#17
Hari ini adalah hari ulang tahun Sergio.
Entah kebetulan atau apa, hari ulang tahun Sergio jatuh pada hari Minggu, jadi hampir semua orang, entah itu dari keluarga Sebastian mau pun keluarga Suri dapat ikut hadir dalam acara makan-makan yang sengaja Sebastian adakan di salah satu restoran favorit adik laki-lakinya tersebut. Tadinya Sebastian berniat hanya mengajak Suri, tetapi seperti yang sudah bisa ditebak, ketiga abang Suri melancarkan jurus-jurus maut hingga entah bagaimana mereka pun dapat turut datang. Padahal, ingat hari ulang tahun Sergio juga nggak. Suri berani taruhan, kado yang dibawa oleh tiga kakak laki-lakinya pasti adalah hasil jarahan dari warung dekat rumah mereka.
"Suri, kok cemberut terus, sih?" Chandra bertanya sementara dia mengemudikan mobil mereka menuju restoran yang dimaksud Sebastian. Jalanan ibukota di siang hari cukup padat, tapi jelas itu bukan sesuatu yang harus disesali karena bagaimana pun juga, hari ini adalah hari libur. Hari yang biasanya dimanfaatkan oleh banyak orang untuk melepas penat setelah sibuk bekerja.
"Abang nyebelin."
"Ini demi kebaikan kamu, Suri." Cetta yang duduk di samping Chandra menoleh sedikit ke belakang, pada adik perempuannya yang duduk bersebelahan dengan Calvin. "Kenapa? Takut gelap gara-gara kelunturan kulitnya Malika, ya? Sini, switch tempat sama abang aja. Apa mau abang pangku kayak dulu waktu kamu masih TK? Hehehe, kalau dipikir-pikir udah lama juga ya abang nggak mangku kamu."
"Bukan gitu, Abang."
"Terus kenapa? Ngambek karena nggak boleh naik mobilnya Sebastian sang Siluman Ubur-Ubur?" Calvin mengangkat salah satu alis. "Soal itu kan kita udah sepakat, Culi. Kamu nggak pergi sama makhluk abstrak itu, begitu pun dengan abang-abang. Padahal sih abang pengen bangen jemput princess kesayangannya abang."
Suri menyipitkan matanya. "Jadi aku bukan lagi princess kesayangan abang?"
"Eung... maksud abang... princess kesayangan nomor dua. Princess kesayangan nomor satunya kan kamu."
Baik Chandra maupun Cetta tidak berkomentar mendengar kata-kata Calvin yang justru serasa menggelitik perut Suri untuk muntah. Kalau Suri pikir-pikir, ketiga abangnya bisa seaneh itu. Mereka tidak akan protes jika salah satunya menunjukkan sikap kelewat manis pada Suri, tapi akan langsung memasang ekspresi mual jika salah satu dari mereka bermesraan dengan pacar masing-masing. Entah kenapa. Kata Ayah sih, itu wajar karena sejak masih kecil, ketiga kakak laki-laki Suri sudah menunjukkan sikap semanis itu pada adik perempuan mereka.
"Bukan gara-gara Tian."
"Terus?"
Suri memandang sebal pada tumpukan kado dalam plastik hitam yang teronggok di dekat kaki Calvin. "Abang, kalau aku harus kasih tau lagi, Sergio itu ulang tahun yang kedua puluh. Dua puluh tahun, abang-abangku yang gebleknya nggak ketulungan. Dan abang-abang mau ngasih dia satu kotak Momogi?"
"Sama Beng-Beng." Cetta menambahkan. "Emang kenapa sih, Suri? Kata Ayah, yang penting itu ketulusannya. Bukan kadonya. Masih untung abang nggak ngado itu bocah termos indomie soto dua biji."
"Tapi nggak Momogi juga, kali!"
"Ini rasa jagung bakar, loh." Calvin menimpali. "Udah mulai langka. Abang padahal lebih suka rasa jagung bakar daripada rasa cokelat. Tapi demi adiknya si Siluman Ubur-Ubur itu, abang merelakan ini Momogi rasa langka."
"Sampah."
"Jangan gitu, Suri." Chandra terkekeh. "Mending kita kasih Momogi sama Beng-Beng daripada kita kasih racun rumput yang dimasukkin dalam botol bekas Teh Botol."
"Abang!" Suri melotot, membuat tawa Chandra kian menggelegar.
"Cuma bercanda, Sayang. Lagian kamu tuh kenapa sih galak amat. Padahal Sergio tuh juga bukan siapa-siapa kamu."
"Dia itu berjasa mempertemukan aku sama Tian. Kalau nggak ada Sergio, pasti aku belum kenal Sebastian dan masih jomblo sampai sekarang."
"Hm, iya juga. Yaudah, putar balik mobilnya, Jrot." Cetta tiba-tiba berujar, membuat kening Suri berkerut seketika.
"Loh, kenapa? Ada yang ketinggalan?"
"Kita nggak usah ngasih kado Momogi sama Beng-Beng buat bocah termos itu. Kita kadoin aja dia teh botol bercampur racun rumput."
Suri menendang sandaran jok yang diduduki Cetta. "Abang gila!"
Ketiga kakak laki-laki Suri justru tertawa makin keras hingga suara mereka memenuhi seisi mobil. Suri hanya bisa melipat tangan di dada, cemberut hingga bibirnya monyong lima senti seraya melempar pandang ke luar jendela. Cuaca hari ini agak mendung, tetapi langit terlihat aneh. Ada garis-garis terang yang tergurat diantara awan yang abu-abu, sekilas terlihat seperti retakan. Suri tidak tau apa itu, namun setelah mendengar tentang Mpok Jessica yang kerap mengikuti perkumpulan rahasia para hantu dan Nael yang sempat mencarinya, ada banyak hal yang terasa mengganggu bagi Suri akhir-akhir ini.
Namun hari ini adalah hari baik. Hari ini hari ulang tahun Sergio, dan dari cerita Sebastian, Suri tau bahwa setelah Kesha meninggal, hampir tidak ada lagi alasan bagi Sergio untuk sering tersenyum. Tidak seharusnya hari ini hancur hanya gara-gara kekhawatiran Suri yang meski beralasan, tapi tak seserius itu.
Setelah melewati nyaris sepanjang perjalanan yang diisi oleh ketiga kakak laki-lakinya berebut mencolokkan flashdisk berisi lagu kesayangan mereka pada pemutar musik mobil, Suri akhirnya tiba di restoran yang dimaksud. Restoran itu adalah restoran yang fokus menjual masakan khas Manado, namun terkesan ekslusif karena pembagian ruangannya yang agak mirip dengan tipikal restoran di pemandian air panas Jepang. Untuk acara makan-makan dalam rangka merayakan ulang tahun Sergio hari ini, Sebastian sengaja membooking satu room besar hanya untuk mereka—minus kedua orang tua Sebastian yang sengaja tidak ikut acara di restoran karena ingin menyediakan kebebasan buat Sergio dan teman-temannya.
Hampir semua orang yang diundang sudah hadir disana ketika Suri sampai, termasuk Rana, Khansa, Siena dan tiga orang teman kuliah Sergio yang tidak Suri kenal. Ketiganya laki-laki, dan salah satu dari mereka punya kesan tengil yang kentara di wajahnya. Dua lainnya biasa saja. Salah satu bahkan cukup cool ketika Suri menyapa. Namun secara keseluruhan, tiga orang itu punya penampilan keren. Jika saja Suri tidak ingin dia sudah punya Sebastian, mungkin tiga cowok itu akan masuk pertimbangan Suri untuk digebet.
"Halo, sayangnya aku." Cetta menyapa sedetik setelah dia melihat Rana. "Kamu kok lesu gitu? Capek? Kesini naik apa?"
"Kesini diantar Papa." Rana menjawab. "Nggak tau. Lagi nggak enak badan aja. Kamu udah bawa kado buat Gio, kan? Kasih gih ke dia."
"Udah, dong."
Iya, Suri berpikir dengan dongkol. Kadonya sekotak Momogi rasa jagung bakar dan Beng-Beng cokelat mencair yang dicolong dari warung Mbak Sisil.
Tapi dia tidak mengatakan apa-apa, karena Sergio ada di depannya dan membongkar aib ketiga kakak laki-lakinya hanya akan mempermalukan dirinya.
"Kok nggak ada kuenya, sih?" Suri bertanya seraya berniat berjalan mendekati Sebastian yang tampangnya sudah macam super model dengan kemeja putih dan celana panjang hitamnya hari ini. Kayaknya tinggal ditambah beskap dan roncean bunga melati, maka Sebastian sudah siap diseret ke KUA terdekat.
"Gio nggak mau tiup lilin."
"Kenapa?" Suri berpaling pada Sergio. "Karena tiup lilin itu tradisi dan konspirasi wahyudi—eh maksudnya yahudi? Idih, Sergio. Hari gini masih kemakan hoax nggak jelas kayak gitu. Ulang tahun bukan ulang tahun tanpa tiup lilin, tau!"
"Soalnya nanti kalau Sergio tiup lilin, ada ahjussi yang datang." Siena menukas cepat, membuat seisi meja diselimuti oleh keheningan. "Hng... ahjussi... duh, emang kalian nggak ada yang nonton drama korea ya?"
"Nggak apa-apa, Siena. Nggak apa-apa. Meski kamu garing, aku tetap sayang sama kamu." Chandra angkat bicara sambil mengedip-ngedipkan matanya, membuat Suri buru-buru buang muka sebelum dia muntah.
"Apa sih, Siena? Nggak jelas banget. Ahjasi kek Ahjusi kek Awkarin kek, tetep Gu Jun Pyou nomor satu."
"Gu Jun Pyou itu siapa?" Sebastian yang sekarang menukas dengan mata disipitkan. "Bukan cowok nggak jelas di kampus kamu kan?"
"Heh, nggak usah berlagak menginterogasi adik gue!" Calvin menyambar.
"Aduh, Tianku sayang, bukan. Kalau aku punya teman kampus kayak Gu Jun Pyou, udah kapan juga aku ajak dia langsung ke kantor urusan agama buat dikawinin, kali. Gu Jun Pyou tuh tokoh drama Korea. Beda tipis sih sama kamu."
"Oh ya? Gantengan mana?"
"Gantengan Gu Jun Pyou."
"..."
Suri nyengir, lalu menepuk pelan pipi Sebastian hingga membuat orang-orang di sekeliling mereka, bahkan Sergio, langsung terdiam seketika. "Kamu tuh, nggak usah cemburu sama Gu Jun Pyou. Mending cemburunya sama teman-temannya Gio yang ganteng-ganteng ini aja. Hehehe. Kalau aku kemaruk, mungkin tiga-tiganya udah aku embat dan aku jadiin gebetan. Terutama... yang ini." Suri terkekeh genit pada salah satu teman Sergio. "Nama kamu siapa tadi? Pitak?"
"Vinuseto." Cowok yang dimaksud mengoreksi cepat. "Biasa dipanggil V."
"Bukan V, tapi Mphi." Sergio nyeletuk, membuat kepalan tissue mendarat di wajahnya sedetik kemudian. "Dih, malah marah, emang bener kan lo dipanggil Mphi kalau di kampus."
"Jangan merendahkan martabat gue ya, Gio."
"Emang udah rendah kali," Sergio mencibir.
Keriuhan di ruangan itu terputus ketika tiba-tiba saja pintu kertas penutup ruangan digeser oleh seseorang dan sosoknya yang mungil langsung menyapa mereka. Sosok itu adalah seorang gadis. Dia mengenakan dress yang meskipun terkesan feminin, namun warna hitamnya tampak misterius. Kulitnya sangat kontras jika dibandingkan dengan pakaiannya yang hitam. Rambutnya pendek, sebahu, dicat pirang dengan poni lurus menutup dahi. Tangan kanannya memegang sebuah biola.
Khansa mengernyit, merasa mengenali gadis itu.
Tapi dia tak sempat bicara karena gadis misterius itu sudah lebih dulu memainkan biolanya. Suaranya menyayat hati dan membuat mulut mereka ternganga. Lalu, gadis itu berhenti bermain dan mulai menyanyikan bait-bait sebuah lagu.
Sleep my dear, now it's time to leve the darkness
Night is kind, no need to cry
Be with me, say your prayer and leave the sadness
Give a kiss and say "Goodnight."
Monsters, sadness, crawling through my spine
Seeking out their killers
Strange voice whispering softly through my ears
Calling out to set me free
This is not a lullaby
Play a song that makes us laugh
Smile and sing for eternally
Mengenali suara itu, Sergio langsung bangkit dari duduk. Matanya terbelalak tak percaya sementara gadis berambut pirang itu balik memandangnya dengan lembut. Lantas dengan gerakan serupa batang padi tertiup angin, gadis itu merogoh saku dressnya, mengeluarkan ponsel dan menunjukkan apa yang tampak di layarnya.
"I received your email, well, or was it your birthday party invitation?" Ujarnya pada Sergio dengan disaksikan yang lain. "Happy birthday, Sergio Dawala."
"Aishaki?"
"My name is Nadine." Gadis itu tersenyum lebar sambil melempar pandang pada Khansa yang kini ikut tercekat di tempat duduknya. "Nadine Aishaki."
Sesaat setelah Nadine menyebutkan namanya, tidak ada seorang pun yang bicara. Namun sesaat kemudian, keheningan yang menyelimuti ruangan itu pecah. Bukan karena celetukan Suri, melainkan karena kepala Rana yang tiba-tiba terkulai ke bahu Cetta setelah gadis itu kehilangan kesadarannya. Wajahnya terlihat sangat pucat, dalam sekejap mengirimkan sinyal panik ke benak Cetta yang langsung merengkuh tubuh Rana ke dalam rangkulannya sebelum gadis itu merosot dari kursi dan jatuh ke lantai.
"Lah, dia kenapa?" Chandra bertanya dengan wajah polos dari seberang meja yang membuat Cetta kontan membalas geram.
"Dia pingsan, geblek. Masih nanya juga lagi lo?!"
"Waduh, jangan-jangan bunting beneran!" Calvin menimpali, membuat Cetta benar-benar ingin melemparkan kedua saudaranya ke tembok detik itu juga jika saja dia tidak sedang menahan tubuh Rana.
"Nggak usah banyak bacot, buruan lo pada siapin mobil."
"Buat apa?"
"Malika, sekali lagi lo nanyain pertanyaan nggak berfaedah kayak gitu, gue bikin lo jadi putih kayak abu gosok!"
"Emang abu gosok tuh putih ya?" Khansa bertanya dengan salah satu alis terangkat, seperti sedang berpikir keras dan itu kian menyulut emosi Cetta.
"BURUAN, GOBLOK! KEBURU PACAR GUE MODAR!!"
Seruan Cetta membuat hampir semua yang ada di ruangan itu, bahkan hingga ketiga teman kuliah Sergio, langsung menegakkan punggung. Secepat kilat, Chandra berlari keluar restoran untuk menyiapkan mobil sementara Cetta langsung menggendong Rana yang benar-benar sudah tidak sadarkan diri keluar dari sana. Dalam sekejap, situasi berubah dengan drastis. Mereka semua di serang kepanikan yang purna—atau mungkin hanya ketiga abang Suri yang bertingkah dramatis.
Saking paniknya, ketiga kakak laki-laki Suri bahkan tidak sempat berpikir apa-apa lagi saat Suri justru naik ke mobil Sebastian, bukannya ke mobil mereka. Well, sebetulnya tidak bisa disalahkan juga, sih. Soalnya Cetta membawa Rana masuk ke mobil mereka. dengan Rana dan Cetta di kursi belakang, Chandra di kursi pengemudi dan Calvin di passenger seat, mobil itu sudah cukup penuh.
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Chandra dan Calvin harus rela jadi babu dadakan Cetta.
"Cepetan, kampret!"
"Aduh, ini kan lagi macet, Tri-ku sayang." Chandra membalas stress, pusing menginjak pedal gas dan pedal rem bergantian sementara orang di belakangnya terus memaksanya jalan seolah-olah pengendara lain di sekitar mereka hanya makhluk ghaib yang bisa ditembus. "Ini mau kemana kita?"
"Sekali lagi lo nanya kayak gitu, gue bikin telinga lo jadi selebar telinga monyetnya si Dora!"
"Gue serius, Tri. Ini mau kemana? Jangan nyolot gitu, dong. Lo nih boleh aja tampangnya nurun Ayah, tapi emosi lo turunan Nyai Blorong."
"Ke rumah sakit, peak!"
"Gue juga tau. Rumah sakit mana? Rumah Sakit Ibu dan Anak?"
"Lo kira Rana beneran bunting?!"
"Yah, siapa tau." Calvin menimpali, lalu bersiul. "Perutnya rada gede tuh."
"Heh, mata lo dijaga! Jangan melototin perut cewek gue!"
"Nggak dipelototin. Udah keliatan aja. Agak meleber gitu kayak slime. Jangan-jangan beneran hamil."
"Aduh, kalian berisik banget."
Perdebatan tiga saudara itu terhenti oleh suara lirih Rana yang spontan membuat Cetta menunduk. Kepala gadis itu masih beristirahat di pahanya, namun mata Rana sudah tidak terpejam. Meski sayu, gadis itu sudah balik memandang Cetta.
"Sayang, kamu nggak apa-apa kan?"
"Pusing." Rana memejamkan matanya sebentar. "Denger kalian debat. Dan lo ya... Malika si Hitam Dari Bintaro... sori aja, perut gue nggak meleber. Lagi nggak bagus aja soalnya tadi pagi makan indomi goreng jumbo sama teh botol seliter." Rana membalas lagi, masih dengan suara parau yang terkesan lemah.
"Yaelah, sangkain gue lo hampir mati. Gue sampe nyetir hati-hati tapi ngebut nih macem Tiger Woods. Udah nih nggak apa-apa?"
"Tiger Woods mah atlet golf, tolol." Calvin nyeletuk.
"Nggak. Kita harus ke rumah sakit!" Cetta bersikeras.
"Dimi, aku nggak apa-apa."
"Bohong banget. Wajah kamu pucat gitu kamu masih bilang nggak apa-apa."
"Mau cium."
"Hah?" Cetta terperangah.
"Mau dicium kamu."
"Waduh, pacar lo beneran sekarat, nih. Harus buru-buru dibawa ke IGD." Chandra nyeletuk, membuat Rana melotot padanya yang terlihat dari kaca spion bagian dalam. Dipelototi seperti itu, Chandra langsung meringis. "Iya, Nyonyah. Sayah mohon maaf. Gila, serem banget sih lo. Lagi sakit aja masih bisa melototin orang kayak gitu."
Rana mengabaikan ucapan Chandra, lalu berpaling pada Cetta dengan sorot mata yang sudah kembali melembut. "Mau cium."
Cetta menghela napas, lalu membungkuk dan mengecup pelan dahi Rana. "Udah."
"Aku cuma lemas aja. Kalau udah dicium kamu, nanti lemasnya juga hilang."
"Yaelah, mana ada teori kayak gitu. Kalau dicium si Tri, udah dicium dahi, lanjut bibir, terus lanjut lagi sampai akhir, yang ada lo makin lemas."
"Otak kotor lo itu tolong dikondisikan, Barachandra Aryasetiati."
"Alah, kayak sepanjang liburan di Lombok otak lo nggak ngeres aja. Tau nggak lo, Kirana, Dimi kesayangan lo yang najisun mugholadoh ini celananya udah kebakaran setiap saat selama lo berdua di Lombok, tau nggak? Gue agak sangsi kalau lo berdua nggak coblosan disana, sih."
"Dimi, suruh dia diam." Rana memejamkan matanya, lalu menarik napas dalam-dalam. "Kepala aku kayak mau meledak dengerin suara repetannya yang macam knalpot bajaj."
"Tuh, denger nggak apa kata Ratu gue? Diem lo."
Chandra mendelik. "Ini mau kemana? Jadi ke rumah sakit?"
"Jadi." Cetta menyahut tegas.
Rana tidak berkata apa-apa, selain karena kepalanya yang terasa pening, juga karena dia tau Cetta tidak akan bisa dibantah jika sudah menyangkut masalah yang seperti ini.
Rana tidak menghabiskan waktu lama di IGD karena setelah pemeriksaan singkat, gadis itu hanya kelelahan sebab jadwal kuliahnya yang langsung padat begitu dia kembali dari Lombok. Namun demikian, Cetta tetap ngotot agar Rana dirawat di rumah sakit sambil menunggu hasil pemeriksaan keseluruhan keluar. Keinginan Cetta itu didukung oleh Papa Rana, jadi tentu saja Rana tidak punya pilihan lain selain menurut. Lucu sekali. Biasanya, baik Papa Rana maupun Cetta tidak akan bisa membantah kata-kata Rana untuk banyak urusan, tapi dalam masalah yang satu ini, keduanya kompak bersikap tegas hingga Rana tak berkutik dibuatnya.
Saat Suri keluar dari kamar perawatan Rana—dimana ketiga kakaknya beserta Siena dan Khansa masih berada disana—dia langsung disambut oleh Sebastian, Sergio dan Nadine yang berada di ruang tunggu. Sebastian duduk menyendiir, sementara Sergio duduk bersebelahan dengan Nadine. Mereka terlihat mengobrolkan banyak hal, tapi langsung terhenti kala Nadine melihat Suri. Suri sendiri mengabaikan cewek itu, karena mereka juga belum saling mengenal. Dia justru melangkah menghampiri Sebastian.
"Abang-abang lagi sibuk, jadi kayaknya habis ini kita bisa jalan-jalan, deh." Suri tertawa. "kamu mau nggak?"
"Nggak."
"Ih," Suri mulai merajuk. "Jangan gitu, dong. Aku kan kangen sama kamu. Emangnya kamu nggak kangen aku?"
"Nggak."
"Kamu bohong ya?"
"Nggak."
"Kamu bisa ngasih jawaban lain selain 'nggak' nggak sih?"
Sebastian berpikir sejenak, lalu menyahut cuek. "Nggak."
"Jangan gitu, dong. Aku mau jalan-jalan sama kamu, tau. Plissss."
"Yaudah."
"Iya?"
"Iya."
Mata Suri menyipit. "Kok sekarang gampang banget bilang 'iya'?"
"Lo mau gue bilang nggak? Yaudah." Sebastian menyandarkan kepalanya pada dinding putih rumah sakit, menatap pada Suri dengan dingin. "Nggak."
"Cuma bercanda!" Suri berseru cepat-cepat. "Yaudah, tunggu sini ya? Aku mau ke toilet dulu. Kebelet pipis, nih."
"Hn."
"Kamu nggak mau nganterin?"
"Nggak."
Suri cemberut. "Untung aku sayang ya sama kamu." Gadis itu menggerutu sambil berbalik, berjalan pergi meninggalkan Sebastian tanpa sadar bahwa diam-diam Sebastian melebarkan senyum seiring dengan sosoknya yang berlalu.
Koridor rumah sakit kosong dan hanya beberapa kali ada dokter atau perawat berseragam putih yang melintas. Suasana sepi dan bau karbol yang menyengat menggantung di udara. Apa Suri sudah pernah bilang bagaimana dia membenci rumah sakit? Rumah sakit selalu mengingatkannya pada hari-hari terakhir Bunda. Suri tidak mau mengingat Bunda yang sakit dengan rambut yang rontok setiap Ayah menyisirinya dan tubuh yang kian kurus seiring dengan bergantinya hari. Dan Suri yakin Bunda juga tidak ingin dikenang dengan memori yang seperti itu.
Namun di toilet, Suri menemui sesuatu yang tidak terduga.
Selesai menuntaskan panggilan alamnya, gadis itu menyempatkan diri membasuh tangan di wastafel. Kemudian dia mengangkat wajah, menatap pada pantulannya di cermin hanya untuk mendapati sepasang mata hitam tengah menatapnya nanar. Pemilik mata itu jelas bukan manusia. Rambutnya pendek dan rapi, tapi wajahnya sangat berantakan. Napas Suri sempat tertahan sejenak. Bukan karena takut, tapi karena terkejut.
"Kamu siapa?" Suri bertanya seraya membalikkan badan. "Kamu tinggal disini?"
Hantu itu tidak menjawab, malah justru bertanya dengan suara melengking tinggi yang menyakiti telinga. "DIMANA BLANC?!" Pekiknya keras.
Lutut Suri langsung gemetar. "Maksud kamu apa?"
"DIMANA BLANC?!"
"Aku nggak ngerti."
Hantu itu melotot, lantas detik berikutnya, dia melesat cepat menembus tubuh Suri hingga gadis itu terhuyung jatuh dalam posisi terduduk. Suri meringis, merasa nyeri mulai merambati beberapa bagian tubuhnya. Dia tidak pernah mengalami peristiwa seperti ini sebelumnya... peristiwa dimana ada makhluk ghaib yang melayang melintasinya. Rasanya seperti baru saja tertabrak medan energi yang amat kuat.
"DIMANA BLANC?!"
Suri sudah pasrah jika makhluk itu melakukan tindakan di luar nalar ketika seseorang melangkah masuk ke kamar mandi dan menempatkan dirinya sendiri untuk melindungi Suri. Secara tidak terduga, hantu itu berhenti melayang dan justru menghilang perlahan. Suri mengernyit tatkala sosok penyelamatnya berbalik dan mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri.
"Lo... cewek yang tadi, kan?"
"Nadine Aishaki." Nadine mengulangi. "Tadinya gue berniat ngomong sama lo sebelum lo masuk kesini. Tapi nggak enak juga mengingat pacar lo, kakaknya Sergio itu takut banget sama yang namanya hantu."
"Tau darimana?"
"Sergio cerita banyak sepanjang kami duduk di ruang tunggu."
"Gue nggak tau kalau Sergio bisa bercerita sebanyak itu. Dia hampir sama diamnya kayak kakaknya, apalagi kalau belum kenal." Suri mengernyit. "Lo mau ngomong apa."
"Soal hantu yang tadi. Dia yang mengikuti pacar kakak lo dari Lombok sampai kesini."
"Dia yang bikin Kak Rana sakit?"
"Mungkin. Karena hantu kayak dia, yang penuh dengan energi negatif, selalu punya kecenderungan menyerap energi manusia secara berlebihan." Nadine menarik napas. "Dia punya alasan sendiri untuk ngikutin pacar kakak lo."
"Apa?"
"Itu yang gue nggak tau. Tapi bukannya tadi dia nanyain Blanc? Lo tau siapa Blanc yang dia maksud?"
"Boro-boro."
"Ini aneh."
"Aneh?"
"Sekaligus menarik." Nadine menganggukkan kepala. "Nama gue Nadine."
"Iya, gue udah tau."
"Maksud gue adalah, gue ngajak lo kenalan."
"Nama gue Suri." Suri memiringkan wajah. "Tapi kenapa kita harus kenalan?"
Nadine tersenyum penuh misteri. "Karena entah kenapa gue punya firasat kita bakal sering ketemu setelah ini."
Halow welkam bek to my channel
Apa banget ya pesan pembuka gue.
Wkwkwk halo semuanya, so ini ternyata adalah chapter pertama setelah gue cuti cukup panjang yha. Sori-sori toh.
Karena berhubung sebentar lagi gue akan masuk kuliah, gue rasa untuk cerita lain (selain Noir) mungkin akan agak pendek kalau di update ya karena bagaimana pun juga gue harus kuliah. Menulis adalah hobi buat gue, dan gue nggak berencana menjadikan menulis sebagai lo tau... semacam sumber uang gue (meski pun konon katanya pekerjaan yang menyenangkan itu adalah hobi yang dibayar, but its just a no no for me karena lo tau berada dalam sebuah penerbit itu lumayan stress karena aku merasa terkekang. garis bawahi kata merasa oke. jadi murni perasaan gue aja) karenanya gue masih harus memperhatikan kuliah gue. I need to be an outstanding student kalau gue mau terbang kesini dan kesana, beli ini dan itu, dan disamping itu kuliah juga mahal gaes so I have to focus in my study lol doain aja semoga gue bisa rajinnn ngepost dan semoga dosen gue nggak rese.
Dan lagi, seandainya gue terkesan jutek ketika berinteraksi dengan lo pada di suatu waktu, gue juga mohon maaf. gue tuh orangnya moody banget. this couldnt be an excuse, i know, tapi gue emang se-moody itu. gue bisa aja santai ngadepin sesuatu yang buat orang lain sangat menyinggung, tapi bisa tersinggung banget menghadapi sesuatu yang buat orang lain biasa aja. gue bukan orang yang penyabar (thats why i refused when my family asked me to go to medical school lol bisa-bisa pasiennya mati deh kalau gue yang nanganin) dan terkadang gue lupa kalau sebagian dari readers gue ada yang masih lebih muda dari gue kayak masih SMP dan SMA dimana pada umur segitu, orang biasanya lagi naif-naifnya.
Dan maap juga kalau semua messages, wall posts maupun chat kalian lama sekali nggak gue balas. seperti yang sudah gue bilang, kalau gue nggak mood gue nggak akan balas. iya, gue tau ini kebiasaan buruk tapi yha begitu deh.
ah ya, karena masih banyak yang bertanya kapan novel perdana gue aka KITA terbit, gue masih belum tau. so, silakan tanyakan langsung aja ke akun (at)penerbitikon di Instagram. Soal NOIR mungkin nggak tahun ini kali ya haha (tenang aja, cerita ini akan gue teruskan sampai selesai karena cuma bagian satu aja yang diterbitkan kok gaes, dan harap jangan marah-marah karena sesuai janji gue, gue sudah posting book one sampai selesai di Wattpad kan. lagipula, nggak akan dihapus juga dalam waktu dekat karena masih lama jadi santai aja).
sebetulnya, gue nggak gitu antusias menerbitkan novel. entah kenapa. mungkin karena gue merasa tidak bebas (padahal sih itu kayanya cuma perasaan gue doang) so, mari kita nikmati kebersamaan kita di Wattpad tanpa harus memusingkan 'kak kapan ini terbit' atau 'kak ini sudah ada novelnya belom'.
well, gue tau gue nggak seharusnya merasa begini karena toh gue nggak masuk jajaran top penulis famous di Wattpad (ini serius) tapi entah kenapa akhir-akhir ini gue jadi merasa terbebani, kayak takut aja dengan ekspektasi orang terhadap gue dan tulisan gue. and now i understand when people said that fame, sometimes, is poisonous. gue sempet rada stress wkwk but now im okay, terimakasih udah menyemangati gue, mengirim pesan-pesan manis dan ngasih apresiasi untuk setiap tulisan gue.
gue masih akan tetap menulis tanpa pembaca, tapi kalau gue nggak punya pembaca gue baik yang dulu maupun sekarang, mungkin gue nggak akan sampai sejauh ini.
so, terimakasih karena secara nggak langsung kalian sudah membuat gue merasa... apa ya... mungkin merasa hidup gue punya arti? (because i used to be suicidal you know kayak gue bingung hidup gue tuh mau dibawa kemana and the only thing that keep my sane is my family, kim jongin and my readers. soalnya kalau gue bunuh diri terus mati nanti readers gue kesiksa penasaran karena nggak tau kelanjutan cerita gue kan gue jadi kasian wkwkwk)
Idih apa banget gue random abis.
Makasih sudah baca author notes nggak penting gue sampai disini.
see you in the next chapter and
Ciao!
BONPICT
Nadine. Tadinya mau pake Yeri tapi nggak jadi wkwkwk
Published in August 2nd 2017
Bandar Lampung | 15.09
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro