Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#04

"Udah minta jemput ke Ayah?" Pertanyaan Sebastian membuat Suri berhenti mengunyah suapan terakhir makanannya. Gadis itu mengernyit, balik menatap Sebastian dengan pandangan seakan-akan cowok itu baru saja bicara dalam bahasa alien.

"Kenapa harus minta jemput?"

"Karena lo harus pulang. Dan gue yakin entah Ayah, entah gue, entah ketiga sukro lo yang super nggak jelas itu nggak bakal ngebiarin lo pulang naik angkutan umum. Lo nggak ada kelas apa-apa lagi hari ini, kan?"

"Em-hm." Suri mengangguk sambil melanjutkan mengunyah.

"Atau mau nunguin Siena?"

"Tunggu bentar," Suri mengangkat tangan kirinya, dilanjut meraih gelas susu dinginnya dengan tangan kanan. Sebastian diam, membiarkan gadis itu menenggak beberapa teguk minumannya melalui sedotan. "Aku heran deh, Tian."

"Heran apanya?"

"Kenapa semenjak kita pacaran, kamu jadi cerewet banget?"

Sebastian melengos. "Jadi lo mau gue diem aja?"

"Nggak gitu juga. Tapi lucu. Orang yang biasa ngomelin aku jadi bertambah satu. Abang-abang. Ayah. Terus kamu."

"Hm." Sebastian hanya bergumam tidak jelas. "Jadi gimana? Lo mau nungguin Siena pulang?"

"Kelas terakhir Siena dimulai jam empat sore nanti. Aku sih malas membusuk di kampus. Apalagi anak-anaknya pada nggak asyik."

"Tunggu. Jangan bilang kalau lo nggak punya teman selain Siena di kampus."

"Emang nggak."

"Udah kerjaannya jadi kupu-kupu, pake nggak punya teman pula. Mau jadi apa lo di masa depan?"

Kupu-kupu itu adalah singkatan dari istilah kuliah-pulang-kuliah-pulang yang kerap disematkan pada kelompok mahasiswa yang tidak aktif dalam kegiatan kampus apapun. Makanya, setiap selesai kelas, tujuan akhir mereka adalah rumah masing-masing. Penyebabnya bervariasi, entah apatis, sudah terlalu nyaman dengan dunia sendiri atau punya kegiatan sampingan yang lebih menarik dibanding berkutat dalam serangkaian kegiatan kepanitiaan.

"Jadi istri kamu."

Sebastian nyaris dibuat tidak bisa berkata-kata. "Lo mikir kejauhan." Katanya seraya mencondongkan tubuh, memberikan satu sentilan pelan di dahi Suri.

"Ih, sakit tau!"

"Bohong." Sebastian berdecak, tapi diam-diam tangannya menekan lembut pada bekas sentilan tersebut. Ada rona merah samar yang perlahan memudar disana. Wajar, karena Sebastian tidak menyentilnya dengan keras. "Terus gimana? Lo nggak mau minta dijemput Ayah dan nggak mau nungguin Siena sampai selesai kelas. Maunya apa?"

"Pulang sama kamu."

"Gue masih harus balik ke kantor setelah ini."

"Nggak apa-apa. Sekali-sekali, aku juga kepingin main ke kantor kamu."

"Kantor gue itu kantor. Tempat orang kerja. Bukan tempat penitipan anak-anak."

Bibir Suri langsung mengerucut. "Aku bukan anak-anak!"

"Mana ada orang dewasa yang kalau bete cemberutnya sepanjang itu?"

"Mana ada orang dewasa yang macarin anak-anak?" Suri membalas tidak mau kalah, membuat Sebastian menghela napas. Terjadi banyak perubahan dalam hubungan diantara mereka setelah keduanya—atau lebih tepatnya Sebastian—mengakui perasaan yang selama ini ditutupi. Suri bukan hanya bisa jadi sangat demanding, tapi juga menguji kesabaran ketika diperlukan. Salah satunya adalah seperti sekarang.

"Yaudah kalau itu mau lo. Tapi sebelumnya lo harus minta izin ke Ayah sama abang-abang lo."

"Ngapain minta izin ke abang-abang? Nggak usah pake ditanya juga pasti kamu udah bisa nebak kan mereka bakal jawab apa?"

Sebastian tak langsung menjawab. Cowok itu justru menarik sehelai tissue dari kotak tissue yang tergeletak di atas meja, menggunakannya untuk menghapus sisa sambal kacang sudut bibir bawah Suri dengan wajah santai. "Lo kalau makan masih aja berantakan kayak anak TK."

"Biarin, yang penting disayang kamu."

"Kalau lo nggak minta izin sama abang-abang lo, nanti mereka bakal kalap dan memburu gue. Sori, tapi seandainya ajal gue memang sudah dekat, gue bakal memilih mati tanpa mereka sebagai perantara."

"Ngaco. Emangnya aku bakal biarin kamu mati?" Suri menyentakkan kepalanya, masih cemberut. "Aku mau minta izin, tapi ke Ayah aja. Nggak mau ke abang-abang."

"Oriana,"

"Ih, dengerin aku, Tian. Kalau kamu perhatiin, yang diatur dalam surat perjanjian antara aku dan abang-abang hanya perkara malam-mingguan doang. Mereka nggak menyinggung masalah antar-jemput saat aku udah kuliah. Lagian, aku juga udah gede. Aku udah punya KTP. Aku udah boleh masuk ke klub malam dan—"

"Kalau harus gue koreksi, terakhir kali lo mencoba masuk ke klub malam, bouncernya justru menyuruh lo pulang buat cuci kaki-minum susu-baca doa dan bobo."

"Nggak usah diingat-ingat. Waktu itu kan beda, soalnya aku baru lulus SMA."

"Lo bahkan belum enam bulan lulus SMA."

"Tapi dandananku waktu itu emang lagi culun."

"Sekarang juga masih."

"Sebastian!"

Ada tawa kecil Sebastian yang pecah. Namun hanya samar, sehingga tidak begitu kentara. "—intinya gitu. Lagipula, emangnya kenapa aku nggak boleh datang ke kantor kamu? Atau jangan-jangan, kamu punya pacar lain lagi di kantor ya? Hayo ngaku!"

"Otak lo benar-benar sudah terkontaminasi sama sinetron." Sebastian berdecak. "Yaudah. Terserah lo. Tapi paling nggak sekarang, minta izin sama Ayah."

Senyum lebar Suri terkembang. "Muehehe. Udah."

"Kapan?"

"Tadi, pas kita lagi makan."

Sebastian memutar bola matanya sementara Suri sudah bangkit dari kursi. "Let the adventure begins!"

"Kita mau ke kantor gue, bukannya ke pulau rahasia untuk berburu harta."

"Muehehe. Tapi tetap aja ini pengalaman baru buat aku. Pasti seru."

Sebastian menatap gadis itu sejenak, melihat pada bagaimana matanya lagi-lagi hampir menghilang ketika dia tertawa. Bagaimana gesturnya masih kental oleh sentuhan kekanak-kanakan. Memandangnya lekat seperti itu membuat ada yang meleleh dalam sorot mata Sebastian. Lalu leleh itu bertransformasi menjadi hangat yang kini pelan-pelan mengalir menuju dadanya—lantas berhenti di jantungnya.

"Jadi sampai kapan lo mau marahan sama pangeran kampus kita?" Kiara bertanya pada Rana sesaat setelah kelas terakhir mereka hari itu selesai tepat pukul setengah tiga sore. Gie tidak ada disana, sibuk berkumpul dengan teman-temannya sesama anggota komunitas penyuka puisi kampus. Bagus, karena dalam setiap kehadirannya, sudah pasti Gie tidak pernah absen memanfaatkan waktu untuk mendiskreditkan Cetta.

Rana hampir tersedak. "Lo tau gue lagi ngambek sama Dimi?"

"Kelihatan banget, Rana. Gue bahkan berani taruhan seisi kampus pasti udah tau kalau lo sama cowok lo berantem."

"Halah. Coba itu waktu yang mereka pakai buat gosip dipake buat melakukan hal-hal yang lebih berfaedah macam nanem cabe atau menggalang donasi. Yakin deh dalam sehari Indonesia bisa langsung jadi eksportir cabe terbesar di dunia atau mengentaskan kemiskinan di penjuru Nusantara."

"Jangan salahin anak-anak. Salahin cowok lo yang dari tadi pagi udah sibuk bolak-balik di gedung departemen kita. Mana mukanya memelas banget. Meskipun yah, I have to admit kalau dia masih tetap terlihat ganteng."

"Stop. Jangan puji Dimi di depan gue."

"Kenapa? Lo nggak suka ada cewek lain yang muji cowok lo?"

"Nggak. Makin dipuji kayak gitu gue justru makin sadar kalau Dimi memang seganteng itu. Nanti gue jadi lemah dan mau baikan sama dia dengan gampang."

"Lagian kenapa sih marahan? Sayang loh yang kayak Dimitrio itu kalau disia-siain. Lo tau, cewek yang naksir dia di kampus ini jumlah ngalah-ngalahin jumlah penerima BLT tahun lalu."

"Emang. Tapi jangan salah sangka, yang naksir gue juga banyak."

Obrolan mereka terputus ketika seorang cowok yang tidak lebih tinggi Rana berlari mendekat. Wajahnya tampak dibanjiri oleh peluh. Napasnya ngos-ngosan seperti dia baru saja berlari turuni bukit mendaki lembah bak Ninja Hatori. Airmuka dialiri oleh kepanikan luar biasa yang sengaja tak ditutupi.

"Rana!"

Rana mengenali cowok itu. Dia adalah Andi, teman satu departemen Cetta di Departemen Komunikasi. Jarak antara Departemen Komunikasi dengan Departemen Desain Interior cukup jauh. Melihat dari kondisi Andi, mudah menebak jika dia pasti berlari dari departemennya.

"Apa?"

"Cetta—dia—dia—"

Ada kerut samar tercetak di dahi Rana. "Andi, coba lo tuh kalau ngomong yang jelas dikit. Pakai bahasa manusia karena gue nggak ngerti bahasa hewan."

"Cetta pingsan!"

Kiara dibuat terperangah dengan wajah tak percaya. Untuk menambah kesan dramatis, gadis itu bahkan menempelkan telapak tangannya di depan mulut. Sementara Rana justru berpikir keras, seolah rentetan kalimat yang Andi katakan tidak ada dalam perbendaharaan kosakatanya.

"Hah!?"

"Yaelah, Rana Maharani, lo cuma bilang 'hah'?!" Kiara memekik pada temannya. "Cowok lo pingsan. Ping-san."

"Kiara, stop. Gue nggak budek!" Rana menukas kesal, lalu berpaling pada Andi. "Kok dia bisa pingsan?"

"Nggak tau. Mungkin karena belum makan apa-apa dari pagi. Ditambah lagi konon katanya semalam dia balik malem karena ada semacam pemotretan majalah gitu." Andi menyahut. "Kayaknya kondisinya parah, soalnya Bu Kadep sampai berniat manggil ambulans. Plis, lo harus buru-buru kesana."

"Gila," Perhatian Kiara justru tertarik pada yang lain. "Hebat juga si Cetta. Dia pingsan, Kadep langsung turun tangan."

"Nggak diragukan, soalnya Bu Kadep kan salah satu penggemar garis kerasnya Cetta. Tadi aja dia panik banget macam ibu-ibu yang baru kehilangan anaknya." Andi menimpali sebelum kembali mengalihkan tatap pada Rana. "Kenapa lo malah bengong?"

"Dimi jarang sakit."

"Bukan berarti dia nggak bisa sakit."

"Betul!" Kiara setuju dengan ucapan Andi. "Lagian, lo pernah dengar nggak sih istilah tentang patah hati yang katanya bisa membunuh? Gimana kalau cowok lo sampai kenapa-napa gara-gara lo marah secara nggak manusiawi sama dia?!"

"Kiara, jangan bikin gue merasa berdosa."

"Telat. Lo emang udah berdosa sama anak orang."

Percakapan mereka terhenti ketika ponsel Andi berdering. Di bawah tatapan dua gadis yang berdiri di hadapannya, Andi mengeluarkan ponsel dari saku pakaian. Dengan sekali swipe, cowok itu menjawab telepon yang masuk. Sejenak, wajahnya berubah pucat pasi—dan kian pias justru setelah obrolan dengan siapapun penelepon itu selesai.

"Siapa?" Rana memberondong.

"Bu Kadep. Katanya Cetta punya masalah pernapasan. Semacam sesak napas. Dia nyuruh gue nanyain nomor telepon keluarga yang bisa dihubungi ke lo karena katanya nomor orang tua di database mahasiswa udah nggak aktif. Kayaknya masalahnya serius banget."

Rana tercekat. Kata-kata Andi kian membuatnya mematung, sibuk berpikir. Ada sebentuk rasa tidak percaya tercipta dalam benaknya. Seharusnya cowok itu baik-baik saja. Dia terlihat baik-baik saja ketika menghampiri Rana di kantin saat jam makan siang tadi.

"Rana!" seruan Kiara membuat Rana hampir tersentak. "Lo nunggu apa lagi coba?! Cowok lo mungkin aja lagi sekarat sekarang!"

"Jangan ngomong sembarangan!" Rana melotot galak. "Dimana Dimi sekarang?"

"Di ruang kesehatan departemen."

"Anter gue sekarang."

"Anter pake apa? Gue kesini aja ngibrit pake sikil!"

Istilah sikil yang dimaksud Andi adalah bahasa Jawa untuk kaki.

"Yaelah." Rana mendelik. "Ayo, Kiara. Kita ke parkiran."

"Kok ke parkiran? Sejak kapan lo ngampus bawa kendaraan sendiri?"

"Emang gue bilang bakal bawa kendaraan gue? Kagak."

"Terus ke parkiran ngapain?"

"Yaelah, banyak bacot banget," Rana tampak gusar, entah karena panik atau kesal. "Tukang parkir departemen udah lama nge-fans sama gue. Dia punya motor. Gue mau minta tolong dia anterin gue ke kampusnya Dimi."

"Lah, terus kita berdua gimana?"

"Meneketehe!"

Saat Rana sampai, bagian depan ruang kesehatan departemen komunikasi telah disesaki banyak orang. Sebagian besar diantaranya perempuan. Mereka berkerumun seperti semut merubung gula, namun langsung terbelah secara teratur begitu mereka menyadari kehadiran Rana. Siapapun bisa saja dongkol karena Rana telah membuat Cetta pensiun dari gelarnya sebagai 'cowok kita bersama' buat para mahasiswa departemen komunikasi, tetapi jelas tak ada yang cukup percaya diri untuk bersaing dengan gadis itu.

Sempat ragu sejenak karena tidak menemukan sosok Ibu Kadep yang tadi disebut-sebut oleh Andi, Rana akhirnya meraih kenop pintu dan melangkah masuk. Kesan pertama yang ditangkapnya dari ruang kesehatan itu adalah betapa hampir semua benda di dalamnya berwarna putih, mulai dari tembok, kusen jendela hingga pelapis kasur tempat Cetta berbaring sekarang. Tidak ada siapa-siapa di dalam sana selain Cetta, membuat kening Rana berkerut samar.

Namun Cetta benar-benar pucat. Dan ketika Rana mendekat untuk menyentuhnya, dahinya membara seperti kompor. Rana tercekat. Tangannya bergerak panik, berpikir untuk mengeluarkan ponsel dan menelepon ambulans ketika pintu ruang kesehatan terbuka secara dramatis oleh dorongan tangan Andi dan Kiara—napas keduanya terengah-engah seperti peserta lomba marathon yang baru tiba di garis finish.

"Dia jelas sakit!" Rana berseru. "Kenapa dia sendirian? Kenapa nggak ada yang menghubungi ambulans? Mana Ibu Kadep yang kata lo stand by disini?"

"Mungkin udah pergi karena beliau ada urusan. Ambulans udah ditelepon sama pihak departemen. Bentar lagi sampe. Kebetulan tadi yang dititipi amanah buat ngejagain dia itu gue. Tapi karena gue pikir dia bakal butuh lo, jadi—"

"Bego." Rana berkata menohok dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Lo tuh harusnya panggil dokter. Atau jemput anak FK. Bukan jemput gue."

"Sebelum pingsan, dia masih aja ingetnya sama lo."

Kiara menatap Rana sejenak, menyadari perubahan air muka gadis itu. Sadar jika sebentar lagi sahabatnya akan menangis, Kiara memutuskan mengajak Andi keluar dari ruangan. Bukan apa-apa, tetapi Kiara paham jika Rana paling tidak suka dilihat orang saat tengah menangis. "Ndi, mending kita tunggu di luar. Biar Rana yang nemenin Cetta sampai ambulans-nya dateng."

Andi menurut. Lantas begitu saja, dalam sejenak, mereka kembali berdua di ruangan itu. Kesunyian membuat Rana mematung, menatap pada wajah pucat cowok yang terbaring di depannya dengan pandangan menerawang. Kemudian tanpa dia sadari, ada air mata mengalir jatuh di pipinya. Setetes mengundang beberapa tetes. Garis basah yang semula tipis menjelma menjadi sungai. Rana membersit hidungnya yang kini sudah memerah. Dia tidak mengatakan apapun walau pelan-pelan, isaknya terdengar.

Sebetulnya, dia dan Cetta bisa dikatakan sangat jarang bertengkar. Sebabnya karena Cetta hampir selalu mengalah ketika Rana senantiasa jadi pihak yang terlampau manja atau hobi merengek. Sekarang, Rana merasa menyesal. Dia memang jengah dengan tingkah-laku Cetta yang bersikap seolah-olah Suri itu anak kelas enam SD yang baru saja pacaran, tapi tetap saja, itu tak memberinya hak untuk marah secara keterlaluan. Sekarang, rasanya Rana ingin meminta maaf dan berkata jika dia tidak kesal lagi. Namun tentu saja Rana tidak akan melakuannya.

Itu terlalu dramatis, dan Rana benci cerita drama yang penuh tangis.

"Kamu nangis?"

Rana baru berpikir untuk menarik tissue keluar dari kemasan tissue mini yang disimpannya dalam tas ketika sebuah suara membuatnya tersentak kaget. Cewek itu melotot kala menyadari suara itu datang dari sosok Cetta yang kini mengulurkan jari untuk menghapus sisa-sisa air mata di pipinya.

"Dimi—kamu—bukannya kamu—"

Senyum lebar Cetta yang terkesan jahil langsung terkembang. "Aku udah nebak kamu bakal khawatir. Tapi nggak mengira kalau kamu bisa sampai nangis kayak gini. Geez. Kamu sekhawatir itu ya sama aku?"

Rana melotot. "Tapi kan kamu—bukannya kamu sakit?!"

Cetta beranjak dari atas kasur dengan santai. "Iya. Sakit karena dari akhir minggu kemarin ada yang marah terus sama aku."

"Dimi, jangan bercanda."

"Aku nggak bercanda. Aku serius." Cetta menatap Rana lekat-lekat. "Karena itu, sebelum aku pingsan dan sakit beneran, kamu mau maafin aku, kan?"

"Dimitrio Gilicetta,"

"Em-hm?"

"Jangan bilang kalau kamu pura-pura pingsan dan Andi itu udah bersekongkol sama kamu."

"Terpaksa." Cetta meringis. "Kalau nggak gini, kamu nggak akan mau ngomong berdua sama aku. Apalagi maafin aku."

"Emang. Aku nggak mau maafin kamu." Rana jadi ingin menangis lagi. Kali ini bukan karena khawatir, melainkan karena kesal. Tapi gadis itu berusaha mati-matian menahan diri hingga wajahnya jadi merah padam.

"Kalau aku ajakin liburan bareng ke pantai, kamu masih nggak mau maafin aku?"

"Apa sih maksud kamu?"

"Liburan bareng aku. Ke Lombok. Mau, kan?"

Rana mengerutkan dahi. "Jangan bohongin aku lagi. Ini nggak lucu."

"Aku serius. Kalau kamu mau, akhir minggu ini kita berangkat."

Mata Rana langsung menyipit sebab kelihaiannya membaca situasi. "Ada apa? Ada perayaan? Kamu baru dapet bonus? Atau kamu terima tawaran kontrak dari Calvin Klein? Hell, kalau sampai iya, kamu bakal aku santet. Aku kan udah bilang kalau aku nggak suka lihat paha dan perut kamu jadi konsumsi pub—"

Cetta membungkam ocehan Rana dengan satu kecup cepat di bibir.

"Dimi!"

"Iya?"

"Suruh siapa cium-cium?! Aku kan masih marah!"

"Abis omelan kamu bikin gemas. Jadi kepingin cium."

"Jawab dulu pertanyaanku yang tadi!"

"Nggak. Bukan bonus. Bukan juga karena aku terima tawaran kontrak dari Calvin Klein. Ini murni kerjasama dengan salah satu resort baru. Kita bisa promosi sekaligus liburan."

Rana terdiam.

"Mau, kan?"

Masih saja bungkam.

"Aku anggap itu jawaban iya."

Rana mendelik. "Tapi aku masih marah!"

"Aku tau." Cetta tertawa sebelum menarik Rana dalam pelukan. Jarinya menari diantara helai rambut gadis itu, sementara senyum lebarnya terkembang. "Aku tau."

"Marahku bakal lama."

"Nggak apa-apa, yang penting kamu setuju liburan sama aku."

Sebagai jawab, Rana hanya mengembuskan napas pendek.

Senja menjemput langit ibukota. Cahaya jingga serupa cat tertumpah di atas kanvas maha luas, tampak berantakan namun indah disaat yang bersamaan. Nun jauh di garis batas cakrawala, burung beterbangan. Kepak sayap berkejaran dengan waktu, berlomba menjemput sarang sebelum gulita genap berkuasa. Diantara remang sorot matahari terbenam, sesosok pria berpakaian serba hitam berhenti tepat di depan sebuah kedai yang menjual mi instan dan kopi panas. Sempat ragu sejenak, dia akhirnya melangkah masuk. Garis wajahnya yang asing menarik perhatian dua pengunjung yang tengah menghadapi mangkuk berisi hidangan mengepul, tapi dia memilih tidak peduli. Dia melangkah ke sudut, sengaja duduk di tempat tersendiri. Pesanan kopi panas dia lontarkan, yang berbalas oleh anggukan dari pemilik kedai.

Belum lama dia duduk disana ketika sosok lainnya masuk. Sama-sama berpakaian serba hitam—meski jelas garis wajah orang kedua tampak lebih lembut. Tanpa menoleh pada pemilik kedai, sosok itu ikut memesan mi instan beserta kopi panas sebelum menghampiri dia yang datang lebih dulu.

"Halo, Nael." Sosok itu menyapa sambil menarik bangku untuk duduk. "Atau harus kupanggil Noir?"

Nael tersenyum kecut. Dia tak langsung bicara, karena putri pemilik kedai—yang jelas sekali menyimpan sinar kekaguman pada sepasang bola matanya—datang membawakan pesanan mereka setelah belasan menit yang terasa seperti hitungan detik berlalu. Nael mengucapkan terimakasih, membuat gadis mortal itu dilambungkan ke awan dengan hati berbunga. Seraya berusaha menyembunyikan rona merah di wajahnya, dia menunduk dan pergi ke balik pintu dapur tempat pemilik kedai dan istrinya bekerja.

"Sudah kuduga sosok yang mengikutiku memang kamu, Sombre." Nael memiringkan wajah. "Aku lebih suka dipanggil Nael. Tapi kelihatannya pendapatku tidak penting karena sejak persidangan Suri waktu itu, nama Nael seolah telah mati dan terganti oleh Noir."

"Salahmu sendiri mengorbankan penyamaran ratusan tahun hanya demi seorang gadis."

"Dia pantas dibela."

"Karena dia masih muda?"

"Karena dia punya hati yang murni." Nael melirik pada mangkuk makanan Sombre. "Aku tidak tau kalau ternyata kamu menyukai mi instan. Kukira pimpinan undertaker sepertimu terlalu sibuk untuk dapat menyambangi dunia mortal."

Undertaker yang dimaksud Nael adalah sebutan untuk makhluk separuh iblis separuh malaikat yang bertanggung jawab mengurusi masalah orang-orang mati. Mereka akan memilah setiap buku berisi data makhluk mortal, mengeluarkan waktu kapan jiwa makhluk mortal tersebut harus dijemput dan apakah dia akan dibiarkan terlunta di dunia orang hidup, ditempatkan sementara di neraka atau langsung dimasukkan ke dalam surga. Mereka yang memberi perintah kepada malaikat pencabut nyawa untuk menjemput jiwa-jiwa sesuai waktu masing-masing, sebagai pihak penerus mandat dari Sang Pencipta. Dan Sombre adalah pimpinan dari para undertaker.

"Nael, kalau harus kubandingkan, jarak antara Indomie dan surga itu hanya segini." Sombre membentuk jarak yang sangat pendek antara jari telunjuk dan ibu jari. Saking pendeknya, jarak itu bahkan hampir tidak terlihat. "Apalagi kalau dicampur cabe rawit dan dimasak oleh putri pemilik kedai yang cantik itu."

Nael mendengus. "Dasar mata keranjang."

"Cibir aku sesukamu. Tapi menurutku, kamu tetap tak boleh mengeluh. Ada harga yang harus kamu bayar untuk sebuah pilihan. Termasuk pilihanmu untuk membela makhluk mortal itu. Kamu jelas tahu konsekuensi apa yang harus kamu hadapi ketika yang tersembunyi tak lagi tersembunyi."

"Apa kamu sedang berusaha mengingatkanku tentang putih?"

"Hitam tak ada tanpa putih. Seperti putih tiada tanpa hitam."

"Ya—ya. Kalau boleh aku tahu, ada perlu apa sehingga kamu mau repot-repot mengikutiku sore ini?"

"Jangan terlalu percaya diri. Aku datang kesini bukan untuk mengikutimu, tapi untuk bertemu dengan cintaku."

"Cintamu?"

"Indomie dicampur cabe rawit."

"Oh." Nael memutar bola mata.

Sombre terkekeh. "Hanya ingin berjalan-jalan dan mengecek situasi sebelum mengeluarkan perintah penjemputan beberapa jiwa. Kudapati ada satu yang cukup menarik."

"Hm? Maksudmu?"

"Ini mungkin klasik. Tapi karena dunia orang mati minim hiburan, aku jadi menyukai kisah-kisah mortal yang penuh drama."

"Ceritakan padaku,"

"Jiwa yang kumaksud tercatat atas nama Subiakto Daneshwara. Hm, sebentar. Aku hampir lupa detail tentang dirinya." Sombre merogoh saku pakaiannya yang kelam, mengeluarkan sebuah buku bersampul kulit yang juga berwarna hitam. "Namanya Subiakto Daneshwara. Telah hidup hampir setengah abad lamanya. Perintah penjemputan untuknya seharusnya keluar sebelum awal minggu depan."

"Apa yang dramatis tentangnya?"

"Dia hanya punya satu putri semata wayang. Mereka tidak akur. Subiakto Daneshwara dan istrinya ingin putri mereka kuliah sesuai yang mereka mau. Sang putri lebih tertarik menjalani hobinya. Hubungan mereka sangat buruk. Terakhir kali, Subiakto Daneshwara bahkan menolak ketika putrinya meminta maaf."

"Klasik sekali, Sombre. Tidak ada yang mengejutkan."

"Memang tidak ada yang mengejutkan. Kecuali fakta jika putrinya seharusnya sudah mati sejak lama."

Kening Nael berkerut. "Apakah dia menipu waktu?"

"Putrinya tidak menipu waktu. Tapi turut campurnya Oriana Suri Laksita membuat penjemputannya gagal."

"Aku punya firasat tebakanku tidak salah."

Sombre menyeringai. "Bingo. Subiakto Daneshwaraadalah ayah bagi jiwa atas nama Khansa Amarissa."    

Hehehe sesebabang Nael dan sesebabang Sombre akhirnya nongol lagi. Jangan bayangin gimana mereka mampir di warteg buat makan indomi yes karena itu akan membuat mereka terasa tidak fana ketika sebenarnya mereka fana 

By the way, terimakasih untuk semua vote dan comment di chapter kemarin. Maaf juga karena gue terlambat update. (sumpah gue ingetnya update kemaren tuh terakhir hari Sabtu eh ternyata Kamis). Pas libur kemaren gue sibuk nugas dan riset potongan jenis ikan you know why, untuk membawa Azriel Caturangga ke Wattpad. 

Ah ya, gue berencana membuat series. Entah ada tiga atau empat cerita. Judulnya Djakarta's Darlings dan akan bercerita mostly di Jakarta. So far yang blurbnya baru rilis hanya dua, Atas Nama Canda dan Rahasia Dapur. Ikr judulnya sangat berbeda dengan judul cerita gue biasanya. Tapi gue belum tau mau ditulis kapan karena untuk liburan gue berencana menyelesaikan cerita yang sudah ada. (At least minimal dua). Jangan merengek, oke. Semua akan keluar pada waktunya. Gue banyak melakukan riset karena profesi dari dua tokoh utama cowoknya nggak gitu familiar lol satu comica dan satu laginya chef, meskipun ceritanya mainstream banget karena yang satu nikah-nikahan dan yang satu betboi betboian. Tapi konfliknya akan nggak terduga seperti NOIR. So wish me luck.

Menjawab pertanyaan (yang terus berulang dan lama-lama bikin gue bete) kalau partnya loncat-loncat itu karena cerita gue diprivat. Kalau udah follow tetap masih belum nongol, coba verifikasi email dan log out dulu. Gue nggak terima request cerita dan tidak menerima masukan untuk jalan cerita harus kesana atau kesini because dude, my story my rules. Jangan tanya gue gimana caranya mendapatkan pembaca karena gue juga nggak tau mereka datang darimana. Gue tidak pernah promote dimanapun sejak gue menulis di Wattpad--dan sejujurnya, lo ngerasa nggak sih kalau posting promote lebih terasa kayak spam? Apalagi kalau ada embel-embel 'dijamin suka'. Man, you dont even know them, genre favorit mereka apa atau gimana dan lo bisa bilang begitu seolah-olah semua orang bakal fix suka sama cerita lo? Just accept the fact that nggak semua orang bakal suka sama cerita lo. 

Gue hanya menulis untuk kepuasan diri. Kalau tanya tips, jawaban gue standar: banyak baca, banyak nulis, banyak latihan. Skill itu di asah, nggak tiba-tiba datang dari langit. Nggak tiba-tiba lo bangun dan langsung jago. 

Singkatnya, lo nggak bisa punya karya keren kalau lo nggak melalui fase menulis karya norak. Jangan terlampau nyaman dengan ide yang seputar itu-itu aja. Challenge yourself. (kayak yang gue lakukan sekarang karena sebetulnya gue ogah banget nulis cerita nikah-nikahan dan beneran nggak suka masak. sukanya makan)

Jangan copy-paste tulisan orang. Jadilah manusia yang punya kebanggaan. Punya kehormatan.

Kuliah gue bakal segera selesai di minggu-minggu ini. Semoga studi dan kegiatan kalian juga berjalan baik ya. Have a good night and see you in the next chapter 

Ciao. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro