#07
Hari ini matahari bersinar terang meskipun langit agak mendung dan dihiasi gumpalan awan kelabu di beberapa sudut. Udara tidak terasa dingin, namun juga tak menyiksa karena sengatan panas matahari yang berlebihan. Tipikal hari yang menyenangkan untuk beraktivitas di luar rumah. Taman kota dipenuhi oleh banyak orang. Kebanyakan adalah balita yang datang bersama orang tuanya, atau orang-orang lanjut usia yang lebih banyak duduk sambil menghirup udara segar. Mereka semua tampak tersenyum, seperti merasa bersyukur karena diberi kesempatan menikmati hari yang menyenangkan sekali lagi.
Well, kecuali seorang gadis yang duduk sendirian di atas bangku kayu yang berada di bawah pohon rindang. Gadis itu tidak tampak senang. Wajahnya justru murung, seperti sudah terselubungi oleh mendung kelabu. Ada buku sket besar di pangkuannya, juga sebatang pensil di tangan kanannya. Namun matanya tidak terfokus pada sketsa hitam-putih berantakan yang lebih mirip goresan cakar ayam, melainkan pada awang-awang. Seolah benaknya lama menyimpan tanya dan jawabnya hanya bisa dia temukan diantara embus udara.
Entah untuk yang keberapa kalinya dalam lima belas menit terakhir, Khansa lagi-lagi menghela napas dalam sebelum tertunduk dan memandang pada hasil karya tangannya. Calvin selalu bilang, mencoret-coret sesuatu mungkin bisa membuatnya merasa lega setiap kali gejolak perasaan dalam dadanya membadai hingga terasa tak tertahankan. Awalnya memang begitu. Khansa merasa emosinya terlampiaskan. Tapi ketika melihat pada goresan-goresan acak granit abu-abu pensil di atas kertas putih, Khansa justru baru menyadari sesuatu; betapa dia tidak punya keahlian lain selain kemampuan mengitari seisi kolam renang dalam waktu yang singkat.
Tapi tentu saja, itu sudah masa lalu sekarang. Sulit baginya kembali ke dunia itu lagi setelah keputusan yang dia ambil. Namun jika dipikir lagi, Khansa tidak sepenuhnya menghancurkan hidupnya. Faktanya, apa yang dia pilih justru membawa lebih banyak kejutan. Mulai dari pertemanan tak terduga dengan Suri, perkenalannya dengan Ayah yang penuh kasih hingga eksistensi Calvin. Khana tidak pernah menyesali apa yang sudah dia pilih, tapi alangkah semua akan lebih baik jika Papa juga mau memaafkannya.
Khansa berdecak sebelum meletakkan pensil di atas buku sket untuk mengeluarkan ponsel. Sempat ragu, awalnya Khansa berniat menelepon orang tuanya. Namun gentar terlanjur merajai. Gadis itu menghapus awal serangkaian nomor yang sudah dia ketik di speed dial, beralih menelepon Calvin. Nada sambung terdengar. Sekali. Dua kali. Lima kali. Tidak ada juga jawaban. Lalu panggilan itu pun berganti status menjadi panggilan tak terjawab.
Mungkin dia sibuk, Khansa berpikir sambil kembali memasukkan ponsel ke dalam saku pakaiannya. Bingung harus melakukan apa, lagi-lagi Khansa menatap pada langit. Mendung mengumpul, berarak cepat dan kian membanyak. Cahaya matahari mulai meredup. Mungkin sebentar lagi akan turun hujan.
Sebagian orang mulai beranjak pergi meninggalkan taman kota, membuat jumlah pengunjung susut hingga hampir setengahnya. Udara yang terasa basah mulai berembus, tapi entah kenapa Khansa tidak punya niat untuk bangkit dari bangku. Gadis itu justru merasa senang dengan suasana khas menjelang turunnya hujan yang kini menjemput. Rasanya dia seperti mulai dibiarkan sendirian. Dan dia menyukainya.
Tetapi gadis itu dibikin tersentak sedikit ketika tiba-tiba seorang gadis datang lantas duduk di sebelahnya. Berbeda dengan orang-orang yang justru mulai mencari tempat teduh karena khawatir pada hujan yang sepertinya akan segera turun, gadis itu justru terlihat tenang berada di sebelah Khansa. Khansa meliriknya sekilas, menatap pada dandanannnya yang tidak bisa dibilang biasa saja.
Gadis itu terlihat lebih muda dari Khansa. Wajahnya manis, dengan fitur yang terkesan innocent. Rambutnya dicat pirang, dengan sentuhan warna merah muda lembut di bagian ujung. Dia mengenakan mantel seolah-olah tengah berada di sudut sebuah kota di Benua Eropa. Kuku-kuku jarinya diwarnai dengan warna merah darah. Ekspresinya dingin, tetapi ketika dia menoleh dan secara tidak sengaja—atau justru sengaja?—beradu pandang dengan Khansa, senyum hangat langsung merekah di bibirnya.
"Hai."
Khansa memandang tidak mengerti. "Hai?"
Gadis itu tertawa. "Aku ngomong sama kamu."
"Kita saling kenal?"
"Nggak." Dia mengedikkan bahunya dengan santai. "Tapi aku curiga kita akan kenalan nggak sampai lima menit lagi."
Khansa mengerutkan dahi.
"Kamu suka menggambar?"
Wajah Khansa kontan bersemu. "Cuma coret-coret."
"Coret-coret?" salah satu alis gadis itu terangkat. "Hm. Coret-coret yang nggak biasa banget, kalau begitu. Coretanmu mengingatkan aku sama sesuatu."
"Apa?"
"Death."
"Maksud kamu?" Khansa hampir menarik kesimpulan jika gadis di depannya ini mungkin saja punya masalah penyakit mental stadium awal.
Seraya terkekeh, gadis itu merogoh saku mantelnya dan mengeluarkan tumpukan kartu yang Khansa kenali sebagai kartu tarot. Jemari lentiknya mencabut satu kartu, kemudian menunjukkannya pada Khansa. Sesuatu yang sia-sia, karena Khansa tidak pernah melihat kartu tarot dan tidak mengerti apa pun itu gambar yang ada disana. Dia hanya melihat sosok ksatria berkuda yang membawa sebuah panji di tangan kiri. Sekilas, memang sosok ksatria itu mirip dengan sketsa acak-acakan yang dia buat di atas lembaran buku sketnya.
"Death. Itu nama kartu ini."
"Berarti itu kebetulan."
"Nggak ada yang kebetulan di dunia ini." Gadis aneh itu menukas kalem, berhenti sejenak ketika angin meniup dahan pohon tempat mereka bernaung. Embusnya cukup kuat hingga mampu membuat beberapa helai daun kecokelatan rontok, jatuh perlahan menembus udara hingga berakhir di depan sepatu mereka. "Bahkan daun yang jatuh pun punya maksud tersendiri. Entah itu pertanda badai akan datang, atau kabar gembira untuk makhluk-makhluk mikroskopik yang ada di tanah."
Khansa mengerjapkan mata, selama sesaat seperti tengah bicara dengan Calvin yang memang hobi membawa-bawa istilah rumit dunia ilmu pengetahuan setiap kali mereka mengobrol.
"Death itu salah satu kartu Major Arcana."
"Artinya kematian?"
"Mungkin."
"Kalau iya, aku nggak tertarik membahasnya." Khansa teringat bagaimana dia nyaris mati di kolam renang jika saja bukan karena keberadaan Calvin yang menyelamatkannya. "Apa cuma itu tujuan kamu duduk disini dan ngomong sama aku?"
"Nggak juga. Aku dengar dari Jake katanya kamu lagi sedih. Aku tahu gimana rasanya sedih sendirian. Aku nggak suka ngelihat ada orang yang sedih sendirian."
"Jake?"
"Temanku." Gadis itu tersenyum. "Kamu nggak bisa lihat dia meskipun sejak tadi dia ada di sebelah kamu. Tapi aku bisa lihat dia. Dan percayalah, dia itu baik banget."
"Oh." Khansa langsung paham.
"Kamu nggak kaget? Nggak merasa takut? Reaksi kamu berbeda dengan reaksi kebanyakan orang waktu aku cerita tentang Jake."
"Adik pacarku juga sama seperti kamu. Dia bisa melihat apa yang nggak bisa dilihat oleh kebanyakan orang."
"Hm, pantesan."
Sunyi sesaat.
"Kamu nggak mau tahu apa arti kartu itu?"
"Aku nggak percaya takhayul."
"Sebagian besar orang begitu. Mereka nggak pernah percaya takhayul, keajaiban dan alam ghaib. Hingga suatu saat mereka membutuhkannya, atau menyaksikannya dengan mata kepala sendiri."
"Aku percaya alam ghaib. Tapi takhayul semacam kartu tarot itu terlalu konyol buatku."
Gadis itu mengabaikan jawaban Khansa. "Death itu memang berarti kematian. Tapi dia nggak hanya terkait dengan kematian. Dia bisa berarti akhir. Atau awal yang baru. Pengulangan. Atau transisi. Death itu simbol dari akhir sebuah era. Awal untuk sesuatu yang baru."
Khansa ingin membalas, tapi tidak tahu harus bicara apa. Lidahnya kelu tiba-tiba, seolah darahnya telah dialiri timah.
"Kamu harus mampu menghadapi rasa takut kamu. Dunia ini nggak stagnan. Kamu tidak akan terus-menerus terjebak di fase yang sama untuk selamanya, Khansa Amarissa."
Khansa hampir tersedak. "Dari mana kamu tahu namaku?!"
"Tertulis di sudut kiri atas buku sketmu."
"Oh."
"Kamu nggak kepingin tahu siapa aku?"
"Siapa?"
"Nadine Aishaki." Nadine menyeringai.
"Kamu tukang ramal?"
"Bukan." Nadine menggeleng sambil melirik arloji yang melingkari pergelangan tangan kanannya. "Aku bukan tukang ramal. Meski aku benar tentang sesuatu."
"Oh ya?"
"Tadi aku bilang kita akan berkenalan nggak sampai lima menit lagi. Kata-kataku terbukti, kan?"
Khansa menyipitkan matanya, namun gadis bernama Nadine itu justru tertawa lebar sebelum kembali menyambung,
"Senang bertemu denganmu."
Hari ini hari Jumat. Hari terakhir kerja sebelum akhir pekan menjelang. Sebastian memastikan komputernya sudah dimatikan sebelum dia beranjak dari kursi dan meraih tas serta jaket yang lantas dia sampirkan di bahu. Ruangan sudah sepi. Sebagian besar rekan satu divisinya sudah pulang. Hanya tersisa Sasha yang masih bersetia menunggu, diam-diam menyunggingkan senyum yang sudah bisa Sebastian tangkap apa artinya. Gadis itu ingin mengajaknya pulang bersama.
Terkadang, Sebastian tidak mengerti bagaimana cara pikiran wanita bekerja. Sasha telah menjadi pemuja setia yang tak pernah putus berhadap padanya bahkan sejak dia baru bekerja disana. Sebastian sudah sering memberitahu Sasha bahwa gadis itu tidak punya kesempatan sekaligus alangkah akan lebih baik jika Sasha mencari pria baik di luar sana yang memang menyukainya, tetapi kelihatannya Sasha tidak pernah mendengarkan.
"Sore, Mas Tian. Mau pulang?"
Sebastian mengangguk sekenanya. "Kamu belum pulang?"
"Nungguin Mas Tian." Sasha tertawa. "Gimana kalau kita pulang bareng, Mas?"
"Sori, tapi kayaknya nggak bisa. Saya masih ada agenda lain setelah ini." Sebastian berdusta. Dia tidak pernah suka berbohong seperti itu, namun dia tidak bisa memikirkan cara lain menolak ajakan Sasha dengan sopan. Ini terus berulang setiap hari. Akan lebih mudah jika Sasha tahu kalau Sebastian sudah punya pacar—tapi tentu saja, Sebastian bukan tipe orang yang suka berbagi kisah pribadinya terutama dengan orang yang tidak dia kenal dekat. Suri memang pernah datang ke kantornya, namun sebagian besar relasi kerja Sebastian berpikir gadis itu adalah adik sepupu atau saudara Sebastian yang datang berkunjung.
"Mas Tian sibuk banget, ya? Kayaknya setiap hari selepas kerja selalu ada agenda lain." Sasha tertawa ketika mereka berdua berada dalam lift menuju lobi di lantai dasar.
"Iya."
"Jangan sibuk melulu, Mas. Nanti jadi perjaka tua, loh." Sasha memuntir-muntir ujung rambutnya dengan genit. "Atau jangan-jangan, Mas Tian udah nggak perjaka, ya?"
Sebastian melengos, memilih menatap pada penanda digital di bagian atas pintu lift dimana nomor lantai yang terlewati detik demi detik tertampil jelas.
"Kalau iya, nggak apa-apa, kok Mas. Saya malah senang. Itu tandanya Mas Tian pejantan tangguh. Hehehe."
Sebuah denting yang terasa seperti musik indah buat Sebastian terdengar, disusul pintu lift yang bergeser terbuka. Tanpa peduli pada Sasha, Sebastian berjalan keluar dari lift dan melintasi koridor. Langit di luar sudah meredup, terlihat lebih gelap dari biasanya karena mendung yang bergelayut sejak siang tadi. Lelaki itu melangkah dengan tegak, tapi langsung tercekat ketika matanya menangkap sosok familiar yang berada di atas sofa ruang tunggu.
"Tian!" Suri berseru setelah melepaskan mulut dari sedotan kotak susu cokelat yang dia pegang. Sebastian kian dibikin ternganga, sementara Sasha yang berjalan di belakangnya kontan menghentikan langkah. Mata gadis itu menyipit, serupa predator yang waspada sesudah mendeteksi keberadaan predator pesaing.
"Lo ngapain disini?"
"Nungguin kamu pulang." Suri menyedot lagi susu kotaknya. "Ternyata lama banget. Padahal teman-teman kerja kamu yang lain udah pada keluar dari tadi."
"Harusnya lo bilang dulu ke gue kalau mau dateng kesini."
"Kalau bilang dulu, nanti nggak jadi surprise namanya." Suri tertawa. "Aku nggak bosan, kok. Teman-teman kantor kamu baik-baik banget. Tadi ada yang ngasih susu cokelat sama keripik kentang ke aku. Keripik kentangnya udah aku habisin soalnya aku lapar. Tapi susunya masih ada. Kamu mau coba?"
"Oriana,"
"Terus aku juga ditemenin Surti ngobrol. Dia seru banget. Gaul abis. Lebih gaul dari Wati atau Mpok Jessica dan nggak hobi ngomel kayak Melly."
"Surti?"
"Hantu kantor kamu. Namanya mirip-mirip sama nama aku. Tapi berhubung dia juga cantik, aku nggak keberatan."
"Gue nggak minat ngomongin hantu." Sebastian melotot. "Terus tujuan lo datang kesini apa? Ayah ngizinin? Dua abang lo yang buas itu gimana? Gue nggak mau kepala gue jadi sasaran penembak jitu begitu gue keluar dari lobi."
"Abang Chandra lagi sibuk di studio. Dia kan baru-baru ini duet sama penyanyi internasional itu. Aku lupa namanya. Nggak nge-fans juga, sih. Kan nge-fansnya cuma sama kamu. Abang Calvin mungkin masih di tempat kerjanya. Kalau Abang Cetta, dia udah cabut ke Lombok tadi pagi bareng Kak Rana."
"Terus lo mau ngapain?"
"Jemput kamu."
Sebastian memutar bola matanya. "Gue serius."
"Mau belanja sama kamu. Akhir minggu ini kita bakal ke acara reunian SMA kamu, kan? Aku nggak punya baju perempuan. Punyanya baju cewek. Jadi otomatis, aku harus beli baju baru."
"Apa bedanya baju perempuan sama baju cewek?"
"Cewek itu masih kecil. Masih SMP ke SMA. Masih imut-imut dan polos belum kenal dunia. Kalau perempuan itu udah dewasa. Bukan yang imut-imut lagi, tapi yang seksi. Pakenya bukan flat shoes, tapi stiletto."
Sebastian mendengus. "Mana ada perempuan dewasa nungguin pacarnya di lobi sambil minum susu cokelat kotak dan keripik kentang hasil pemberian orang."
"Sejak kapan orang dewasa nggak boleh minum susu cokelat sama makan keripik kentang? Tian, kalau semua orang punya mindset kayak kamu, pabrik Ultra Jaya sama Chitato bisa bangkrut."
"Mas Tian," Sasha tiba-tiba menyela, membuat Suri kontan melotot padanya. "Dia siapanya Mas Tian?"
"Idih, apa-apaan kamu manggil Tian dengan panggilan sok manja kayak gitu?!" Suri menukas sewot. "Emangnya Tian itu Mas-nya kamu?!"
"Jangan ngomong kasar begitu sama orang yang jelas lebih tua dari lo." Sebastian memperingatkan. "Minta maaf sama Sasha sekarang."
Suri melipat tangan di dada. "Minta maaf sama dedemit lenong kayak dia? Ogah."
"Oriana,"
"Nggak mau. Tian, kamu lihat dong mukanya. Bedaknya udah kayak adonan serabi buat satu kelurahan. Coba kamu tampar, niscaya mukanya nggak akan merah tapi malah retak."
"Kalau lo nggak minta maaf, gue nggak mau temenin lo belanja."
Suri melebarkan kelopak matanya dengan penuh rasa tidak percaya. "Tian... kok gitu sih?!"
"Minta maaf."
"Nggak mau."
"Yaudah."
"Yaudah apa?"
"Gue batal ajak lo ke reunian teman-teman SMA gue."
"Tian,"
"Minta maaf."
Suri menghentakkan kakinya ke lantai lobi, membuat resepsionis yang tengah bersiap-siap untuk pulang diam-diam menahan senyum geli. "Mbak Sasha, aku minta maaf soal ngomong pake nada tinggi tadi. Tapi soal bedak Mbak Sasha yang ketebalan, karena itu kenyataan, aku nggak perlu minta maaf. Deal?"
"Sasha, mewakili dia, saya minta maaf." Sebastian akhirnya menambahkan.
"Emangnya dia siapa, sih?" Sasha mulai jengkel.
"Masih nanya juga aku siapa? Aku tuh—" ucapan Suri terputus ketika menyadari bagaimana Sebastian menatapnya dengan penuh peringatan. Dengan enggan, gadis itu mengembuskan napas pelan sebelum menyambung lirih. "Iya. Maaf."
Sebastian berpaling pada Sasha. "Dia pacar saya."
Pada detik pertama, Sasha dan Suri sama-sama dibuat terbelalak. Namun beberapa saat kemudian, reaksi berbeda terlihat di wajah dua perempuan itu. Sasha tercekat tidak percaya seolah-olah baru saja mendengar kabar pernikahan Zayn Malik dengan Gigi Hadid, sementara Suri langsung tersenyum sok malu-malu seperti kucing minta kawin.
"M—mas Tian serius?!"
"Iya." Sebastian menjawab pendek lalu beralih pada Suri. "Mau belanja dimana?"
"Di mall."
"Yaudah, ayo. Keburu kejebak macet nantinya." Sebastian meneruskan, kali ini sambil mengulurkan tangan kanannya yang langsung diraih Suri. Dengan jari terkait, keduanya berjalan menuju pintu depan, tidak menyadari bagaimana Sasha menatap punggung Sebastian dengan sorot mata terluka.
"Gimana kalau yang ini?"
"Jelek." Sebastian berkomentar sepersekian detik setelah melihat baju yang Suri tunjukkan. Responnya sontak membuat gadis itu memberengut.
"Belum dilihat udah dibilang jelek."
"Karena memang jelek." Sebastian menghela napas. "Gue nggak suka dress tanpa lengan kayak gitu. Jelek."
"Kan bukan kamu yang pake, tapi aku."
"Gue nggak suka lo pake dress tanpa lengan kayak gitu." Sebastian mengoreksi. "Cari yang lain."
Suri mendengus, namun menurut. Gadis itu mengembalikan hanger di tangannya ke tempat semula, lalu meraih gantungan yang lain lagi. "Kalau ini gimana?"
"Kurang bahan."
"Dari tadi, semua baju kalau nggak kamu bilang kurang bahan, pasti kamu bilang jelek."
"Faktanya emang begitu."
"Terus aku harus pake apa ke acara reunian kamu? Pake daster?"
"Boleh juga."
"Tian, aku tuh serius tau!"
Melihat wajah kesal Suri, diam-diam Sebastian tersenyum geli. Matanya mengamati deretan pakaian yang ada di depan mereka sejenak, lantas meraih satu gantungan dan memberikannya pada Suri. "Ini aja."
"Ini mah dress cewek, bukan dress perempuan."
"Cocok buat lo."
"Sebastian Dawala,"
"Sekarang gue tanya, deh," Sebastian buru-buru membalas. "Apa bedanya cewek sama perempuan?"
"Cewek masih kecil. Perempuan udah gede."
"Terus?"
"Cewek cuma imut. Perempuan itu seksi."
"Gue lebih suka yang imut daripada yang seksi."
"Bohong!" Suri langsung membalas. "Kamu suka sama yang seksi. Pas pacaran sama cewek itu aja gaya pacaran kamu hot banget!"
"Siapa?"
"Cathleena."
"Oh." Kemudian sedetik setelahnya Sebastian dibuat melotot. "Lo tau dari mana?!"
"Sergio bilang kamu sering cium-cium mantan kamu waktu masih pacaran dulu."
"That brat."
"Terus Sergio juga bilang kalau kamu sama Cathleena suka diam-diam main di kamar. Heboh banget udah kayak artis film aneh-aneh lagi latihan."
"That brat."
"Sama akunya kapan?!"
"Both of you are brats." Sebastian memutar bola matanya. "Lo masih kecil."
"Jadi kalau udah gede kamu mau?"
Sebastian jadi salah tingkah. "Bukan gitu juga maksud gue."
"Aku perempuan, Tian."
"Emang kapan gue bilang lo laki-laki? Ogah juga kali gue pacaran sama laki-laki."
"Aku bukan cewek."
"Oriana,"
"Cewek itu cuma bagus buat dipacarin. Laki-laki nggak ada yang mau nikah sama cewek. Laki-laki maunya nikah sama perempuan."
"Kata siapa?"
"Kata aku. Barusan aja."
"Cewek atau perempuan sama aja buat gue. Kalau gue suka ya gue ajak nikah."
"Kamu nggak ngajak aku nikah."
"Yaelah," Sebastian berdecak. "Lo masih kuliah."
"Jadi kalau aku udah selesai kuliah, kamu mau ngajak nikah?"
"Bisa aja kalau IPK lo di atas tiga."
"Berarti kamu emang nggak mau nikahin aku."
"Dari mana lo tarik kesimpulan semacam itu?"
"Karena kalau aku bisa dapet IPK tiga setelah lulus, itu bisa langsung masuk ke rekor dunia, Tian."
"Ngaco." Sebastian memutar bola matanya. "Beli yang ini aja. Gue udah lapar."
"Tapi ini dress cewek."
"Gue lebih suka kalau lo pake dress kayak gini daripada dress kurang bahan yang lo sebut-sebut dress perempuan itu."
"Oke sip."
"Oke apanya?"
"Asal kamu suka, aku pasti suka juga." Suri menjawab riang sambil meraih gantungan baju tersebut dari tangan Sebastian, lantas gadis itu melangkah cepat menuju kasir.
Sebastian menghela napas, menatap pada sebentar pada sosok Suri yang kini tengah berada dalam antrian, lalu perlahan senyumnya terkembang.
Ah, bahagia itu memang seringkali didapat dari sesuatu yang sederhana.
Keluarga Cemara (3)
Calvin Raskara : Tes tes satu dua tiga
Barachandra : Udah kayak ibu-ibu majelis taklim lagi cek toa aja
Dimitrio G. : Hehehehe
Barachandra : Bau-baunya ada sesuatu yang terjadi nih
Dimitrio G. : Hehehehe
Calvin Raskara : Tri, lo nggak khilaf kan?
Dimitrio G. : Hehehehe
Barachandra : :-)
Calvin Raskara : Kalau sampai lo khilaf dan ketahuan Ayah, fix sih lo bakal kena pancung
Barachandra : Sekali bangsat tetap aja bangsat
Barachandra : Akhirnya ku tak sendiri lagi
Calvin Raskara : Akhirnya ku jadi yang paling suci di grup ini
Barachandra : Suci apaan, kampret
Barachandra : Coba sekali-kali lo mandi pake lulur atau apa kek gitu
Barachandra : Takutnya sebenernya lo cokelat bukan karena warna kulit asli lo tapi karena daki yang berkerak
Calvin Raskara : Awas ya nanti gue bilangin Bunda
Barachandra : Ngadu mulu udah kayak anak SD kuper lagi dijahilin
Calvin Raskara : Biarin
Calvin Raskara : Lagian sebenernya Bunda lebih sayang gue tau
Calvin Raskara : Dulu lo pernah dihukum sama Bunda kan karena nyemprot bulunya Kitty pake piloks
Barachandra : Lagian almarhum kucing lo itu bulunya keputihan
Barachandra : Nggak cocok sama yang punya
Barachandra : Gue warnain dikit biar jadi funky
Calvin Raskara : Jadi kangen Kitty :(
Calvin Raskara : Kitty ketemu sama Bunda nggak ya disana
Barachandra : Halah
Barachandra : Gue lah
Barachandra : Siapa coba yang dipanggil 'abang' paling pertama kali sama Bunda?
Barachandra : Gue doang
Calvin Raskara : YAIYALAH LO ANAK PERTAMA
Calvin Raskara : Tapi anak pertama biasanya sih produk gagal
Calvin Raskara : Soalnya pas bikinnya belum ahli. Masih percobaan.
Barachandra : Anak pertama dan terakhir tuh dibikinnya pake cinta. Makanya gue sama Culi sama-sama imut
Barachandra : Nggak kayak lo sama Tri yang amit-amit
Barachandra : Btw Tri mana ya
Barachandra : Nggak mungkin kan dia lagi genjot-genjot asik
Calvin Raskara : Lindungilah aku dari setan-setan yang terkutuk
Barachandra : Setan kok minta perlindungan dari setan
Dimitrio G. : Liburan itu enak ya :-)
Barachandra : Enak dalam artian apa ya
Dimitrio G. : Pokoknya enak :-)
Calvin Raskara : Enak dalam artian ehem
Calvin Raskara : Tapi ngomong-ngomong soal enak
Calvin Raskara : Eh perasaan gue nggak enak
Barachandra : Kenapa? Lo belom kentut hari ini?
Calvin Raskara : Bukan itu
Dimitrio G. : Belum boker? Bukannya stok yoghurt hasil ngerampok si Belalang Krispi masih banyak?
Calvin Raskara : Ini nggak ada hubungannya sama dunia perbokeran
Barachandra : Terus apa?
Calvin Raskara : Ayah barusan update Facebook
Dimitrio G. : HAH?! EMANG DIA KENAL SAMA YANG NAMANYA INTERNET
Barachandra : Ea satu monyet mulai panik
Calvin Raskara : Ayah udah punya Facebook. Dibikinin sama Opa Harjo kayanya
Dimitrio G. : TUH KAN GUE BILANG JUGA APA
Dimitrio G. : PERTEMANAN AYAH DAN LELAKI TUA BANGKA ITU NGGAK SEHAT
Dimitrio G. : LAMA-LAMA AYAH BISA DIAJARIN MAIN INSTAGRAM
Barachandra : Nggak apa-apa lah lumayan nambahin followers gue sebiji
Dimitrio G. : Ah kampret
Dimitrio G. : Kebayang nggak lo kalau dia nongol di kolom komentar akun Instagram gue
Dimitrio G. : Pasti nggak jauh-jauh dari kata 'Dimitrio, jemuran Ayah sudah diangkat belum. Ayah masih ngopi di rumah Opa Harjo' atau 'Dimitrio, nanti pulangnya Ayah titip pupuk urea ya, persediaan pupuk di rumah udah menipis'.
Dimitrio G. : Bisa-bisa martabat gue pindah ke dengkul
Calvin Raskara : Enakan juga martabak
Dimitrio G. : Serius, kampret
Calvin Raskara : Gue juga serius. Ayah upload foto.
Calvin Raskara sent a photo
Barachandra : BEO-NYA OPA HARJO?
Calvin Raskara : Lo mau tau captionnya kayak gimana?
Calvin Raskara : Kelana Wiraatmaja Full si cantik Beyi, burung terseksi di komplek Widuri Permai. Luvvvv.
Barachandra : PLIS NAMA PESBUK AYAH
Barachandra : KELANA WIRAATMAJA FULL
Barachandra : FULL
Dimitrio G. : Berak
Barachandra : Burung terseksi
Barachandra : Najis masih seksian juga burung gue
Calvin Raskara : Bilang gih ke Ayah
Dimitrio G. : Durhaka nggak kalau gue malu mengakui Ayah sendiri
Barachandra : Nggak. Cuma paling uang jajan lo nanti dipotong
Dimitrio G. : Hhh ini pasti hasil didikan Opa Harjo
Calvin Raskara : Masalah utamanya bukan itu sih tapi
Dimitrio G. : Demi Tuhan ya Malika Raskara Wiraatmaja, itu aja udah jadi masalah besar
Calvin Raskara : Yeu, jamban dengerin dulu
Calvin Raskara : Ayah nggak akan main ke rumah Opa Harjo kecuali dia sendirian di rumah
Calvin Raskara : Pertanyaannya adalah... dimana dia sekarang?
Dimitrio G. : Lagi nongkrong ama Siena kali
Barachandra : Kaga anjir
Dimitrio G. : Lo tau darimana?!
Barachandra : Siena barusan nge-listen lagu galau di Path
Calvin Raskara : Wadow, lo apain tuh anak orang
Barachandra : FOKUS DULU MONYET-MONYETKU
Barachandra : Suri dimana?!
Barachandra : Jangan bilang kalau dia lagi sama Belalang Krispi!??????????
Barachandra : Gue telepon Suri sekarang
Dimitrio G. : Gue juga
Calvin Raskara : Gue juga
Barachandra : Geblek lo semua
Barachandra : Gimana bisa nyambung kalau kita telepon dia barengan?!
Calvin Raskara : Woiya lupa
Dimitrio G. : Bener juga
Barachandra : Kalau positif dia lagi sama si Belalang Krispi fix Malika harus cabut untuk misi penyelamatan darurat
Calvin Raskara : KOK GUE
Barachandra : Masa gue?! Gue dikurung ama manajer gue, ada siaran radio sejam lagi. Lah si Tri mau lo suruh terbang dari Lombok buat jemput Suri?!
Calvin Raskara : Woiya lupa
Barachandra : Lupa aja terus lupa
Calvin Raskara : Ya maap atuh komandan
Dimitrio G. : Kabarin gue soal perkembangannya
Dimitrio G. : Mal, lo lagi mengemban misi negara
Dimitrio G. : Jalankan baik-baik
Calvin Raskara : Tai
Cetta baru saja menutup jendela percakapan grup LINE antara dirinya dan kedua saudara laki-lakinya ketika suara pekik dari kamar mandi membuatnya terlonjak dari kasur secara otomatis. Laki-laki itu bergerak menuju pintu kamar mandi, mengetuknya pelan dengan kekhawatiran mewarnai wajahnya.
"Darling, you okay?"
Apa yang terdengar berikutnya adalah suara keran air yang ditutup, disusul pintu kamar mandi yang terbuka. Seraut wajah lelah milik Rana menyembul, terlihat pucat tanpa riasan. Gadis itu berjalan melewati Cetta, lantas duduk di pinggir ranjang.
"Kamu kenapa?"
"Tadi barusan ngelihat hantu."
Salah satu alis Cetta terangkat. "Hantu?"
Rana mengangguk. "Iya."
"Nggak takut?"
"Emang sejak kapan aku takut hantu?" Rana justru balik bertanya. "Tadi waktu aku lagi cuci muka, ada bayangan cewek di kaca. Aku kaget, makanya ngejerit. Tapi terus dia ilang. Kayaknya sama seperti hantu di rumah kamu, dia juga naksir kamu, deh."
"Rana,"
"Tapi karena hantunya cantik ya aku nggak ngerasa seram sih. Cuma kaget aja."
"Rana,"
"Awas aja kalau hantunya jahilin kamu atau ngikutin kamu. Pokoknya aku nggak suka. Lagian muka kamu nggak normal gitu, sih. Sampe yang udah mati aja mau nempel ngikutin melulu."
Ucapan Rana membuat Cetta terkenang akan peristiwa lebih dari setahun lalu yang berhasil membuat mereka dekat hingga akhirnya memutuskan untuk berpacaran. Waktu itu, Cetta diikuti oleh hantu yang menghuni pohon beringin di depan rumah keluarga Rana. Cetta sempat merasa masa-masa itu adalah masa tersialnya selama hidup di Bumi, tetapi jika bukan karena hantu pohon beringin itu, Cetta dan Rana mungkin tidak akan saling menemukan dan menjadi seperti sekarang.
"Nanti malam mau makan malam di tepi pantai?"
Rana menjawab singkat. "Mau."
"Kok kayak nggak happy sih?"
"Capek. Mau bobo."
"Yaudah, bobo."
"Nggak enak kalau bobo sendiri."
"Mau sambil dipeluk?"
Rana mengerjapkan mata. "Kamu yang nawarin loh. Bukan aku yang minta."
"Iya, sayang. Iya." Cetta membalas sambil beranjak naik ke tempat tidur, kemudian berbaring di satu sisi sebelum akhirnya menepuk pada lengan kanannya. "Sini. Katanya mau bobo."
"Kamu yang nawarin, kan? Bukan aku yang minta."
"Iya."
"Kalau gitu, baru aku mau." Rana menggeser posisinya, lantas berbaring dengan menjadikan separuh dada Cetta sebagai bantalnya. "Kamu deg-degan. Pasti karena ada aku."
"Kalau nggak deg-degan, tandanya aku mati, Rana."
"Hm. Bener juga."
"Yaudah, bobo." Cetta membungkuk sedikit, mengecup sekilas puncak kepala Rana sebelum menenggelamkan jari-jarinya di tumpukan helai tebal rambut gelap gadis itu. Tidak butuh waktu lama bagi Rana untuk terpejam, lalu tersesat sejenak di alam mimpi, membiarkan Cetta menatap pada dinding kuning gading dengan dahi berlipat.
Hantu bukan sesuatu yang asing buatnya, terutama karena dia punya adik perempuan yang bisa melihat hantu selama dua puluh empat jam penuh dalam sehari. Namun setelah serangkaian peristiwa yang terjadi, mulai kekalutan karena nyawa Suri yang sempat terancam hingga peristiwa di luar nalar tentang Bunda yang menitipkan pesan dan Ayah yang kini sudah kembali ke rumah, Cetta merasa hantu bukan lagi sosok yang biasa. Kemunculan mereka—terutama yang baru saja menunjukkan diri di depan Rana—bisa saja menjadi tanda untuk sesuatu yang tidak terduga.
Entah apa itu, Cetta tidak ingin menebaknya.
Halo.
Sebetulnya, gue adalah orang yang sangat malas menjelaskan tentang cerita gue kepada pembaca. Kayak gimana ya, ya gue tulis aja. Masalah interpretasi atau apapun itu terserah ke pembaca.
Tapi kayaknya, gue perlu kasih tau tentang satu dan beberapa hal. Pertama-tama, cerita ini terdiri dari beberapa book/arch (biar gampang lo bisa sebut aja season tapi gue pribadi nggak suka istilah season karena kesannya cinta fitri banget) kenapa gue pecah jadi ada season lain? karena kalian pengen tau lebih jauh tentang dunia blablabla dan kelanjutan hubungan para karakter. dan karena fokus ceritanya juga udah pindah ke tahap berikutnya. terus kenapa nggak gue bikin di works terpisah? buset dah, itu cerita Yohana-Dio-Edgar aja udah lama ngejedok di works gue dari tahun jebot juga masih ada aja yang nanya ceritanya hana-dio-edgar ada apa kagak. gue sangat memahami kalau orang indonesia itu rata-rata malas baca atau mencari tahu sendiri dan gue orangnya bisa meledak kalau ditanya sesuatu yang sama berkali-kali like bitch plizzzzzzzzzzzzzzz heuh
book pertama Noir bercerita tentang Suri, tiga abang, masalah di rumah mereka, pertemuan pertama Suri dengan keluarga Dawala juga gimana kemampuan Suri membuatnya mengenal Nael-Zoei dan kawan-kawan. Klimaksnya adalah di masa persidangan (dimana kemudian ketauan kalau Nael ternyata Noir) sori lah kalo kurang klimaks jongmal miane im not into drama-dramaan. akibatnya apa? peristiwa itu secara nggak langsung meluruskan kesalahpahaman Suri sama Bundanya, sekaligus bikin Ayah berenti lari dan pulang ke rumah. Dah.
Book kedua bercerita tentang apa? Konsekuensi dari apa yang terjadi di book pertama. Dah.
Terserah sih kalau ada yang berpikirnya alurnya nggak jelas, but in my really humble and honest opinion, alurnya bukan nggak jelas. lo hanya belum bisa membaca alur ini akan mau dibawa kemana? Begitu kan? Sama aja kayak waktu baca Noir awal-awal. Emang lo ngira bakal gue bawa ke masalah iblis dan malaikat dengan pembukaan yang receh dan cerita Bu Asturo sampai Pak Asep Lekong?
Semua scene yang gue tulis (kecuali yang Nala jadi cameo wkwkw) punya makna sendiri-sendiri yang nanti baru lo sadari menjelang akhir cerita. Pergi liburannya Dimi dan Rana ke Lombok bakal bawa impact tersendiri. Hubungan Khansa sama Papanya bakal bawa impact sendiri. Kemunculan Sombre bakal ada fungsi sendiri. Begitu juga kehadiran Nadine. Dan hubungan Suri-Sebastian juga nggak akan semulus itu.
Gue tidak masalah dengan opini. Apapun itu. Terserah. Toh gue juga nggak peduli. Tapi entah kenapa rasanya nggak enak aja ketika seseorang terlalu cepat ambil kesimpulan 'ah ini pasti begini' atau 'ah ini pasti begitu'
Kalau lo readers gue dari jaman gue masih menulis di Facebook, lo pasti tau gimana gaya gue ketika menulis. Semua scene yang gue tulis selalu punya makna. Selalu punya maksud. Dan scene-scene itu yang kelak akan jadi justifikasi para karakter untuk bertindak ke depannya. Lo nggak tau kemana ini akan dibelokkin, sama seperti lo nggak mengira kalau Nael = Noir.
TERUS YA
Heloh kenapa pada masih nanya chapternya loncat-loncat dan sebagainya. Gue udah tulis di bio. DI BIO. Kelen tuh sebelum kirim message ke gue atau nulis di wall gue tuh pasti liat informasi gue dulu, kan? Bio tuh salah satu yang kelihatan pertama kali loh. Sumprit dah, pokoknya masih ada yang nanya juga terkait privat dan gimana cara bacanya, nggak akan gue jawab. Sekian. Males lama-lama berbi baca pertanyaan berulang.
Aduh mara-mere melulu ya gue iya emang gue orangnya nyebelin.
Teros.
Kayaknya gue dan Yohana Doang mau bikin grup LINE. mungkin malem ini. atau besok ya? gatau. gue udah bikin pengumuman di SLS bab dada bola tenis sih kemaren. Jadi gue mau fokus masukkin ID LINE orang-orang yang komen di chapter itu dulu.
Teros apalagi ya
Ah udahlah gue mau beli rendang sama es buah dulu. Laper mbakbro. Moga puasa kalian semua lancar dan selalu happy.
Wuekeekekekekeke *ketawa ala tokek*
Ciao.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro