Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sixteen - [Slave of Love]

"Setinggi apa pun ilmu seseorang, dia bisa saja diperbudak cinta."

***

Pagi ini Jiyya berjalan di antara teman-teman satu kampus yang menatapnya. Dia tak bisa mengartikan tatapan itu, bisa saja tatapan benci, atau malah mengasihani kejadian kemarin yang dialaminya.

Kali ini Jiyya terlihat semakin parah. Dia memasang penutup luka di wajahnya, menghindari pertanyaan-pertanyaan bodoh yang menanyakan dia kenapa. Dia terus saja melangkah tanpa mempedulikan pertanyaan yang dia temui.

Jiyya segera masuk kelas, udara dingin pagi membuatnya sedikit meringis. Karena luka yang ada di bagian tangannya sedikit terbuka dan terkena udara dingin. Ingin sekali dia menangis, namun dia ingat jikalau dia sedang di mana.

"Jiyya? Kenapa wajah lo ditutupin kayak gitu? Lo kenapa?" Salah satu teman cewek yang memperhatikan Jiyya beberapa hari ini bertanya.

Dia sudah melihat semua luka yang ada di wajah Jiyya. Yang hari ini, sepertinya agak sedikit parah, karena Jiyya sampai-sampai menutupnya dengan blaster. Tak ada yang tahu dia kenapa.

"Gue gak pa-pa, Rin. Lo santai aja ... ini emang karena gue lagi belajar naik motor, jadi sering jatuh," jawab Jiyya ngasal.

Riri malah mengerutkan dahinya. "Masak iya belajar motor bisa parah gini?" tanya Riri tak percaya.

"Udahlah, Ri. Gak usah ngurusin hidup orang." Jiyya menjawab dingin.

Mendengar jawaban itu Riri segera mundur. Dia juga merasakan jikalau Jiyya sedang tidak baik-baik saja. Namun, kenapa Jiyya sama sekali tidak mau terbuka dan menceritakan apa yang dia alami?

Monolognya berakhir saat satu dosen datang memasuki kelas. Semuanya menghentikan aktivitas mereka. Dari yang bermain HP atau yang mengobrol dengan teman di bangku sebelah.

***

Kelas berakhir, dan mata Jiyya membulat sempurna saat melihat Ragi sudah berdiri di depan pintu kelasnya.

"Kenapa lo ke sini?" tanya Jiyya agak sedikit ragu.

Tangan Ragi terangkat, dan Jiyya reflek melindungi wajahnya dari tangan kekar itu. Namun, siapa sangka Ragi malah mengusap kepalanya seperti anak kecil?

"Ikut gue, mama nyuruh gue bawa lo ke rumah."

Ya, Jiyya sudah mengenal mama Ragi. Dia sudah berkenalan dan bahkan sudah dekat. Melati sudah tahu hubungan Jiyya dan Ragi, dan dia juga sepertinya menyukai Jiyya dekat dengan anaknya sendiri.

Karena itulah, Ragi sekarang mengajak Jiyya untuk bertemu dengan Melati. Ragi kemudian menggandeng tangan Jiyya dan melangkahkan kaki keluar dari kampus. Tak peduli apakah masih ada kelas setelah ini.

"Mau bawa oleh-oleh apa?" tanya Ragi pada Jiyya yang masih saja diam membisu.

Tak ada jawaban dari fewek itu, dia malah terpaku menunduk menatap ke bawah, mungkin saja dia tak mendengar apa yang ditanyakan Ragi.

"Jiyya?" tanya Ragi lagi kembali, menaikkan volume bicaranya.

"Ah, ya! Maaf. Gue ngikut lo aja, karena yang tahu apa yang mama suka 'kan itu lo." Jiyya berusaha tersenyum.

"Yaudah."

Ragi menaiki motor, lalu menghidupkannya. Disusul Jiyya yang duduk di belakang dan segera memegang erat pinggang Ragi. Dia tahu jika Ragi biasanya akan mengebut di jalanan.

Motor pun melaju dengan cepat. Meninggalkan keramaian kampus yang memang sedikit membuat tak tenang. Apalagi dengan gosip-gosip tak enak yang beredar, tentang dia dan Ragi.

Namun, semuanya bisa dilupakan Jiyya saat dia tahu Ragi mengajaknya bertemu dengan calon mertuanya. Ups ... semoga saja demikian. Jiyya sangat mengharapkannya, Ragi yang ia sayang, dan mama Melati yang sangat dia sukai.

Setiap kali dia bercerita dengan Melati, ibu paruh baya itu pasti mengarti dengan apa yang Jiyya alami. Karena itu, Jiyya merasa begitu nyaman jika dekat dengan keluarga Ragi. Mereka bisa saling berbagi cerita dan mengungkapkan masalah, tak ada yang menyembunyikan rahasia.

Hal inilah yang menjadi alasan Jiyya untuk tetap bertahan bersama Ragi. Dia tak mau hubungannya yang indah berakhir begitu saja. Jiyya tahu jikalau sebuah cinta yang indah akan datang dari rasa sakit. Tidak selalu semua harus berjalan indah dan mulus. Pasti ada lika-liku dalam perjalanan sebuah kisah.

Tanpa terasa, motor Ragi berhenti di sebuah rumah sederhana. Berbagai macam bunga menghiasi halamannya, benar-benar keadaan yang bersih dan nyaman.

"Jiyya!" sambut Melati yang baru saja membuka pintu.

Dia membuka tangannya lebar, akan memberikan pelukan pada Jiyya, cewek muda yang sekarang tengah menjalin hubungan dengan Ragi.

"Mama ... apa kabar, Ma?" tanya Jiyya sopan.

"Mama baik. Kamu gimana?"

"Baik juga, Ma ...." Jiyya tersenyum manis.

"Yaudah! Ayo masuk, di dalam mama udah masak makanan buat kalian."

Melati menggandeng tangan Jiyya memasuki rumah, dia sudah menyiapkan semuanya. Makanan dan tempat duduk, piring dan berbagai hal lainnya.

"Aduh ... Mama gak usah repot-repot masak buat Jiyya ...." Jiyya terkekeh pelan melihat begitu banyak menu makanan di atas meja.

Mulai dari sayuran, sampai ayam goreng kesukaan Jiyya juga ada di sana. Wajah Jiyya terlihat begitu bahagia, rasanya dia benar-benar memiliki keluarga di sini. Dia benar-benar dihargai dan disambut dengan sangat baik.

Namun, perhatian Jiyya teralihkan, melihat wajah Melati yang terlihat sedikit memerah dan memar.

"Ma ... wajah Mama kenapa?" tanya Jiyya berusaha menyentuk luka itu.

"Eh ... ini. Mama sudah pernah cerita, 'kan? Tengang papa Ragi?" Jiyya mengangguk.

"Papa Ragi ...."

"Iya, beberapa hari yang lalu dia pulang. Ya seperti biasa mama selalu menjadi korban. Begitulah mama, sama sekali tak bisa melawan." Melati begitu santai menceritakan masalah keluarganya pada Jiyya.

Jiyya yang mendengar itu pun hanya mengangguk paham. Dia tak mau menanyakan lebih lanjut tentang cerita sakit dan pahit yang dialami sebuah keluarga. Lebih baik dia diam, dan menyimpan seribu pertanyaan itu.

"Loh? Kamu kenala juga? Wajah kamu dikasih plaster gitu? Anak mama gak pa-pa, 'kan? Kenapa bisa gitu?"

"Ehh ...." Jiyya segera menyentuk luka yang ada di pipinya. "Jiyya lagi belajar naik motor, Ma. Jadi ... suka jatuh-jatuh gitu, dan akhirnya jadi kayak gini, deh. Susah banget emang belajar naik motor, Ma. Alhasil wajah Jiyya jadi korban. Eheheh ...."

Jiyya menatap ke arah tangga. Tempat di mana tadi Ragi berjalan dan menghilang di balik sidut. Dia tetal harus menjaga hubungannya. Tak mau semuanya berakhir begitu saja.

Apalagi melihat keluarga Ragi yang bemar-benar ramah seperti ini, menjadi sebuah kebahagiaan sendiri oleh Jiyya jikalau dekat dengan mereka.

"Yaudah, ayo makan! Mama udah capek-capek masak buat kalian."

"Iya, Ma ... ayo." Jiyya berjalan ke arah meja makan.

"Ragi ... turun! Makan bareng yok, Jiyya udah di sini mau makan, kamu harus turun."

Tak ada jawaban dari atas, namun selang beberapa waktu kemudian Ragi turun. Dia sudah mengganti pakaiannya menjadi lebih santai, baju kaos dan celana pendek kesukaannya.

Jiyya yang melihat penampilan Ragi seperti anak kecil pun tersenyum. Dia terkekeh geli melihat Ragi yang jarang dia lihat.

"Ayo makan!"

***

TBC

Part by : Nao

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro