Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#02

Malam ini malam minggu. Malam yang awalnya serupa dengan malam-malam biasanya, namun kini terasa amat sakral bagi Suri. Tentu alasannya hanya satu; karena kini dia sudah punya pacar yang tidak lain dan tidak bukan adalah Sebastian Dawala. Setelah pengakuan Sebastian di teras belakang rumahnya waktu itu, memang sempat terjadi keributan. Ketiga abang merespon berita tersebut dengan aksi radikal. Pertumpahan darah nyaris saja terjadi. Jika bukan karena Ayah, boro-boro jadi pacar Suri, mungkin kini Sebastian justru sudah terbaring enam kaki di bawah tanah—oke, Suri tahu itu berlebihan. Tetapi patut dicatat, ketiga kakak laki-lakinya bisa sangat bar-bar pada beberapa jenis situasi.

Diam-diam, Suri bersyukur karena setelah apa yang dialaminya, Ayah mau pulang ke rumah. Ayah jadi pembela hubungannya dengan Sebastian, sehingga para abang tidak bisa berkutik. Mereka hanya mampu berpegang pada surat perjanjian yang telah dibuat beberapa bulan sebelumnya—yang ditukar Chandra dengan ID LINE Siena—dimana mereka bertiga berhak mengadakan semacam masa orientasi buat Sebastian.Lewat masa orientasi yang Calvin namai sebagai program Penataran Mas Pacarnya Suri—atau selanjutnya disingkat PMPS—ketiga bersaudara itu kompak bersatu-padu menyiksa Sebastian.

Suri sempat merasa kesal. Soalnya, penyiksaan ketiga abang untuk pacar tersayangnya itu tidak main-main. Mereka pernah memaksa Sebastian melakukan squat jump sebanyak lima puluh kali sebelum masuk ke rumah dengan alasan Sebastian salah memecahkan teka-teki makanan ospek yang diminta. Semula, Suri menduga Sebastian akan menyerah lalu memilih untuk putus. Tetapi di luar dugaan, Sebastian justru menurut. Melihat bagaimana Sebastian tetap memaksa bertahan dengannya—di luar semua sikap dingin yang cowok itu tunjukkan—Suri jadi terharu.

Karenanya, dia juga tidak boleh menyerah. Suatu hari nanti, kisah mereka pasti akan berakhir bahagia. Ah ya, satu lagi, meskipun acara kencan mingguan mereka kerap dipersulit, itu tidak boleh menyurutkan semangat Suri untuk tampil maksimal.

Sejak minggu lalu, Suri jadi keranjingan melakukan perawatan mingguan setiap hari Sabtu sore. Dia yang awalnya tidak terlalu peduli pada benda-benda seperti lipstik, parfum dan perona pipi kini jadi sering berkaca. Salah satu contohnya adalah sekarang dimana Suri tengah duduk di depan cermin meja rias kamarnya dengan tangan kanan sibuk melumuri wajah menggunakan gumpalan masker wash-off berwarna cokelat gelap.

"Ketika setan pada kepingin jadi manusia lagi, manusia justru berpenampilan mirip kayak setan," Melly berkomentar seraya melayang ke sebelah Suri, memandang penuh rasa penasaran pada jar berukuran sedang berisi gumpalan masker. "Biar apa sih pakai yang gituan? Kamu jadi mirip Wak Ito."

"Wak Ito? Siapa tuh? Jangan bilang kalau dia hantu pendatang baru."

"Hantu pendatang baru di komplek ini. Tapi kalau di dunia perhantuan sih dia udah termasuk veteran. Doi pernah gentayangan di Manggarai. Terus di Bintaro. Malah konon katanya sempat kenalan sama setan Banshee Irlandia yang nyasar ke Jakarta. Si Banshee nggak sengaja nemplok ke orang Irlandia yang ada semacam acara gitu di Jakarta. Si Banshee nyasar, nggak paham Bahasa Indonesia jadi nggak bisa balik. Untung Wak Ito jago Bahasa Inggris gara-gara pernah gentayangan di Kediri selama dua tahun. Jadi Wak Ito nolongin itu Banshee kembali ke daerah asalnya." Wati menimpali, membuat Suri menoleh dengan wajah yang kini legam karena masker.

"Buset, ada veteran juga di dunia hantu? By the way, Wak Ito cowok atau cewek? Cakep nggak?"

"Mulai deh ganjennya. Padahal udah punya pacar."

"Siapa tau secakep Nael atau Zoei gitu. Kan lumayan, gue bisa cuci mata."

"Wak Ito cowok."

"Wow!"

"Katanya dia mantan bad boy."

"Wooooow! Pasti ganteng! Dimana dia biasa mangkal?"

"Apa hubungannya bad boy sama ganteng?" salah satu alis Melly terangkat. "Saya nggak ngerti. Ada apa dengan bad boy sampai-sampai sepertinya semua gadis muda jaman sekarang langsung antusias tiap kali makhluk satu itu dibahas. Apa istimewanya bad boy?"

"Duh, Melly. Lo bukan cewek, jadi lo nggak ngerti gimana rasanya. Bad boy tuh penuh misteri yang menantang untuk dipecahkan, tau."

"Mending pecahkan aja persoalan tugas kuliah take home kamu daripada sok-sok-an mecahin permasalahan bad boy."

"Wati, lama-lama lo berasa kayak menjelma jadi nyokap gue."

Wati langsung mesem-mesem. "Iya, dong. Nggak apa-apa deh nggak jadi pasangan sematinya my baby Cetta selama saya bisa dapetin hati Papi Kelana."

"Sekali lagi lo manggil bokap gue pake sebutan nggak jelas itu, gue guyur lo pakai air comberan masjid. Gosong-gosong dah lo."

Wati mengerucutkan bibirnya. "Kamu kejam."

"Emang. Baru tau?" Suri berpaling pada Melly. "Wak Ito ganteng nggak? Kalau ganteng, bolehlah gue kenalan sama dia."

"Yakin?"

"Super yakin. Dia biasa nongkrong dimana, sih? Karena dia pendatang baru, gue belum sempat ketemu."

"Di kuburan."

"Bukannya disana udah penuh?" Kening Suri berkerut.

"Wak Ito kan petualang. Dia bosen gentayangan di rumah mewah Pondok Indah. Jadi mau cari suasana baru ala-ala barak pengungsian bersama rakyat jelata."

"Hm, berarti Wak Ito ini semacam Don Juan gitu di dunia hantu?"

"Mana ada Don Juan yang dibungkus dari atas sampai bawah. Kalau Wak Ito ganteng, mungkin Mpok Jessica udah menerima pernyataan cintanya minggu kemarin." Wati memutar bola matanya.

"Maksudnya?"

"Wak Ito itu pocong. Atau bahasa kerennya the jumping candy ghost." Melly yang justru menjawab.

"What?!"

"Makanya kamu ngaca. Tadi kan Melly bilang muka kamu mirip muka Wak Ito. Lagian kalau emang Wak Ito itu berwujud tampan, hantu-hantu di rumah ini sudah pasti migrasi ke kuburan, atuh. Kalau ada yang secakep Papi Kelana di kuburan, semua hantu juga mau berdesakan kayak ikan pindang."

Suri berdecak sebal. "Kirain ganteng."

Obrolan Suri dengan Melly dan Wati terinterupsi oleh Chandra yang tiba-tiba berjalan masuk ke kamar. Cowok itu baru bangun dari tidur siang. Alasannya karena mulai jam sebelas malam nanti, dia harus tampil sebagai DJ tamu di sebuah klub malam terkenal. Konon katanya, Siena sempat ingin ikut menemani Chandra—berhubung gadis itu sudah cukup dewasa untuk bisa masuk ke klub malam. Tetapi tentu saja, sebagai pihak yang tidak merestui hubungan Siena dengan Chandra, Suri sangat vokal melarang hingga Ayah pun memilih berada di pihaknya.

"Buset," Chandra mengerjapkan matanya. "Suri, kamu lagi ngapain? Muka kamu jadi gosong banget. Abang kirain tadi Calvin pakai wig."

Suri melotot. "Abang, kan Bunda udah titip pesan biar abang sama Abang Cetta berhenti ngeledekin Abang Calvin!"

"Aduh, Malika bukan Malika jika tidak dipanggil Malika. Emang udah kodratnya dia diledekin, Culi."

"Terserah deh. Sekarang abang mau ngapain?"

"Pinjem hairdryer kamu dong."

Mata Suri memicing curiga. "Buat apa?"

"Pokoknya bukan buat yang aneh-aneh," Chandra seolah mampu membaca arah pikiran adik bungsunya. "Plis. Darurat banget."

"Janji ya bukan buat yang aneh-aneh?"

"Janji!" Chandra menyahut sigap, tak lupa mengacungkan jari kelingking tangan kanannya. Jawaban itu sudah cukup membuat Suri beranjak dari duduk dan mengeluarkan kotak hairdryernya dari laci meja. Chandra menerima hairdryer tersebut dengan senyum terkembang dan wajah super tengil yang membuat luas kuping lebarnya bertambah dua kali lipat.

"Tumben banget si Tengil Tampan minjem barang-barang kewanitaan kayak hairdryer." Wati berkomentar setelah Chandra berlalu dari kamar Suri. Kata-katanya sontak membuat dahi Suri berlipat. Gadi itu berpikir sejenak. Apa yang dikatakan Wati benar. Abang sulungnya itu memang penakluk wanita, tetapi tidak pernah menunjukkan ketertarikan apapun pada benda-benda berbau kewanitaan. Malah, Cetta yang jauh lebih paham, mengingat cowok itu punya dua gadis yang harus dia perhatikan—siapa lagi jika bukan Suri dan Rana.

"Gue jadi curiga." Suri bergumam seraya bergerak keluar dari kamar untuk pergi ke kamar Chandra yang berada di lantai bawah.

Ternyata kamar Chandra kosong. Suara aneh justru datang dari kamar Calvin yang berada tepat di sebelah kamar Chandra. Pintunya separuh terbuka, membuat Suri tidak berpikir panjang untuk masuk ke dalamnya. Apa yang Suri saksikan detik berikutnya membuat pekik tertahan gadis itu terlontar tanpa bisa ditahan.

Suri tidak menyangka dia akan menjadi saksi penganiayaan super bodoh dimana Calvin menjadi korban dan Chandra menjadi pelaku.

Calvin tengah terlelap—sesuatu yang biasa dia lakukan di hari libur. Posisi tidurnya berantakan. Rambutnya menempel ke kening karena keringat. Mulutnya separuh terbuka, dan kesanalah Chandra mengarahkan moncong hairdryer yang menyala. Menyadari hawa panas yang menguar, ada kerut samar muncul diantara kening Calvin. Tetapi cowok itu belum terbangun dari tidurnya.

"Abang!!" Suri berseru, membuat Chandra gelagapan seperti pencuri pakaian dalam kost putri yang baru saja tertangkap basah.

"Culi?!" Chandra terperangah, lalu meletakkan jari telunjuk tangannya yang tidak memegang hairdryer. "Ssttt... jangan berisik! Nanti Malika bangun!"

"Abang!" Suri hampir menutup mulutnya dengan tangan seandainya saja dia tidak ingat tindakan itu akan merusak maskernya yang belum kering. "Abang jahat banget! Abang apain Abang Calvin?!"

"Panasin dikit. Biar ilernya kering dan bibirnya lemas."

"Abang, tau nggak sih itu bahaya!"

"Bahaya dari mana?" Chandra memandang adik bungsunya dengan tatapan tanpa dosa.

Suri memejamkan matanya sesaat, seperti berusaha menahan diri supaya tidak membenturkan kepalanya ke kusen pintu berkali-kali. "Singkirin hairdryernya dari muka Abang Calvin!"

"Culi, kok kamu jadi galak?"

"Sekarang, abang!"

"Culi..."

"AYAH!!!"

Teriakan Suri diakhiri dengan suara hairdryer yang jatuh menghantam lantai.

"Kamu sudah berumur dua puluh empat tahun, Barachandra. Sudah dewasa. Harusnya kamu bisa memberikan contoh yang baik buat adik-adikmu."

Sudah satu jam setengah Chandra duduk dengan kaki terlipat di depan Ayah yang duduk di atas sofa, namun omelan laki-laki setengah baya itu belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Chandra membuang napas dalam hati. Kakinya sudah kesemutan. Diam-diam, dia menatap iri pada ketiga saudaranya yang duduk di atas kursi, bersikap seperti penonton menatap terdakwa yang tengah divonis oleh hakim.

"Kamu mendengarkan Ayah, tidak?"

"Iya, Ayah."

"Coba kasih tau Ayah, kenapa kamu berlaku seperti itu sama Calvin?"

"Soalnya mulutnya menggoda buat dikeringin pake hairdryer, Ayah."

"Jawaban macam apa itu, Jrot?!" Calvin menyela tidak terima. "Gara-gara lo tenggorokan gue jadi kerasa kering sekarang. Awas aja kalau sampai gue sakit. Lo bakal gue tuntut ke pengadilan!"

Di sebelah Calvin, Suri dan Cetta manggut-manggut menyetujui.

"Calvin Raskara, language."

"Abis dia keterlaluan, Ayah!"

"Aku cuma iseng."

"Tapi iseng kamu itu berbahaya." Ayah menegaskan. "Sekarang minta maaf sama adikmu."

"Ogah."

"Buang aja dia ke Zimbabwe, Yah." Calvin menukas penuh emosi.

"Barachandra!"

Ayah seperti sudah siap menyidang Chandra lebih lama lagi seandainya saja suara bel pintu yang ditekan tidak membuyarkan perhatian mereka. Refleks, Suri langsung beranjak cepat dari sofa, berniat berlari ke pintu depan seakan-akan sudah bisa menebak siapa yang datang. Tetapi ketiga kakak laki-lakinya lebih cepat. Mereka ikut berlari ke pintu depan, mendahului langkah kaki Suri. Melihat anak-anaknya berombongan berlari seperti peserta lomba marathon bergerak menuju garis finish, Ayah dibuat menghela napas.

Tamu yang datang ternyata Sebastian. Malangnya, Suri tidak mampu mengimbangi kecepatan lari ketiga abangnya. Ketiga pemuda itu sudah lebih dulu berhasil memasang pagar betis yang memisahkan Sebastian dan Suri di ambang pintu sebelum Suri bisa benar-benar sampai di hadapan Sebastian.

"Eits! Jangan berani-beraninya melangkah masuk sebelum menunjukkan barang-barang ospek yang lo bawa!" Calvin berseru, membuat Sebastian mengembuskan napas dengan wajah jengah.

"Barachandra, Calvin, Dimitrio, jangan bersikap seperti itu sama tamu kita!" Ayah berseru, menatap prihatin pada Sebastian yang terjebak karena dihadang oleh tiga manusia bertinggi di atas seratus delapan puluh sentimeter.

"Sori, Ayah. Tapi untuk urusan ini, Ayah nggak punya power apapun sementara kita punya surat perjanjian yang ditandatangani Suri secara sukarela." Cetta memberitahu, membuat Ayah hanya bisa memberikan dukungan moral lewat pandangan mata.

"Gue udah bawa barangnya."

"Aduh, bahasa lo jangan kayak gitu, dong. Kesannya kayak kita lagi transaksi narkoba." Chandra berujar.

"Terus menurut lo gue harus pakai istilah apa?" Sebastian mendelik.

"Yaudah terserah lo aja, deh. Tri, ambil kantung plastik itu dari tangan ini Jenglot Arab."

"Lo nyuruh gue?!"

"Iya. Sebagai anak cowok termuda, mending lo nurut. Biar cepet juga. Lo kira diceramahin nggak berhenti-berhenti selama satu setengah jam nggak bikin gue lapar?"

Sambil bersungut-sungut, Cetta menerima kantung plastik putih dari tangan Sebastian. Isinya adalah satu kardus mini yoghurt stroberi, tiga botol coke kemasan satu liter dan tiga kotak berisi nasi kebuli.

"Dewi Sri-nya salah apa benar, nih?"

"Nasi goreng bukan?"

"Bukan. Nasi kebuli."

"Berarti salah." Chandra tersenyum penuh kemenangan. "Sekarang gue kasih pilihan. Lo bisa pulang dan buang jauh-jauh keinginan lo malam mingguan sama adik gue, atau push up tujuh puluh lima kali untuk sejam bersama Suri."

"Lama-lama pacaran sama adik lo bisa bikin gue jadi atlet," Sebastian mendengus. "Gue menolak dua-duanya."

"Maksud lo?"

"Lo ngasih clue cuma sebatas 'Dewi Sri berjemur'. Sama aja kayak nasi dipanasin. Nasi kebuli juga dipanasin alias dimasak dulu."

"Dewi Sri yang gue maksud itu nasi goreng."

"Kalau nasi goreng namanya Dewi Sri ketumpahan oli, bukan Dewi Sri berjemur. Mana mau Dewi Sri berjemur sampai jadi cokelat nggak jelas macam nasi goreng?"

"Wah, Mal," Chandra berpaling pada Calvin yang kini sudah mengamankan kardus yoghurt stroberi dalam pelukan. "Ngeledek lo nih bocah satu."

"Lo salah bawa. Jadi sebagai laki-laki, lo harus jadi gentleman. Sekarang mendingan lo pulang."

"Nggak perlu."

"Ayah," Chandra berpaling pada Ayah yang baru saja bicara. "Dengan segala hormat, Tuan Kelana Wiraatmaja alias Ayah kita semua, Ayah nggak punya wewenang apapun untuk ikut campur dalam masalah ini."

"Anggap aja Ayah penasihat hukum. Toh di sidang semua terdakwa juga berhak bawa pengacara, kan?" salah satu alis Ayah terangkat. "Menurut Ayah, argumen Bas ada benarnya. Clue yang kalian kasih kan hanya 'Dewi Sri berjemur'. Nasi dipanasin. Nasi kebuli juga dipanasin dulu sebelum dihidangkan."

"Ayah—"

"Abang jahat banget sama Tian!" Suri berseru jengkel, membuat ketiga kakak laki-lakinya terbungkam. Mereka saling berpandangan, lantas sedetiknya menganggukkan kepala seperti baru saja berkomunikasi lewat kemampuan telepati.

"Oke. Karena kesalahpahaman akibat clue yang kurang spesifik, abang mewakili Tri dan Malika memutuskan memberi kelonggaran," Chandra memasang wajah sok berwibawa. "Jenglot Arab diperkenankan untuk jalan bersama Suri, tapi dengan catatan ada pengurangan waktu nge-date dari yang tadinya satu jam menjadi empat puluh lima menit."

"Abang jahat!"

Chandra mengabaikan seruan Sebastian. "Gimana, Lot? Ada keberatan nggak? Kalau keberatan nggak apa-apa, sih. Jadi lo bisa langsung cabut ke rumah lo sendiri sekarang juga."

"Nggak." Sebastian membalas tegas. "Selama empat puluh lima menit, gue berhak membawa adik lo kemanapun gue mau, kan?"

Ragu sejenak, Cetta akhirnya mengangguk. "Asal nggak ke ujung dunia atau ke alam lain."

"Stop. Gue benci dengar istilah alam lain."

"Atau takut?" Calvin mencibir.

Sebastian menatap kesal. "Bacot."

"Empat puluh lima menit. Nggak lebih. Boleh kurang." Cetta melirik pada arloji yang melingkari pergelangan tangannya. "Dihitung dari sekarang."

"Fine. And Oriana, come here." Sebastian berkata, membuat Suri dengan patuh langsung berjalan menembus pagar betis tiga abang menuju cowok itu. Sebelum benar-benar pergi menjauh dari ambang pintu depan, Sebastian menyempatkan diri mengalihkan pandang pada Ayah. "Thanks, Ayah."

Ayah mengacungkan jempol. "Have fun."

"Mana ada date pakai have fun yang cuma empat puluh lima menit," Chandra bergumam pelan sambil menyentakkan kepala. Ucapannya diamini dengan sepenuh hati oleh Calvin dan Cetta.

Mereka menonton Sebastian dan Suri pergi meninggalkan teras rumah. Keduanya tidak berpegangan tangan. Juga tidak berbicara. Hanya berjalan bersebelahan. Tapi entah kenapa, itu justru kian menyalakan bara cemburu di hati para abang.

"Ini nggak bisa dibiarkan."

"Setuju." Calvin mengangguk.

"Misi berikutnya," Chandra menatap bergantian pada kedua adik laki-lakinya. "Mari kita ikuti mereka."

"Kekhawatiran kalian itu nggak beralasan," Ayah berkomentar. "Suri sudah besar. Sudah lulus SMA dan sudah kuliah. Wajar kalau dia punya pacar. Apalagi Sebastian itu anak yang baik."

"Sori, tapi Ayah belum melihat dia sampai ke belang-belangnya. Dia itu mu-na-fik, Ayah."

"Kalian terlalu dramatis."

"Kita semua sayang Culi. Kita nggak bisa mengambil risiko," Cetta berkilah.

"Betul!" Chandra berseru. "Siapa tau aja Sebastian lemah iman dan Suri digrepe-grepe di semak-semak."

"Itu sih lo, Jrot."

"Yaelah, Malika, sebagai adik yang baik harusnya lo mendukung gue, dong!"

Ayah mendecakkan lidah sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Terserah kalian aja, deh." ujarnya, sebelum berlalu begitu saja menuju ruang tengah rumah sementara ketiga abang bersiap-siap menjalankan rencana dadakan mereka untuk jadi penguntit Suri dan Sebastian malam ini.

Satu kesimpulan yang Cetta dapatkan setelah mengekori Suri dan Sebastian sepanjang acara dating kilat mereka malam ini adalah; Sebastian benar-benar titisan arca batu yang entah bagaimana bisa hidup dan melarikan diri dari candi tempatnya bersemayam. Cowok itu sangat kaku. Dia hampir tidak pernah menggandeng Suri sepanjang perjalanan keduanya berjalan kaki menuju minimarket yang terletak tidak jauh dari rumah. Satu-satunya tingkah paling manis yang ditunjukkan cowok itu hanya terbatas pada bagaimana dia membawakan semua pilihan makanan ringan yang Suri ambil tanpa mengeluh, atau ketika dia mengambilkan kaleng jus dari rak teratas yang tidak bisa Suri gapai.

"Ternyata nggak menarik sama sekali." Chandra berujar seperti mampu menerka isi otak Cetta dalam perjalanan mereka kembali ke rumah. Ketiganya memang buru-buru kembali ke rumah lebih dulu setelah mencuri dengar percakapan singkat Suri dan Sebastian. Keduanya memang memilih langsung pulang setelah selesai membeli makanan dan minuman di minimarket, mengingat sedikitnya waktu yang mereka punya. Jika Suri tau ketiga kakaknya masih mengekorinya bahkan setelah memberikan syarat tidak manusiawi pada Sebastian, gadis itu jelas akan marah.

"Gue jadi ragu. Sebenarnya mereka itu pacaran apa nggak, ya?"

"Pacaran sih pacaran. Kalau nggak, masa iya itu Jenglot Arab mau-maunya berkorban segitu banyak cuma buat ngajakin cewek ke minimarket," Chandra menukas. "Gaya pacarannya itu, loh. Kaku banget kayak kerah seragam anak yang baru masuk SD."

"Terus lo mau gaya pacaran mereka kayak gimana? Raba sana-sini kayak lo sama cewek-cewek random lo?"

"Gue udah tobat."

"Tobat jalan maksiat jalan maksudnya?"

"Serius. Gue udah tobat. Malah gue curiganya lo sama Rana yang udah mulai keluar batas. Lihat aja. Kalau sampai Rana bunting—"

"Kalau Rana bunting, emang kenapa?" Cetta justru bertanya dengan nada menantang.

"Siap-siap aja lo dipancung Ayah."

"Tri mah belum ada bakat ngehamilin anak orang," Calvin mesem-mesem. "Cuma benar kata Pisang Mojrot. Lo dengerin baik-baik tuh wejangan dari Ayah. Lihat aja kalau sampai lo melangkahi gue dan nikah duluan. Bakal gue tebar paku payung di ranjang kamar pengantin lo."

"Kadang gue heran sama lo, Malika."

"Maksudnya?"

"Sebenarnya lo itu arsitek atau tukang tambal ban?"

"Suka-suka lo aja deh, bray."

Obrolan ketiganya terputus ketika mereka tiba di rumah. Suasana rumah masih sepi. Mungkin Ayah masih berada di dalam, sedang sibuk membaca buku sambil menyesap kopi. Ketiga cowok itu berjalan masuk ke rumah dengan santai, tetapi wajah Cetta kontan dibuat pucat pasi sesaat setelah dia menyadari sesuatu;

Ada sepasang sepatu perempuan yang sangat familiar yang dilihatnya di pintu depan tadi.

Dan benar saja, sesuai dugaannya, begitu dia masuk ke ruang tengah, wajah masam Rana langsung menyambutnya. Gadis itu terlihat cantik malam ini. Kentara sekali Rana meniatkan penampilannya, karena dia bukan tipe gadis yang suka memakai perona pipi pada saat-saat biasa. Cetta mencoba tersenyum.

"Halo, sayang. Udah lama? Sori tadi aku keluar bentar. Lupa kalau kamu mau datang ke rumah."

Alarm siaga satu Cetta langsung berdering keras tatkala dilihatnya Rana sama sekali tidak tersenyum.

"Sayang?"

"Nggak usah panggil-panggil sayang kalau nyatanya kamu nggak sesayang itu sama aku," Rana menjawab dengan nada menohok. "Aku nungguin kamu disini. Kamu masih mau bilang lupa? Bukannya tadi siang kamu sendiri yang nanya aku jadi datang ke rumah apa nggak? Udah gede juga, masih aja sibuk ngerecokin adik perempuannya yang baru punya pacar."

"Kirana,"

"Nggak usah panggil-panggil nama aku. Rayuan kamu nggak mempan sekarang. Aku udah terlanjur bete."

"Terus aku harus gimana dong?"

"Aku sih kepinginnya kamu loncat ke dalam sumur."

"Nanti mati."

"Biarin."

"Nanti nggak ada yang cium-cium dan peluk kamu lagi."

"Ada. Gie." Rana menyebut nama seseorang yang sudah naksir padanya sejak sebelum dia mengenal dan berpacaran dengan Cetta. Nama lengkapnya adalah Suluh Nugie Adiswara. Biasa dipanggil Gie. Dan meski Rana sudah punya pacar, Gie tidak menunjukkan tanda-tanda jika dia sudah menyerah.

"Jangan sebut nama cowok kampret itu di depanku."

Rana justru menyeringai. "Gie. Gie. Gie. Gie. Gie. Gie."

"Rana,"

"Kamu nyebelin banget. Aku mau pulang aja."

"Kamu marah?"

"Ya ampun, kamu masih nanya?" Rana menyahut dengan sarkasme yang kental.

"Jangan marah dong, sayang. Kan aku cuma pergi sebentar."

"Jam empat sore."

"Hah?"

Rana menatap Cetta dengan dingin. "Aku siap-siap dandan buat jalan-jalan malam minggu sama kamu dari jam empat sore. Bete nggak begitu aku nyampe sini, orang yang mau aku temui justru nggak ada karena sibuk ngintilin adiknya? Apa aku malam mingguannya sama Ayah aja? Gimana menurut kamu?"

"Rana, aku nggak bermaksud begitu. Beneran, deh."

"Huf. Tau gini mending aku malam mingguan sama Gie aja."

"Kiranazita Maharani."

"Aku bete. Aku mau pulang."

"Aku anterin ya?"

"Nggak. Males."

"Yaudah."

Rana justru melotot. "Jadi kamu mau biarin aku pulang sendiri begitu aja? Tuh, kan. Kamu emang beneran nyebelin, Dimi."

"Terus gimana? Yaudah, aku anter pulang, nih?"

"Kamu tuh beneran nggak peka!"

Cetta menekan bibirnya ke dalam satu garis lurus. Melihat bagaimana ekspresi wajah Rana sekarang, gadis itu sudah pasti marah betulan. Kalau sudah begini, rasanya Cetta ingin menyerah.

Perempuan memang salah satu makhluk terumit yang pernah diciptakan. 

Halo. 

Cie yang besok SBMPTN.

Ini udah batas akhir, btw. Jadi tutup buku pelajaran lo dan lebih fokus ke menenangkan diri dan berdoa. Dulu gue pas SBMPTN cuma belajar dua minggu awal (tapi beneran dari pagi sampe sore non stop) (cuma belajar kimia doang tapi wkwkwk) dan dua minggu akhirnya gue pake buat main. Semangat ya. Apapun hasilnya, itu pasti yang terbaik buat lo saat ini. 

Nyokap gue juga titip salam buat kalian yang mau SBMPTN maupun kalian yang masih sekolah. Katanya semangat buat semua pembaca yang baik hati dan sudah mendukung Renita. Jangan lupa berdoa sebelum ngerjain. Drama banget wkwk.

Ah ya, gue nggak mengerti kenapa gue sempat beberapa kali dapet hate question di ask.fm like I think I did nothing wrong? Gue nggak tau apakah gue pernah bertindak menyebalkan tanpa alasan atau terkesan mencari perhatian. Tapi gue punya feeling orangnya adalah orang yang sama. I refused to answer all of those hates you sent me, tapi seandainya lo baca ini sekarang, gue hanya mau ngasih tau kalau apa yang lo katakan itu nggak berpengaruh apa-apa buat gue. Gue tau prioritas gue sekarang apa. Goals (berasa awkarin banget anjer) gue sekarang apa. Semua opini lo tentang gue sangat tidak relevan untuk hidup gue. Apalah arti hinaan dan hate dari seseorang yang bahkan nggak seberani itu menampakkan dirinya? Buat lo, jadilah seseorang yang punya dignity. Punya sesuatu untuk dibanggakan. Gue tau lo mencoba bikin gue down, but so sorry darling, it didnt and would never work. Dimanapun lo berada, gue harap lo bahagia. Karena mengusik orang yang hanya lo tau dari dunia maya itu contoh dari orang yang hidupnya nggak bahagia. 

By the way, entah kenapa gue jadi agak tertantang bikin cerita nikah-nikahan. Lo tau, tema perjodohan yang mainstream itu lol. Gue masih berpikir gimana ya cara bikin tema yang mainstream jadi nggak mainstream. Tapi well, mungkin masih lama. 

Rasanya tuh nggak enak kayak ide lo menumpuk dalam kepala tapi nggak bisa lo tuliskan karena lo nggak ada waktu TT.TT 

Oke deh, daripada gue kebanyakan bacot, mending kita sudahi disini. Makasih sudah baca. Have a good night and wonderful days ahead. 

Sampai ketemu di chapter berikutnya. 

Ciao.  

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro