#19
"Kamu mau pesan apa?"
Nael tersentak ketika tiba-tiba saja Suri mengangkat wajah dari buku menu di atas meja dan menatapnya dengan sorot mata berbinar yang... astaga, sejak kapan Nael mudah tersentuh hanya karena ditatap oleh makhuk mortal dengan jenis tatapan seperti itu? Rasanya seperti dia menemukan seekor anjing di tengah malam yang bersalju, dimana anjing itu kedinginan dan seolah memohon untuk dibawa pulang. Betul-betul menggemaskan. Kalau melihat bagaimana cara Suri menatapnya seperti sekarang, Nael pikir bahkan mengorbankan penyamaran selama seratus millennium pun tak akan jadi masalah baginya.
"Kok diam? Kamu nggak suka bingsu ya?"
"Aku..." Nael menelan ludah. "Aku tidak pernah makan makanan yang kamu sebutkan itu. Apa namanya tadi? Bakso?"
"Bing-su. Bukan bakso. Aduh, Nael, mana ada bakso pake kacang merah." Suri memutar bola matanya, tapi kemudian dia nyengir. "Jadi kamu belum pernah makan makanan manusia, kan?" suaranya berubah jadi bisikan, seperti dia baru saja mengucapkan kalimat paling rahasia di dunia.
"Kalau makanan manusia yang lain aku sudah pernah."
"Oh ya? Apa aja tuh?"
"Kopi. Teh. Es krim. Terakhir aku diajak oleh Sombre untuk makan mi instan di sebuah kedai pinggir jalan."
"Warteg maksudnya? Tumben nggak sama Zoei."
"Aku dan Zoei tidak sedekat itu. Teknisnya, aku lebih pantas jadi ayahnya daripada jadi temannya. Bukan perkara umur, kamu tau, karena iblis tidak bisa menua. Tapi masalah derajat. Aku sejajar dengan ayahnya."
"Si Mamet itu?"
Nael tersenyum lebar, membuat Suri berpikir bagaimana bisa iblis punya penampilan yang lebih mirip malaikat. "Bukan Mamet, Suri. Namanya Mammon."
"Itu karena dia iblis bule. Coba kalau dia lahir di Kebon Melati. Pasti namanya Mamet." Suri berkilah, lalu menunjuk satu menu yang menurut Nael mirip dengan wajah panda sedang tersenyum. "Kamu aku pesenin yang ini aja, ya? Lucu banget, bentuknya mirip panda. Instagramable banget, kan. Tapi aku nggak terlalu suka matcha. Jadi nanti waktu udah aku foto buat upload di Instagram, kamu yang makan. Deal?"
"Instag—apa tadi kata kamu?"
"Instagram. Udah, kamu nggak usah tau. Abang-abang aku aja jadi mangsa para fangirls semenjak mereka punya Instagram. Apalagi kamu. Bisa-bisa kamu dikejar sampai ke neraka buat diseret ke KUA." Suri mengibaskan tangan, lalu melambai untuk memanggil seorang pramusaji. Orang yang dipanggilnya mendekat, kemudian tersenyum ramah sambil mulai mencatat. Dia masih muda, mungkin seumuran dengan Chandra. Tubuhnya kurus dan mungil, namun kulitnya benar-benar pucat seperti kertas. Gadis itu diam-diam melirik pada Nael sembari tetap mengobral senyum manis.
Nael mengabaikannya, sementara Suri memiringkan wajah.
"Kayaknya mbak-mbaknya naksir kamu, deh. Harusnya kamu ramah dikit dong tadi, siapa tau aja kita bisa dapet diskon lima puluh persen."
"Aku tidak mengenalnya. Aku juga tidak punya alasan untuk bersikap ramah pada makhluk mortal seperti manusia."
"Tapi kamu baik sama aku,"
Nael terlihat salah tingkat. "Kamu jelas tidak seperti manusia pada umumnya."
"Kenapa? Lebih cantik, ya? Jelas dong, kalau nggak cantik, namanya bukan Oriana Suri Laksita."
Nael terkekeh. "Kamu bukan makhluk mortal tercantik yang pernah kutemui, tapi menurutku, ada sesuatu dalam diri kamu yang membuat kamu tidak membosankan dan sangat menarik."
"Idih, gombal. Emangnya pernikahan beda alam udah diizinin apa?"
"Bukan hanya aku yang punya pikiran begini, kamu tau? Zoei juga berpikiran sama. Bahkan Sombre pun penasaran ingin bertemu dengan kamu, yang tentu tidak akan kubiarkan terjadi."
"Kenapa?"
"Walaupun pimpinan para undertaker, Sombre itu terlalu manusiawi. Dia tidak segan berbaur dengan manusia, menyamar sebagai manusia dan oh ya ampun, dia bahkan punya nama manusia. Aku hanya khawatir dia akan kelewat batas jika bertemu denganmu."
"Batas?"
"Iblis dan malaikat tidak diizinkan untuk jatuh cinta."
"Kalau nggak diizinin, kenapa mereka diciptakan dengan rasa?"
"Kamu tau dari mana kalau kami tercipta seperti itu?"
"Karena kamu baik." Jawaban Suri sontak membuat Nael kehilangan kata-kata. Selama eksistensinya, tidak pernah ada yang berkata dia baik. Manusia selalu berpikir jika iblis itu berada di poros negatif, bagian yang dinistakan oleh Sang Pencipta. Padahal, mereka tak akan hadir tanpa restu dari Sang Pencipta. Dia menginginkan iblis ada, bukan karena ingin menunjukkan kepada manusia secara mentah-mentah kubu baik dan kubu buruk, tetapi ingin membuat manusia menyadari bahwa dalam keburukan, mungkin ada kebaikan dan dalam kebaikan, bisa saja ada keburukan.
Seperti hitam yang tak bisa hadir tanpa putih dan putih yang tiada bermakna tanpa hitam.
"Aku tidak baik."
"Kamu baik banget. Ganteng lagi. Kalau ada kontes Putra Indonesia dan Mister Universe, kayaknya kamu bakalan menang telak." Suri tertawa lagi. Tawanya manis. Nael jadi ingin merekamnya, kemudian menyimpannya untuk diputar berulang-ulang sepanjang waktu. "Kamu mau ngomong apa?"
"Aku ingin bercerita tentang Blanc."
"Blanc? Bacanya apa? Bleng? Blang? Blong? Bling? Eh, itu mah nama girlband ya, hehehe."
"Kamu bisa menyebutnya Blanc. Seperti Putih dalam bahasa Prancis." Nael menjelaskan dengan sabar. "Dia adalah pelengkapku. Hitam dan putih. Gelap dan terang. Siang dan malam."
"Ganteng nggak?"
Nael menahan senyum. "Blanc itu perempuan."
"Oh. Pasti nyebelin kayak si Zebra."
"Zebra?"
"Malaikat di persidangan aku waktu itu."
"Namanya Zetheera, Suri. Bukan Zebra."
"Itulah. Malas ngapalnya. Lagian dia juga nggak penting."
"Yah, kita memang tidak akan membicarakan Zetheera disini, tapi bicara soal Blanc." Nael sependapat. "Dulu, aku bukan iblis tersembunyi seperti sekarang. Kamu tau, aku bahkan mungkin berada di tingkatan yang sama dengan Zoei. Tadinya, aku hanya iblis biasa yang juga putra Lucifer."
"Lucy?"
"Tepat sekali."
"Terus Blanc siapa? Anaknya Mamet? Atau Batagor?"
"Blanc dulunya adalah malaikat yang berada di bawah komando Diluce. Selama ratusan tahun, semuanya berjalan seperti biasa. Kami melaksanakan tugas kami tanpa alpa. Malaikat dengan segala keputusan mereka yang berhubungan dengan kebajikan. Iblis dengan segala urusan mereka yang terkait kegelapan. Kami melakoni kodrat kami dengan baik, menjaga alam semesta tanpa melibatkan rasa. Hingga suatu hari, Blanc bertindak gegabah. Satu jiwa terlepas dari samsara karena sikapnya yang terlalu penuh kasih. Satu jiwa yang tidak pernah berhasil dikembalikan lagi ke tempatnya yang seharusnya sampai sekarang, yang lantas menjadi asal-mula munculnya kekacauan di dunia dimensi ketiga. Kamu tau, dimensi ketiga adalah dimensi tempat makhluk-makhluk yang biasa manusia anggap sebagai makhluk dongeng berada."
"Kayak vampir?"
"Kurang lebih seperti itu."
"Wow, keren!" Suri hampir bertepuk tangan. "Ada nggak ya vampir yang mirip Edward Cullen disana?"
"Aku tidak tau seperti apa tampang Edward Cullen yang kamu maksud, tapi karena dunia dimensi ketiga itu sangat luas, mungkin saja ada."
"Kalau ketemu sama yang mirip Edward Cullen, tolong bilang ke dia kalau ada manusia cantik bernama Oriana Suri Laksita yang siap jadi Bella Swan buat dia."
Noir manggut-manggut. "Aku akan ingat itu."
"Sip. Sekarang terusin ceritanya, dong."
"Blanc adalah temanku. Salah satu teman terdekatku. Sesuatu yang seharusnya tidak pernah terjadi, karena iblis dan malaikat itu serupa dengan air dan minyak. Sampai kapan pun, dia tidak akan menyatu. Namun membiarkannya terkena hukuman adalah sesuatu yang tidak bisa kulakukan. Seperti yang bisa kamu tebak, aku membelanya. Aku membelanya sebisaku, di depan Lucifer, di depan sebuah iblis dan malaikat serta Sang Pencipta yang waktu itu turun langsung dari tempatnya." Nael menerawang, seperti mengenang peristiwa yang mungkin terjadi ribuan tahun lalu itu. "Namun pada sidang itu, dia justru melakukan sesuatu yang tidak terduga."
"Apa? Dia kecepirit tiba-tiba di ruang sidang? Lupa pake celana? Nyobek-nyobek bajunya kayak orang kesurupan? Atau ngumpetin palu biar nggak bisa divonis?"
"Kamu dan fantasimu sangat menghiburku." Nael tergelak lagi. "Tidak. Dia melakukan sesuatu yang lebih sederhana. Dia menyatakan perasaannya padaku."
Suri terbelalak. "We o We."
"Kamu terlihat sangat terkejut."
"Banget." Suri mengangguk beberapa kali. "Gila. Aku berasa kayak nonton Romeo and Juliet Iblis-Malaikat version. Terus gimana? Kamu naksir juga sama dia?"
"Blanc adalah temanku, tentu aku menyayanginya."
"Oh, ternyata kamu naksir dia."
"Aku memang menyayanginya, tapi tidak dengan cara yang kamu duga, Oriana Suri Laksita."
"Kamu naksir dia. Titik."
"Aku sama sekali tidak—"
"Dia cantik nggak?"
Nael menarik napas, wajahnya tampak sedikit merah saat dia menyahut pelan. "Tidak ada malaikat yang tidak tercipta dengan indah, Suri."
"Oh, cantik. Pantesan kamu naksir."
"Suri, tolong ya—"
"Cantik mana sama aku?"
Nael mengerjap, seolah tidak menebak Suri akan melontarkan pertanyaan itu. Sialnya, mulutnya justru bergerak menjawab di luar keinginannya. "Kamu."
"Oh my God, aku jadi maluuuuuu..." Suri mulai sibuk memegangi kedua pipinya yang menghangat. "Aku boleh aja nggak punya fans sebanyak Raisa atau Isyana, tapi yang penting ada iblis yang pernah bilang kalau aku lebih cantik dari malaikat. Hihihi, makasih loh Nael. Kamu juga ganteng banget. Coba kamu manusia, ya. Bersama-sama, kita bisa bikin #HariPatahHatiNasional jilid dua."
"Hari patah—ah, ya sudahlah, abaikan." Nael menarik napas panjang sebelum kembali meneruskan. "Tindakan Blanc membuat kasusnya langsung berubah haluan. Rasa adalah sesuatu yang tak seharusnya ada, sama seperti cinta yang dilarang hadir diantara makhluk seperti aku dan dia. Kesalahan Blanc, dan kalau aku harus mengakui juga kesalahanku, bukan kasus pertama. Sebelumnya, sudah ada iblis penjaga bulan dan malaikat pengendali matahari yang jatuh cinta lantas mengabaikan ketentuan yang sudah ditetapkan oleh Sang Pencipta. Itu adalah asal mula kenapa kemudian malam dan siang terpisah jarak dan hanya bisa bertemu pada saat gerhana. Kudengar, manusia membuat cerita rakyat dari kisah itu. Kamu pernah dengar?"
"Ayahku cuma khatam cerita Timun Suri. Sebenernya namanya Timun Mas. Tapi sama Ayah diganti jadi Timun Suri soalnya nama aku kan Suri. Kalau abang-abang seringnya cerita itik buruk rupa aja buat ngeledekin Abang Calvin. Katanya Abang Calvin itu bukan itik buruk rupa, tapi angsa yang keseringan kejemur gara-gara jadi kenek angkot jurusan Jonggol." Suri menyahut seraya menggelengkan kepalanya.
"Keluargamu sekonyol kamu. Namun melihat bagaimana mereka memohon agar kamu pulang saat kamu koma waktu itu, aku tidak bisa tidak merasa tersentuh."
"Hehehe. Aku tau. Aku kan orangnya emang gampang disayangi, dicintai dan dirawat dengan sepenuh hati. Oh ya, lanjutin dong ceritanya. Seru banget, deh. GGS lewat."
"Yah, harusnya waktu itu hanya Blanc yang terkena hukuman, namun karena aku membelanya bahkan membantunya mencari pembenaran karena sudah membebaskan jiwa itu dari samsara, aku terkena hukuman juga. Kedudukanku sebagai putra Lucifer dicabut. Sang Pencipta memutuskan untuk menyembunyikanku di balik malam, tempat dimana aku tidak akan bisa ditemukan oleh siapa pun termasuk Blanc. Blanc terhukum dan terusir dari dunia para iblis dan malaikat. Eksistensinya terkatung-katung. Dia seperti jiwa tersesat yang tak punya rumah untuk pulang, atau tempat untuk kembali. Blanc bersumpah ketika tiba saatnya, dia akan menemukanku dan membayar semua masa yang sudah terbuang dengan terus bersamaku untuk waktu yang lebih panjang dari selamanya."
"Hm, tapi kenapa kamu justru kelihatan nggak nyaman soal masalah Blanc? Bukannya itu bagus? Kamu juga suka sama dia, kan?"
"Aku menyukainya, itu benar. Namun kesalahan adalah kesalahan, Suri. Kesalahan tidak seharusnya dibiarkan, apalagi dengan mengatasnamakan kasih. Kamu tau, kasih tanpa batas itu bisa jadi sesuatu yang buruk dan merusak, kan? Apa yang terjadi kepadaku dan Blanc adalah salah satu contohnya." Nael menatap Suri lekat-lekat, kali ini sorot matanya berubah serius. "Noir dan Blanc harusnya selalu terpisah. Sama seperti hitam dengan putih. Siang dengan malam. Gelap dengan terang. Jika dia menemukanku, jika kami saling menyentuh, maka batas-batas yang menjaga ketiga dimensi akan lebur. Dunia akan kacau karena keseimbangan tidak lagi terjaga."
"Terus, kenapa kamu ceritain ini ke aku?"
"Harusnya, dalam persidangan kamu waktu itu, aku tidak muncul dan membuka jati diriku. Jika aku tidak lagi tersembunyi, maka Blanc pun tidak punya alasan lagi untuk tetap tersembunyi. Dia akan berusaha mencariku. Beberapa kekacauan sudah terjadi di dimensi pertama. Hanya tinggal menunggu waktu sampai dimensi kedua dan dimensi ketiga ikut terganggu. Aku tidak menyalahkanmu, atau keberatan karena sudah muncul buat menolongmu melalui persidangan waktu itu." Nael meraih jari-jari Suri yang berada di atas meja, menyentuhnya dengan lembut sementara Suri kian dibuat terpana tanpa sadar kalau kamera ponsel Sergio sedang beraksi di belakangnya. "Kalau aku harus jujur, menolongmu adalah keputusan terbaik yang pernah kuambil selama satu millennium."
"Nael—"
"Satu-satunya yang kusesali adalah, Blanc mungkin akan menggunakan kamu untuk menemukanku."
"Hah?"
"Dia tau aku tidak akan mungkin menolong makhluk mortal tanpa alasan. Dia akan berpikir jika kamu punya arti khusus buatku. Dia bisa saja menggunakanmu untuk memancingku keluar, membawaku kembali bertemu dengannya dan menyudahi perpisahan kami yang telah berlangsung beabad-abad." Nael terlihat merasa bersalah. "Maafkan aku, Suri. Sungguh, maafkan aku. Aku membantumu hanya untuk menyeretmu masuk ke dalam masalah besar."
"Ah, tunggu dulu. Aku baru ingat, tempo hari, ada hantu yang berteriak sama aku nanya dimana Blanc berada. Aku nggak tau siapa Blanc yang dia maksud, tapi kayaknya sekarang aku tau."
"Hantu itu... apa dia melakukan sesuatu yang buruk pada kamu?"
Suri menggelengkan kepalanya, berdusta tentu saja. Bukan apa-apa, tapi wajah Nael yang sekarang sudah tampak kelewat khawatir sekaligus penuh dosa. Suri tidak ingin membuat Nael merasa lebih bersalah dari yang seharusnya, karena sebetulnya, Nael juga tidak punya kewajiban membantu Suri waktu itu.
"Bukan apa-apa. Dia pergi waktu aku bilang aku nggak kenal Blanc."
"Baguslah. Kalau ada peristiwa buruk yang terjadi, beritahu aku."
"Boleh sih. Tapi kasih taunya dari mana ya? Kan aku nggak punya nomor HP kamu."
Nael terperangah, lalu wajahnya tampak bingung. "Ah ya, kamu benar. Aku tidak punya HP, soalnya benda itu dilarang di dunia para iblis dan malaikat."
"Padahal kalau kamu punya HP, kita bisa chattingan."
"Ah, begini saja!" Nael tiba-tiba menjentikkan jarinya seolah baru mendapatkan ide paling cemerlang di dunia. Dengan gesit, tangannya mencabut selembar tissue dan meraih sebatang pulpen yang kebetulan terselip diantara tempat sendok di atas meja. "Tuliskan saja nomor HPmu disini. Nanti aku menghubungimu pakai nomor HP Sombre."
"Sombre punya HP?"
"Sudah kubilang, dia itu adalah iblis yang terlalu manusiawi. Dia pernah iseng menebar SMS-SMS tidak jelas mengajak kenalan pada nomor-nomor acak yang dikarangnya sendiri. Katanya, siapa tau dia bisa dapat kekasih dari kalangan manusia. Kemarin, Lucifer bahkan jadi korban fashion karena ulahnya."
"Maksudnya?"
"Lucifer belanja ke Tanah Abang. Dia membeli batik warna ungu cerah. Dia berkata dia tidak suka pakaian mortal, tapi aku tau, sebetulnya dia tertarik pada batik warna ungu itu. Mau bagaimana lagi, para iblis tidak pernah lepas dari setelan hitam setiap harinya."
Obrolan mereka terhenti ketika pramusaji datang mendekat membawakan pesanan mereka. Suri bertepuk tangan, matanya melebar senang begitu melihat bingsu stroberi bertabur kacang merah yang dia pesan, sementara Nael mengamati wajah panda di gelasnya dengan kening berkerut. Setelah pramusaji melenggang pergi, baru Nael melancarkan komentar yang tadi sempat ditahannya.
"Ini... wajah panda yang sedang tersenyum?"
Suri mengernyit. "Hm, iya juga. Kok jadi lebih mirip panda lagi kena stroke ya?"
Nael terkekeh, matanya berpendar cerah waktu Suri menyendok bingsu di gelasnya, kemudian mengarahkan sendok tersebut ke mulutnya. "Sini aku suapin. Aaaa..."
Nael berpikir sejenak, lalu menerima begitu saja suapan dari Suri. "Makanan ini dingin."
"Namanya juga es. Kalau es panas, itu namanya ajaib. Di neraka nggak ada kan yang kayak gini?"
Nael menggeleng. "Kurasa kapan-kapan aku harus mengajak Sombre kesini."
"Kalau mau makan bingsu disini, jangan lupa ajak aku." Suri mengerling. "Aku suka banget makan es. Tapi Siena kurang suka. Nggak tau kenapa. Cuma kan aku nggak bisa makan sendiri dong, apa banget emangnya aku single ngenes. Gini-gini, rekor jomblo ting-ting dari lahir aku udah terpecahkan."
"Sama manusia yang takut hantu itu?"
"Iya. Hehehe."
Nael memandang Suri sekali lagi, lantas tangannya terulur begitu saja untuk mengacak helai rambut gadis itu. "Aku suka melihat kamu tertawa."
"Kenapa? Manis ya?"
"Iya."
Mereka lanjut mengobrol, beberapa kali bahkan sibuk berebut menyendok bingsu di dua gelas yang ada di depan mereka tanpa sadar jika di belakang Suri, pada meja yang hanya terpaut beberapa meja dari meja mereka, Sergio beraksi serupa paparazzi kawakan suruhan Lambe Turah.
Keluarga Cemara (3)
Barachandra invited Sebastian Dawala to the chat
Dimitrio G. : WOY GUE GAK SALAH BACA, KAN
Calvin Raskara: Maksud lo apa ya, Jrot?!
Dimitrio G. canceled Sebastian Dawala's invitation to the chat
Barachandra: Aduh, inilah sebabnya Bunda, terlalu banyak mengonsumsi susu dan sambal terasi di masa kehamilan tidak dianjurkan oleh ilmu kesehatan
Dimitrio G. : Nggak usah-usah bawa Bunda. Maksud lo apaan invite itu Jenglot Arab ke perkumpulan tapak suci kita?
Barachandra: Aduh Hanoman Kera Putihku Tersayang, nanti juga lo tau kalau lo nggak cancel invitationnya dia
Calvin Raskara: Maksudnya?
Barachandra: Ini dateng lagi si Sugriwa yang Mirip Gorilla Afrika
Barachandra: Diem lo berdua
Barachandra: Lihat dan saksikan kakakmu si sesebabang tampan ini beraksi
Barachandra invited Sebastian Dawala to the chat
Calvin Raskara: Lama banget anjir, nggak punya kuota kali dia
Dimitrio G. : Hm, sepertinya begitu.
Calvin Raskara: Dosa apa gue sampai adik gue dipacarin cecunguk kere macam dia
Barachandra: Dosa lo banyak, kalau ditumpuk tingginya bisa ngalahin gunung hokagenya Konoha
Dimitrio G. : Gunungnya Tsunade?
Calvin Raskara: Eta terangkanlah
Barachandra: Kulit lo tuh coba yang diterangin pake petromak
Dimitrio G. : Eta gelapkanlah kali kalau lo
Sebastian Dawala joined the chat
Calvin Raskara: Jreng-jrengggggg
Dimitrio G. : Hiduplahhh Indonesia Rayaaaaaa~
Sebastian Dawala: Ini apa-apaan ya?
Sebastian Dawala: Keluarga Cemara siapa?
Sebastian Dawala: Tolong jangan buang-buang waktu gue karena gue harus ngurusin masalah yang lebih urgent
Dimitrio G. : Woy, Chan, ini jelangkungnya udah sampe
Calvin Raskara: Jangan kabur wahai Mister Meneer
Barachandra: Iya, tunggu sebentar oke. Hanoman dan Sugriwa harap diam. Silence please.
Dimitrio G. : Artinya dilarang merokok
Sebastian Dawala: Tolong, gue nggak tertarik melihat kebegoan lo bertiga
Baik Calvin maupun Cetta sepakat untuk tetap diam sementara Chandra melakukan apa yang sudah dia rencanakan. Diam-diam di kantornya, Sebastian yang langsung tidak bisa berkonsentrasi pada tumpukan pekerjaan setelah menerima kabar dari Sergio terkait dengan Suri yang terlihat bersama sosok cowok tinggi nan ganteng berpakaian serba hitam, menatap geram pada layar. Jarinya sudah siap bergerak untuk keluar dari grup chat ketiga kakak laki-laki Suri. Namun sebelum dia bisa melakukannya, Chandra sudah lebih dulu mengirimkan sesuatu disana.
Sesuatu yang dimaksud adalah rekaman video snapgram. Isinya adalah Suri yang sedang merekam sesosok cowok berambut sehitam malam, tengah sibuk menatap pada wajah panda tersenyum pada segelas es—yang menurut Sebastian lebih mirip panda sedang meringis. Emosinya yang semula sudah mereda kontan naik ke ubun-ubun. Memejamkan matanya sejenak, Sebastian merasa seperti kepalanya baru saja diserang pening hebat.
Sebastian Dawala: Maksudnya apa, ya?
Dimitrio G. : Culi........
Calvin Raskara: Adikku sayang............
Dimitrio G. : AKHIRNYA DIA BERTOBAT!!!!
Calvin Raskara: Sujud syukur nih gue
Barachandra: Dari awal gue udah bilang, adik kita itu lagi agak miring aja pas nerima ini jelangkung jadi-jadian jadi pacarnya
Barachandra: Tapi akhirnya mata hatinya sudah terbuka
Calvin Raskara: Cowok barunya ganteng banget ya
Dimitrio G. : Bisa jadi saingan gue, nih
Barachandra: Tolong ya Hanoman, jangan suka membandingkan diri lo dengan nggak tau diri begitu. Kalau lo itu Hanoman, maka cowok yang sekarang lagi jalan sama Suri itu Arjuna
Calvin Raskara: Beda kisah, goblok
Barachandra: Ah, suka-suka gue lah
Calvin Raskara: Terserahlah
Calvin Raskara: Tapi gue lebih suka Suri sama cowok yang ini. Lihat nggak sih, tampangnya tuh kayak meyakinkan gitu. Ganteng tapi kelihatannya bertanggung jawab. Kayanya dia juga nggak takut hantu. Nggak kayak...
Dimitrio G. : Iya... nggak kayak...
Sebastian Dawala: NGGAK KAYAK SIAPA?!
Barachandra: Waduh, ati-ati kalau mau ngegas woy, salah ngegas bisa-bisa lo gue tebas
Calvin Raskara: Tau ih, nggak ada sopan santunnya sama sekali
Dimitrio G. : Jadi gimana sekarang?
Barachandra: Gimana apanya?
Dimitrio G. : Gue nggak ngomong ke lo. Gue ngomong ke si jelangkung kita ini
Barachandra: Oiya
Barachandra: Hanoman dan Sugriwa diam dulu, Pangeran Rama mau bicara
Calvin Raskara: Pangeran palalu peyang
Barachandra: Aduh kalian berdua jaga dong martabat gue sebagai putra tertua keluarga Wiraatmaja.
Calvin Raskara: Oiya lupa
Dimitrio G. : LANJUTKAN, GAN!!!
Barachandra: Oke, teruntuk Mister Sebastian Dawala
Barachandra: Gue, Barachandra Aryasatya Wiraatmaja mewakili adik gue, Calvin Raskara Wiraatmaja dan Dimitrio Gilicetta Wiraatmaja benar-benar meminta maaf atas taubatan nasuha yang sudah dilakukan oleh adik bungsu gue tercinta, Oriana Suri Laksita Wiraatmaja
Barachandra: Mau gimana lagi ya, berhubung gen cakep dan tidak mudah berpuas diri sudah mengalir dengan baik di keluarga gue dari generasi ke generasi
Barachandra: Maka gue sudah bisa menduga ini
Calvin Raskara: Keburu molor dia baca chat lo kaga ketemu-ketemu ujungnya
Barachandra: Sugriwa bin Malika, sekali lagi lo ikutan ngebacot, gue kick lo dari grup ini selama-lamanya
Dimitrio G. : Udahlah Sugriwa, mending lo diam dulu.
Sebastian Dawala: ...
Barachandra: Akhirnya adik gue tersadar
Barachandra: Dia sudah menemukan bahagianya bersama laki-laki tampan itu, yang jelas lebih tampan daripada lo
Barachandra: Jadi tolong relakanlah
Barachandra: Dan maafkanlah
Dimitrio G. : Serta terangkanlah
Barachandra: Ya itu juga bolehlah
Barachandra: Hubungan lo dan Suri cukup selesai sampai disini
Calvin Raskara: Selamat jalan kekasihhhhhh~ Kau lah cinta dalam hidupkuuuu~ Aku kehilanganmuuuuu~ untuk selama-lamanyaaaaa~
Dimitrio G. : Ketauan banget Mal umur lo berapa
Calvin Raskara: Bintaro digoyanggggg
Sebastian Dawala: Nggak
Sebastian Dawala: Pacar gue bukan orang brengsek kayak lo bertiga
Sebastian Dawala: Ini semua salah paham
Sebastian Dawala: Jangan ketawa dulu
Sebastian Dawala: You know, I won't give up that easy
Sebastian Dawala leave the chat
Barachandra: ...
Dimitrio G. : ...
Calvin Raskara: ...
Sebastian berusaha keras untuk tidak membanting ponselnya ke lantai begitu dia keluar dari grup chat jahanam tersebut. Pelan, cowok itu menarik napas panjang sebelum akhirnya memutuskan mendial nomor ponsel Sergio. Untunglah jam makan siang baru saja selesai, sehingga suasana lantai tempat Sebastian berkantor tidak terlalu ramai karena banyak dari pekerja yang belum kembali dari sesi makan siang mereka. Sergio mengangkat telepon pada dering pertama, membuat Sebastian merasa agak sedikit lega. Bagus, karena jika adik laki-lakinya itu tidak kunjung menjawab telepon, Sebastian mungkin sudah akan kehilangan kewarasannya.
"Gio, lo dimana sekarang?"
"Anjir, suara lo udah kayak buto ijo mau makan orang satu kampung." Sergio menjawab setengah berbisik. "Gue di restoran Korea tempat Suri sama cowok berbaju hitam itu makan. Mereka lagi sibuk makan es serut. Rada mesra sih, Kak, tapi gue nggak yakin Suri selingkuh sama cowok itu, deh."
Sebastian hampir saja berteriak pada Sergio saat mendengar kata 'selingkuh', tapi kemudian dia akhirnya memilih menarik napas dalam-dalam, berusaha memadamkan bara yang mulai merambatinya dan membuatnya merasa panas. "Share location tempatnya via LINE. Sekarang."
"Kak, lo mau kesini?"
"Menurut lo?"
"Tapi katanya kantor lo lagi sibuk-sibuknya."
"Mana bisa gue fokus kerja kalau situasinya begini?" Sebastian mendengus. "Share locationnya. Cepetan, nggak pake lama."
"Iya, gue bak—"
Sebelum Sergio bisa menjawab, Sebastian sudah lebih dahulu mengakhiri percakapan telepon mereka. Dia bisa menduga bagaimana reaksi Sergio di seberang sana. Sergio pasti akan menatap layar ponselnya, lalu ikut-ikutan berusaha menyabarkan diri. Bodo amat, deh. Sepertinya Suri memang punya bakat membuat orang-orang terdekatnya heboh tingkat dewa.
Tanpa menunggu lagi, Sebastian meraih jas yang tersampir di sandaran kursinya lalu berkata dengan seruan keras pada Sasha yang baru masuk ruangan selepas makan siang. "Sa, saya ada perlu dadakan di luar. Paling nanti agak sorean balik lagi. Sampaikan ke Pak Januar kalau beliau datang."
"Ada apa ya, Mas Tian?"
"Masalah keluarga." Sebastian berkata singkat, lantas tanpa mau repot-repot memperhatikan reaksi Sasha, cowok tinggi itu melenggang pergi menuju lorong dengan langkah-langkah lebar yang terkesan penuh emosi.
"Yah, panda strokenya udah jadi kolam lumut sekarang." Suri berkata sambil menatap pada gelas lebar berisi cairan es yang sudah meleleh di depan Nael. "Kamu nggak doyan matcha ya?"
"Rasanya agak aneh, tapi tidak dalam artian yang buruk."
"Tapi tetap enak, kan?"
Nael tersenyum lebar hingga deretan giginya terlihat. "Kehadiran kamu bisa membuat apa yang tadinya tidak menyenangkan terasa menyenangkan, Suri."
"Idih, gombal banget."
"Gombal? Apa itu?"
"Awan panas Gunung Merapi. Namanya wedhus gombal."
"Itu sih namanya wedhus gembel." Sebuah suara menyela, dan suara itu jelas bukan milik Nael. Spontan, kepala Suri dan Nael tertoleh pada arah yang sama hanya untuk mendapati sosok Sergio berada disana. Sergio tampak lelah sekaligus gregetan, entahlah, Suri menerka cowok itu seperti sedang memendam banyak hal.
"Loh, Gio?! Lo ngapain disini?! Lo bukan stalker gue, kan?!"
"Niatnya gue tadi mau nemuin lo di kampus."
"Mau ngajak gue makan bingsu juga kayak Nael? Atau lo mau cerita soal Kesha? Oh iya," Suri seperti baru teringat sesuatu, lalu dia berpaling pada Nael. "Nael, kenalin ini Sergio. Dia adiknya pacar aku. Gio, ini Nael. Dia—"
"Teman kuliah kakaknya Suri." Nael menukas cepat sebelum Suri bicara lebih jauh tentang dirinya, lalu cowok itu mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. Sergio mengernyit, dia sempat menatap Nael dengan sorot mata penuh antisipasi sebelum menyambut uluran tangan laki-laki itu. Aneh. Tangan Nael terasa begitu dingin ketika Sergio menggenggamnya.
"Jadi dia teman kuliah kakak lo?"
Suri mengangguk, memutuskan mengikuti skenario yang sudah Nael buat. "Iya. Emang kenapa? Tumben banget juga lo ada disini."
"Tadinya gue mau nemuin lo karena mau nanyain kontak Nadine. Kemarin di rumah sakit, gue nggak sempat nanyain kontaknya dia dan dia udah keburu pergi ke toilet karena ngeliat lo pergi ke toilet."
"Oh. Dia emang ninggalin nomor HPnya sih."
"Tapi terus gue melakukan sesuatu yang salah." Sergio menghela napas. "Gue ngasih tau kakak gue kalau gue ngeliat lo jalan sama cowok..."
Suri melotot. "Terus?"
Sergio tidak sempat bicara karena tidak lama kemudian, sudut matanya menangkap sosok seseorang yang bergerak masuk ke dalam restoran. Sosok itu adalah sosok Sebastian, tentu saja. Dasinya sudah dilonggarkan dan wajah Sebastian tidak terlihat senang. Cowok itu mengedarkan pandang ke seisi restoran, lantas berhenti pada tempat dimana Suri, Sergio dan Nael berdiri. Tanpa membuang waktu, Sebastian melangkah cepat menghampiri mereka.
Sebastian mengernyit. "Lo cowok yang di rumah sakit jiwa waktu itu, kan?" Meski hanya pernah bertemu satu kali, Sebastian bisa mengingat kalau dia pernah melihat Nael sebelumnya. Bukan apa-apa, tapi Nael memang memiliki garis wajah yang tidak mudah dilupakan, bahkan oleh laki-laki sekali pun.
"Senang bertemu dengan kamu. Lagi." Nael menukas dingin, membuat Sebastian membuang muka dan mengalihkan pandangnya pada Suri.
"Lo harus pulang sama gue."
Suri menggeleng dengan ekspresi penuh penolakan. "Nggak mau!"
"Oriana, tolong jangan bikin gue makin—"
"Aku mau pulang, tapi nggak sekarang." Suri menyahut tegas, lalu menatap pada sisa bingsu dalam gelasnya. "Bingsu aku belum habis, tau!"
"Gue bisa beliin lo lebih banyak bingsu besok, tapi sekarang lo harus balik sama gue."
"Buru-buru banget sih, Tian? Kenapa juga kamu kesini? Kan katanya urusan kantor kamu lagi banyak? Atau kamu bohong, ya? Sebenarnya kamu cuma keberatan aja direcokin sama aku sepanjang waktu?!"
"Gue nggak bilang gitu." Sebastian jadi pusing, kenapa kini Suri yang justru memarahinya ketika seharusnya dia yang marah. "Gue nggak mau bahas ini disini. Sekarang, lo pulang."
"Nggak mau! Bingsu aku belum habis!"
"Yaudah, dibungkus aja." Sebastian akhirnya menyerah.
"Aduh, malu-maluin deh Tian kalau bingsu tinggal sisa segini harus dibungkus."
"Yaudah, sekarang cepet dihabisin."
"Iya."
"Habis itu kita pulang, karena gue juga nggak bisa lama-lama keluar dari kantor."
Suri menyipitkan mata. "Kalau gitu ngapain kamu disini?"
"Oriana Suri Laksita, bisa nggak lo nggak banyak tanya dan tinggal habisin makanan dalam gelas lo?"
"Maaf, aku tidak bermaksud ikut campur, tapi kamu tidak seharusnya bicara sekasar itu pada Suri."
Seperti baru disundut api, Sebastian langsung menoleh pada Nael. "Ini. Bukan. Urusan. Lo."
"Semua yang berhubungan dengan Suri itu urusanku."
"Oh ya?" Sebastian menatap sarkastik. "Emang lo siapa?"
"Temannya."
"Gue pacarnya."
"Pacar?"
"Iya. Masih kurang jelas? Masih harus gue bantu eja buat lo?"
Suri memutus perdebatan antara Nael dan Sebastian dengan menghantamkan pantat gelasnya ke atas meja. Hantaman itu tidak keras hingga gelas tidak rusak, tapi cukup menimbulkan suara nyaring yang membuat perhatian hampir seluruh pengunjung kafe tertuju pada mereka. Sebagai satu-satunya pihak yang kurang berkepentingan, rasanya Sergio ingin menghilang saja dari sana.
"Ribut aja terus ya kalian." Suri mendelik. "Jangan marah-marah sama Nael, Tian. Nanti kamu bisa-bisa berubah jadi kodok sawah. Dan Nael, dia emang gitu. Caranya dia nunjukkin rasa sayang tuh suka nggak jelas, tapi nggak apa-apa, untung aku tetap cinta. Tian, tunggu bentar. Aku mau order satu lagi. Dibungkus, kok. Nael, kamu mau pesan lagi? Nggak apa-apa, nanti aku yang bayarin."
"Kalau begini, aku menyesal karena sudah memberikan vonis waktu itu."
"Vonis?"
"Hukumanmu karena apa yang... kamu tau... sudah kamu lakukan." Nael kelihatan sulit menemukan padanan kata yang tepat untuk diucapkan di hadapan Sebastian dan Sergio.
Sebetulnya, Sebastian benar-benar sudah tidak tahan berada dalam satu ruangan yang sama dengan Nael. Bukan hanya karena dia menganggap Nael sebagai saingan—karena halo, buat apa juga Nael menemui Suri lagi setelah pertemuan mereka di rumah sakit jiwa waktu itu? Belum lagi cara Nael memandang pada Suri yang membuat Sebastian merasa kepalanya jadi sepanas tungku. Untunglah, sebelum Sebastian benar-benar meledak, pesanan Suri selesai dibuat dan diantarkan ke meja.
"Nael, aku pulang duluan, ya. Kamu beneran nggak mau dipesenin lagi? Siapa tau Sombre belum pernah makan bingsu."
"Tidak perlu, Suri. Nanti biar aku yang mengajak Sombre kesini kalau sesi lemburnya sudah selesai." Nael tersenyum ramah, kemudian dia mengangkat salah satu tangannya dan tersenyum kaku. "Da—dah, Suri. Hati-hati, ya."
Suri balik melambai sementara sebelah tangannya yang lain sudah ditarik Sebastian emnjawab. "Dah!"
"Nggak usah dadah sama dia." Sebastian mendesis, membuat Suri langsung terdiam. Begitu tiba di parkiran, Sebastian langsung membuka pintu passenger seat dan menyuruh Suri masuk kesana lewat tatapan mata.
Sepanjang perjalanan menuju rumah Suri, Sebastian sibuk mengomel sementara Suri hanya diam sambil menyendok bingsu dalam wadah di tangannya. Melihatnya seperti itu adalah pemandangan yang bisa jadi sangat menggemaskan, tapi Sebastian terlalu kesal untuk menyadarinya. Di sebuah persimpangan, dia bahkan menekan klakson mobilnya berkali-kali meski lampu lalu-lintas belum sepenuhnya berganti dari warna merah ke warna hijau.
""Gue nggak ngerti sama lo. Harus berapa kali gue bilang, kalau nggak balik sama Ayah ya lo balik aja sama abang-abang lo. Atau kalau mesti banget ya telepon gue. Ini tiba-tiba aja jalan ke kafe bareng cowok random yang nggak lo kenal dekat. Gue tau persis lo nggak sedekat itu sama dia karena abang-abang lo aja bahkan nggak kenal dia sama sekali." Sebastian mulai bicara panjang lebar. "Kalau lo diculik, terus organ lo dijual ke luar negeri gimana?"
"Aduh, Tian, Nael itu bukan Hannibal Lecter."
"Kata siapa? Lo nggak tau kalau jaman sekarang tuh psikopat biasanya ganteng-ganteng?"
"Berarti kamu juga psikopat, dong."
"Jangan mengalihkan pembicaraan." Sebastian mendengus. "Lo ngerti nggak sih kalau gue nggak suka dan juga khawatir lo pergi sama cowok mencurigakan kayak dia? Gue tanya, lo tau nggak nama lengkapnya dia apa? Di mana dia tinggal? Nggak tau, kan? Gila ya. Gue tau lo emang bisa se-clueless ini, tapi bisa nggak sih sekali-kali lo nggak ngerepotin gue dan ngebiarin gue ngelakuin kerjaan gue di kantor dengan tenang?"
Kata-kata Sebastian sontak membuat Suri terdiam. Gadis itu kini tertunduk. Dia bahkan berhenti menyendok bingsunya.
"Atau lo emang sesenang itu jalan sama dia?" Sebastian berdecak. "Heran, deh. Kecil-kecil lo ini bisa segenit itu juga. Kenapa dengan gue? Gue kalah ganteng daripada dia? Jadi gitu? Menurut lo, kalau lo bisa nemuin yang lebih ganteng, lo bisa ninggalin yang lama begitu aja?"
Suri menggigit bibirnya, dan apa yang terjadi selanjutnya benar-benar tidak Sebastian duga. Cewek itu menangis tanpa suara, dengan sukses membuat Sebastian hampir membeku di tempatnya duduk. Dia memandang Suri lekat, merasa baru saja melakukan kesalahan besar dan sejenak menyesali kata-katanya yang mungkin terlalu tajam.
"Suri,"
"Aku nggak tau kalau kamu berpikir aku orang yang kayak gitu." Suri menyambar ucapan Sebastian, lalu pelan menghapus kasar sisa jejak basah di wajahnya dengan punggung tangan. Lantas dia melempar pandang ke luar jendela, lega karena mereka sudah tiba di jalan tempat rumahnya berada.
"Suri, gue nggak bermaksud buat—"
"Aku lagi nggak mau ngomong sama kamu dulu." Suri berkata cepat, membuat Sebastian seketika membisu. Mobil berhenti tidak sampai setengah menit kemudian karena mereka memang sudah sampai di depan pagar rumah Suri.
"Suri, dengerin aku, aku nggak bermaksud buat bikin kamu sakit hati. Aku bukannya berpikir kalau kamu orang seperti itu, tapi..."
Suri tidak memberi Sebastian kesempatan untuk menjelaskan karena begitu kunci pintu mobil terbuka, dia langsung meraih kenop pintu dan melompat turun. Sambil masih tetap mendekap wadah bingsunya ke dada, Suri membuka pintu pagar rumahnya. Dia menghilang masuk ke dalam tanpa mengatakan apa-apa, membuat Sebastian hanya bisa terpana sebelum meninju roda kemudi sekeras-kerasnya.
Damn.
mas noir
Probs chapter terakhir yang gue ketik di Bandar Lampung karena hari Minggu siang besok gue kudu balik ke Semarang soalnya senin udah masuk kuliah poor me TT.TT
Ah ya, selamat datang buat pembaca baru. beberapa dari kalian mungkin belum pernah mengenal gue sebelumnya, but kalau misal gue membalas komentar kalian dengan cara yang terlalu harsh, I'm truly sorry. Gue bukan orang yang mudah tersinggung untuk beberapa hal yang menurut kebanyakan orang serius, tapi gampang kesal untuk beberapa hal yang menurut kebanyakan orang sepele so yah, gue sensitif tapi nggak sensitif dan memang seribet itu (karenanya gue benar-benar ngerasa agak terharu aja kalau tau ada readers yang udah ngikutin gue dari jaman gue nulis di facebook karena moody-nya gue tuh bisa s e p a r a h i t u
Terimakasih udah baca sampai sini. gue nggak akan bosan-bosan bilang untuk tidak judgemental ketika membaca tulisan gue. mungkin akan ada pertanyaan-pertanyaan kalian yang muncul. mungkin ada yang akan terjawab di chapter-chapter yang sudah diposting. atau akan terjawab nanti di chapter-chapter yang belum terposting. intinya pertanyaan apa pun terkait masa depan cerita ini nggak akan gue jawab. gue menulis ya menulis aja. masalah apa pun interpretasi pembaca ya kembali ke pembaca. orang-orang sangat berhak untuk nggak menyukai apa yang gue tulis, but again, orang-orang nggak berhak melarang gue menulis apa yang ingin gue tulis. okeoke.
dan apa lagi ya, oiya, gue bukan tipe orang yang suka ditagih update cerita. buat beberapa penulis itu mungkin bisa jadi penyemangat, tapi buat gue itu malah beban. kalau gue belum posting, berarti ada penyebab di dunia nyata kenapa gue belum posting. entah mood gue lagi jelek, tugas kuliah gue lagi banyak atau gue hanya lagi jenuh aja. gue bakal lebih appreciate kalau dikasih ruang buat mikir dan mengembalikan mood daripada ditanya tiap hari 'kaka kapan nexttttt???' seriously, i hate that question so bad lol malah kadang udah niat update terus ditanyain kayak gitu malah nggak pengen update.
apalagi kalau literally baru update sejam atau dua jam yang lalu dan langsung ditanya "kaka kapan nextnyaaaa?"
I feel like you dont appreciate my efforts to upload that recent chapter, you know what I mean?
Btw panjang chapter ini setara sama panjang dua chapter jadi jangan mendesak gue untuk buru-buru update oke soalnya makin ditagih ya makin lama
GUE BARU NONTON GAME OF THRONES DAN OMG EPISODE 4 IS INDEED INSANE I LOVE IT WHEN DANY LOOKED SO BADASS ON HER DRAGON THEN SHE WHISPERED DRACARYS I WANT HER TO WIN THE WAR SOOOOO BAD:(
Btw, recently gue juga baru kepatil sama Ong Seungwoo gimana ya dia kayak Lee Dong Wook versi oppa aku jatuh cinta.
tapi tetap sih jongin nomor satu karena because always selalu.
Yaudah deh, daripada gue kebanyakan bacot, mending kita sudahi sampai disini. sekian.
see you in the next chapter
and ciaoo!
Published in August 11th 2017
Bandar Lampung | 19.01
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro