Bab 3. Reward
Ternyata begini rasanya mengobrol dengan laki-laki. Seperti ada bunga-bunga api yang meletup dalam hati Alfi. Rasanya menggelitik, tidak ingin berjenti. Noir orang yang hangat yang berhasil mencairkan mereka berdua dengan candaan dan nada bicara yang bersahabat.
"Sepertinya aku harus pulang, Noir," kata Alfi. Mau tidak mau obrolan mereka harus dihentikan. Atau kalau tidak mereka bisa bablas malam mingguan berdua. Tentu itu akan menjadi masalah baru. Keluarga Alfi yang cukup religius melarang anak-anak untuk berpacaran.
"Begitu kah? Ya, sudah. Rumahmu jauh atau dekat?"
"Dekat kok. Sepuluh menit dengan sepeda motor," jawab Alfi.
Noir tidak memperpanjang perbincangan lagi. Ia lantas mengantar Alfi menuju kendaraan gadis manis itu. Setelah tiba di motor Alfi, Noir menyerahkan sebuah buku tebal kepada Alfi.
Gadis itu terperangah bahagia. Buku langka yang selama ini di cari-carinya.
"Oh my God! Brisingr!!" cetus Alfi terkejut.
"Yup. Dari perbincangan tadi aku kira kau suka novel fantasi. Dan aku kebetulan beli. Tapi entahlah kamu sudah baca sampai buku ke berapa?"
"Inheritance. Tapi aku belum baca buku ketiganya, Brisingr." Bahkan suara Alfi tanpa sadar terdengar menggebu. Tidak sabar menyelami lembar demi lembar dunia fantasi milik Christoper ini.
"Benarkah? Jadi petualanganmu tertunda. Kau boleh baca dulu kalau begitu," kata Noir.
"Terima kasih Noir. Aku bakalan cepat bacanya," kata Alfi menyambut buku itu dengan penuh suka cita.
Sesaat percakapan santai mereka terputus karena Noir menjadi waspada. Raut wajah Noir penuh dengan rasa takut dan was-was. Tanpa aba-aba, pemuda itu lari secepat kilat.
"Eh, Noir?" sia-sia Alfi memanggilnya karena Noir sudah hilang dari pandangan. Hanya pertanyaan-pertanyaan yang menghinggapi benak Alfi. Tentang, siapakah yang dilihat Noir? Kenapa Noir sampai ketakutan seperti itu? Ataukah ... Musuh ilusi Noir muncul?
Otak yang penuh dengan halu memang sering ngawur munculnya. Alfi segera menaiki motornya yang terparkir di depan gedung Budi Sasono di antara perpustakaan umun dan alun-alun. Saat Alfi menundurkan motornya, ia melihat benda berkilau di dekat kakinya.
Tangan Alfi meraih benda berkilau emas itu. Sebuah kalung berbandung kunci dengan panjang kunci 5 cm itu terlihat mahal. Ini seperti kunci peti harta karun.
"Apa ini milik Noir?" gumam Alfi kepada dirinya sendiri.
Pas sekali Noir juga berdiri di dekat kunci emas itu ditemukan. Alfi segera mengantongi kalung emas tersebut. Ia akan tanyakan kepada Noir saat di sekolah saja. Sekarang waktunya pulang. Pasti keluarganya di rumah menanti kepulangannya yang terlambat. Ibunya pasti sudah siap dengan pidato panjang lebar. Apalagi saat ibu tahu ia bertemu dengan laki-laki, sudah pasti dalil-dalil mengenai bab marhom membanjiri gendang telinganya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro