#12
Saat Suri dan Sebastian tiba di rumah sakit, semua orang tengah berada di ruang tunggu. Suri memang mendengar kalau Papa Khansa mengalami kecelaaan dan sangat lazim melihat mereka yang datang menunggu di depan ruang Instalasi Gawat Darurat, tetapi buat Suri, ekspresi mereka semua terlihat tidak wajar. Alih-alih panik atau kalut, ekspresi yang mewarnai wajah sebagian besar orang lebih mirip ekspresi bingung penuh spekulasi. Mudah bagi Suri menebak jika ada sesuatu yang terjadi sebelum dia dan Sebastian tiba disana.
"Papanya Kak Khansa gimana, Yah?" Suri bertanya dengan suara pelan, berpikir Ayah adalah orang yang paling tepat ditanyai karena Chandra dan Calvin terlihat tenggelam dalam pikiran mereka sendiri.
"Ayah nggak tau, Culi." Ayah menjawab sama lirihnya. "Tapi tadi ada sesuatu yang aneh terjadi."
"Apa?"
Ayah melirik Sebastian lebih dulu sebelum menjelaskan. "Tadi Papanya Khansa sudah dinyatakan meninggal oleh dokter dan paramedik yang bertugas. Kalau Ayah nggak salah lihat, dokter juga sudah mencatat waktu kematiannya. Tetapi mendadak, Papanya Khansa bangun lagi. Ayah tahu manusia bukan pihak yang berwenang dalam memastikan hidup dan mati orang lain... tapi itu aneh. Kamu mengerti maksud Ayah?"
Suri mengangguk. "Terus sekarang Papanya Kak Khansa gimana?"
"Masih di dalam. Dokter bilang mereka perlu memeriksa kondisi vitalnya sekaligus memastikan keadaannya."
Keterangan Ayah kembali membuat Suri mengangguk. Gadis itu lantas memilih diam dan duduk manis di kursi ruang tunggu. Matanya beberapa kali mengekori suster berseragam putih yang lalu-lalang. Terkadang, ada bangkar lain yang didorong cepat lewat di depan mereka mereka diiringi aba-aba prosedur medis yang tidak Suri mengerti. Rasanya tidak nyaman, terutama karena bau antiseptik dan obat yang mewarnai udara. Tapi memangnya apa yang bisa diharapkan dari suasana sebuah rumah sakit?
Sejujurnya, Suri benci rumah sakit. Tempat itu selalu berhubungan dengan sudut kenangan yang tidak mau dia ingat. Sebagian besar berkaitan dengan Bunda, karena hari-hari terakhir perempuan itu banyak dihabiskan di rumah sakit sebelum dia benar-benar pergi. Suri tahu Bunda baik-baik saja di atas sana, namun tentu, dia tidak pernah bisa melihat rumah sakit dengan cara yang sama lagi setelah sekian banyak peristiwa menyedihkan yang terjadi sebelum Bunda berpulang.
Kelihatannya, Sebastian mengerti itu karena diam-diam tangannya meraih jari-jari Suri ke dalam genggamannya. Sebastian melakukannya dengan cara yang tidak kentara, sehingga kedua kakak laki-laki Suri hampir tidak menyadarinya—dan yah, mereka juga kelihatan sibuk dengan urusan masing-masing. Chandra tidak berhenti melirik pada Siena dengan ekspresi muram, sementara fokus Calvin sepenuhnya berada pada Khansa. Dari semua orang yang berada disana, mungkin hanya Ayah yang menyadarinya. Beliau tidak tampak tak suka. Malah, Ayah justru diam-diam menarik seulas senyum tipis.
Sekitar dua puluh menit kemudian, pintu ruangan terbuka lagi diikuti kemunculan dokter berjas putih dengan sarung tangan latex yang masih dipenuhi oleh noda darah.
"Keluarga Subiakto Dhaneswara?"
Merespon panggilan tersebut, Khansa dan seorang perempuan setengah baya yang Suri tebak sebagai ibu Khansa beranjak dari kursi ruang tunggu.
"Ini adalah salah satu dari sedikit kasus luar biasa yang pernah saya alami selama saya bertugas di IGD." Dokter itu memulai. "Setelah dilakukan pengecekan kembali, kondisi vital pasien berada dalam kondisi yang normal. Tidak ada kerusakan berarti atau kekurangan darah. Namun untuk proses monitoring lebih lanjut, pasien harus dirawat selama beberapa hari. Setelah ini, pasien akan dipindahkan ke ruang perawatan biasa."
"Maksud Dokter, suami saya tidak jadi meninggal?"
"Sebelumnya, kondisi tubuhnya menunjukkan dia sudah meninggal. Tetapi hasil pengecekan ulang menunjukkan jika pasien baik-baik saja." Dokter itu menjawab diikuti keterangan menggunakan istilah-istilah medis yang sulit dimengerti orang awam hingga kemudian Mama Khansa hanya bisa menganggukkan kepalanya.
Lantas sang dokter kembali masuk ke ruang IGD. Pintu terbuka lagi tidak sampai lima menit kemudian saat seorang perawat mendorong kursi roda yang membawa Papa Khansa. Mereka mengikuti segala rentetan prosedur dengan tenang, hingga Papa Khansa selesai ditempatkan di ruang perawatan dan anggota keluarga yang datang diizinkan menemuinya. Setelah pakaiannya yang penuh darah diganti seragam khas pasien rumah sakit dan tubuhnya dibersihkan, lelaki itu tidak terlihat seperti korban kecelakaan mobil yang baru saja lolos dari maut. Alih-alih korban kecelakaan, Papa Khansa lebih mirip orang yang baru jatuh di kamar mandi karena sejumlah lebam yang menghiasi kulitnya.
Semula, suasana di ruangan tersebut sangat canggung. Bukan hanya karena sebagian besar mereka yang datang adalah wajah-wajah yang tak keluarga Khansa kenal dengan baik, tetapi juga karena hubungan Khansa dan kedua orang tuanya yang belum mengalami banyak perubahan. Mereka sempat hanya saling menatap dalam senyap sejenak sampai Suri berinisiatif mencairkan suasana.
"Hng..." Suri bahkan tampak bingung walau hanya sebentar. "Selamat siang menjelang sore, Om."
Papa Khansa mengernyit. "Kamu ngomong sama saya?"
"Iya. Soalnya kan yang bisa dipanggil 'om' di ruangan ini cuma om dan Ayah saya. Masa iya saya panggil Ayah saya 'om'. Yah, meskipun konon katanya pacar saya juga ada bakat jadi om-om mengingat umurnya udah lumayan tua, tapi nggak enak aja manggil Tian pake sebutan om-om. Lagian, kalau Tian om-om, berarti Abang Chandra juga om-om. Soalnya mereka kan seumuran."
"Jenglot ini jelas lebih om-om daripada abang, Culi." Chandra menyela sewot, membuat Sebastian mengarahkan pandang padanya. Ditatap seperti itu oleh cowok yang menurut Chandra terlalu buruk untuk jadi calon adik iparnya, Chandra justru kian menjadi. "Apa lo lihat-lihat?! Lo kira mata lo bulat-bulat kaya kue donat?!"
"Barachandra," Ayah menyela dengn tegas sebelum ketiga anaknya mulai menciptakan keributan yang tidak perlu di kamar perawatan orang yang tak mereka kenal dekat. "Sebelumnya, saya mohon maaf atas tingkah laku anak-anak saya. Saya ayahnya Barachandra, Oriana dan Calvin. Seperti yang mungkin anda sudah tahu, Calvin sudah pacaran dengan putri anda beberapa bulan terakhir ini."
Mama Khansa jelas terlihat terkesan dengan pembawaan Ayah. Perempuan itu mungkin akan memandang Ayah sedikit lebih lama lagi kalau saja Khansa tidak tiba-tiba mendelik, seolah memperingatkannya untuk berhenti menatap Ayah seakan Ayah adalah seonggok daging segar yang diumpankan pada singa. Calvin sendiri harus menahan diri supaya tidak menyuruh Ayah keluar dari sana.
"Ah, pacar Khansa? Saya tahu." Papa Khansa buru-buru meneruskan. "Kami sudah pernah ketemu. Meski saya tahu itu jelas bukan pertemuan yang menyenangkan."
Senyap sejenak. Khansa tidak mengatakan apa-apa, tapi siapa pun bisa melihat jelas kekhawatiran yang terbasuh oleh lega di wajahnya. Di sebelahnya, Calvin masih berdiri dan juga ikut memilih diam.
"Khansa," Papa Khansa tiba-tiba buka suara dengan ragu. "Kenapa diam?"
Khansa tercekat, sadar jika sudah lama sekali waktu berlalu sejak terakhir kali Papa memanggilnya dengan nada seperti itu.
"Aku—"
"Papa nggak mengira kamu akan ada disini sekarang." Papa kembali bicara. "After all I did. What did I do to deserve you?" Lelaki itu menyambung dengan pandangan yang menyorotkan sendu, membuat Khansa tahu dia tidak bisa menahan diri lebih lama lagi.
Detik berikutnya, Calvin sengaja melepaskan Khansa dari rangkulannya sehingga gadis itu bisa bergerak mendekati tempat tidur Papanya. Dia meraih Papa ke dalam pelukan, merasakan laki-laki itu menyentuh helai rambutnya sambil menyebut nama Khansa seolah dia masih anak-anak. Itu adalah pelukan pertama mereka setelah bertahun-tahun yang dingin karena perbedaan pendapat dan kesalahpahaman.
Siapa yang mengira jika bergulat dengan maut mungkin menjadi satu-satunya yang membuat seseorang tersadar jika keluarga adalah sesuatu yang lebih penting dari hanya sekedar hubungan darah?
"Kids, we need to give them space." Ayah akhirnya berkata setelah beberapa saat lewat. Dibantu oleh Mama Khansa, dia menggiring anak-anak keluar dari kamar perawatan. Meninggalkan hanya Khansa dan Papanya di dalam sana.
"Kamu pulang bareng aku."
Siena baru berpikir untuk meninggalkan rumah sakit diam-diam—bahkan tanpa berpamitan pada Suri—ketika sebuah suara berat membuat langkahnya terhenti seketika. Gadis itu mengembuskan napas pelan ke udara, sudah tahu siapa yang bicara tanpa harus melihat orang itu. Tentu saja, pemilik suara berat tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah Chandra.
"Kak Chandra, jangan mulai berdebat disini. Malu dilihat banyak orang."
"Siapa yang ngajak debat? Aku cuma bilang kamu pulang bareng aku. Titik."
"Aku nggak mau. Aku ada acara di tempat lain."
"Kalau gitu aku yang anterin."
"Kak Chandra, jangan begini, dong."
Chandra mendengus. "Kalau nggak begini, harusnya gimana?"
"Aku mau pulang sendiri."
"Aku nggak setuju."
"Aku nggak butuh persetujuan Kak Chandra." Siena membalas lugas sambil kembali meneruskan langkah melintasi koridor rumah sakit.
Kali ini, Chandra tidak menahannya. Tetapi bukan berarti cowok itu membiarkannya melenggang pergi begitu saja. Chandra tetap mengekori Siena seperti bodyguard mengekori majikan. Semula, Siena berusaha mengabaikan kehadirannya. Namun tatapan mata dari beberapa orang yang berpapasan dengan mereka membuat Siena merasa jengah. Mereka mungkin mengenal siapa Chandra. Sekali pun tidak, penampilan Chandra yang memang berbeda dari kebanyakan orang tentu sangat menarik perhatian. Tidak, tidak, Chandra masih berpenampilan serupa orang waras pada umumnya, tapi tentu saja, tak ada satu pun dari anak-anak Ayah Kelana Wiraatmaja yang punya wajah normal, kan?
"Siena!" Chandra kembali menyerukan namanya setelah mereka tiba di pelataran depan rumah sakit. Suaranya keras sehingga berhasil membuat beberapa orang yang berada di dekat mereka menolehkan kepala. Siena memejamkan mata sejenak, merasa lelah mencari cara untuk membuat Chandra menjauh darinya. Setidaknya untuk saat ini.
"Kak Chandra, aku udah bilang kalau aku mau pulang sendiri."
"Aku udah dengar dan aku nggak akan biarin." Chandra menukas cepat. "Tapi kali ini bukan tentang itu."
"Terus apa?"
"Berhenti berjalan."
"Udah dari tadi." Siena berdecak, berniat mengayunkan kembali kakinya ketika Chandra lagi-lagi memekik.
"Siena!"
"Kak Chandra, tolong berhenti."
"Kali ini aku serius."
"Aku juga serius."
"Itu..." Chandra terlihat ragu, tapi dia tetap menyambung ucapannya. "Di depan kamu ada tai kucing. Jangan terusin jalan. Nanti keinjak."
Siena lupa kalau sekarang dia sedang bersama seorang Barachandra Aryasatya.
"Kak Chandra,"
"Hehehe, jangan marah." Chandra nyengir, lalu menarik siku Siena dan mengubah arah tubuh gadis itu supaya jika dia memang bersikeras melanjutkan langkahnya, dia tidak akan menginjak seonggok kotoran binatang yang tergeletak di atas paving block. "Sekarang udah aman. Tapi tetap, kamu harus pulang bareng aku."
"Aku nggak mau."
"Karena kamu takut mereka bakal nge-judge kamu lagi?" Chandra menggeram pelan. "Siena, mau kamu hanya napas doang juga pasti akan selalu ada yang nge-judge kamu. Kenapa harus khawatir? Kenapa harus takut? Dan kenapa harus menutupi semuanya sendirian ketika sebenarnya kamu punya aku."
"Kak Chandra bukan punya aku."
"Kalau gitu, mulai dari hari ini, aku rela jadi punya kamu."
"Aku yang nggak rela bikin Kak Chandra jadi punya aku."
"Karena kamu terlalu baik buat aku?"
Siena meniup sejumput rambut hitam yang jatuh di keningnya. "Bukan gitu maksudku."
"Terus itu artinya aku cukup baik buat kamu, kan?"
"Nggak juga." Siena memiringkan wajah. "Aku benci fuckboy."
"Aku udah tobat."
"Aku benci fuckboy, tapi nggak pernah bisa benci sama satu orang." Siena akhirnya menyerah. "Dan orang itu adalah—"
"Aku. Aku tahu aku memang se-awesome itu."
Siena memberengut. "Nggak jadi." Katanya, kali ini sambil kembali meneruskan langkahnya. Chandra langsung panik. Untung tinggi tubuhnya jauh di atas Siena, yang berarti dia juga punya kaki yang lebih panjang. Tidak butuh waktu lama bagi Chandra untuk bisa kembali berada di depan Siena, kali ini dia memblokir akses jalan gadis itu sepenuhnya.
"Sori."
"Goddamn it, why can't I hate you?"
"Maksud kamu?"
"Aku udah tau sejak awal kalau mengidolakan seseorang kayak Kak Chandra itu nggak bagus buat aku. Pertama, selera musikku dibilang aneh karena anak pintar katanya nggak seharusnya mengidolakan seseorang yang terlampau sexually active sampai ketika berduka karena kematian ibunya pun dia melakukannya dengan keluar-masuk hotel bersama cewek yang beda-beda setiap harinya. Kedua, duitku banyak habis buat beli album Kak Chandra, beli photo book Kak Chandra, datang ke meet and greetnya Kak Chandra sampai nonton konsernya Kak Chandra. Padahal kalau dipake buat beli cimol, kayaknya itu duit bisa beli selusin gerobak." Siena mulai nyerocos, membuat Chandra terperangah dengan mata berkedip polos. "Ketiga, personality Kak Chandra juga suka bikin enek. Suka ngerasa kegantengan sendiri. Suka ngerasa keren sendiri. Terlalu narsis. Genit banget hobi ngerayu anak orang di sosial media. Nyengir nggak jelas dan sok ngegombal like it's not a big problem ketika sebenarnya Kak Chandra tahu banget kalau Kak Chandra bikin hati penggemarnya jumpalitan nggak karuan."
"Siena... kamu nggak salah minum obat, kan?"
"Lupain aja apa yang aku bilang tadi."
"No, wait. Kalau aku sejelek itu, kenapa kamu tetap ngidolain aku?"
"Because I can't hate you. I have my own reason but I won't tell you."
"Karena alasan itu juga kamu ngejauh dari aku?"
"Kak Chandra, tolong berhenti bahas itu. Disini banyak orang. Aku capek jadi tontonan."
"Kalau gitu mending kita bahas di mobil aja sekalian aku nganterin kamu pulang."
Mata Siena menyipit. "Ini bukan trik fuckboy Kak Chandra, kan?"
"Siena, sumpah deh."
"Oke."
"Aku udah—apa kata kamu tadi?!"
"Oke."
Chandra nyengir. "Ayo." Tangannya bergerak seperti hendak menggandeng lengan Siena, namun dengan cekatan Siena langsung menepisnya.
"Pergi ke mobilnya nggak harus gandengan, kan?"
Chandra mengembuskan napas, mencoba sekuat tenaga untuk menahan diri. "Iya."
"Apa yang menarik dari film ini hingga kamu menontonnya berkali-kali?" Nael tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya dengan kerut tercipta di keningnya ketika dia melihat Sombre menyetel film yang sama berulang kali.
Semuanya akan lebih mending kalau saja Sombre memutar episode yang berbeda, tetapi sayangnya tidak. Sudah tiga jam berlalu sejak pertama kali mereka berdua menghempaskan bokong di sofa untuk menonton koleksi film-film konyol Sombre di dunia manusia yang berarti tiga jam juga sudah dihabiskan oleh Nael untuk memelototi layar hanya untuk menyaksikan deretan sekuens adegan yang sama. Lama-lama, dia bisa hapal tinggi-rendah intonasi yang digunakan oleh karakter dalam film tersebut di luar kepala.
"Karena film ini menarik."
Nael menghela napas, meraih kotak kaset dan mengeja alfabet manusia yang tertera di sampulnya dengan perlahan. Spongebob Squarepants. Nael tidak tahu persis tapi melihat dari satu episode yang dia saksikan berulang kali selama tiga jam belakangan, kartun tersebut bercerita tentang spons kuning random yang tinggal di dalam sebuah nanas di dasar lautan. Konyol sekali, karena spons kuning itu lebih mirip spons pencuci piring daripada spons laut.
"Aku tahu. Tapi sampai kapan kita harus menyaksikannya?"
"Kenapa kamu jadi hobi merengek, Nael?" Sombre berdecak. "Kamu sendiri yang bilang mau mengikutiku karena mau tahu apa yang kukerjakan setiap kali aku pergi ke dunia makhluk mortal. Ini adalah salah satu aktivitas favoritku. Jadi tolong jangan ganggu aku."
"Aku mengerti." Nael hampir mendengus. "Tetapi menyaksikan episode animasi yang sama berulang kali selama tiga jam berturut-turut adalah sesuatu yang konyol. Apa yang sebenarnya coba kamu lakukan?"
"Aku sedang melakukan penelitian kecil."
"Apa?"
"Bagaimana bisa seekor tupai hidup di dasar lautan—ditambah lagi, dia bahkan mengenakan bikini."
Rasanya Nael ingin bersembunyi selama seribu tahun lagi di gua bersama Sun Go Kong jika Sombre mulai bertingkah konyol seperti ini. Dia sudah sering mendengar tentang Sombre yang tidak bisa serius di luar posisinya sebagai pimpinan para undertaker yang punya wewenang tak terbatas mengatur dunia orang-orang mati, namun Nael tidak pernah mengira jika kelakuan Sombre separah ini. Diam-diam, Nael merasa iri. Bagaimana bisa Sombre pergi kesana-kemari dan bertindak sesuka hati serupa kera sakti ketika Nael justru diwajibkan bersembunyi sebagai hukuman atas kesalahan masa lalu yang dia lakukan?
"Dan apakah itu ada manfaatnya untuk dunia para immortal?"
"Tidak. Hanya hiburan sementara kita melintasi waktu yang seolah tak terbatas."
"Sombre,"
"Jangan mengeluh, Nael. Atau harus kupanggil Noir?"
Nael mendengus keras, menjatuhkan kepalanya ke sandaran sofa dan menatap langit-langit kamar hotel. Dia tidak tahu kenapa dia ingin mengikuti Sombre. Itu adalah gagasan impulsif atas dasar pemikiran bahwa menghabiskan waktu bersama Sombre jauh lebih baik daripada berkeliaran di dunia makhluk mortal seorang diri. Nael sudah lama tidak bertemu Zoei. Konon katanya, laki-laki itu menerima hukuman kecil dari Belphegor. Atau mungkin tugas. Entahlah.
"Sampai kapan kita harus menyaksikan tupai berbikini kesayanganmu itu?"
"Sampai..." Sombre melirik pada jam dinding yang terpasang. "Sekitar tiga jam lagi."
Nael hampir berteriak. "Apa?!"
"Jangan bikin aku tuli, Nael."
"Kamu tidak bisa tuli karena kamu bukan manusia, Sombre."
Sombre tertawa renyah. "Tempat manusia dugem baru buka sekitar lima jam lagi. Waktu dua jam cukup untuk kita pergi ke salon dan belanja pakaian bagus."
"Dugem? Apa itu?"
"Istilah manusia untuk kesenangan duniawi yang melibatkan lantai dansa dan lampu gemerlap. Mereka menyebutnya lampu disko. Kamu tahu, kita pergi ke lantai dansa dan kemudian ajep-ajep seperti ini—" Sombre memeragakan serentetan gerakan yang menurut Nael lebih mirip orang kejang-kejang. "Memang awalnya terasa aneh. Tapi itu menyenangkan. Ada banyak gadis-gadis cantik disana. Mereka mungkin tidak semenyilaukan Zetheera atau Diluce, namun mereka jelas lebih menyenangkan daripada kebanyakan malaikat yang kita kenal."
"Para malaikat hanya sekoloni iblis bersayap."
Sombre tertawa lebar. "Aku sependapat dengan kamu untuk yang itu."
Obrolan mereka terhenti ketika tiba-tiba terdengar suara gemuruh disusul sesuatu yang berat jatuh menimpa lantai. Spontan, Nael dan Sombre beranjak dari sofa tempat mereka duduk. Keduanya langsung terbelalak kaget tatkala mendapati sesosok makhluk berpakaian serba hitam tergeletak sambil mengaduh memegangi bokongnya yang jelas mendarat lebih dulu. Reaksi berikutnya dari Nael adalah mengerutkan dahi menatap pada makhluk tersebut sementara Sombre memandang miris pada langit-langit kamar hotel yang kini berlubang besar.
"Zoei?"
Zoei masih mengerang, mengelus pelan pantatnya yang beradu dengan lantai hingga kayu pelapisnya pecah berhamburan.
"Aku tidak tahu kalau iblis juga bisa merasa sakit."
"Tidak sesakit itu." Zoei menukas dengan wajah merah padam. "Hanya rasanya... kamu tahu... seperti ditusuk oleh tongkat Zetheera. Tepat di pantat."
"Apa yang kamu lakukan disini?"
"Kenapa kamu harus datang lewat atap?! Tolong ya, Zoei anak Belphegor, kamu itu bukan Do Min Joon!" Sombre justru dibuat heboh.
"Do... Min Joon? Siapa dia?"
"Abaikan saja. Dia sudah lebih mirip makhluk mortal daripada kita." Nael mendesis pelan. "Aku terkejut Sang Pencipta masih mengizinkannya memimpin para undertaker."
"Departemenku adalah departemen paling humoris di alam ghaib." Sombre membalas sombong. "Karena kami tahu bagaimana caranya menjalani waktu tanpa jadi sekaku batu. Sekarang, beritahu aku, Anak Belphegor. Kenapa kamu ada disini?"
"Aku—"
Namun Sombre sudah memotong lagi. "Ah ya, soal Do Min Joon, dia itu karakter utama dalam sebuah drama asal... negara apa ya itu... tunggu... biar aku mengingat... oh iya, negara Korea. Entah Korea sebelah mana. Dia adalah alien yang jatuh dari bintang."
"Aku bukan alien." Zoei membantah.
"Tepat sekali. Dan kamu tidak jatuh dari bintang, melainkan dari genteng."
"Lupakan tentang Do Min Joon dan genteng." Nael menyela. "Zoei, apa tujuanmu berada disini? Karena jelas, kamu tidak akan muncul hanya untuk mencari tahu soal kegiatan Sombre selama dia berada di dunia manusia."
"Aku—"
"Persembunyian selama ratusan tahun sudah membuatmu kehilangan tata-krama, Nael. Bagaimana pun juga, Putra Belphegor ini adalah tamu kita. Bahkan manusia menyambut tamu yang datang ke rumah mereka." Sombre membuka pintu kulkas, mengeluarkan sekaleng soft drink dari sana dan mengulurkannya pada Zoei setelah sebelumnya membuka segel kaleng tersebut. "Minum ini. Perjalanan dari neraka pasti membuatmu haus."
"Aku tidak berangkat dari neraka."
"Terserah kamu sajalah."
Zoei melotot, tetapi tidak membantah. Dia menyesap minuman dalam kaleng itu, merasakan sensasi aneh yang lantas membuat matanya berbinar. "Minuman apa ini?"
"Apa rasanya enak?"
"Rasanya seperti digigit." Zoei menelan seteguk lagi. "Tapi tidak buruk. Hm, ternyata menjadi manusia tidak semalang yang kupikirkan."
"Kamu belum menjawab pertanyaanku." Nael kembali angkat bicara. "Apa tujuanmu berada disini?"
"Ah, itu. Aku ditugaskan menemui Sombre."
"Aku?"
"Kecuali ada Sombre lain di ruangan ini, itu jelas kamu."
"Kenapa?"
"Ada masalah di divisi malaikat penjemput jiwa hari ini." Zoei menghela napas. "Semua malaikat penjemput jiwa yang bertugas hari ini dilaporkan hilang. Jadwal penjemputan juga jadi berantakan karena banyak jiwa yang kemudian tidak punya pilihan lain selain dikembalikan ke tubuh mereka. Dan lagi—" Zoei berhenti, terlihat ragu.
Itu justru membuat Sombre jadi gusar. "Dan lagi?"
"Cello, anggota undertaker yang bertugas menjaga ruang arsip tentang seluruh jiwa yang pernah diciptakan menghilang. Ruang arsip berantakan. Berkasnya berhamburan kemana-mana. Sebagian besar hilang."
Sombre langsung dibuat terbelalak lebar.
Halo.
Akhirnya kita bertemu lagi yah, kawan-kawan.
Gimana kabar hatinya setelah menyaksikan Wendy duet sama Chanyeol? BoA sama Sehun? Irene sama Seulgi? Huhu mau menangis. Apalagi melihat insiden celana dalam Yunho yang go public huf kapan kek celana dalamnya Jongin go public.
Oke, abaikan.
Pertama-tama dan yang paling utama, akhirnya gue mendapatkan inspirasi untuk menulis author notes. Oke. Kepada para pembaca baru, gue ucapkan selamat datang. Sebelum lo terkejut dengan tingkah laku gue, gue mau ngasih tau kalau gue ini mungkin bukan orang yang ramah.
Wkwkwkwkw. Iya gue tau first impression kalian semua ke gue rata-rata pasti berpikir gue jutek dan segala macem (padahal aslinya gue receh banget). So sorry, tapi gue bukan tipe orang yang bisa pura-pura manis ketika ada sesuatu yang membuat gue kesel. Gue sering grumpy. Ngomel nggak jelas. Dan sebagainya. I'm a bitch and I know that too well. Gue nggak bisa pura-pura seneng ketika gue nggak seneng. Jadi jangan expect gue untuk berkata-kata kelewat manis karena gue bukan orang yang sabar.
Tapi aku nggak selalu jahat kok. Serius. Gue hanya mau kalian jangan mengambil hati apa yang gue tulis, karena nada tulisan dan nada omongan itu bisa beda. Kelihatannya aja jutek banget padahal mah nada suaranya nyantei. Begitu. Oke deh, gue jadi terdengar seperti sedang bilang " gaes tingkah laku gue jelek tapi plis jangan benci gue" tapi yodala sekarepmu dewek.
Apasih gue random nggak jelas gini.
Oh ya, karena sebagian besar dari kalian pasti nanyain kenapa ada works yang gue unpublish, nanti akan dipublish lagi ketika tiba waktunya kok. Sekarang gue lagi fokus mau bener-bener namatin Jinx. Setelah itu works mana yang bakal keluar dari draft mode, kita liat aja nanti oke. Noir masih akan diposting secara berkala.
Terus buat wall messages dan inbox yang belum dibales nanti gue bales. Gue anaknya emang suka mager ngapa-ngapain, sampe kadang ngecek chat LINE atau komen instagram aja males. Nanti kalau gue udah mood gue balas. Iya, gue moody-an banget orangnya. Bahkan kalau lagi males komunikasi sama orang, gue suka matiin hape aja seharian.
Terussss, soal grup chat, grup chatnya udah ada. Kalau mau masuk dengan catatan lo bukan faker, lo bukan cowok dan usia lo minimal tiga belas tahun (sumpah ya soalnya kadang gue suka gatau diri ngomongin topik yang ga sesuai diomongin sama bocah disini) just hit me up in LINE. My ID is renitanozaria. (tolong jangan dipake buat modus hai-hoi hai-hoi, cowok will be blocked in no time).
Oiya, karena gue suka males cek-cek inbox atau wall messages (bahkan ask.fm dan twitter gue udah ga keurus wkwk) gue sekalian bikin QnA aja disini. Silakan tanyakan apapun yang mau kalian tanyakan di inline comment ini. Nanti gue jawab kalau gue live instagram.
Oke sekian dah.
Terimakasi.
Sampe ketemu di chapter berikutnya.
Salam celana dalam merah Yunho.
Ciao.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro