Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#06

Sesaat setelah cowok itu menyebutkan namanya, Siena dibuat tercengang. Bukan karena penampilannya atau bagaimana sorot matanya bisa terlihat begitu mempesona, melainkan karena namanya. Sebaris nama itu terdengar seperti nama yang diimpor dari salah satu karakter cerita dongeng. Bukan dalam artian yang buruk. Nama cowok itu terkesan ethereal karena terlalu indah dan jauh lebih pantas berada dalam bait-bait puisi karya penyair ternama.

Ah tidak juga, Siena berpikir. Kenyataannya, nama itu sangat wajar tersemat pada sosok serupa dirinya. Meskipun diam-diam Siena menangkap kesan playboy yang lumayan kental dari cara cowok itu menatap yang sedikit-banyak mengingatkannya pada Chandra.

"Wait... Nala... Anarki?" suara Suri adalah apa yang memecah keheningan diantara mereka beberapa saat kemudian. Berbeda dengan Siena yang terlihat takjub, Suri justru tampak geli. Wajah gadis itu memerah karena mati-matian menahan tawa. "Seriusan... nama om tuh Nala Anarki? Kayak nama apa, ya? Hng... tapi Anarki bagus juga. Nanti kalau aku sama Tian piara pudel bareng kayak para pasangan kekinian, mau aku namain Nala Anarki aja, ah."

Kening Nala kontan berkerut. "Om?" Lalu mata cowok itu terbeliak lebih lebar. "Pudel? Anjing pudel maksud kamu?"

"Suri, lo benar-benar nggak sopan!" Siena berseru sambil melotot pada temannya. "Ng... maafin temen saya ya... Kak Nala..."

Nala berdecak. Dia tidak sepenuhnya terlihat tidak senang, namun juga ekspresi wajahnya jauh dari kata geli. "Nggak apa-apa."

"Bukan salah aku juga, kan ya?" Suri terkekeh. "Soalnya kelihatannya dia udah om-om. Tapi bukan berarti jelek, kok. Om ganteng. Seriusan. Dua rius malah. Hehehe."

Siena benar-benar ingin menepuk dahinya keras-keras sekarang. Pipinya kembali dijalari oleh semburat merah muda. Kemudian dia tersadar akan sesuatu; tentang smoothie milik Nala yang tumpah dan bagaimana tumpahan minuman itu membuat bajunya basah. Dengan ragu-ragu dan penuh rasa bersalah, Siena menghela napas sebelum mulai bicara.

"Soal baju kakak—"

"Nala. Bukan kakak."

"Tapi... tapi kakak kan lebih tua?"

"Bukan berarti saya kakak kamu."

Siena langsung dibuat bungkam, sementara Suri justru tertawa keras-keras.

"Ih, jangan jutek-jutek dong, Om. Nanti kalau temanku naksir sama om gimana? Abang aku bisa kalang-kabut, soalnya kalau saingan sama yang bentukannya kayak om, dia bakal langsung kalah telak. Hehehe."

Nala mulai berpikir jika kesehatan mental gadis yang kini sibuk tertawa-tawa di depannya harus dipertanyakan.

"Oke-oke." Siena menyela sebelum obrolan mereka melenceng jauh dari konteks yang sebenarnya. "Soal baju... em... kamu, gimana kalau saya beliin baju yang baru? Soalnya baju kamu basah banget setelah kena tumpahan smoothies gara-gara tabrakan sama saya."

"Kalau udah kena air tapi masih kering, itu ajaib namanya." Nala menyahut, agak terdengar sedikit ketus hingga Siena sempat tersentak. Sejenak kemudian, Nala langsung menyesalinya. Dia kesal, tapi bukan karena terkena tumpahan smoothies. Kalau boleh jujur, ekspresi wajah gadis berambut panjang di depannya justru membuatnya merasa kasihan. Gadis itu terlihat sangat bersalah. Namun kehadiran temannya yang kelihatannya hanya punya tingkat kewarasan di bawah lima puluh persen membuat Nala ingin memaki-maki orang.

"Iya. Ini salah saya." Siena mengangguk. "Yaudah. Kamu setuju? Kalau iya, sekarang saya bakal langsung ke bagian department store dan membelikan kamu baju yang baru. Bukan berarti saya berpikir semuanya bisa selesai cuma dengan membelikan kamu baju. But at least, saya bisa meminimalisir kerugian kamu karena kecerobohan saya."

"Siena, lo ngomong baku banget udah kayak lagi negosiasi sama asisten dosen aja," Suri berkomentar sambil menggaruk tengkuknya. "Lagian bukan cuma baju om ini yang basah, tapi baju lo juga."

"Berhenti panggil saya om."

"Terus maunya dipanggil apa?" Pandangan Suri berubah jadi kerlingan genit. "Kalau dipanggil 'sayang' atau 'cinta', sori-sori nih. Om ganteng, kok. Serius. Kalau serius nggak cukup, sekodi rius juga boleh. Cuma aku udah punya pacar. Dan aku sayang pacar aku. Jadi aku nggak bisa diajakin selingkuh."

"Teman saya emang suka rada sinting. Abaikan aja." Siena memotong. "Jadi gimana?"

"Nevermind."

"Maksudnya?"

"Baju saya basah. Baju kamu juga basah. Kamu sudah minta maaf, dan meskipun saya bukan orang baik, saya juga bukan orang jahat yang akan marah-marah pada cewek remaja kayak kamu cuma karena kamu bikin baju saya basah." Nala menatap pada Siena, tapi kemudian sorot matanya berganti menatap sesuatu yang berada jauh di belakang gadis itu. Samar, ada senyum yang terkembang mengiringi hangat yang meleleh pada kedalaman iris matanya. "Lagipula, akan ada yang nggak suka kalau saya menerima baju dari perempuan lain."

Spontan, Siena langsung memutar tubuhnya hanya untuk mendapati sesosok gadis mungil berambut hitam yang melambai dari tempatnya berdiri. Gadis itu cantik, namun gaya berpakaiannya biasa saja. Dia terlihat kian manis ketika tersenyum, dan terkesan polos dengan sebuah es krim cone McDonald's terpegang di tangan kanan.

"Your girlfriend?"

Tatapan Nala melembut. "Ma chéri."

Siena memiringkan wajahnya, membuat Nala tertawa pelan. Tidak keras dan tidak puas. Hanya lirih, namun lirih yang terkesan begitu manis. Mendengarnya membuat Siena bertanya-tanya, apakah kelak ada pria yang akan tertawa seperti itu ketika melihatnya atau membicarakan tentangnya pada orang lain?

"My fiancée." Nala menjelaskan. "Nggak ada masalah diantara kita. Semuanya clear. Tapi lain kali, kamu harus hati-hati. Meskipun kamu cantik, nggak semua orang akan sesantai saya ketika kamu bikin baju mereka basah."

"Soal smoothies yang tumpah, saya bisa ganti. That's the very least thing I can do."

Nala menggeleng. "Nggak perlu. Saya nggak mau bikin Nirbita menunggu."

Siena tidak bisa memberi respon apa pun selain anggukan ketika Nala berlalu. Dia dan Suri berdiri, menatap pada punggung lebar cowok itu yang kian menjauh. Kemudian dia berhenti tepat di depan gadis yang disebutnya sebagai tunangan. Mereka sempat bicara sebentar—entah apa, tapi Siena yakin gadis itu pasti tengah bertanya tentang baju Nala yang basah. Nala menjawabnya, membuat kepala Nirbita tertoleh pada Suri dan Siena dalam hitungan detik. Siena menduga gadis itu akan melotot padanya karena dia telah membuat pakaian Nala basah. Namun ternyata tidak. Nirbita justru tersenyum lebar, lalu menunjukkan ibu jari tangan kanannya. Gadis itu juga sempat melambai sebelum Nala mengamit sikunya, menariknya pergi dari sana dengan ekspresi wajah setengah jengkel setengah geli.

"Teori itu memang benar." Suri berkata setelah sosok Nala dan Nirbita menghilang, melebur dalam keramaian pengunjung yang memadati pusat perbelanjaan di hari libur.

"Teori apa?" Siena balik bertanya sambil kembali duduk di kursinya. Tidak seberapa lama, seorang pramusaji mendekat dengan nampan makanan. Suri dan Siena menunggu hingga pramusaji itu selesai menghidangkan dishes yang mereka pesan di atas meja sebelum melanjutkan obrolan mereka.

"Teori ekonomi. Barang bagus pasti cepat lakunya."

"Ngaco!" Siena berseru sebal. "Dari dulu sampai sekarang, lo tuh nggak pernah menunjukkan perkembangan menggembirakan kalau berhubungan sama tingkat kewarasan. Urat malu lo udah putus, ya?"

"Haram hukumnya malu-malu kucing di depan makhluk tampan."

"Tapi nggak gitu juga kali, Sur. Gue berani taruhan, Kak Nala pasti mikir kalau lo itu sinting. Atau minimalnya, pasien rumah sakit jiwa yang belum sembuh dan maksa keluar dari rumah sakit jiwa dengan sogokan."

"Nggak apa-apa dikira gila, yang penting cantik."

Siena memutar bola matanya. "Terserah."

"By the way, tadi katanya lo mau ke kamar mandi. Kenapa nggak jadi? Pipisnya batal keluar karena ketemu Om Nala?"

"Suri!" Siena berseru tertahan, sadar jika mereka tengah berada di muka umum. Sangat ilegal jika Siena memberikan reaksi radikal atas ucapan Suri di depan orang banyak. Bisa-bisa mereka berakhir bukan hanya di ruangan keamanan mall, tapi juga trending topic dan bahan tertawaan publik selama tujuh hari berturut-turut. "Jangan ngaco."

"Abis tadi kayaknya buru-buru banget mau ke kamar mandi."

Siena terdiam.

"Atau lo mau pergi ke kamar mandi karena mau nangis, bukan mau pipis, iya kan?"

Kali ini, Siena dibikin terbelalak. "Maksud lo?"

"Tadi ekspresi wajah lo berubah banget abis lihat handphone. Kayak orang salah ngunyah lengkuas yang dikira daging. Gue jadi kepo, dong. Jadi selama lo mengobrol heboh dengan Om Nala, gue lihat handphone lo. Akhirnya gue tahu kenapa lo sedingin itu ketika bahas Abang Chandra."

"Suri,"

"Kalau mau nangis nggak apa-apa, Siena. Nggak usah pura-pura kuat. Lagian, bukannya kita teman? Kenapa lo nggak bilang sama gue?"

Siena mengerti apa yang tengah berusaha Suri bahas. Gadis itu tengah bicara tentang apa yang baru saja dia temukan di ponsel Siena—sederetan hate messages yang hampir tak terhitung jumlahnya di nyaris semua akun sosial media yang Siena miliki. Di awal-awal Chandra menunjukkan kedekatan mereka di sosial-media, jumlahnya masih sedikit. Namun akhir-akhir ini, hate messages yang dialamatkan padanya kian membanyak.

Sebetulnya, Siena mengerti kenapa para penggemar Chandra sampai mengiriminya pesan dengan serentetan makian seperti itu. Tetapi mengerti dan mampu menerima makian tersebut adalah dua hal yang berbeda. Siena bukan gadis yang percaya diri seperti Suri. Ketika ada sekumpulan orang yang mencercanya, bukan hanya dari segi karakter—yang tidak benar-benar mereka ketahui—namun juga hingga pada penampilannya membuat Siena merasa insecure.

"Gue kasih tau abang gue aja deh, ya?"

"Jangan." Siena menjawab cepat.

"Terus mau lo apa, dong? Ngediemin Abang Chandra? Atau diam aja?"

Siena menghela napas panjang. "Gue nggak tahu."

"Siena, kalau lo emang sayang sama seseorang, lo harus berjuang. Kalau kata Bunda dulu sih, kalau emang beneran cinta ya harus dikejar. Karena cinta nggak cuma butuh kata-kata gombal, tapi juga perlu pembuktian. Hehehe. Lama-lama gue jadi kedengaran kayak Abang Chandra versi cewek."

Ada kerut berlipat di dahi Siena. "Bukannya selama ini lo nggak setuju gue dekat sama abang lo?"

"Emang." Suri menyedot minumannya, lalu menatap Siena dengan sorot sebijak Biksu Tong Sam Chong saat memandang Sun Go Kong. "Tapi gue maunya lo menyerah karena emang lo tahu abang gue terlalu brengsek buat lo. Bukan karena hate messages abal-abal dari dedek gemes-dedek gemes noraknya. You know what, you shall not let people tell you how to live your life."

Siena meraih pisau dan garpu, memilih untuk mulai fokus pada makanannya yang belum tersentuh sejak tadi. "Biarin aja, deh."

"Maksud lo?"

"Soal hate messages itu. Gue janji gue nggak akan menutupi apa pun lagi dari lo. Gue bakal cerita. Tapi nggak perlu sampai cerita ke Kak Chandra."

"Kenapa begitu?"

"Karena gue ngerti kenapa penggemar Kak Chandra sampai membanjiri gue dengan makian-makian itu."

"Kebencian tetap kebencian. Nggak peduli apa pun alasannya, lo nggak bisa ngasih justifikasi ke mereka untuk ngelakuin itu. Mereka nggak boleh menghina lo sampai kayak gitu, karena mereka nggak kenal lo. Gue yang boleh, soalnya gue kenal lo. Udah lama pula. Tiga tahun sekelas, berasa berkerak liat lo lagi dan lo lagi."

Siena tersenyum. "Gue pernah ada di posisi mereka, Suri. Mereka hanya cemburu. Jadi nggak apa-apa. Biarin aja."

"Tapi lo benar-benar harus janji sama gue,"

"Anything."

"Kalau ada apa-apa, lo harus cerita. Nggak boleh simpan semuanya sendirian. Katanya kita teman. Kalau lo masih nyembunyiin segalanya dari gue, mending gue ikutan jadi haters lo. Deal?"

"Deal."

"Oh ya, satu lagi,"

"Apa?"

"Jangan jauhin Abang Chandra karena lo takut sama fansnya yang lengket-lengket labil kayak papeda itu." Suri menegaskan. "Jauhin dia karena lo emang sadar lo terlalu baik buat dia. Oke?"

Siena tertawa kecil ketika akhirnya dia menjawab. "Oke, Bos."

"Apa kamu memang selalu bergaya seperti ini setiap kali mengunjungi dunia makhluk mortal?"

Nael bertanya pada Sombre sesaat setelah lelaki itu mencapai tepi kolam renang. Mereka tengah berada di area kolam renang outdoor salah satu dari deretan hotel bintang lima yang tersebar di sekitar Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta. Selepas menikmati semangkuk mi instan yang kata Sombre merupakan cinta sehidup-sematinya, pimpinan para undertaker itu mengajak Nael ke sebuah hotel dan membooking satu unit kamar presidential suit untuk tiga hari dua malam. Beberapa orang sempat memandang mereka dengan aneh. Entah karena wajah keduanya yang terbilang di atas rata-rata, atau karena mereka mengira Nael dan Sombre sebagai pasangan gay.

"Apanya yang bergaya?" Sombre justru balik bertanya. Secara mengejutkan, dia justru terlihat semakin tidak manusiawi dengan rambut basah dan titik-titik air di wajah serta bahunya.

"Menginap di hotel seperti jutawan kelas atas." Nael memutar bola matanya. "Dan apa tadi nama mortal yang kamu gunakan? Manuraka Kathmandu?"

"Seorang penyair mortal yang kukenal pernah mengeluarkan kutipan yang berbunyi; apalah arti sebuah nama? Dan aku sepenuhnya setuju. Entah dengan nama Sombre yang diberikan Sang Pencipta, atau Manuraka Kathmandu yang kukarang sendiri, aku tetap aku. Perubahan namaku tidak akan mengubahku menjadi sesuatu yang bukan aku. Sama seperti kamu, kan? Apakah Nael, apakah Noir, itu tidak lagi menjadi penting sekarang."

"William Shakespeare, maksud kamu?"

"Ah, iya. Sudah lama sekali sejak jiwanya meninggalkan dunia ini. Ketika aku mengeluarkan perintah penjemputannya, aku sengaja menambahkan catatan agar malaikat yang menjemputnya tampil sebaik mungkin. Kamu tahu, dia adalah jiwa yang menyenangkan. Dan dia tidak takut pada iblis. Menurutnya, sebagian manusia bahkan bisa lebih keji dan lebih menyeramkan dari iblis itu sendiri. Bagaimana menurutmu?"

"Aku tidak peduli."

"Tentu saja." Sombre terkekeh. "Satu-satunya makhluk mortal yang kamu pedulikan hanya Oriana Suri Laksita."

"Kamu bicara seolah-olah aku dan Oriana Suri Laksita punya hubungan romantis."

"Kamu salah sangka, Nael. Cinta terlarang tidak pernah menjadi sesuatu yang menarik untukku. Terlalu biasa. Terlalu banyak kebodohan. Terlalu banyak air mata dan darah yang sia-sia. Seperti Romeo dan Juliet itu contohnya. Aku sudah katakan pada Willy untuk tidak mengarang cerita semacam itu karena terlalu memuakkan, tapi dia tidak mau mendengar."

"Willy?"

"Panggilan akrabku untuknya."

Nael mendengus.

"Oh, ayolah," Sombre tertawa lagi. "William Shakespeare terlalu panjang. Aku butuh nama yang lebih singkat dan terkesan akrab."

"Apa Sang Pencipta tahu bagaimana kamu sudah menerobos batas-batas dunia immortal?"

"Ah, tentu saja Dia tahu. Dia tidak berkomentar soal itu. Semua undertaker selalu bersikap semaunya ketika datang ke dunia mortal. Kecuali membuka identitas kami pada makhluk selain makhluk ghaib, tentu saja. Hanya kamu dan ketujuh iblis itu yang menjalani waktu dengan cara membosankan, Nael."

"Lantas bagaimana dengan Subiakto Dhaneswara?"

"Ah, dia?" Sombre mengedikkan bahu. "Aku hanya pekerja untuk Sang Pencipta. Aku tak punya wewenang menginterupsi apa pun. Apa yang terjadi akan terjadi. Apa yang tidak terjadi tidak akan terjadi. Waktu harus dijalani tanpa merusak alirannya. Kita ini hanya ikan yang berenang mengikuti alur sungai tanpa tahu apa yang akan kita temui di depan. Cinta terlarang dan kepedulian yang tak perlu hanya akan membawa pada penderitaan. Aku percaya, kamu mengerti apa yang kumaksud."

"Kamu terdengar seperti sedang menyindirku."

Sombre menyeringai. "Memang."

"Tapi nama belakangmu itu... Kathmandu... terdengar familiar."

"Itu nama ibukota Nepal."

"Bukan dalam artian itu." Nael menukas sewot. "Kathmandu... aku seperti pernah mendengarnya entah dimana."

"Wajar." Sombre mengangkat tubuhnya sendiri dari air dan duduk di tepi kolam. Dia mengabaikan tatapan beberapa makhluk mortal yang terarah pada bagian atas tubuhnya yang tak tertutup apa pun. "Kathmandu adalah salah satu dari dua klan paling berpengaruh diantara para serpent."

"Oh." Nael langsung mengerti.

Serpent yang dimaksud Sombre adalah kaum penghisap darah yang semula hidup di puncak-puncak gunung pada awal penciptaan mereka. Bersama-sama dengan dua kaum lainnya yaitu Goja dan Shizen, Serpent merupakan makhluk immortal di luar iblis, malaikat, undertaker dan orang-orang mati. Mereka tidak pernah terencana untuk dicipta, namun hadir karena kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh iblis, malaikat dan undertaker. Mulai dari karena kelalaian menjalankan tugas hingga cinta antar makhluk yang tidak diizinkan untuk ada.

Serpent adalah makhluk yang terhukum. Mereka adalah sosok ular dalam cerita Adam dan Hawa. Sosok yang menghasut Hawa untuk tergerak menuju pohon buah terlarang yang berujung Adam dan Hawa harus diturunkan ke dunia. Sang Pencipta adalah yang maha adil, katanya. Jadi Dia turut memberi hukuman untuk para ular, menjadikan mereka sebagai makhluk terkutuk yang bahkan lebih hina dari iblis.

Seiring dengan perkembangan jaman, para serpent mulai meninggalkan puncak gunung dan berbaur dengan manusia. Namun demikian, kedua klan tertinggi masih berusaha keras hidup tak jauh berbeda dengan masa lalu untuk menjaga keningratan mereka. Kebiasaan menghisap darah manusia telah lama ditinggalkan, meski mereka masih membutuhkannya untuk beberapa ritual dan tradisi. Itulah penyebab mengapa setiap tahun selalu ada orang-orang hilang yang tak pernah kembali atau pendaki yang lenyap tanpa jejak.

"Jangan katakan padaku jika kamu hanya diam saja di masa persembunyianmu yang ratusan tahun," Sombre berdecak. "Sama sekali tidak menyenangkan. Dengar, Nael, eksistensi kita akan terlalu membosankan jika kamu tidak mencoba sesuatu yang baru."

"Aku tidak mau melanggar batas lagi."

"Aku tidak pernah melanggar batas. Apa yang kamu perlukan hanya kontrol diri, Iblis Kedelapan. Hanya itu."

"Aku tidak mau mengambil risiko."

"Ya-ya. Aku mengerti." Sombre lagi-lagi tersenyum geli.

Obrolan mereka terhenti ketika tiba-tiba seorang gadis berambut hitam mendekat. Wajah gadis itu tampak dingin. Tubuhnya mungil, namun terkesan semampai. Tak ada senyum di bibirnya. Hanya dalam sekali tatap, Nael tahu jika gadis itu bukan makhluk mortal.

"Siapa kamu?"

"Seorang gadis." Sombre yang justru menjawab dengan sorot mata tengil yang kini dia arahkan pada gadis itu. "—dan dia cantik."

Sang gadis tidak terlihat terkesan. "Sage Diwangka dari Klan Diwangka."

"As I expected. A serpent." Sombre tidak terlihat terkesan. "Apa yang kamu inginkan hingga kamu berani bicara pada kami?"

"Bukan sesuatu yang penting, sebetulnya." Sage memiringkan wajahya, menatap tajam pada Sombre. "Hanya saja, aku tidak menduga akan bertemu dengan Noir dan pimpinan para undertaker di tempat seperti ini."

"Dunia terlalu luas, dimensi terlalu banyak dan waktu terlalu panjang untuk dihabiskan hanya pada satu tempat, Nona Sage."

"Alasan pembenaran yang sebetulnya tidak bisa kuterima. Aku hanya heran, bagaimana bisa kalian bersantai seperti ini ketika dunia makhluk ghaib sedang dalam situasi yang tak terkontrol."

"Everything is in control, missy."

"Menurutmu. Tidak menurut kami." Sage memotong. "Alam mulai menunjukkan ketidakseimbangan, Pimpinan Undertaker."

Nael berdehem. "Maksudmu?"

"Alam mulai menunjukkan ketidakseimbangan." Sage mengulangi. "Dan kamu jelas tahu apa maksudku. Ketika sesuatu yang tersembunyi menjadi tidak tersembunyi, jelas ada konsekuensi yang harus dihadapi."

Hari sudah menjelang sore ketika Suri tiba di rumah. Selepas menurunkan Suri, Siena memilih untuk langsung pulang. Alasan pertama, karena hari sudah sore. Petang telah menjemput dan Siena tidak ingin membuat kedua orang tuanya khawatir karena teknisnya, dia masih pemula dalam mengemudi. Alasan kedua, karena Chandra ada di rumah dan Siena sedang tidak ingin bertemu Chandra.

Suri tidak keberatan. Bahkan setelah melihat sederetan pesan penuh cacian yang ditujukan pada Siena lewat dunia maya, Suri justru mengerti. Gadis itu menyempatkan diri menonton Siena memutar arah mobil, lantas melambai ketika temannya berlalu. Ketiga abangnya pasti sudah berada di rumah sekarang. Mungkin besok atau lusa, Cetta akan pergi liburan bersama Rana ke luar pulau. Melihat mereka membuat Suri berandai-andai, kapan kiranya dia bisa bolos kuliah dan pergi liburan bersama Sebastian?

Jangan banyak ngayal, Sur, Suri berujar pada dirinya sendiri sembari bergerak menuju pintu pagar. Boro-boro liburan bareng, malam mingguan aja pake timer macem orang lagi main warnet.

"Muka lo jelek banget. Jadi kelihatan nggak cantik lagi."

Suri masih berjalan setengah tertunduk ketika sebuah suara mengejutkannya. Hampir tersedak, gadis itu langsung mengangkat wajah. Matanya terbeliak seketika kala mendapati Sebastian berada beberapa meter di depannya. Cowok itu melipat tangan di dada, memandang dingin seperti biasa sebelum memiringkan wajah dan menatap Suri lebih lekat.

"Abis dari mana?"

"Abis dari mall." Suri menjawab. "Kamu udah lama di rumah? Kata Ayah, kamu baru mau dateng sore. Jadi kupikir nggak apa-apa aku pergi dulu sama Siena."

"Udah lama. Ini udah mau pulang."

Suri tercekat, lalu secepat kilat, dia bergerak mundur beberapa langkah untuk menghalangi pintu pagar. Gadis itu memasang kuda-kuda serupa orang hendak berlatih silat dengan kedua tangan terentang lebar.

"Nggak boleh! Aku kan baru pulang! Pokoknya kamu jangan pergi dulu!"

"Konyol," Sebastian berkomentar sambil berbalik dan berjalan masuk ke dalam rumah, membiarkan Suri menatap punggungnya dengan penuh kebingungan. "Gue baru dateng. Nggak usah berpose kayak gitu. Malu dilihatin orang." Dia menyambung sambil meneruskan langkah, membuat sosoknya hilang di balik pintu depan rumah beberapa detik kemudian.

Alih-alih merasa kesal karena sudah dikerjai, Suri justru langsung tersenyum lebar. Dengan langkah riang, gadis itu menyusul Sebastian. Tapi sayang, kegembiraannya tidak berlangsung lama. Sebastian baru tiba di ruang tengah, namun kehadirannya telah disambut bukan hanya oleh Ayah, melainkan juga oleh ketiga abang yang tampak berkacak pinggang dengan wajah serupa pemain bola sedang menerapkan strategi bertahan.

"Pas banget, Suri juga baru pulang," Ayah tersenyum lebar saat melihat Suri masuk, sementara Sebastian hanya memandang.

"Ayah, katanya jenglot Arab ini mau kesini buat liat kuncup anggrek, kenapa jadi malah pas banget karena Suri baru pulang?!" Chandra berseru protes mewakili kedua adiknya yang langsung manggut-manggut sepakat.

"Ah, apa bedanya?" Ayah berkelakar, lalu tertawa kecil. "Mending kita duduk di ruang keluarga aja, deh. Di ruang tamu kayaknya terlalu kaku. Sebastian, kamu mau minum apa? Biar Dimitrio yang buatkan."

"Kok aku?!"

"Dimitrio, kamu anak Ayah, kan?"

Cetta menghela napas, lalu dengan sangat terpaksa menganggukkan kepala. "Iya, Ayah. Kita kan mirip. Mana mungkin aku bukan anak Ayah. Kecuali Calvin, sih. Jati dirinya diragukan. Kali aja dia anak pungut yang ditemuin di bawah pohon bayam."

"Bayam itu sayur, bukan pohon," Calvin mendelik sebal.

"Ah, sama aja. Buat gue yang berakar, berbatang dan berdaun itu pohon."

"Sudah-sudah. Kalian itu sudah dewasa, tapi pola pikirnya masih saja kayak anak-anak," Ayah berusaha melerai. "Dimitrio, Ayah nggak ingat Ayah punya anak yang suka melawan orang tua. Jadi sekarang, mending kamu buatkan minuman buat Sebastian. Sebastian, kamu mau minum apa?"

"Apa aja asal nggak ada racunnya."

Cetta menatap Sebastian penuh dendam.

"Abang, aku mau juga, dong," Suri ikut bicara. "Mau susu cokelatdingin. Airnya dikit aja, esnya yang banyak. Bikinin ya? Please."

Suara Suri membuat Cetta mengalihkan pandang dan seketika itu juga, sorot matanya langsung melembut. "Apa sih yang nggak buat Culi?"

"Hehehe. Makasih abang aku yang paling ganteng."

"Ya sudah. Tunggu apa lagi, Dimitrio? Bikinkan minumannya."

Cetta akhirnya pasrah dan berlalu. "Iya, Ayah."

"Mampus." Chandra mencibir, tapi sedetik setelahnya langsung menyahut sigap ketika Ayah tiba-tiba memanggil namanya.

"Ah ya, Barachandra, Ayah juga mau minta tolong ke kamu. Tolong keluarkan makanan apa pun itu yang kita punya di kulkas. Kalau ada buah, keluarkan saja. Tapi tolong dipotongin dulu, oke?"

"I—iya, Ayah."

"Dan Calvin,"

"Iya, Ayah?"

"Bantu Barachandra."

"Siap, Ayah!"

Suri dibuat terkekeh ketika melihat ketiga kakak laki-lakinya jinak seketika dan langsung menurut begitu Ayah memberi perintah. Gadis itu tersenyum lebar sambil menatap Ayah yang balik tersenyum. Ayah memang benar-benar pengertian. Jika sudah begini, rasanya Suri ingin memeluk Ayah erat-erat. Kalau tidak ada Ayah, sudah bisa dipastikan, hubungan antara dirinya dan Sebastian pasti sudah kandas sejak lama. Nasibnya tidak akan jauh beda dengan lirik-lirik lagu percintaan mengenaskan jaman dulu. Cintanya akan layu sebelum berkembang.

Lima belas menit kemudian, mereka semua telah duduk di ruang keluarga dengan makanan dan gelas minuman hasil karya trio Chandra-Calvin-Cetta terhidang manis di atas meja. Semula, Ayah banyak mengobrol tentang tanaman dan siaran sepak bola dengan Sebastian. Namun tiba-tiba, Sebastian membawa topik tentang acara reuni SMA-nya yang akan diadakan di akhir minggu ini dan berniat meminta izin secara langsung pada Ayah.

"Saya sudah minta Suri untuk ikut. Dan dia bilang iya. Tapi kayaknya nggak tepat kalau saya nggak minta izin juga sama ayahnya," Sebastian berkata, membuat ketiga abang menggeram di tempat mereka duduk serupa tiga banteng yang siap menyeruduk matador.

"Hm, akhir minggu ini, ya? Tempatnya dimana?"

"Di HI Kempinski."

Ayah kelihatan berpikir. "Hm, fine. Tapi jam malam masih berlaku, oke? Jam sepuluh. Lebih dikit bolehlah."

Suri tersenyum lebar. "Thanks, Ayah!"

"Ini tidak bisa dibiarkan!" Cetta akhirnya bersuara dengan berapi-api, sementara di sebelahnya, Chandra dan Calvin memasang wajah beringas.

"Benar! Reuni di hotel?! Reuni macam apa itu?! Ayah, gimana kalau selama reuni nanti Suri dicekoki alkohol dan waktu nggak sadar dibawa ngamar sama ini makhluk krispy?! Ayah mau mempertaruhkan masa depan satu-satunya anak perempuan di rumah ini?!" Chandra menimpali, seperti biasa, dengan sangat dramatis. Sebastian menanggapinya dengan putaran bola mata sementara Suri mengembuskan napas pelan.

"Barachandra, jangan samakan Sebastian dengan kamu."

"Loh, aku nggak pernah kayak gitu!"

"Nggak usah sok suci, ler. Ayah tahu semua sepak terjang lo," Calvin mengingatkan dengan suara lirih, sementara Cetta langsung mengangguk-angguk karena sependapat.

Merasa perlu menjaga agar wibawanya tidak jatuh, Chandra berdehem. "Ng... pernah sih, sekali-sekali. Tapi plis, Ayah. Suri itu masih kecil. Masa depannya masih panjang. Jangan hancurkan Suri seperti ini!"

"Barachandra,"

"Iya, Ayah."

"Duduk."

"Siap, Ayah."

"Dan kamu, Dimitrio."

"Iya, Ayah."

"Duduk juga."

Cetta menghela napas sebelum kembali menghempaskan bokongnya ke atas sofa.

"Ayah percaya sama Sebastian. Dia anak baik. Dan Ayah yakin, dia nggak akan merusak kepercayaan yang Ayah berikan. Bukan begitu, Sebastian?"

"Iya, Ayah."

"Nah, itu yang Ayah suka. Laki-laki yang penuh keyakinan. Yaudah, berhubung kakak-kakaknya Suri sudah repot-repot bikin suguhan buat kita semua, mending sekarang kita minum dulu."

Sebastian mengangguk. Sebetulnya, dia sudah punya firasat buruk terkait minuman hasil karya tangan Cetta yang kini terhidang di depannya. Namun, Sebastian tahu dia harus menghormati Ayah selaku tuan rumah. Jadi tangannya tetap terulur untuk meraih gelas. Isi gelas itu adalah kopi hitam. Baunya baik-baik saja, malah terasa memanjakan indra penciuman. Sebastian menyesapnya, dan tidak sampai sedetik kemudian, laki-laki itu terbatuk pelan.

"Kenapa, Sebastian?" Ayah bertanya.

"Nggak enak, ya?" Suri ikut bicara.

Sebastian meletakkan kembali cangkir itu dengan tenang di atas meja. Baunya memang baik-baik saja. Tetapi rasanya tidak baik-baik saja. Ada perpaduan haram antara rasa asin yang kuat dan pedas lada yang tidak main-main disana.

"Enak." Sebastian menjawab singkat, sementara ketiga kakak laki-laki Suri saling melempar senyum penuh arti.

"Tapi muka kamu kayak nggak enak gitu. Jangan-jangan kopinya disabotase." Suri meletakkan gelas susunya di atas meja, lalu secara tiba-tiba, gadis itu justru mengambil gelas kopi Sebastian. "Aku cicipi deh."

"JANGAN!!!" Chandra, Calvin dan Cetta berseru kompak, membuat kepala Ayah dan Suri spontan terputar ke arah mereka. kontan, mata Ayah menyipit, sementara Suri hampir muka. Ternyata dugaannya benar. Ada rekayasa terlarang pada kopi Sebastian akibat konspirasi dapur yang didalangi oleh ketiga saudara laki-lakinya.

"Kenapa?"

"Kopinya kopi hitam. Nanti malam kamu bisa susah tidur." Cetta menyahut cepat, berkilah dengan alasan paling logis yang bisa dia temukan dalam otaknya.

"Kopinya nggak abang apa-apain, kan?"

"Nggak kok, Culi."

"Kalau gitu, coba tiga abang cicipi."

Refleks, ketiga kakak-beradik itu dibuat saling berpandangan. Kemudian, ketiganya kompak menelan ludah yang membuat mereka terkesan gentar. Kecurigaan Suri pun kian membukit.

"Kalau kalian nggak mau, yaudah aku aja yang cicipi."

"Nggak!" Calvin berseru. "Kita aja."

"Hehehe. Yaudah, nih."

Chandra, Calvin dan Cetta masih saling menatap sebelum akhirnya Chandra meraih cangkir kopi yang tergeletak di atas meja. Dengan lagak seperti hendak minum racun, Chandra menelan setenggak. Rasa asin dan pedas yang tidak harmonis berbaur dengan kelat kopi, menghasilkan kolaborasi rasa tajam yang tidak manusiawi. Chandra hampir saja terbatuk ketika cairan itu menuruni kerongkongannya, namun memaksakan diri untuk terlihat baik-baik saja.

"Enak." Chandra berujar dengan ekspresi pahit yang membuat Suri ingin tertawa keras, sementara Sebastian terlihat menahan geli.

Gelas pun berpindah pada Calvin yang menunjukkan reaksi tidak jauh beda dengan Chandra. Hingga tiba saatnya giliran Cetta. Sebagai pihak yang mencipta gelas kopi dengan rasa yang berpotensi meresahkan umat manusia itu, Cetta dibikin bergidik bahkan pada detik pertama tangannya menyentuh cangkir. Di sebelahnya, Wati melayang dengan wajah penuh duka layaknya seorang istri yang baru saja melepas sang suami ke medan perang. Ada pekik tertahan yang dia suarakan, yang membuat Suri ingin bergulingan di lantai sambil terbahak.

"Tidak, my baby! Tidak! Jangan minum racun itu!"

Namun tentu saja, Cetta tidak mendengarnya. Diiringi soundtrack dramatis yang bergema dalam kepalanya, Cetta menyesap seteguk. Cowok itu terbatuk, lalu dengan sangat terpaksa mengatakan jika kopinya baik-baik saja. Namun sayangnya, itu tidak berlangsung lama. Sepersekian detik kemudian, ketiga abang bangkit dari sofa dan kompak berlari menuju kamar mandi untuk memuntahkan minuman dengan rasa super nano-nano yang baru saja mereka teguk.

Respon pertama Ayah adalah menggelengkan kepalanya beberapa kali sebelum meminta maaf pada Sebastian. "Maaf ya, Sebastian. Ketiga kakaknya Suri memang paling jago kalau masalah cemburu."

"Iya. Kan nurun dari Ayah." Suri menimpali, membuat Ayah berdehem pelan.

"Ayah nggak cemburuan."

"Tapi kata Bunda, Ayah cemburuan."

"Ayah nggak cemburuan. Ayah hanya merasa harus menjaga apa yang sudah jadi tanggung jawab Ayah, dan tanggung jawab Ayah yang terbesar adalah Bunda, kamu dan kakak-kakakmu. Kalau Ayah cemburuan, Ayah nggak akan mengizinkan kamu pacaran sama Sebastian. Harusnya begitu, kan?"

"Hm, iya juga. Terus kenapa Ayah izinin?"

"Karena Ayah tahu Sebastian bisa menjaga kamu. Dengan caranya sendiri, tentu saja."

"Hehehehe. Ih, jadi terharu. Berasa kayak lagi syuting iklan Thailand."

Ucapan Suri membuat Ayah menyentakkan kepala. "Sebaiknya Ayah lihat dulu kakak-kakakmu. Kok sepertinya keadaan mereka mengkhawatirkan. Tapi salahnya sendiri sudah pasang jebakan betmen." Ayah berkata seraya bangkit dari duduk dan bergerak ke kamar mandi, membuat Suri dan Sebastian hanya tinggal berdua di ruang keluarga.

"Kenapa tadi bohong?" Suri bertanya pada Sebastian sambil meraih gelas susu cokelatnya. "Kenapa bilang enak padahal nggak enak? Mending minum susu cokelat aku. Biar bisa jadi penetral rasa. Ini," Suri menggeser duduknya lebih dekat pada Sebastian, lalu mengulurkan gelas tersebut.

Sebastian menatap Suri sebentar, lalu meraih gelas itu dan menelan beberapa teguk. Setelah selesai, dia meletakkan gelas yang masih terisi di atas meja sebelum kembali menatap pada Suri. "Indirect kiss, isn't it?"

"Apanya?"

"Kita minum dari sisi gelas yang sama." Sebastian menahan senyum. "Does it count as indirect kiss?"

Pipi Suri memerah. "Tian, nggak boleh genit."

"Give me your hand."

"Hm?"

"Tangan lo."

Dengan wajah tak mengerti, Suri menunjukkan telapak tangan kanannya pada Sebastian. Secara tidak terduga, lelaki itu balik menggenggamnya. Erat, hingga Suri bisa merasakan dingin yang merembes dari kulit Sebastian. Kulit tangannya memang selalu dingin, namun entah kenapa genggamannya tetap terasa menyenangkan.

"Kalau gue perhatiin, akhir-akhir ini lo lebih pucat dari biasanya." Sebastian berkata, membuat Suri meringis.

"Iya. Soalnya capek beradaptasi sama kehidupan jadi mahasiswi."

"Lo jadi kelihatan lebih jelek dari biasanya."

Suri hampir tersedak. "Hah?!"

Sebastian melepaskan genggaman tangannya, lalu beranjak bangun dari sofa tanpa peduli pada Suri yang masih ternganga setelah mendengar kata-katanya. Lelaki itu bergerak beberapa langkah, hingga tiba-tiba dia berhenti pada langkah keempat. Dengan satu tolehan kepala yang menampilkan side profilenya, dia meneruskan secara tidak terduga.

"Tapi cantik atau jelek nggak ngaruh sebenarnya." Dia mengedikkan bahu. "Karena gue bakal tetap suka. But still, jangan suka begadang dan jangan sampai telat makan."

Kemudian tanpa menunggu jawaban Suri, Sebastian berjalan pergi begitu saja ke arah teras belakang rumah.

Masih terduduk di sofa, Suri mengerjapkan matanya beberapa kali. Keningnya berkerut. Butuh beberapa detik bagi Suri untuk mencerna arti ucapan Sebastian, dan setelah dia mengerti, senyum lebarnya langsung terkembang lebar tanpa bisa dikontrol.

"I love you too, Tian."

Halo

Buat yang nanya Nala Anarki dan Nirbita itu dari cerita mana, mereka adalah tokoh utama trilogi KLANDESTIN karya cendarkna

Ah ya, sori karena akhir-akhir ini gue slow update. Tugas besar gue harus dikumpulkan di minggu kemarin dan minggu ini (dan minggu berikutnya gue UAS). Gue sibuk kuliah. Saking sibuknya gue bahkan baru ketemu sama keluarga gue nanti pas di hari lebaran (karena gue baru balik ke Serang tanggal 22 atau 23 dan orang tua gue udah cabut ke Lampung di tanggal 18 dan gue terlalu males buat bawa barang dari Semarang ke Lampung gue memutuskan untuk pulang dulu. Baru otw ke Lampung di malam takbiran). Jadi buat readers yang baru tau gue, tolong nggak perlu nanya setiap waktu 'kapan di next?' 

Gue nggak butuh komentar yang nyuruh lanjutin. Nggak usah disuruh juga gue lanjut. Nggak ada yang baca pun juga gue lanjut. Mungkin kalian yang readers baru belum kenal gue, tapi gue adalah orang yang akan tetap menulis sekalipun nggak ada yang baca. Jadi tolong jangan jadi annoying dengan menanyakan kapan dilanjut setiap waktu. Apalagi kalau waktu terakhir updatenya aja belum nyampe seminggu atau dua minggu. Karena gue jadi bete. dan kalau gue bete, gue malah nggak bisa mikir. 

dan ada yang masih nanyain kenapa chapternya loncat-loncat. gue udah tulis di bio. honestly, gue nggak bisa membalas semua pertanyaan karena gue sibuk. bukan songong. i'd love to. tapi gue si-buk. 

anyway, terimakasih untuk semua komen dan vote untuk chapter-chapter sebelumnya. makasih sudah baca ya. selamat puasa untuk yang menjalankan dan semoga kalian semua sukses serta bahagia selalu. 

sampai ketemu di chapter berikutnya. 

ciao. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro