yang memahami makna tersirat, maka semakin mudah gue memainkan plot dan membelok-belokkannya kesana-sini ea
semua adegan yang gue masukkan (bahkan termasuk adegan percakapan rana dan gie di atas itu) punya makna sendiri-sendiri yang berkontribusi pada alur. nadine dan kartu tarotnya. bahkan grup chat. karena dari sana, gue bisa menjelaskan lebih jauh tentang masing-masing karakter.
gue suka menceritakan karakter itu secara detail, karakternya, penampilannya, pandangan hidupnya, tapi nggak secara langsung. kayak apa ya, biarkan pembaca yang menilai. begitulah.
apa sih gue jadi nggak jelas gini.
entah kenapa akhir-akhir ini gue kangen sama abe :(
yodalaya.
terimakasih sudah membaca dan semoga berbahagia wkwk (apa ini)
see you in the next chapter
ciao.
Published in August 27th 2017
Semarang | 18.25
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro