Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#15

Hari itu adalah hari yang tenang di rumah Keluarga Wiraatmaja. Sesuatu yang tidak seperti biasanya, namun mungkin masih bisa dianggap wajar berhubung separuh dari biang onar yang kerap menciptakan keributan yaitu siapa lagi jika bukan Chandra dan Suri tidak sedang berada di rumah. Calvin duduk manis di depan layar televisi yang lagi-lagi masih menayangkan episode marathon serial Ultraman. Cetta sibuk membalasi pesan yang masuk ke emailnya, baik itu berupa tawaran kerja sama atau endorsement dari online shop hingga surat-surat penggemar. Biasanya, yang melakukan itu adalah Brandon, manajer tidak resminya. Namun Cetta masih suka mengecek sendiri jika dia sempat, seperti sekarang, ketika satu-satunya kelas hari ini dibatalkan karena dosen berhalangan hadir.

Suasana terasa damai sebab terjadi situasi langka dimana kedua bersaudara tersebut berada dalam satu ruangan dengan rukun. Cetta yang duduk di atas karpet tidak protes saat Calvin yang berbaring di sofa dengan seenaknya menumpangkan sebelah kakinya ke atas pundak cowok itu. Sementara Calvin juga benar-benar fokus pada tayangan Ultramannya seraya sesekali meraup segenggam kacang Thailand dari dalam toples di pangkuannya. Wati menyaksikan dari jauh dengan senyum penuh kepuasan menyaksikan bagaimana pangeran-pangeran rumahnya tampak sangat akur. Ayah seperti biasa, sibuk meramu apa pun itu di dapur. Cetta dan Calvin tidak peduli, selama Ayah tidak sedang membuat ramuan dari buku mantra milik Severus Snape, terserah Ayah mau ngapain saja.

Akan tetapi, kedamaian itu tidak berlangsung lama karena detik berikutnya, ponsel Cetta dan Calvin kompak berdering.

Ada pesan yang masuk dari Chandra.

Barachandra: MAYDAY!! MAYDAY!! MENTERI DAN PASPAMPRES HARAP SEGERA MELUNCUR KE PIM!! RAKYAT DALAM BAHAYA!!

Spontan, Cetta langsung menegakkan punggung hingga kaki Calvin merosot membentur karpet. Calvin pun ikut tersedak butiran kacang yang masih berada di mulutnya, hingga dia harus batuk-batuk dulu serupa orang bengek selama beberapa saat sampai Cetta berbaik hati menggeser gelas air mineralnya mendekat. Calvin menenggaknya cepat, lalu mereka berdua pun berpandangan.

"Apa-apaa—bukannya Suri di kampus dan katanya dia mau shopping sama Siena makanya nggak mau dijemput?!"

"Ini pasti rekayasa cintanya si Abas!" Calvin menimpali. "Kita nggak bisa tinggal diam! Buruan capcus ke PIM!"

"Tolong jangan pakai bahasa capcus seolah-olah gue ini satu komunitas sama lo. Ogah banget gue tergolong ke dalam komunitas bencong."

"Halah, bawel!" Calvin mendelik. "Biasanya lo juga hobi ber-sista-sista ria sama para mbak-mbak online shop."

"Itu urusan professional."

"Profesional pala lo penyok." Calvin bersungut-sungut. "Udah, buruan ganti baju! Nggak usah pake pomade. Nggak usah mandi. Apalagi pake ngalis. Ketemu di garasi dua menit lagi. Ngerti?"

"Roger!" Cetta mengacungkan jempol, dan keduanya kontan ngibrit menuju kamar masing-masing. Wati yang menyaksikan mereka memiringkan wajahnya, lantas menggeleng-gelengkan kepala beberapa kali. Dalam keheningan, hantu itu melayang menuju sofa, memperhatikan Ultraman yang tengah beraksi melawan monster gondrong disana.

"Ternyata seru juga," Wati bergumam, berpikir kalau dia sudah pasti ikut mengambil kacang yang terhidang dalam toples di atas meja seandainya dia masih bisa makan. Dulu, jika tidak salah ingat, kayaknya Wati juga maniak kacang. Kacang goreng sih, bukan kacang Thailand. Tapi dimana-mana yang namanya kacang tetap aja sama. Namun itu dulu, saat Wati masih hidup. Saat sudah jadi hantu seperti sekarang, bau menyan lebih menarik buat Wati.

"Hm... Ultraman ganteng juga." Wati berkomentar lagi, berusaha mengabaikan suara gedubrak disusul bunyi mengaduh Calvin dari dalam pintu yang tertutup. Juga saat Cetta diam-diam mengomel karena gagal menemukan kunci mobilnya. Tidak lama kemudian, suara omelan Cetta terhenti diikuti bunyi yang mirip seperti dahi membentur tepi keras ranjang. Dugaan Wati agaknya benar, karena tidak sampai sedetik setelahnya, Cetta mengerang kesakitan.

"Aduh, ganteng-ganteng goblok. Tapi nggak apa-apalah. Demi my baby, aku akan selalu memaafkan." Wati bicara sendiri, lantas terpekik ketika lampu dada Ultraman mulai berkedap-kedip tanda kehabisan energi. "Yahhh, tinat-tinut kan lampu tetenya! Ultraman tuh makanya sebelum beraksi harusnya sarapan Energen dulu. Eh, tapi apa di Jepun ada Energen ya? Ah, bodo amat."

Wati masih melayang manis di atas sofa tatkala pintu kamar Calvin dan Cetta kompak terbuka secara bersamaan. Mereka sudah terlihat jauh lebih rapi dengan celana panjang dan rambut yang tersisir. Karena tidak punya waktu menata rambut menggunakan pomade, sejumput rambut hitam kedua cowok itu jatuh di keningnya masing-masing. Cetta terlihat khawatir, pertanda kunci mobil yang sedari tadi dicarinya belum juga ketemu.

"Buruan, kita cabut!"

"Mana bisa kita cabut sekarang? Kunci mobil gue lenyap entah kemana, nih." Cetta kian gusar. "Haduh, perasaan semalam gue taro di atas nakas sisi tempat tidur."

"Kalau ditaro di situ, kenapa bisa tiba-tiba lenyap? Kunci mobil lo tuh bukan flagellata yang bisa bergerak."

"Aduh, stop deh dengan istilah berpendidikan yang kayaknya cuma bakal nongol di buku Biologi itu. Lo bikin gue tambah pusing!"

"Lo kira gue nggak pusing?! Menurut lo, bisa apa itu Jenderal Militer menangani si Abas sama melindungi Suri? Boro-boro. Dia dikasih cewek kinclong dikit juga pasti bakal langsung lengah. Lo tau, dulu dia kan yang ngizinin Suri punya pacar hanya agar supaya dia bisa dapet ID LINE Siena. Kampret banget, emang."

"Kalau lo bacot terus-terusan gue nggak bisa ingat dimana gue naro kunci mobil gue, dodol. Diem kek, ngapa? Suara lo keras. Mulut lo bau sampah."

"Demi Tuhan, Tri, ini bukan waktunya lo ngehujat gue!" Calvin berseru sebal, lantas cowok itu memijit pangkal hidungnya sendiri dengan dramatis. "Haduh. Keleyengan abis nih kepala gue gara-gara lo, Chandra sama Abas. Berasa kayak abis naik tornado seratus kali."

"Bacot. Lo naik tornado seratus kali ya nyawa lo lepas, boro-boro masih bisa ngomong kayak gini."

"Cintaku, Tri, mending sekarang lo coba cari di mana kunci mobil lo."

"Ini gue lagi ngingat-ingat."

"Lagian naro kunci mobil aja lupa."

"Bacot."

Tiga menit berlalu dan Cetta masih belum berhasil menemukan kunci mobilnya hingga Calvin benar-benar kehilangan kesabaran. Cetta masih sibuk melihat lebih teliti ke seluruh penjuru ruang tengah, dari mulai atas meja hingga belakang televisi saat suara pekik dramatis Calvin mengejutkannya.

"TRI! ANJIR YA INI NIH KALO LO KELAMAAN KAGAK NEMU KONCI MOBIL LO, RAKYAT BISA KEBURU TEWAS!!"

"MENURUT LO GUE LAGI NGAPAIN DARI TADI?!!! LAGI SQUAT JUMP SAMBIL BOKER?!!"

"Ribut banget sih kalian. Lagi nyari apa memangnya?"

Tulang belakang Cetta dan Calvin serasa dituruni oleh air es ketika sebuah suara dalam yang familiar terdengar. Suara itu, tidak salah lagi suara Ayah. Tentu Cetta dan Calvin tidak akan keliru mengenali suara Ayah mereka sendiri, karena jika iya, itu artinya mereka akan tercoret dari kartu keluarga sebab tidak pantas berada disana. Perlahan, setelah saling melempar kode melalui tatapan mata, keduanya memutar tubuh secara kompak.

"Itu, tadi, kolornya Tri hilang, Yah."

"Bukan." Cetta menyambar cepat. "Aku lagi nyari kunci mobil, Yah. Ayah lihat."

"Kunci mobil?" salah satu alis Ayah terangkat sebelum beliau merogoh saku celana panjang yang dikenakannya, menarik keluar benda yang membuat Cetta kebakaran jenggot mencarinya sejak tadi. "Maksud kamu, ini?"

"Iya, Yah. Duh, makasih banget!"

"Eits." Ayah menyimpan lagi kunci tersebut dalam genggaman tangannya sebelum Cetta bisa meraih kunci tersebut. "Kalian mau kemana memangnya?"

"Mau jalan, Yah. Udah suntuk jarang jalan." Calvin cepat memberi alasan.

"Tumben jalan berdua? Biasanya kalian jarang jalan berdua kecuali kalau Barachandra juga ikut. Selera tempat nongkrong kalian kan berbeda." Ayah menyipitkan matanya dengan sepenuh rasa curiga. "Mau jalan kemana?"

"Hng... Mal—maksudku, Calvin cuma numpang, Yah. Nanti di jalan dia turun, ketemuan sama Khansa. Iya, kan?"

Calvin menganggukkan kepalanya berkali-kali. "Iya. Soalnya Tri—maksudku, Cetta mau main ke tempat Rana, Yah. Soalnya udah janjian sama Mamanya Rana mau main ke rumah."

"Hm." Ayah mengusap rahangnya pelan, memandang pada kedua anak laki-lakinya serupa Don Corleane dalam film The Godfather. "Kapan kalian bikin janji sama Kirana dan Khansa?"

"Semalam!" kali ini, keduanya menyahut serentak.

"Aneh," Ayah bergumam lagi. "Kok Kirana dan Khansa nggak bilang, ya?"

MAMPUS. BUSTED.

Calvin dan Cetta saling bertukar pandang dengan panik, dan tepat ketika itu, bel pintu depan berdering.

"Ah, itu pasti Kirana dan Khansa."

Kepanikan Calvin dan Cetta terganti oleh keterkejutan. "Maksud Ayah?!"

"Kirana dan Khansa datang kesini sesuai permintaan Ayah semalam." Ayah memulai. "Kemarin Ayah perhatikan taman kita sudah perlu dirapikan. Tadinya Ayah mau panggil tukang kebun rekomendasi Pak Harjo. Tapi setelah dipikir-pikir, Ayah punya dua bala bantuan yang rajin bekerja seperti anak-anak Ayah. Jadi Ayah mau minta bantuan kalian. Tapi kerja bakti kan capek ya, jadi Ayah sekalian undang Kirana dan Khansa kesini. Mereka bisa jadi bagian konsumsi. Hehehe. Kalian senang, kan? Sudah lama juga loh Kirana dan Khansa nggak main ke rumah kita."

Bahu Calvin dan Cetta sontak langsung melemas.

Keluarga Cemara (3)

Barachandra: Kampret lo semua nyasar ke Jonggol apa gimana?!!!

Barachandra: Woy

Barachanra: Oke, nggak di-read

Barachandra: Adik-adik tidak bertanggung jawab!!!!!!

Barachandra: Woy

Barachandra: Nantikan saja pembalasanku!!!!!!

Chandra menunggu dan balasan baru masuk sekitar setengah jam kemudian, ketika Chandra sudah hampir muak harus menunggu bersama Sebastian hampir setiap waktu. Penyebabnya? Sudah jelas, karena Siena dan Suri kerap masuk ke toko yang menjual barang-barang super girly—dimana pada tempat-tempat seperti itu, satu-satunya benda penyelamat buat kaum pria seperti Chandra dan Sebastian hanya sebuah kursi atau sofa panjang untuk duduk.

Dimitrio G. : Terjebak woy

Calvin Raskara: Lo maki-maki nggak liat sikon

Calvin Raskara: Ini kita disekap sama Presiden

Barachandra: Hah gimana bisa?! Lo pada diikat sekarang? Lagi dimana? Nggak di dalam lemari kan?

Dimitrio G. : Lo kira Ayah kita Sumanto apa?

Calvin Raskara: Lagian geblek, kalau kita di dalem lemari gimana kita mau bales? Ngetik pake gigi? Yang ada ancur duluan layar HPnya

Barachandra: Tonggos sih lo

Barachandra: Eh, lupa deng

Barachandra: King of Tonggos mah tetap Abas seorang

Calvin Raskara: Gimana si Abas?

Dimitrio G. : Kalau tangannya megang-megang Suri, langsung potong aja pake chainsaw

Barachandra: Dari tadi sih nggak ada mepet-mepet berlebihan, soalnya ada Siena.

Barachandra: Cewek kan hiperaktif, liat phonecase bentuk taik warna pink aja langsung bereaksi lebay kayak "IIIIHHHH LUTCHUUUUUU"

Calvin Raskara: Halah, sok ngeledek. Didiemin seminggu aja lo langsung lebay frustrasi kayak baru ditinggal mati istri

Barachandra: Beda tipislah bentar lagi kan dia jadi calon istri gue.

Dimitrio G. : Sadar, dia masih kuliah

Barachandra: Bodo amat

Barachandra: Kalau bisa gue jokiin skripsinya

Calvin Raskara: Idih amit-amit, skripsi lo aja dulu mangkrak berbulan-bulan kayak proyek Hambalang

Barachandra: Terus jadinya gimana, nih?

Calvin Raskara: Kecuali Ayah tiba-tiba kesurupan arwah mendiang perkututnya Opa Harjo, kayaknya gue sama Tri nggak akan bisa cabut dari rumah

Calvin Raskara: Apalagi Ayah nyuruh Rana sama Khansa dateng

Barachandra: Wah, mencurigakan banget

Dimitrio G. : Ayah emang resmi jadi lawan kita sih

Dimitrio G. : Tapi nggak bisa kita lawan terang-terangan, nanti suplai duit ke ATM di-stop

Calvin Raskara: Lo sih mending, lah gue? Wifi aja gue masih nebeng rumah. Oh Ayah, tanpamu, apa jadinya akuuuuuuu~

Calvin Raskara: Gue sama Tri percaya lo bisa melindungi Suri

Calvin Raskara: LINDUNGI, inget.

Dimitrio G. : Jangan salah fokus sama Siena.

Barachandra: Paspampres nggak punya hak memerintah jenderal militer

Calvin Raskara: GUSTI NU AGUNG

Dimitrio G. : : Gue sama Tri percaya lo bisa melindungi Suri (2)

Dimitrio G. : LINDUNGI, inget (2)

Barachandra: SIPPP

Calvin Raskara: Tai ledik

Barachandra: Lo.

"Ya ampun, Dimitrio, kalau kamu memangkasnya dengan kalap seperti itu, bisa-bisa semak Ayah gundul semua kayak kepalanya Deddy Corbuzier!"

Cetta mendengus keras-keras saat mendengar suara teriakan Ayah dari ujung taman. Disana, beliau sedang sibuk memasang selang yang lebih panjang untuk mengairi beberapa tanaman bunga yang baru saja beliau tanam dengan dibantu oleh Khansa. Tidak jauh dari sana, Calvin sibuk memperbaiki ulang batu-batu refleksi pada yang sudah tumpul, menggantinya dengan yang baru dengan bantuan adukan semen.

Kerja bakti apaan, Cetta membatin. Kalau gini sih namanya bukan kerja bakti, tapi kerja rodi. Ayah tega banget.

"Dimitrio, kamu dengar Ayah, tidak? Itu dulu yang menanamnya Bundamu, loh. Kalau Bunda masih disini, pasti kamu sudah dipites karena bikin bentuk semaknya penyok separuh!" Ayah berseru lagi membuat Cetta berdecak sebelum menyahut panjang.

"Siiiiaaaaaaapppppp Aaaaaayaaaaaaaahhhhhhh!!!"

Cetta bicara bertepatan dengan Rana yang keluar dari dapur sambil membawa nampan yang dipenuhi oleh teko besar berisi es sirup dingin, gelas serta boks makanan yang tadi sempat dibantunya. Sejenak, ada sejuk yang mengaliri dada Cetta. Hanya sebentar, sebab detik berikutnya, Rana sibuk bercakap-cakap dengan Ayah. Lagi-lagi, Cetta dibikin mendengus. Gerakan tangannya makin tak terkendali saat menggunakan gunting rumput untuk merapikan bentuk semak yang kini justru jadi makin tidak beraturan.

"Kalau kamu motongnya kayak gitu, nanti yang ada jari kamu bisa ikut kepotong." Suara Rana tiba-tiba terdengar, membuat Cetta mau tidak mau berhenti menggunting semak dan menolehkan kepala untuk memandang gadis itu.

"Biarin." Cetta menyahut tidak peduli.

"Terserah kamu, tapi aku sih nggak mau punya pacar yang jarinya buntung."

"Kamu ngedoain jari aku buntung?"

Rana melipat tangan di dada, lantas mendecakkan kepala. "Dimi, sensi banget, sih? Lagi hamil ya?"

"Iya." Cetta menyahut pendek. "Dihamilin kamu di Lombok."

Jawaban cowok itu akhirnya membuat Rana terkekeh. Gadis itu melepas topi yang dikenakannya, lalu memakaikan topi itu ke kepala Cetta yang sedari tadi terekspos oleh terpa cahaya matahari dengan bebas. "Lucunya kamu kalau lagi ngambek. Nggak apa-apa, ngambek aja terus."

"Bodo."

"Dimi, tau nggak?"

"Nggak."

"Idih, gitu ya. Yaudah, mending aku cabut dan main ke rumah Gie aja."

"Rana, jangan gitu dong!" Cetta makin merengut.

"Jawab dulu makanya. Tau nggak?"

"Apa?"

"Kalau dilihat-lihat, kamu pantas juga jadi tukang kebun, loh."

"Bodo amat."

"Dih, ngambek." Rana tergelak lagi, kali ini seraya bergerak menjauh dari Cetta. Namun tidak lama kemudian dia kembali bersama segelas sirup dingin di tangannya. "Nih, buat kamu."

"Apaan?"

"Es sirup."

"Aku juga tau kalau ini es sirup."

"Bikinan aku."

"Oh."

"Spesial buat kamu." Rana terkekeh. "Tukang kebunnya aku yang paling jelek."

Cetta cemberut lagi.

"Marah ya? Yaudah, aku ganti. Tukang kebunnya aku yang paling ganteng."

Cetta menghela napas, membiarkan gunting rumputnya tergeletak begitu saja sebelum dia melepas sarung tangan yang membalut tangan kanannya dan berdiri untuk menerima gelas yang disodorkan Rana.

"Thankyou."

"Jangan cemberut dong. Kamu senyum aja nggak ganteng, apalagi kalau cemberut."

Mau tidak mau, Cetta tersenyum, membuat Rana tiba-tiba saja mencubit pipinya.

"Hehehe, gemes."

"Duh Kirana," Cetta bergumam sebelum membawa tepi gelas menuju bibirnya. "What would I do without you?"

Rana membalas pongah. "Absolutely nothing."

"Kenapa lo ngeliatin gue kayak gitu terus dari tadi?"

Ditanya seperti itu oleh Calvin, Khansa memiringkan wajah. "Kayak gimana? Kok lo ge-er banget, sih?"

"Kayak gitu." Calvin memperagakan bagaimana cara Khansa menatapnya selama sepuluh menit terakhir, dan itu sukses membuat Khansa mengembuskan napas keras-keras. "Seolah-olah gue ini alien dari Planet Namek."

"Nggak apa-apa." Khansa mengedikkan bahu. "Gue hanya nggak biasa melihat lo... yang seterbuka ini."

"Lo ngomong seolah-olah sekarang gue lagi pake bikini."

Balasan Calvin membuat pipi Khansa bersemu merah meski hanya sebentar, karena setelan wajahnya kembali ke ekspresi dingin yang biasa dengan cepat. Tapi itu benar. Sore ini, Calvin mengenakan hanya heavy tanktoptanktop berkerah tinggi—yang menampilkan lekuk kedua lengannya dengan sempurna. Melihatnya membuat Khansa akhirnya mengerti kenapa pelukan Calvin selalu terasa sehangat itu. Namun tentu saja, Khansa tidak bisa blak-blakan memuji cowok di depannya ini.

Itu akan melukai harga dirinya.

"Gue nggak pernah liat lo pake lekbong doang sebelumnya."

"And you think my arms look yummy, don't you?"

Sial, Khansa memaki dalam hati.

"Nggak."

Calvin tertawa. "Tenang aja, K. Soon, when the time comes, lo bakal liat semuanya, kok."

"Idih, najis."

"Atau udah kebelet pengen liat semuanya sekarang?"

"Nggak!" Khansa menghentakkan kakinya, lalu memutar tubuh untuk mneyembunyikan wajahnya yang merona. Dengan cepat, gadis itu berlalu masuk ke dapur melalui pintu belakang diiringi tawa keras Calvin.

Ini nggak adil! Khansa berseru dalam hati sambil melekatkan punggungnya ke tembok. Namun entah kenapa, disaat yang bersamaan ada rasa senang yang Khansa rasakan setiap kali Calvin menggodanya seperti itu. Hanya cowok itu yang bisa membuat debar jantung Khansa dua kali dipercepat bahkan dengan sesuatu yang sepele. Dan karenanya, Khansa tahu jika Calvin memang benar-benar yang satu-satunya.

Di luar sana, di taman, Ayah yang sedari tadi berlagak sibuk mencabuti rerumputan liar diam-diam melengkungkan senyum. Ah, kalau sudah melihat anak-anaknya seperti ini, rasanya Ayah baru sadar jika dia bukan lagi laki-laki muda berusia dua puluh dua tahun yang datang ke rumah calon mertua untuk melamar selepas wisuda. Ceritanya telah berlalu, kini siap untuk digantikan oleh cerita baru yang dirajut oleh anak-anaknya.

Untuk sesaat, Ayah merasa jika alasan bagi orang tua untuk bahagia memang sesederhana itu; ketika dia menyaksikan anak-anaknya tumbuh besar dan menjalani hidup dengan baik.

Setelah hampir seharian yang bagi Sebastian membuat kedua kakinya serasa hampir patah—memang benar dia mendapat bantuan memilih kado buat Sergio, namun Suri dan Siena tidak mau berhenti hingga mereka mengunjungi hampir seluruh outlet penjual pernak-pernik kewanitaan yang ada. Untuk pertama kalinya, Sebastian dan Chandra bisa saling bekerja sama dalam rangka menghentikan obsesi belanja kedua gadis itu dengan mengajak mereka makan malam (juga mntraktirnya). Kini, mobil Sebastian telah tiba di depan pagar rumah Suri. Jam sudah merambat menuju angka sembilan malam. Chandra tidak pulang bertepatan dengan mereka, karena harus mengantar Siena pulang.

Kalau boleh jujur, hari ini tidak berjalan sesuai kemauan Sebastian. Awalnya, dia hanya ingin pergi berdua saja dengan Suri. Sayangnya, mereka tidak punya waktu berdua karena Chandra selalu menempel pada Sebastian seperti perangko, tidak jauh beda dengan Siena dan Suri yang hampir mirip kembar siam saking tidak terlepaskannya mereka sepanjang di mall tadi. Bahkan saat nonton pun, Sebastian tidak bisa berada tepat di sebelah Suri karena kehadiran Siena—juga mata elang Chandra yang mengawasi seolah ia tengah mengintai mangsa. Waktu dimana mereka bisa berdua hanya sekarang ini, saat keduanya berada di dalam mobil sepanjang perjalanan dari mall hingga ke rumah Suri. Tetapi Suri lebih banyak diam. Mungkin karena lelah.

"Makasih ya, Tian." Suri berujar sambil mengumpulkan paperbag berisi benda-benda yang tadi dia beli. "Aku senang banget hari ini. Hehehe. Makasih juga udah traktir aku makan malam."

Sebastian menjawab sekenanya. "No problem."

Suri mencondongkan tubuh untuk mengecup pipi Sebastian sekilas, lalu katanya. "Have a goodnight. Nanti kalau udah sampe rumah kabarin aku. Jangan tidur malam-malam. Tapi kalau kamu mau nelepon aku sebelum tidur, aku nggak nolak kok."

"Okay."

Suri tersenyum sekali lagi sama pacarnya sebelum tangannya bergerak hendak meraih kenop mobil. Namun entah mendapatkan keberanian dari mana, Sebastian meraih lengan Suri. Secara otomatis, tindakannya membuat gerakan Suri terhenti.

"Kenapa, Tian?"

"Today was fun." Sebastian akhirnya bicara. "Thankyou, boo."

Suri tertawa hingga matanya membentuk lengkung bulan sabit. "Apa sih yang nggak buat kamu?"

Sebastian tidak berkata apa-apa lagi, tetapi tangannya masih tak lepas dari lengan Suri dan itu membuat alis Suri terangkat heran.

"Tian?"

Detik berikutnya, bukan jawaban yang Suri terima melainkan satu kecupan yang Sebastian jatuhkan di bibirnya. Suri terkejut awalnya, namun refleks matanya terpejam beberapa saat kemudian. Gadis itu tidak tahu bagaimana Sebastian, di dalam hatinya, berusaha keras untuk menahan diri sekuat yang dia bisa.

Take it easy, Bas. Take it easy. She is still young.

Dan memang tidak ada apa pun yang terjadi selain bibir yang bersentuhan dengan bibir, karena bertepatan dengan Sebastian menarik wajahnya menjauh, kaca mobil diketuk berkali-kali dengan sangat dramatis.

"WOYY!!" Itu jelas suara Cetta.

"EH KAMPRET, LO KIRA TEMPAT INI ZONA ADEGAN MOBIL GOYANG?!"

"WOY, BELALANG SEMBAH, KELUAR LO!!!"

Sebastian menyandarkan kepalanya ke sandaran jok mobil sambil mengembuskan napas lelah, sementara Suri menepuk dahinya seraya melontarkan dengus frustrasi ke udara. 

Halow. 

Maap lama nggak nongol lol. 

ekhem. 

Jadi sekarang, entah kenapa gue merasa reputasi gue sebagai penulis yang galak sudah mulai dikenal. 

Wkwkwkwkwkwk. nope. gue nggak keberatan dengan itu. gue emang kadang (bukan kadang lagi sih kayaknya) bisa se-bitchy dan se-egois itu. Kayak, gue cuma ambil saran dari orang-orang yang gue kenal emang berkompeten di bidangnya (dan gue respect lol) jadi emang gitu. bukan berarti gue anti kritik kok, but I don't know who you are. Mana gue tau kalau saran yang lo kasih itu benar apa nggak. Kecuali gue udah kenal lo kayak lo tuh editor dimana, atau lo tuh lulusan sastera atau lulusan fisika murni atau lulusan bahasa Swahili. 

Tapi entah bagaimana, yang membuat gue terharu adalah melihat ada pembaca yang masih aja peduli sama gue (suka mengingatkan biar ga sakit, jaga kesehatan, jangan kurang tidur, tetap semangat, jangan sedih dan sebagainya) kayak omg i dont deserve that lol karena gue tidak merasa gue adalah orang baik jadi suka terharu gitu kalau dibaikin orang :( kelyan semua sucih aku penuh dosyah tau :( 

Tapi ya itu. Untuk semua yang tetap membaca di luar mood gue yang nggak beraturan, gue yang terkadang suka bacot panjang marah-marah, gue yang mungkin beberapa kali terlalu galak saat ngomong sama readers. i'm so sorry dan makasih banget wkwkwk lo tau dulu pas gue awal nulis, masih pencitraan banget, author notes gue nggak pernah blak-blakan abis (bahasanya aja masih pake aku kamu atau saya kamu gila nggak sih ndro) 

gue mau berterimakasih aja karena semenyebalan apapun gue, kalian tetap menerima dan gue bisa jadi diri gue sendiri (ecie ini macem adegan pelem banget ya ah udahlah bodoamat) 

dah ah segitu aja. daripada gue bikin author notes panjang yang nantinya isinya cuma nyindirin penulis lain mending kita sudahi sampai disini karena saudara-saudaraku sekalian, sesungguhnya dunia itu fana dan hanya sementara. kedudukan kita ini setara di mata Tuhan jadi apalah artinya saling menghujat marilah kita semua bertaubat!!! 

Sekian dari saya karena saya pengen makan gule ayam pake daun singkong dan sambel ijo sekarang jangan lupa minumnya teh botol sosro. 

sampai ketemu di chapter berikutnya. 

Ciaooooooowuoooouwooooooo (jadi kaya Tarzan) 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro