#18
"Kalau saja bukan karena kamu, aku tidak akan harus lembur selama berhari-hari seperti ini." Nael baru saja melangkahkan kakinya masuk ke ruang arsip milik para undertaker ketika suara jengkel milik Sombre menyambutnya. Lelaki itu sontak mengangkat salah satu alis, tidak mengerti kenapa Sombre masih tidak bisa berhenti menyalahkannya. Lebih tidak paham lagi saat Zoei yang berada di ruangan itu juga tampak seperti menatapnya dengan pandangan menghakimi. Bukan apa-apa, tapi bukankah Zoei adalah pendukung nomor satu keputusan Nael untuk menyelamatkan Suri di persidangan tempo hari?
"Teruskan saja. Teruskan. Salahkan aku sepuasmu. Memang hanya kalian suci sementara aku penuh dosa."
"Aduh, tolong ya, yang harusnya kesal itu aku dan Zoei yang diutus oleh Mammon untuk membantuku disini. Yah, meskipun aku jelas tau kalau Mammon mengirim salah satu putranya hanya agar dia terbebas dari kewajiban membantuku mendata semua arsip jiwa-jiwa yang sudah hilang. Dan lagi, jangan pakai istilah itu. Kamu adalah Nael alias Noir. Bukan Karin Novilda."
"Karin Novilda? Siapa dia?"
"Pengikut Lucifer nomor satu? Atau pengikut Asmodeus?"
"Dia jelas bukan pengikutku. Jangan hancurkan kehormatanku dengan membawa-bawa nama makhluk mortal itu."
Perhatian mereka tertoleh pada arah yang sama hanya untuk mendapati Lucifer melangkah masuk dari sana. Sejenak, ketiganya dibikin ternganga. Bukan karena raut wajah bengis Lucifer yang tampak sombong seperti biasa, namun karena pakaian makhluk mortal yang membalut tubuhnya. Kemeja batik warna ungu terang itu terlihat kontras dengan warna kulit Lucifer yang sepucat tembok, sekilas tampilannya mengingatkan Sombre pada pakaian manusia yang dikenakan oleh Nael sepulang mereka dari hotel.
"Pa—pakaian apa itu?" Zoei tergagap, menunjuk pada baju Lucifer sambil mengerjapkan matanya tidak percaya.
"O—ow, sudah kubilang kan, tidak ada yang bisa menolak kultur manusia. Kemeja batik itu terlihat keren, Lucy! Warnanya cocok untukmu!" Sombre mengacungkan jempol, sejenak melupakan tumpukan berkas yang berada di depannya.
"Ini—ini adalah sebuah kesalahan." Lucifer mendengus, lalu menjentikkan jarinya dan dalam sekejap, pakaian ungu terang itu lenyap terganti oleh setelan kelam yang biasa dikenakan oleh para iblis. Dalam hati, Lucifer tidak berhenti merutuki kebodohannya sendiri. Buat apa dia susah-susah menyihir sesosok Serpent yang memergokinya belanja pakaian di Tanah Abang menjadi seekor kecoak siang tadi kalau pada akhirnya dia tetap ketahuan membela baju manusia itu.
"Dasar sok jual mahal." Sombre mencibir. "Tapi apa kepentinganmu datang kesini? Bukannya kamu sudah memutuskan untuk mengirim salah satu anakmu buat membantuku mengurusi lembar-lembar keparat ini? Sialan, Blanc. Aku tidak mengerti. Kalau dia mau membuat huru-hara, kenapa harus di departemenku?"
"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin menghambat pekerjaanmu. Semakin lama selesai, semakin baik. Kamu jadi tidak punya waktu bermain-main dengan dunia mortal."
"Sementara kamu sibuk jalan-jalan di Tanah Abang? Huh, tidak adil!"
"Aku tidak jalan-jalan di Tanah Abang."
"Oke. Aku mengerti. Kamu tidak jalan-jalan, kamu hanya membeli baju karena naksir pada warna baju mortal yang kemarin sempat dipakai Nael."
"Jangan bawa namaku ke dalam debat kusir kalian." Nael membalas sengit.
"Aku tidak jalan-jalan."
"Iya, kan aku sudah bilang. Kamu tidak jalan-jalan, tapi kamu membeli baju manusia."
"Aku tidak membeli baju manusia."
"Lantas baju ungu yang tadi kamu pakai itu berasal dari mana? Dari bintang? Oh, maaf saja Lucifer, tapi penampilan Do Min Joon bahkan lebih keren daripada kamu." Sombre mengejek seraya menyebut salah satu tokoh dari drama Korea yang berjudul You Who Came From The Star.
"Aku sangat menghargai kehadiran kalian semua disini. Merupakan sebuah kehormatan bagiku bisa berada dalam satu ruangan bersama tiga iblis dari jajaran iblis tertinggi, tapi tolong, apakah kalian akan bertengkar dan membuat Bumi retak hanya karena perkara masalah belanja atau tidak belanja di Tanah Abang?" Zoei menyela, membuat ketiga iblis yang dia maksud kontan terdiam.
"Anak Mammon ini betul. Ternyata tidak semua anak Mammon sebodoh Mammon." Sombre manggut-manggut, nyaris membuat Zoei balik mencercanya dengan ejekan jika saja Zoei tidak sadar posisi Sombre sebagai pemimpin para undertaker jelas lebih tinggi darinya. "Kamu pintar, Zoei. Aku menyukaimu. Dan kamu Lucifer, kalau kamu tidak berniat membantuku, mending kamu cabut saja dari tempat ini."
"Cabut? Apa itu?"
"Ups. Maaf. Aku lagi-lagi menyelipkan bahasa makhluk mortal dalam kata-kataku."
Lucifer memutar bola matanya dengan kesal, tapi lalu katanya, "Aku disini bukan untuk menemui kamu, tapi untuk bicara dengan Noir."
"Tolong panggil saja aku Nael. Nama Noir membuatku merasa tidak nyaman." Nael menukas cepat, mengoreksi panggilannya.
"Benar." Sombre sependapat. "Jangan panggil dia Noir. Dia merasa bersalah karena nama itu mengingatkannya pada Blanc yang telah membuatku lembur bermalam-malam."
"Aku tidak mengira kamu membenciku sebegitu dalamnya, Sombre. Kukira kita cukup akrab." Nael memandang Sombre dengan tatapan terluka.
"Terserahlah. Lebih baik kalian segera bereskan urusan kalian."
Nael cemberut, lantas berpaling pada Lucifer. "Kenapa kamu mencariku? Apa yang mau kamu bicarakan denganku?"
"Ini terkait Blanc dan makhluk mortal itu."
"Oriana?"
"Apa pun namanya." Lucifer membenarkan. "Aku tidak mendukung ini, tapi Belphegor, Leviathan dan Mammon memintaku menyampaikannya padamu. Dan kukira, ini adalah salah satu langkah terbaik yang bisa kamu ambil sekarang. Kamu harus memperingatkan makhluk mortal itu."
"Memperingatkannya dari apa? Urusannya dengan dimensi pertama sudah selesai setelah dia divonis bebas dari persidangan waktu itu."
"Bukan terkait kesalahannya atau masalah persidangan. Tetapi berhubungan dengan Blanc." Lucifer memandang Nael lekat-lekat. "Dia adalah alasan mengapa kamu harus menunjukkan diri. Alasan mengapa kamu membongkar penyamaranmu yang sudah berlangsung hampir satu millennium. Dia pasti akan terlibat. Blanc pasti akan membawanya ke dalam masalah ini dan lebih buruknya, menjadikan dia umpan untuk menemukan kamu."
"Aku bukan ikan dan Oriana jelas bukan cacing untuk dijadikan umpan."
"Memang. Tapi dulu, kamu tidak menolong makhluk mortal lain yang didakwa atas kesalahan yang sama. Mudah bagi Blanc menebak jika makhluk mortal ini, gadis bernama Oriana itu, dia punya arti khusus untukmu. Jadi dia akan menggunakan makhluk mortal ini untuk menemukanmu."
Nael menyentuh batang hidungnya pelan. "Kapan sebenarnya kucing-kucingan selama ratusan tahun ini akan terhenti?"
"Hingga Sang Pencipta memutuskan segalanya harus terhenti." Lucifer menjawab lugas. "Kamu harus menemuinya. Aku tidak mendukung gagasan ini, ingat? Karena bagaimana pun juga, harus ada batas yang jelas antara manusia dengan makhluk dimensi pertama seperti kita. Tetapi ini darurat. Dan aku setuju jika langkah ini jauh lebih baik daripada membiarkannya berlarut-larut. Aku tidak mau ada efek berlebihan terhadap dunia manusia yang membuat mereka bertanya-tanya soal kemungkinan dunia lain di luar dunia mereka, terutama alam ghaib."
Nael terdiam.
"Tapi, apa gadis itu memang punya arti khusus untuk kamu?"
Pertanyaan itu dilontarkan oleh Sombre tanpa mengalihkan perhatian dari tumpukan berkas yang harus dia seleksi dan sortir, namun dampaknya mampu membuat Nael membisu tanpa kata selama beberapa saat.
"Nael, kamu dengar itu, kan?"
"Tentu aku dengar." Nael terlihat enggan. "Aku tidak tahu, Sombre. Aku tidak tahu. Satu-satunya yang aku tahu, di luar permintaan jiwa mendiang ibu Oriana, aku ingin menyelamatkannya karen sebetulnya dia tidak berniat melakukan kesalahan itu. Hanya sampai disana."
"Namun akibatnya tidak hanya sampai disana. Dan kamu harus menanggungnya. Begitu pun makhluk mortal itu."
Lagi dan lagi, Nael tak berbicara.
"Temui dia, Nael."
"Akan aku lakukan." Nael akhirnya mengiyakan kata-kata Lucifer.
Cetta selalu merasa bersalah setiap kali melihat Rana jatuh sakit seperti sekarang. Kenapa? Karena entah bagaimana, dia merasa senang punya lebih banyak waktu berada di dekat gadis itu. Mulai dari membantunya mencuci dan menyisiri rambut, memijat kakinya tanpa diminta, memeluknya seharian karena Rana yang sakit jauh lebih manja daripada Rana yang biasanya hingga menonton gadis itu terlelap; matanya akan terpejam perlahan sebelum pikirannya benar-benar jatuh ke lubang mimpi.
Menatapi Rana yang tertidur sambil mendengarkan hela napasnya yang halus, Cetta bisa melakukan itu seharian.
Cowok itu bangkit berdiri dari kursi di pojok ruangan, mendekati ranjang tempat pacarnya berbaring. Dia mengulurkan tangannya, menyentuh dahi Rana untuk memeriksa suhu tubuh gadis itu. Ada keringat di keningnya, dan Cetta tak bisa menahan diri untuk tidak mengembuskan napas lega kala menyadari suhu tubuh Rana sudah turun.
Mungkin Cetta akan terus-menerus berdiri disana, memandang satu demi satu keindahan yang menyusun wajah Rana, mulai dari lengkung alisnya hingga rekah bibirnya jika saja dia tidak mendengar sebuah suara di depan pintu. Suara itu jelas bukan suara kucing. Didorong oleh rasa penasaran, Cetta melangkah menuju pintu, lalu membukanya hanya untuk mendapati sebuah setoples kaca berisi air dan beberapa tangkai mawar berwarna merah muda yang terkesan pucat. Ada sticky notes warna hijau tertempel di permukaan setoplesnya, digurati oleh tulisan cakar ayam dalam tinta hitam.
"Mawarnya harusnya merah. Tapi karena kamu lagi sakit, mawarnya ikutan pucat. Cepat sembuh ya, jadi dia bisa jadi mawar merah lagi."
Cetta melangkah lebih jauh, menatap ke salah satu ujung koridor dan mendapati punggung berbalut jaket jeans milik seseorang. Hanya ada satu teman Rana yang Cetta tahu gemar mengenakan jaket jeans kemana-mana, dan orang itu tidak lain adalah Suluh Nugie Adiswara. Cetta menarik napas panjang, membiarkan sosok Gie kian menjauh sebelum dia membungkuk untuk meraih setoples berisi air dan bunga yang Gie tinggalkan dari lantai.
Seharusnya Cetta tidak mesti merasa bersalah membuang setoples kaca dan bunga itu. Atau memberikannya pada suster berseragam putih yang lewat. Tetapi apa yang Gie tinggalkan bukan hanya tanda cinta. Itu adalah sebuah doa tulus untuk kesembuhan Rana. Dan Cetta tidak sejahat itu hingga menjadikan dirinya penghambat bagi doa seseorang.
Jadi Cetta membawa setoples kaca itu masuk. Dia meletakkannya di atas nakas metal yang berada di samping tempat tidur Rana. Sejenak, Cetta menatap bergantian pada wajah Rana yang bersih dari sapuan makeup dan kelopak mawar yang pucat. Kemudian, pelan cowok itu membungkuk untuk mencium kening Rana.
"Cepat sembuh ya, sayangnya aku." Bisiknya dalam keheningan.
Siang ini hari sangat terik. Matahari bersinar terang bahkan sejak pagi. Pada suasana yang seperti itu, akan menyenangkan jika Suri bisa pergi ke kedai masakan Korea yang berada tidak jauh dari kampusnya dan menikmati semangkuk bingsu disana. Tapi tentu saja Suri tidak bisa pergi sendiri. Dia tidak mau terlihat menyedihkan karena makan seorang diri, apalagi dikira single ngenes ketika dia punya pacar yang hotnya bisa mengalahkan Jerry Yan. Hehe, sori banget, penggemar Meteor Garden. Namun tentu saja, Jerry Yan jika dibandingkan Sebastian maka sudah pasti pemenangnya adalah Sebastian. Kan Jerry Yan sudah jadi om-om. Sudah beda jaman, gitu.
Makanya, begitu keluar dari kelas, Suri langsung mengirim pesan LINE pada Siena.
Suri: Lo dimana? Panas banget, nih. Gue baru kelar kelas. Makan bingsu yuk?
Siena Padmarini: Gue udah on the way jalan pulang. Tadi dijemput sama Kak Chandra.
Suri: WHAT?! Kok gue ditinggal?
Siena Padmarini: Kata Kak Chandra, nanti lo dijemput sama Ayah atau Kak Cetta
Suri: Idih, buaya banget ya Abang Chandra. Jelas dia bohong. Ayah hari ini mau berburu kroto di pohon mangga sekeliling komplek. Kalau Abang Cetta lo tau sendiri dia lagi sibuk ngurus Kak Rana di rumah sakit.
Siena Padmarini: Yah, mana gue tau. Atau coba naik taksi aja ke kantor cowok lo.
Suri: Nggak bisa. Dia udah bilang kemaren kalau dia lagi sibuk ngurusin kerjaan. Sampai lembur segala.
Siena Padmarini: Waduh
Suri: LO JAHAT SIH. PAKE NINGGALIN GUE.
Suri: KALAU LO SAMPE DIIKEH-IKEH SAMA ABANG GUE, GUE GABAKAL BELAIN LO
Siena Padmarini: Aduh lo ini beneran adik abang lo ya
Suri: Bodo
Siena Padmarini: Suri, jangan marah dong
Suri: Bodo (2)
Read
Suri hampir saja melempar ponselnya ke lantai kalau dia tidak ingat harga ponsel itu mahal dan dia bisa saja jadi sasaran amuk Ayah jika sampai melakukan tindakan kalap macam itu. Akhirnya, Suri berusaha menahan emosinya. Sial. Semenjak kedua abangnya yang lain punya gandengan, mereka jadi terkesan mengabaikannya. Bukan apa-apa. Suri sebetulnya senang jika kakak-kakaknya bersikap cuek padanya, terutama jika dia ingin pergi keluar bersama Sebastian, tapi pada situasi seperti ini, dia tidak mampu menahan rasa jengkel.
Kemana semua abang yang dulu mati-matian berusaha menjaganya setiap saat macam Rexona?
Tapi ya sudahlah. Hidup tidak akan bertambah baik dengan diratapi. Sendirian, Suri menyusuri koridor kampusnya. Hawa panas masih menggigit, membuat Suri kian malas pergi ke gerbang depan. Pada akhirnya, dia memang tidak benar-benar meneruskan langkahnya ke gerbang depan. Bukan karena enggan, melainkan karena kehadiran sosok berpakaian serba hitam yang tiba-tiba saja muncul beberapa meter di depannya, tepat di mulut koridor.
Sosok itu adalah Nael. Melihat gayanya, mudah bagi Suri menebak kalau Nael tengah menyamar untuk berbaur dengan manusia. Selain karena manusia di sekitar mereka bisa melihatnya—tampak dari bagaimana beberapa mahasiswi menatap Nael seakan-akan Nael adalah makhluk tertampan yang pernah mereka lihat—juga karena gaya busana Nael yang tidak jauh berbeda dari manusia kebanyakan. Lelaki itu memakai kaus hitam polos dan celana panjang hitam yang membuat sosok tingginya terlihat kian sempurna.
"Nael?"
Seperti mampu mendengar bisikannya, Nael mengangkat salah satu tangannya dengan canggung, lantas dia melambai kaku. "Ha—hai."
"Ya ampun! Ini beneran kamu?!" Suri memekik girang sambil berjalan cepat mendekati Nael. Matanya kelihatan takjub, bukan hanya karena penampilan Nael yang terlihat semakin tidak manusiawi dengan gayanya yang mencoba meniru manusia, tetapi juga karena kemunculannya yang tiba-tiba. "Kamu ngapain kesini?"
"Aku mau bertemu denganmu."
"Cie, kangen ya." Suri tertawa genit. "Sekarang udah ketemu. Terus apa?"
"Bisa kita bicara?"
"Kamu mau ngelamar aku? Aduh, emang pernikahan beda alam sudah diizinkan ya?"
"Bukan itu."
"Terus apa, dong? Masa kalau cuma kangen doang, kamu sampai jauh-jauh datang dari... heung... apa ya? Aku bingung nyebut tempat asal kamu. Kamu jelas nggak datang dari bintang kayak alien di drama Korea. Tapi kamu juga bukan masyarakat Bintaro, apalagi warga Jonggol. Aku bingung." Suri terlihat berpikir keras, membuat tawa kecil Nael pecah tiba-tiba.
"Kamu masih saja selucu dulu. Benar-benar tidak berubah." Nael berkata lembut, membuat Suri terperangah sejenak. Kalau pesona Sebastian berada pada level lima puluh, maka pesona Nael berada pada level lima ratus. Tidak heran, sih. Bagaimana pun juga, dia kan iblis. Dan iblis butuh kemampuan luar biasa untuk bisa menarik lebih banyak orang masuk neraka. "Aku lega. Tapi aku rasa, aku harus tetap bicara denganmu."
"Kita kan udah ngomong sekarang."
"Bicara di tempat yang lebih serius, maksudku. Ini menyangkut—"
"Hm, kalau ngobrol serius jangan disini. Gimana kalau kita ngobrol sambil makan bingsu?"
"Bingsu?"
"Es serut. Enak deh. Di neraka pasti nggak ada." Suri mengerling, lalu tanpa permisi, dia meraih lengan Nael dan menariknya pergi begitu saja. "Ayo. Tempatnya deket, kok. Iblis nggak bakal kebakar kalau kena matahari, kan? Muehehe. Tapi nanti kita lewat gang kecil aja biar nggak lewat masjid. Takutnya kamu alergi sama yang suci-suci. Bisa berabe kan kalau kamu hangus tiba-tiba. Apalagi udah ganteng kayak gini."
"Oriana,"
"Hm?"
"Kita perlu bicara."
"Iya, aku tau. Tapi aku maunya sambil makan bingsu." Suri berbalik, menatap Nael dengan pandangan memohon. "Mau ya? Plissssss."
Untuk pertama kalinya sepanjang eksistensi Nael sejak awal dia tercipta, dia luluh oleh tatap sesosok makhluk mortal, seorang manusia bernama Oriana Suri Laksita.
Ketika memutuskan untuk pergi ke gedung fakultas Suri yang berada tidak jauh dari departemennya, Sergio tidak berniat memergoki sebentuk adegan perselingkuhan. Lagi pula, dia adalah Sergio Dawala, bukan Komo si presenter acara Katakan Putus yang sekarang sedang ramai di televisi itu. Tujuan Sergio tidak lebih dari ingin menanyai Suri soal Nadine, karena sebelum pergi dari rumah sakit, orang terakhir yang bersama Nadine adalah Suri. Sergio belum sempat bertukar nomor telepon atau alamat dengan Nadine, jadi dia pikir mungkin saja Suri bisa memberitahu lebih jauh tentang gadis itu. Konon, orang-orang istimewa—dalam hal ini, mereka yang bisa melihat sosok-sosok tak kasat mata—seperti Suri dan Nadine punya ikatan tersendiri yang membuat mereka bisa lebih cepat saling akrab dengan satu sama lain.
Namun langkah kaki Sergio langsung terhenti begitu dia tiba di halaman depan gedung fakultas Suri dan mendapati gadis itu tengah sibuk menarik seorang lelaki tinggi berpakaian serba hitam. Senyum lebar menghiasi wajah Suri, senyum yang jelas tidak pernah Sergio lihat pernah Suri tunjukkan kecuali ketika gadis itu sedang benar-benar senang. Cowok yang bersamanya terlihat lebih tua darinya, tapi ketampanannya di atas wajar hanya untuk dianggap teman.
Apa yang Sergio lakukan berikutnya adalah sebuah tindakan refleks.
Dia mengeluarkan ponselnya, mengambil satu-dua foto sebelum mengirim foto-foto tersebut pada kakak laki-lakinya via LINE. Di luar dugaan, pesan balasan datang secepat kilat. Sulit dimengerti, karena seingat Sergio, kantor tempat Sebastian bekerja sedang sibuk-sibuknya selama minggu ini hingga beberapa minggu mendatang.
Sebastian Dawala: ITU SIAPA?!
Sergio Dawala: Cewek lo
Sebastian Dawala: Gue tau itu Suri. Lo kira gue nggak bisa mengenali cewek gue sendiri?
Sergio Dawala: Jangan sensi gitu dong sama gue
Sebastian Dawala: Siapa cowok yang jalan sama dia?!!!!
Sergio Dawala: Kagak tau
Sebastian Dawala: Cari tau. Ikutin mereka.
Sergio Dawala: Kak, gue masih ada kelas dua jam dari sekarang
Sebastian Dawala: Kelasnya kan nanti. Masa lo nggak bisa nolongin gue di situasi urgent kayak gini, sih?!
Sergio Dawala: ...
Sebastian Dawala: Selama ini gue nggak pernah minta apa-apa dari lo, Gio. Gue baru minta tolong sekali ini.
Sergio Dawala: Oke.
Sebastian Dawala: Bagus. Jangan sampai pacar gue tau. Gue cuma mau lo ikutin aja mereka dan kasih tau apa yang lo lihat ke gue. Soal Suri, biar nanti gue telepon dia begitu urusan kantor gue kelar
Sergio Dawala: ... kak... lo nggak bakal ngamuk sama Suri, kan?
Read
Menatapi layar ponselnya, Sebastian dibikin ternganga sejenak. Apa-apaan ini? Sergio tidak pernah melihat Sebastian se-kebakaran jenggot itu sebelumnya. Dan kenapa sekarang dia merasa seperti dia baru saja menjadi provokator perusak hubungan orang tanpa dia sadari?
BUAT YANG KEMAREN MAU LIAT BAS CEMBURU, SIAP SIAP YA LU. CEMBURUNYA SAMA IBLIS SOALNYA SEBASTIAN GA LEVEL CEMBURU SAMA MANUSYA
Makan tuh Lucy.
By the way, gue lagi mood menulis banget akhir-akhir ini, sayangnya ketika kuliah gue mulai minggu depan wkwkw terkampret emang. sepanjang awal sampe pertengahan liburan, gue malas luar biasa buat ngapa-ngapain. tapi yaudahlahya.
makasih untuk semua apresiasi yang sudah kalian tunjukkan di semua tulisan gue. gue pernah bilang, ada atau nggak ada pembaca gue bakal tetap melanjutkan suatu cerita, tapi, speed updatenya sangat tergantung pada respon pembaca wkwk bukan apa-apa sih, soalnya respon pembaca itu kayak moodbooster dan semakin bagus mood gue, maka semakin lancar gue menulis *ceileh*
Gue menulis chapter ini semalam, sebetulnya. Entah kenapa gue suka banget ngetik tengah malem. Renita di siang hari dan Renita di tengah malam itu beda banget, honestly, makanya kalau lo pada follow Instagram gue, mungkin beberapa sadar kalau Snapgram gue suka alay-alay emo nggak jelas di tengah malam. midnight makes me feel really alone, like im just a tiny part of the universe that needs a big hug to save me from my fears and insecurities (apa banget renita kaya tai tolong gaes dilempar pake botol akua bekas aja gapapa tengkyu)
Anyway, gue baru saja memposting cerita berjudul Memento Mori
Dalam dunia Noir, ada tiga dimensi. Dimensi pertama adalah dimensi manusia (ini dimensi kita), dimensi kedua adalah dimensi Noir, Zetheera, dan hantu-hantuan sedangkan dimensi ketiga adalah dimensi makhluk-makhluk ghaib di luar hantu yang lebih sering dianggap mitos (like vampire, werewolves dkk). Memento Mori akan banyak bercerita tentang dimensi ketiga ini. Kalau Suri dan tiga abang ada di Jakarta, maka Memento Mori lebih banyak ambil latar di Bogor (di sekitar Halimun - Gunung Salak) wkwkwk kemungkinan, makhluk dimensi kedua kayak Noir dan lainnya akan bisa muncul banyak juga di cerita ini.
Terus tokohnya Sekaiyeol lagi :( Maap :( Anggap aja mereka adalah versi ghaib dari tiga abangnya Suri (apa banget sih gue)
Just fyi, karena kayaknya gue mau ngasih Sombre pacar dari dimensi ketiga ini wakakakakakaak
Terus apalagi ya? I'm in the mood to write more tonight, jadi entah habis ini gue bakal ngetik SLS atau ngetik EOD. Tapi pertama-tama, mari kita minum teh botol Sosro dulu.
Makasih sudah baca cuap-cuap nggak jelas gue sampai sini. By the way, untuk salah satu reader gue, Ella Bonita yang akan berulang tahun kesembilan belas, selamat ulang tahun! gue ingat lo adalah salah satu dari readers terlama gue (sejak gue menulis di Facebook, kalau nggak salah?) hope you have a blast and im happy that you have friend who cares for you so much. semoga ke depannya semua cita-cita lo tercapai! Dan buat readers lain yang juga sudah, lagi atau akan berulang tahun, happy birthday!
Sampai ketemu di chapter berikutnya
Ciao
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro