Seven - [My Boyfriend]
"Memangnya apa yang salah? Aku nyaman, dia nyaman. Aku kosong, dia kosong. Apa salahnya dengan itu?"
***
"Loh? Lo bawa gue ke mana?" tanya Jiyya saat menyadari motor yang ia tumpangi sedari tadi berhenti di tepi sebuah jembatan.
Ragi hanya diam. Sudah beberapa kali dia membawa Jiyya untuk jalan bersamanya. Hari ini, entah keberapa kalinya dia seharian bersama Jiyya.
"Woi! Ini tembok apa orang, kok di ajak ngomong gak jawab," Jiyya mulai emosi.
"Lo diem aja, kalau gak gue tinggal lo di hutan."
"Haaa? Awas lo macam-macam, gue bisa silat. Mampus lo!"
Ragi seperti memikirkan sesuatu. Dia memainkan kedua tangannya, lalu beberapa saat menatap ke arah Jiyya. Dia juga terlihat beberapa kali membuka mulut, namun kembali ditutup.
"Eh, ini mau ngapain si, Awas aja lo! Jangan salahin kalau gue nanti lempar lo ke bawah sono!" kesal Jiyya karena keheningan yang diciptakan Ragi.
"Lo kok ngoceh mulu si, Jiy?" Ragi mendekap mulut Jiyya.
Tanpa disadari, dua pasang mata bertemu. Seperti drama-drama Korea, yang nantinya akan berujung dengan scene kiss. Lalu si cewek tiba-tiba sadar dan nampar cowok karena menciumnya sembarangan.
"Argh! Woii ... lo manusia atau vampir, sih?" teriak Ragi tiba-tiba karena Jiyya mengigit tangannya. "Dasar manusia bar-bar."
"Lagian ... lo ngapain nutup mulut gue segala? Lo tahu, 'kan? Kalau gue ga bisa berenti ngomong sebelum gue dapat jawaban. Makanya lo harus jawab pertanyaan gue dulu." Jiyya tak mau kalah, dia berusaha membela diri.
"Yaudah, jadi gini ..."
"Apa? Lo mau kasih gue duit? Boleh! Banget malah, kebetulan gue belum bayar uang kosan." Tangan Jiyya tertampung ke depan Ragi.
"Bukan! Lo kenapa, sih? Biarin gue ngomong dulu, kek ... ga sabaran amat! Gimana lo mau dapat cowok sabar kalau kek burung pipit?"
"Hah? Apa? Apa salahnya burung si Pipit? Itu lucu tauk." Semringah Jiyya.
"Receh."
Hening. Jiyya tertawa dengan leluconnya sendiri, sementara Ragi terdiam, dia masih memikirkan kata-kata yang pas untuk ia ucapkan.
"Oke, jadi lo mau ngomong apa?" tanya Jiyya akhirnya. Dari nada suaranya, terdengar jikalau dia sudah mulai serius.
"Yah, gue gak mau basa-basi kayak drama Indonesia. Apalagi yang pake efek zoom in, atau zoom out. Atau sound efek deg-degan waktu gue mau ngomong, tapi--"
"Itu lo basa-basi!"
"Biarin gue ngomong dulu napa?" bantah Ragi cepat, tak suka perkataannya dipotong.
"Oke, lanjut, Kakanda."
"Jijik gua denger lo ngomong. Tapi, gue terlanjur sayang."
Mendengar perkataan terakhir membuat Jiyya segera berbalik arah. Dia menatap wajah Ragi dengan serius. "Hah?" Satu kata dengan nada bertanya terlontar dari mulutnya.
***
Satu panggilan di teleponnya membuat Jiyya buru-buru membuka handphonenya. Panggilan dari Ragi, cowok yang beberapa waktu itu selalu berada di sisinya.
Wajah Jiyya berubah masam, dalam hati dia begitu mengutuk kelakuan cowok ini yang seenak jidatnya. Dalam hal lain, dia sudah merasa nyaman bersama Ragi. Jadi, yang mana harus dia ikuti?
Jiyya mengangkat telponnya. Namun, seketika kembali naik pitam karena kalimat pembukaan dari cowok itu.
"Oi ... lo di mana?" ucap Ragi dari seberang telepon.
"Call my name! " bentak Jiyya kesal.
Terdengar tawa menggelegar dari seberang sana. Sementara Jiyya, malah berdiri dan melipat satu tangannya di dada. Selalu saja Ragi membuatnya naik darah.
"Lo lucu anjir ... itu panggilan sayang gue buat lo ...." Ragi melanjutkan penuh tawa.
Jiyya memutar bole matanya malas. "Ya, ada apa lo telpon gue? Sorry, gue ga bakalan bilang kangen atau chat lo duluan. Ogah binti gengsi gue."
"Buset ... jangan banyak cakap lo! Gue mau ngajak lo jalan kayak biasa nanti, mau? Lo 'kan udah resmi juga jadi pacar gue."
Cewek itu terdiam sebentar. Dia memikirkan, menimbang, dan membagi waktunya dengan urusan lain. Satu hal terpikir olehnya, ya ... hal yang selama ini dia lupakan.
"Gue udah seminggu kali absen di kampus, Ra." Jiyya terlihat kecewa dari nada suaranya.
Terdengar gelak tawa Ragi dari seberang sana. Satu hal itu benar-benar membuat Jiyya tenang. Tawa dari cowoknya. Walaupun hubungan mereka baru berusia dua minggu lebih beberapa hari, namun ... rasanya mereka kayak udah kenal sepuluh tahun.
Saling pengertian, curhat, perhatian, dan Ragi bisa menjadi ayah, pacar, sekaligus sahabat untuk Jiyya sendiri. Ragi itu bagaikan beberapa orang yang merangkap menjadi satu orang. Kesempurnaan, dan itulah yang dilihat Jiyya.
"Santai aja ... nanti kita sama-sama kejar ketinggalan kita, ya! Besok gue mau kenalin lo sama teman-teman gue." Perkataan Ragi diakhiri dengan ucapan makasih dan bye.
Jiyya tak bisa menolak. Lagian, dia memang sudah nyaman dan suka sama Ragi. Apalagi jika dibawa jalan bareng, Jiyya akan sangat senang dan melupakan semua masalah yang dia alami. Ragi selalu jadi tempat curhat yang baik buat dia.
Tanpa disadari waktu itu datang. Sekarang, Ragi sudah berada di depan gerbang kos Jiyya dengan motor kesayangannya. Ya, Jiyya selalu lebih memilih Ragi untuk membawa motor, cewek itu jauh lebih nyaman jika mendapatkan angin dari luar.
"Wah ... cantik juga lo kalau dandan," puji Ragi saat melihat Jiyya.
Tampilannya seperti biasa. Kaos berwarna navy dan celana jeans hitam. Suatu perpaduan gelap yang sudah menjadi kebiasaannya. Ditambah dengan sepatu sneakers putih, menambah kesan Jiyya yang memang tidak feminim sama sekali.
"Dandan apaan ini ... gue ga make bedak sama sekali."
"Tapi, di mata gue udah paling cantik."
Jiyya tersipu. Dia hanya menepuk pundak Ragi pelan kemudian menaiki motornya. Jika dia membalas dengan kata-kata biasa, nanti mereka tak akan pernah sampai ke tempat tujuan karena perdebatan yang akan memakan waktu lama.
Alhasil, Ragi melajukan motornya. Membelah jalanan sore yang ramai karena orang-orang akan pulang menuju rumah. Sementara Jiyya dan Ragi baru saja akan berangkat untuk jalan.
Ragi menghentikan motornya di sebuah bangunan seperti rumah, namun terlalu mewah. Entah, ini biasanya disebut sebagai apa.
"Ini rumah siapa?" tanya Jiyya penasaran, menatap satu per satu bagian dari bangunan itu.
"Rumah temen gue ... kita masuk aja, di dalam banyak yang lain. Temen kampus satu fakultas sama lo juga ada, kok." Ragi menarik tangan Jiyya lembut.
Jiyya hanya manut, cewek itu berjalan lugu di belakang Ragi. Walau sebenarnya dia adalah cewek bar-bar. Namun, ternyata Jiyya juga bisa manja.
"Asuuu! Ini rumah apa istana, sih?" tanya Jiyya melihat berbagai macam furnitur di rumah itu.
"Eh, mulutnya pinter, ya? Ngomong itu lagi gue kiss, Bye!" ancam Ragi dengan nada yang benar-benar halus.
"Idihhh, najis dicium sama lo! First kiss gue cuman buat suami gue kelak!" balas Jiyya sengak.
"Ya, suami lo entar juga gue, kok. Jadi gak pa-pa, 'kan?"
"Dih, ogah, najis. Hweeekk!" Jiyya menirukan seseorang yang ingin muntah.
Tanpa disadari satu tangan Ragi menyentuh puncak kepala Jiyya dan sedetik kemudian mengacak-acak rambutnya yang sebahu. Jiyya terdiam sesaat karena perlakuan manis itu.
"Apaan, sih? Pegang-pegang kepala pula!" bentak Jiyya segera melepaskan kepalanya.
"Ahahaha ... lo manis banget. Gue nyaman dengan kelakuan lo yang kayak anak kecil. Tetap kayak gini ya, Jiyya .... Jiyya tersayang tersayang."
"Whatever!"
***
Tbc
Part by : Nao_Tan
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro