#09
Mereka beruntung karena sore itu, jalanan tidak terlalu macet. Memang terjadi sumbatan kendaraan di beberapa titik, namun tidak butuh lama bagi tumpukan kendaraan yang berdesakan untuk terurai karena antisipasi yang telah dilakukan oleh sejumlah polisi lalu-lintas yang bersiaga. Warna jingga yang tertumpah mewarnai langit sudah mulai memudar ketika Sebastian membelokkan mobil masuk ke pelataran hotel tempat acara reuni SMA-nya diadakan. Biru yang gelap perlahan merajai, menelan habis sisa-sisa senja.
"Kayaknya yang dateng banyak banget, ya." Suri berkomentar sambil matanya menatap penuh antusias pada area parkir yang penuh sesaat setelah keduanya turun dari mobil. Tingkahnya membuat Sebastian menatap pada gadis itu sejenak dengan kepala yang dimiringkan, sebelum seulas senyum tipis yang hampir tak terlihat tertarik pelan disana.
"Namanya juga reuni besar-besaran. Kan yang datang bukan angkatan gue doang. Bakal ada angkatan lain, baik yang lebih tua maupun angkatan junior di bawah angkatan gue."
"Hm... berarti nanti di dalam banyak om-om, dong."
"Om-om?"
"Tadi kamu bilang bakal ada angkatan yang lebih tua. Kamu aja udah tua, kalau kata Abang Chandra. Apalagi yang udah lebih tua dari kamu. Jangan-jangan mereka bukannya bawa pacar tapi justru bawa anak."
"Gue belum tua."
"Iya, aku tau."
"Tadi lo bilang gue udah tua."
"Kan bukan aku yang bilang. Yang ngomong begitu Abang Chandra." Suri nyengir, lalu menepuk-nepuk bahu Sebastian dengan wajah santai. "Tapi tenang aja, Tian. Mau kamu tua atau muda, aku tetap sayang, kok. Jadi nggak usah khawatir kayak gitu."
Sebastian mendengus. "Mending kita masuk sekarang."
"Yaudah, ayo." Suri mulai berjalan, tetapi kontan menghentikan langkah saat menyadari jika Sebastian tidak ikut bergerak. Bukannya turut melangkah, cowok itu justru terus saja berdiri diam di tempatnya dengan ekspresi wajah yang sukar dibaca. Tindakan Sebastian tentu saja membuat Suri merasa heran. "Tian, katanya tadi mau masuk?"
Sebastian justru membisu. Masih dengan wajahnya yang nyaris tanpa ekspresi, dia melangkah mendekati Suri. Kemudian tangannya terulur, membuat Suri hanya bisa terperangah selama sesaat.
"Apa?"
"Ini acara reuni SMA gue. Lo datang kesini sebagai partner gue, jadi cara masuk yang betul bukan jalan sendiri-sendiri kayak anak SD lagi musuhan." Sebastian berdecak tidak sabar. "Siniin tangannya."
"Ya ampun. Kenapa nggak bilang dari tadi?"
"Bilang apa?"
"Bilang kalau kamu mau gandeng aku." Suri terkekeh sambil meraih tangan Sebastian yang terulur. "Let's go!"
Sebastian menyentakkan kepala, tapi lagi-lagi ada senyum bermain di wajahnya. Mereka berjalan masuk dengan jari-jari saling terkait menuju ke sebuah ruangan besar tempat reuni sekolah Sebastian diadakan. Seperti yang sudah laki-laki itu bilang, peserta reuni tersebut memang banyak dan berasal dari berbagai lapisan usia, meskipun jelas perbedaan usia itu tidak terlalu jauh. Sesuai dugaan Suri, ada beberapa yang datang bersama anak-anak kecil yang kemungkinan besar adalah anak mereka. Para peserta terbagi ke dalam kelompok-kelompoknya sendiri, yang Suri tebak berdasarkan angkatan masing-masing. Sebastian sendiri sibuk menyapu seisi ruangan dengan pandangan sebelum matanya berhenti pada satu titik diikuti satu lambaian tangan.
Sebagian besar teman-teman Sebastian di masa sekolah dulu terlihat menyenangkan. Mereka saling berjabat tangan dengan wajah penuh senyum, lalu bertanya kabar. Kadang diiringi lontaran gurauan atau julukan-julukan aneh yang sempat diberikan pada saat masih sekolah dulu. Acara basa-basi itu berjalan selama beberapa menit, sebelum akhirnya pandangan seorang cowok tinggi berambut hitam—yang konon adalah teman satu project Sebastian pada mata pelajaran Biologi di masa freshman—tiba mengarahkan tatapannya pada Suri.
"Adik lo, Bas? Tapi seingat gue, bukannya lo cuma punya satu adik laki-laki? Em... Sergio?"
"Bukan adik."
Teman Sebastian yang lain ikut menyela. Kali ini adalah seorang gadis. "Sepupu? Lo tau, benar-benar bukan lo untuk mengajak orang selain Cathleena ke acara semacam ini. But well, she is a married woman now, right? You obviously have no other choice." Gadis berkulit kecokelatan itu lantas tertawa, membuat Suri menyipitkan mata padanya dengan sebal. Mulutnya yang tidak punya saringan sudah siap melontarkan kata-kata tajam bernada sarkastik, namun Sebastian menahannya dengan mengeratkan genggaman.
"No, Calista. She is my girlfriend."
Senyap sejenak, bahkan salah satu dari teman Sebastian sampai lupa menenggak wine dalam gelas yang udah dia bawa menuju bibirnya.
"Seriusan?"
"Emangnya gue kelihatan lagi bercanda?"
"Hm..." Gadis yang ternyata bernama Calista itu memiringkan wajah. "Jadi tipe ideal lo udah ganti nih ceritanya? Nggak suka yang dewasa lagi apa trauma sama Cathleena?"
"Calista, you shouldn't have talk in that way to Bas."
Percakapan mereka terinterupsi oleh suara seorang gadis yang sangat familiar. Refleks, Sebastian memutar sedikit tubuhnya hanya untuk mendapati Cathleena tengah berjalan mendekati mereka. Seperti biasa, tubuh semampainya tampak menakjubkan di balik balutan mini dress yang jelas menampilkan detil lekuk tubuhnya dengan sempurna. Rambutnya yang cokelat gelap tergerai, menyentuh hingga ke punggung. Lenggak-lenggoknya anggun, tak jauh beda dengan perempuan-perempuan yang berlaga dalam kontes ratu sejagad. Sayangnya, ternyata Cathleena datang sendiri.
Calista langsung bangkit menghampiri Cathleena yang memang merupakan salah satu sahabat dekatnya selama masa SMA. Kedua perempuan itu bertukar senyum, lantas sibuk melakukan salam cipika-cipiki layaknya gadis-gadis kekinian. "Panjang umur banget, Kat. Baru juga diomongin. Anyway, sori banget gue nggak bisa datang ke acara pernikahan lo beberapa bulan lalu. Lagi sibuk urusan kerjaan. My big boss won't let me go to Indonesia."
"Bisa aja. Nevermind, Kal. Kado dari lo juga udah gue terima." Cathleena tersenyum cerah. "It's a pretty expensive gift, you know that?"
"There's no thing such as expensive gift, especially for an adorable best friend like you." Calista tertawa. "Lo dateng sendirian? Where's Alvaro?"
"Sibuk mengurusi pekerjaan. Dia baru balik ke Jakarta besok." Cathleena menyahut singkat, lantas mengalihkan pandang pada Sebastian. "You look fine, Bas."
Sebastian mengangkat salah satu alis. "Thanks."
"Dan halo, Suri. Kita ketemu lagi, ya."
Suri betul-betul ingin membalas sapaan manis Cathleena dengan kata menohok apa pun yang dia tahu, namun gadis itu mengerti dia tidak bisa mempermalukan Sebastian di depan teman-teman SMA cowok itu dengan tingkahnya yang kekanak-kanakan. Jadi gadis itu mencoba menahan diri, lalu menarik napas dengan gerakan yang tak kentara sebelum akhirnya menjawab dengan nada sok manis. "Halo."
"Kalian pacaran sekarang?"
Mulut Suri terbuka, berniat untuk menjawab jika saja Sebastian tidak keburu menyela. Nadanya dingin dan nyaris tanpa ekspresi seperti biasa. "Menurut lo?"
"Jangan terlalu sensitif begitu, Bas." Cathleena tertawa, kemudian matanya berpindah pada podium yang berada beberapa meter dari tempat mereka berdiri. "Kelihatannya sebentar lagi acaranya akan dimulai. Bagaimana kalau kita duduk aja sekarang?"
Menyadari apa yang dikatakan oleh Cathleena benar, Sebastian mengangukkan kepala. Mereka memilih tempat duduk yang menghadapi meja-meja bundar berlapis taplak satin warna putih. Tidak butuh waktu lama hingga acara dimulai. Reuni itu dibuka dengan menyanyikan lagu kebangsaan, kemudian sambutan dari mantan kepala sekolah yang dulu menjabat diikuti oleh kepala sekolah yang sekarang menjabat dan beberapa guru yang sudah pensiun. Di awal-awal, acara reuni banyak diisi oleh guru-guru yang menceritakan lelucon masa lalu, atau alumni yang berbagi kesan dan pesan mengenai masa-masa sekolah mereka dulu.
Buat mereka yang terlibat dalam kenangan itu, jelas mengingat kembali apa yang pernah dialami adalah sesuatu yang menyenangkan. Namun tidak buat Suri. Beberapa kali, gadis itu dibikin menguap bosan.
"Bosan ya?" Sebastian tiba-tiba bertanya saat dia melihat Suri menguap begitu lebar hingga mulutnya ternganga sampai bukaan maksimal.
"Hng... enggak, kok."
"Nggak usah bohong."
"Bukan bosan." Suri berkilah. "Tapi aku nggak ngerti apa yang lagi diomongin. Aku baru lulus SMA beberapa bulan lalu. Dan waktu aku sekolah, lebih banyak teman-teman yang nggak suka sama aku daripada yang suka. Jadi... aku nggak ngerti, karena aku pikir, aku nggak bakal sekangen itu sama sekolah. Kecuali sama Asmi dan Kayla, sih."
"Siapa Asmi dan Kayla?"
"Kamu yakin mau tahu?"
"Oh." Sebastian langsung paham dan mukanya kontan menunjukkan ekspresi enggan. "Nggak perlu. Gue lagi nggak selera mendengarkan lo bercerita tentang teman-teman ghaib lo."
Suri nyengir. "Tapi aku nggak nyesal udah nemenin kamu kesini, kok. Meskipun yah... agak-agak bosan."
"Bosan apaan. Dari tadi, satu-satunya aktivitas yang lo lakuin selain menguap adalah makan."
"Bukan makan, Tian. Tapi olahraga mulut."
"Sama aja."
"Jadi aku nggak boleh makan?"
Sebastian menyentakkan kepalanya. "Bukan gitu maksud gue."
Suri terkekeh dan menepuk-nepuk paha Sebastian. Tindakannya berhasil membuat Sebastian tercekat sejenak. "Tenang aja. Aku tau kok sebenernya kamu senang lihat aku makan. Cuma kamu terlalu gengsi aja buat mengakui itu."
"Hm... terserah."
"I know. I love you too, Tian."
Sebastian berdecak, tapi diam-diam ketika wajahnya kembali terarah ke panggung, ada senyum yang perlahan merekah di wajahnya. Senyum yang tersamar oleh penerangan ruangan yang sengaja dibuat remang-remang. Senyum yang gagal Suri lihat.
"Bas,"
Kepala Sebastian tertoleh pada satu arah tatkala didengarnya Cathleena memanggil. "Iya?"
"Gimana kalau kita nyumbangin satu lagu? Pensi sekolah di akhir tahun dulu, ingat? Hello from Lionel Richie. I sang the song and you played the piano."
"Hm." Sebastian masih belum memberikan jawaban ketika pembawa acara reuni naik ke atas panggung dan memberikan sepatah-dua patah kata pujian untuk salah satu junior Sebastian yang baru saja menampilkan lagu Your Body is A Wonderland milik John Mayer.
"Come on." Cathleena tertawa sambil bangkit dari kursinya, lalu gadis itu meraih lengan Sebastian dan menariknya ke atas panggung, meninggalkan Suri seorang diri diantara teman-teman Sebastian yang lain.
Melihat bagaimana wajah Suri terlihat bingung dan canggung disaat yang bersamaan, salah satu teman Sebastian yang sempat bertanya sekaligus menyapa Suri saat mereka baru tiba beringsut mendekat. Suri pernah melihat orang itu dalam beberapa foto masa sekolah Sebastian yang tersimpan dalam pigura di meja kamarnya. Namun, Sebastian tidak pernah bercerita tentangnya.
"Halo." Dia menyapa. "Nama gue Kevin Liu. Gue teman Bas selama beberapa tahun kita sekolah di sekolah yang sama. Nama lo Suri, kan?"
Suri mengangguk.
"Sudah lama pacaran sama Sebastian?"
"Hm... lumayan."
"Sayang dia nggak pernah cerita tentang lo ke gue. Mungkin karena kita sama-sama udah kerja dan sibuk ngurusin hidup masing-masing. Ah, those good old times. Jadi inget dulu gimana Bas selalu cerita tentang betapa cluelessnya dia setiap menghadapi Kat."
Suri tidak sedang ingin bicara tentang Cathleena, tetapi gadis itu gagal menemukan cara yang sopan untuk menghentikan topik pembicaraan itu. "Oh, begitu."
"Bukan berarti gue menganggap kalau lo nggak lebih istimewa dari Kat. Maksud gue, siapa tau aja sekarang dia nggak pernah cerita karena emang udah mengerti gimana caranya menghadapi makhluk bernama perempuan." Kevin tertawa, membuat lesung pipi tercetak dalam di wajahnya. "Ah, harusnya gue bisa menebak kalau mereka bakal memainkan lagu ini." dia menyambung sesaat setelah mendengar intro sebuah lagu yang Sebastian mainkan dengan piano.
"Lagu ini?"
"Kat dan Bas pernah berduet waktu pensi sekolah dulu, menggunakan lagu ini. Judulnya Hello dari Lionel Richie. Penampilan mereka berhasil memenangkan posisi pertama untuk kategori Best Performance. Hampir semua angkatan junior di bawah angkatan kita tau kalau penampilan mereka sudah jadi semacam legenda tersendiri."
Suri batal menggigit sepotong kue sus yang sejak tadi berada dalam genggaman tangannya. "Hm... begitu."
Kevin tak bicara lagi karena kini sama seperti sebagian besar orang yang ada di ruangan tersebut, matanya tertuju pada penampilan duet antara Cathleena dan Sebastian yang berada di atas panggung. Sebastian terlihat penuh misteri, tersembunyi di balik bayang-bayang lampu sorot dengan kesepuluh jari menari di atas tuts hitam-putih piano. Cathleena duduk beberapa meter di sampingnya, di atas sebuah kursi tinggi. Siraman cahaya membuat sosoknya jadi terkesan ethereal.
Ini kali pertama Suri melihat Sebastian bermain piano—sekaligus kali pertama juga gadis itu tahu kalau Sebastian bisa memainkan piano. Di atas kursinya, Sebastian terlihat seolah tersesat dalam dunianya sendiri. Tanpa sadar, Suri dibuat terperangah.
https://youtu.be/FKXg54pF3L8
I've been alone with you inside my mind
And in my dreams I've kissed your lips a thousand times
I sometimes see you pass outside my door
Hello!
Is it me you're looking for?
I can see it in your eyes
I can see it in your smile
You're all I've ever wanted
And my arms are open wide
Cause you know just what to say
And you know just what to do
And I want to tell you so much
I love you
"Bas sangat menyukai lagu ini. " Perhatian Suri tersita oleh suara bisik yang diam-diam dikeluarkan oleh Calista diantara penampilan yang masih berlangsung. Perempuan itu tidak bicara padanya, tentu saja, melainkan pada gadis berambut pendek yang dicat pirang di sampingnya. Namun tetap saja, suaranya cukup keras hingga bisa didengar.
"Yap, gue tau. Kat pernah cerita sama gue kalau dulu sebetulnya mereka berniat menampilkan lagu Stuck on You, tapi Bas ngotot mau lagu ini. I think I know why he was that persistent. Lagu ini selalu dia dedikasikan buat Kat."
Calista mengangguk. "Sayang banget mereka nggak berakhir seperti yang seharusnya."
Ada sesuatu yang aneh meninju Suri tepat di perut sesaat setelah mendengar percakapan dua perempuan itu. Apakah itu cemburu? Mungkin saja. Namun di atas segalanya, Suri merasa tidak nyaman karena sebagian besar teman-teman Sebastian seperti menganggapnya sebagai orang ketiga yang membuat hubungan Sebastian dan Cathleena tidak berjalan baik. Padahal kenyataannya tidak seperti itu.
Bukankah justru Cathleena yang meninggalkan Sebastian tanpa mengatakan apa-apa?
I long to see the sunlight in your hair
And tell you time and time again
How much I care
Sometimes I feel my heart will overflow
Hello!
I've just got to let you know
Cause I wonder where you are
And I wonder what you do
Are you somewhere feeling lonely?
Or is someone loving you?
Tell me how to win your heart
For I haven't got a clue
But let me start by saying
I love you
Lagu ini berakhir dengan manis. Sejenak, ada hening menyergap sepersekian detik setelah Sebastian menutup duet mereka dengan sederet melodi piano yang dimainkan oleh jarinya. Lantas gemuruh tepuk tangan terdengar, diikuti pembawa acara yang kembali naik ke atas panggung.
"Still one of the best pianists we've ever had." Pembawa acara itu berkomentar. "Salah satu yang memorable dari duet Sebastian Dawala dan Cathleena Nirwasita di masa lalu selain menjadi pemenang kategori Best Performance tentu adalah apa yang Sebastian katakan sesaat setelah duet mereka berakhir. Benar?"
"Hm, apa maksudnya?" Kevin bertanya pada Calista sambil wajahnya tampak seperti tengah mengingat-ingat sebentuk memori yang terlupa.
Calista tertawa. "Pernyataan Sebastian tentang lagu yang sebetulnya dia dedikasikan buat Kat."
Suri menarik napas, hampir mendesah pelan tatkala merasakan bagaimana oksigen terasa tajam menggores paru-parunya. Gadis itu berpikir sebentar. Dia sudah siap untuk bangkit dari duduknya dan beralasan pergi ke kamar mandi saat tiba-tiba saja suara Sebastian terdengar. Suara itu tenang, sehalus beludru dan hampir tanpa emosi namun masih saja terasa sangat familiar.
"Thankyou." Sebastian berujar. "The song brought up too many memories. Tentang masa sekolah. Tentang kisah cinta masa lalu. Tentang patah hati."
"Juga permainan piano menakjubkan yang pernah kamu dedikasikan untuk seorang Cathleena Nirwasita?" Pembawa acara itu memancing.
"Salah satunya, ya." Sebastian mengakui.
"Too bad she married someone else months ago, right?"
Sebastian diam sejenak. "Not really."
"Maksudnya?"
"It's too good that she married someone else months ago." Ada tawa kecil Sebastian yang pecah. "Karena tanpa itu, saya nggak akan menemukan apa yang sudah saya temukan sekarang."
"I smell something wonderful here."
"Indeed." Sebastian tertawa lagi, kali ini lebih lebar, kemudian matanya yang terlihat cokelat akibat sorot cahaya lampu mengarah pada Suri. Pandangan mata laki-laki itu terasa serupa hunjaman pisau yang membuat Suri tercekat di tempatnya duduk seiring dengan cahaya lampu sorot yang lantas berpindah padanya diikuti tatapan dari semua yang ada dalam ruangan. "Indeed. She is wonderful."
"Don't tell me that she's your girlfriend?"
"Exactly." Sebastian mengangguk. "Dia yang sudah membuat lagu itu nggak lagi terdedikasi untuk Cathleena Nirwasita. And for that, Kat, I'm so sorry."
Cathleena tersenyum lembut. "I'm glad that you found your happiness, Bas."
"Saya tau ada batasan durasi untuk sebuah penampilan, tapi bisa saya ngomong sedikit lagi?" Sebastian bertanya dengan nada bergurau yang dibalas oleh si pembawa acara dengan senyum lebar dan anggukan kepala.
"Boo, you know pretty well about how big my ego is, and about how rude I can be to you sometimes. My mouth is bad, but my heart is good. And because of that, I'll use my heart to continue on cherishing you." Ujung-ujung bibir laki-laki itu terangkat saat dilihatnya Suri makin mematung. "Oriana Suri Laksita, I hope it's me that you're looking for, because out of everything in this world, you're all I've ever wanted."
Diantara suara tepuk tangan yang membahana, ada hangat yang meleleh dalam dada Suri.
Sebastian menurunkan Suri di depan rumahnya sesaat sebelum jarum pendek jam dinding merambat melewati angka sembilan. Dia tidak langsung pulang, tapi menyempatkan diri untuk turun lebih dulu dan mengantar Suri sampai depan pintu pagar. Suasana rumah terasa sepi. Cetta masih berada di Lombok, sementara dua abang dan Ayah tidak tahu tengah berada dimana. Mungkin di dalam, terlalu sibuk berdebat atau menyeduh kopi hingga tak mendengar suara mobil Sebastian.
"Soal yang tadi," Suri mengawali begitu mereka berhenti di depan pintu pagar. "Makasih." Ujarnya dengan wajah dirambati rona merah.
"Yang mana?" Sebastian memancing, pura-pura tidak tahu.
"Lagu itu..."
"Hm."
"Aku nggak suka lagu jadul. Soalnya video clipnya aneh. Serem-serem kaku nggak jelas gitu macam kanebo dari jaman purba. Tapi berhubung tadi kamu udah nyanyiin lagu itu buat aku, nanti aku cek sebelum aku bobo."
"Gue nggak nyanyi. Gue main piano."
"Oh iya, lupa."
Sebastian berdecak sebelum membungkukkan tubuh, membuat posisi wajahnya dan wajah Suri sejajar. Suri jelas tidak bisa menutupi keterkejutannya. Gadis itu melotot, tapi spontan memejamkan mata ketika wajah Sebastian perlahan mendekat, membuat jarak diantara mereka kian menipis. Beragam imajinasi liar mulai terputar dalam benak Suri. Sayangnya, sebelum salah satu dari imajinasi liar itu terealisasi, sebuah suara dari buah jambu air muda yang membentur sepatu Sebastian membuat cowok itu kembali menegakkan punggung. Suri ikut membuka matanya lantas seperti dikomando, kepala mereka tertoleh pada balkon.
Dua kakak laki-laki Suri ada disana. Calvin memegang ketapel sederhana buatan sendiri di tangan kanan, sementara di sebelahnya Chandra mendelik dengan tangan memegang sekantung pentil bunga dan buah jambu air muda yang masih keras—yang Suri tebak pasti baru dua kakak laki-lakinya itu curi dari pohon jambu air dekat masjid.
"Abang!"
"Himbauan kepada saudara Sebastian Dawala untuk melangkah mundur sejauh dua meter. Jika anda masih melawan, jangan salahkan kalau sniper gosong di sebelah gue kembali bertindak!"
"Chan, jangan menjatuhkan gue gitu, dong." Calvin protes.
"Itu pujian, Malika. Saking gelapnya lo, lo bahkan bisa berkamuflase di malam hari. Udah kayak bunglon yang ganti warna kulit." Chandra membantah. "Himbauan berlaku untuk tiga detik lagi. Silakan melangkah mundur, masuk mobil dan ciaobella alias nggak usah balik-balik lagi."
"Abang jangan gitu!"
"Peluru jambu air? Seriously?" Sebastian berdecak. "Gue bingung sebenarnya kalian itu kakaknya Suri atau justru adeknya?"
"Kita adalah pencetus gerakan #SuriProtectionSquad yang bertujuan melindungi Suri dari fakboi tidak bertanggung jawab macam lo."
"Oh."
"Abang, jangan bilang kalau abang maling buah dari pohon jambu airnya Pak Haji Hamdi?!"
"Adikku sayang, menurutmu di komplek ini, selain Pak Toto anggota Kopassus, siapa lagi yang punya pohon jambu air? Tentu dikau sudah tau jawabannya," Chandra menjawab dengan tingkat kebijaksanaan setara Dalai Lama. "Abang dan Malika adalah laki-laki pemberani, tapi kalau sampai maling pohon jambunya Pak Toto, itu tandanya nggak tau diri."
"Aku aduin ke Ayah baru tau rasa!"
"Ayah merestui. Soalnya tadi kita sekalian ambil jambu yang mateng buat Beyi. Kata Ayah, beo Opa Harjo itu lagi ngidam makan jambu. Ayah tuh cinta mati sama Beyi, Culi. Apapun pasti beliau ikhlaskan demi Beyi."
Suri benar-benar ingin membenturkan kepalanya ke pilar rumah mereka sekarang.
"Tian, kamu pulang aja duluan."
"Nope. I'm not leaving until you go inside."
Suri nyengir. "Makasih ya buat hari ini. Kamu udah bikin aku senang."
Sebastian hanya mengangguk sekenanya dan tak mengatakan apa-apa sementara Suri berjalan masuk ke dalam rumah. Dari balkon, dua kakak laki-laki Suri tetap mengawasi dengan mata yang disipitkan penuh curiga. Sebastian mengembuskan napas dan berbalik untuk berjalan mendekati mobil. Lelah menggelayuti bahunya. Tapi sebelum tangannya terulur meraih kenop pintu, ada senyum yang terkembang diiringi bisik samar dari suara dalam kepalanya.
You made me happy too, Boo. Incredibly happy.
"Astaga, itu muka lo udah jelek lo apain?!" adalah reaksi pertama Suri begitu masuk ke dalam kamar—setelah mengusir kedua abangnya dari balkon—dan melihat Wati yang sedang melayang santai di atas tempat tidur. Wati masih tampak seperti biasanya, kecuali polesan lipstik ungu terang serupa tinta cap yang kini memulas bibirnya.
"Pake lipstik. Emangnya cuma kamu doang yang boleh?!" Wati membalas tak kalah nyolot.
"Gue baru tau kalau di dunia hantu ada pedagang lipstik." Suri berjalan menuju meja rias, mulai melepaskan anting-anting dari telinganya sebelum meraih kapas dan pembersih untuk menyela kotoran yang tersisa sebelum membasuh wajahnya.
"Nggak, sih. Tadi kebetulan aja baru kenalan sama hantu baru. Namanya Sulastri. Baru meninggal dua minggu yang lalu. Meninggalnya karena keserempet kereta. Doi pedagang lipstik gitu tadinya, mantan sales makeup. Jadi masih bawa-bawa makeup sampe sekarang. Tadinya dia mau ngasih saya bedak sekalian kalau kamu mau bantuin dia balik ke atas, tapi saya bilang kamu udah pensiun dari urusan bantu-membantu hantu.'
"Yah, kasihan dong."
"Lebih kasihan mana sama Ayah tampan kamu dan my love my baby Cetta kalau kamu kenapa-kenapa lagi gara-gara sok kasihan sama hantu?"
"Tetap aja." Suri menatap Wati dari cermin dengan bibir mengerucut. "Seandainya lo masih ingat masa lalu lo, kayaknya gue juga bakal bantuin lo buat balik ke tempat lo yang seharusnya, Wat."
"No—no—no. Saya udah bahagia disini. Saya nggak mau balik kecuali kamu bisa jamin kalau di sana ada yang gantengnya kayak my baby Cetta." Wati mengedipkan matanya dengan ganjen beberapa kali. "By the way, kok my baby Cetta nggak pulang-pulang ya? Apa seasik itu dia indehoy sama tuh Mak Lampir berbody langsing? Huh, kesel. Coba saya masih hidup, terus my baby Cetta ketemu saya duluan, dia pasti naksir sama saya."
"Daripada naksir, kayaknya lebih ke jijik sih, Wat."
"Terus aja bully saya mentang-mentang Melly sama Mpok Jessica lagi nggak ada disini!"
"Oh iya," Suri seperti baru menyadari sesuatu. "Melly sama Mpok Jessica kemana?"
"Melly lagi ada acara kumpul-kumpul sama hantu sejaman di kuburan Belanda. Katanya sih mau bermaaf-maafan gitu karena kan bentar lagi bulan puasa dan mereka nggak bisa berkeliaran bebas. Khawatir ada salah tapi belum bisa ketemu. Takut kangen juga."
Suri memutar bola matanya. "Terus Mpok Jessica?"
"Nah kalau Mpok Jessica saya nggak tau. Lagi kencan tuing-tuing kali sama Wak Ito."
"Kencan tuing-tuing?"
"Kencan sambil loncat-loncat. Kan Wak Ito itu spesies poci-pocian. Mana ada poci yang jalannya nggak loncat."
"Terserah."
"Oh iya, saya hampir lupa."
"Apa lagi?"
"Tadi ada dua sesebabang iblis ganteng dateng kesini. Udah saya bilang sih kamu lagi ke hotel ama pacar kamu. Jadi kalau mau ketemuan cari aja langsung ke hotel. Hotel apa tuh namanya? Kentaki?"
"Kempinski." Suri mengoreksi dengan dongkol. "Apaan tuh kentaki. Lo kira ayam?"
"Sori kalau salah, kan saya cewek baik-baik makanya nggak paham masalah hotel-hotelan apalagi ngamar-ngamaran."
"Terserah." Suri mengulang dengan wajah menyerah. "Siapa yang datang? Nael dan Zoei?'
"Sesebabang Nael sama sesebabang satu lagi yang saya nggak tau namanya. Nggak berani ngajak kenalan, takut dikedipin kan bisa berabe nanti jantung saya."
"Lo udah mati. Jantung lo udah nggak ada degupnya lagi."
"Woiya, saya lupa."
"Ngapain mereka kesini?"
"Cuma mau main aja, sih. Kayanya sesebabang Nael kangen kamu."
"Alah, basi."
"Basi-basi gitu sesebabang Nael ganteng, tau."
"Dih, yang gue maksud basi tuh lo. Bukan Nael."
Wati cemberut, tapi kemudian dia tergerak untuk bertanya. "Tapi kamu nggak bikin kesalahan apa pun kan?"
Suri diam sejenak. "Nggak."
"Yakin?"
"Lo nggak percaya sama gue?"
"Bagus deh kalau gitu. Kalau sampe ada apa-apa lagi yang terjadi, yang kasian bukan cuma Papi Kelana, tapi juga my baby Cetta ama pacar kamu yang kayak arca batu itu."
Suri menyentakkan kepala, namun entah kenapa pertanyaan Wati terasa sangat mengganggu.
Apa dia baru melakukan kesalahan baru tanpa dia sadari?
Hai.
Akhirnya sempat ngepost.
Hm.
Mau ngomong apa tapi lupa.
Btw soal grup readers, gue tidak menerima cowok. Trauma menerima cowok ke dalam grup dan well karena terkadang gue merasa kebaikan gue (ceileh sok baik banget lo ren) disalahartikan.
Btw, SLS mungkin nanti tengah malam karena gue mau makan di luar malam ini. Dan plis, jangan nagihin cerita lain ketika gue udah bilang gue bakal update yang ini atau yang ini atau yang ini.
Ah ya, tolong nggak perlu komen kalau ngerasa nggak pernah komen dan sekalinya komen cuma "kapan lanjutnya". bukannya mood ngelanjut, gue justru sebel dan malah baakal gue tunda lebih lama ok. kecuali lo emang sering komen dan komentar lo tuh nggak melulu tentang "kak kapan lanjut"
doh renita bawel amat.
yodah intinya selamat puasa bagi yang menjalankan. selamat liburan juga. me love you.
PS : kalau ada yang nanya kapan novel terbit, paling cepet abis lebaran.
PSS : kapan Noir terbit? kaga tau. yang jelas bukan taun ini.
PSSS : kenapa chapternya loncat-loncat? baca bio gue. lo mau nanyain sampe taun jebot nggak akan gue jawab.
Oke, tengkyuh.
See you in the next chapter
Luv luv pis and ciao.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro