Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Nineteen - [Hot Coffee]

"Kenapa aku begitu bodoh?"

***

Jiyya berusaha tenang, semuanya terasa sudah lepas sekarang, beban yang dia hadapi berhasil dia ceritakan pada satu orang. Jujur saya, hal itu benar-benar membuatnya merasa lebih baik dari pada sebelumnya.

"Makasih ya, Daffa ...." Jiyya tersenyum, sekali lagi memeluk Daffa.

Daffa yang dipeluk spontan kaget, dia membalasnya ragu-ragu, "Sa--sama-sama."

Segera Jiyya melepas pelukannya dan berdiri. "Ini tantangan gue, dan gue harus bisa ngelakuin semuanya untuk kebaikan Ragi."

"Segitu sayangnya lo sama dia?" tanya Daffa sedikit tak suka.

Cewek itu kembali meneteskan air mata. Dia berusaha bernapas sebiasa mungkin, agar bekas tangis yang dia alami malam ini benar-benar hilang. Dia harus kuat, dia bisa.

"Gue mau pulang, Daffa. Makasih, ya, lo udah mau dengerin curahan hati gue." Jiyya menebarkan senyumnya yang terlihat sedikit dipaksakan.

Kakinya melangkah menjauh, meninggalkan Daffa yang masih saja tidak percaya dengan semua pengakuan Jiyya. Kata-katanya dan kesabaran yang dia miliki. Setahu dia Jiyya adalah cewek yang keras, tidak mau melakukan hal yang tidak menguntungkan untuknya. Namun, kenapa sekarang Jiyya malah menjadi demikian?

"Jiyya, tunggu!" panggil Daffa saat Jiyya sudah beberapa langkah menjauhinya.

Cewek itu berhenti, kemudian menoleh ke belakang sembari sesekali mengusap kedua matanya yang masih saja basah.

"Gue anter."

"Yakin?" tanya Jiyya memastikan.

Anggukan dari Daffa membuat Jiyya setuju. Dia kembali ke tempat kos, bersama dengan Daffa. Ada sedikit rasa tak enak baginya, saat dia menolak keinginan cowok itu, karena cowok itu sudah menemaninya dan membantunya di saat sekarang ini.

Motor Daffa pun melaju. Membelah jalanan malam yang ramai. Satu harapan di hatinya, dia sangat berharap Jiyya akan baik-baik saja. Dia tak ingin cewek itu kembali terkena masalah. Sekarang, dia akan melindunginya.

***

Motor Daffa sudah menjauhi gerbang kos. Jiyya terdiam di depan sana untuk beberapa saat, kemudian menarik napas panjang untuk kembali masuk ke dalam kosnya.

Tiba-tiba tubuh Jiyya terpaku, dia melihat Ragi yang sekarang tengah berdiri di depan kamar kosnya dengan tangan yang bersidekap. Bulu kuduk Jiyya kembali meremang, namun dia berusaha bersikap sebiasa mungkin.

"Lo udah pulang?" tanya Jiyya berusaha hangat dan berdamai dengan hatinya.

"Seharusnya gue yang nanya. Lo udah pulang? Sama siapa?" tanya Ragi dingin.

"Sama Daffa, tadi kebetulan ketemu di jalan." Jiyya tersenyum, berusaha tidak menutupi apa yang sudah dia alami.

"Ketemu di jalan?" ucap Ragi memastikan seraya menunjukkan androidnya--yang di sana terlihat foto Jiyya dan Daffa berpelukan.

"I--itu ... tadi gue sempet sedikit curhat sama, Daffa. Jadi, sia gitu." Sudah tak tahu lagi apa yang harus direspon Jiyya sekarang.

Plak!

Satu tamparan kembali mengenai wajah Jiyya. Bekas yang sebelumnya masih belum hilang dan sekarang sudah bertambah lagi bekas baru.

"Ragi!" bentak Jiyya yang mulai tidak teriak dengan kelakuan Ragi sekarang.

"Lo tahu, 'kan? Apa kesalahan lo?" balas Ragi ikut membentak, suara beratnya terdengar begitu keras dan menggema di sana.

Beberapa penghuni kos yang melihat hal itu hanya berani sedikit mengintip dari arah jendela. Sisanya, mungki. Terdiam di dalam sana tanpa mempedulikan sesama.

"Gue cuman abis curhat sama dia, Ra ... gak lebih, gue gak bakalan khianatin lo." Jiyya berusaha menjelaskan dengan tenang.

Baru saja tadi dia selesai menangis, sekarang sudah ada masalah baru yang semakin membuat dia bersedih.

"Gue gak suka lo deket sama cowok lain!" Kata-kata Ragi itu benar-benar membuat kening Jiyya mengerut.

Dia merogoh handphone yang ada di dalam sakunya. Dia segera membuka galeri, dan mencari sebuah foto yang ingin dia tunjukkan.

Segera, Jiyya mengangkat HP-nya dan mengarahkannya kepada Ragi. Di sana terlihat jelas Ragi yang berpelukan mesra dengan seorang cewek yang tidak dia kenali.

"Gue juga gak suka lo deket sama cewek lain," tegas Jiyya dingin.

Ragi tak tahu lagi harus menjawab apa. Semua bukti yang diperlihatkan Jiyya sudah jelas, dan dia juga sudah terpojok karena apa yang dia katakan pada Jiyya, sekarang malah berbalik pada dirinya sendiri.

"Jawab gue, Ra." Jiyya mengulang katanya, agar Ragi merespon apa yang dia ucapkan.

Namun, Ragi sama sekali tak menjawab. Dia malah mengepalkan tangannya dan ingin mengarahkannya ke wajah Jiyya. Hanya saja terhenti tepat di depan wajah cantik cewek itu. Dia hanya berlalu, dan meninggalkan Jiyya sendirian.

Jiyya memegang wajahnya yang masih terasa panas. Bukan karena malu, tapi karena tamparan yang selalu dia dapatkan setiap harinya.

Sementara itu, di sisi lain Ragi sudah membelah jalanan malam. Dia kalut, setiap yang dia lakukan seolah menjadi karma tersendiri bagi dirinya. Sekarang, dia tak tahu lagi apa yang harus dia jawab dengan semua bukti yang ditunjukkan Jiyya.

Ragi berhenti di sebuah cafe klasik. Sudah lama dia tidak duduk di sana bersama teman-temannya yang lain. Sekarang, dia ingin memiliki waktu sendiri untuk merenungkan diri.

"Mbak, yang kayak biasa satu."

Mata Ragi membulat menatap pegawai cafe. Seorang cewek yang selama ini selalu dia kenal.

"Kiki?" tanyanya tersenyum kikuk.

Cewek dengan pakaian seragam pegawai cafe dan topi khas itu hanya berusaha membalas dengan senyuman tipis. "Mau apa?" tanyanya.

"Lo sekarang kerja di sini?" Ragi malah beralih topik dan menanyakan hal yang tidak seharusnya dia tanyakan.

"Iya, udah lama."

"Lo ke mana aja?"

"Sedikit masalah, dan harus gue selesaiin. Mau pesan apa?" ulang Kiki kembali.

"Masalah? Kenapa lo gak cerita sama sekali?"

"Maaf, Mas. Mau pesan apa?" Nada suara Kiki kini semakin tinggi, membuat beberapa pengunjung menatap mereka.

"Ehm, maaf. Satu hot coffee aja."

Kiki membalas itu dengan anggukan, kemudian membuat note kecil di kertas. Dia mengantarkan ke arah lubang kecil yang terhubung dengan ruangan di sebelahnya.

"Ki. Nanti pulang kerja, boleh gue ngobrol sama lo? Lagi?" Ragi sedikit ragu menanyakan pertanyaan itu.

Namun, anggukan dari Kiki membuat Ragi berdebar. Dia bisa kembali berbicara dengan teman lamanya yang tidak pernah dia lihat beberapa bulan terakhir. Mungkin karena dia terlalu sibuk, jadi tak ada ingatan untuk mencari Kiki, atau bahkan ke cafe ini untum sekadar minum.

"Ini." Kiki menyodorkan segelas air.

"Oh, ya. Gak di anter ke meja aja?" tanya Ragi memastikan.

"Karena Mas masih ada di sini, jadi saya suruh bawa sendiri saja."

"Eng ... gue mau duduk di sana, bawain ke sana, ya? Panas soalnya."

Kiki menghela napas panjang saat Ragi sudah berjalan ke arah kursi yang dia maksud. Lalu, Jiyya menoleh kiri-kanan. Mencari teman-teman pekerja yang tengah kosong, untuk menghantarkan minuman.

Namun, tak ada seorang pun yang tidak bekerja. Semua dari mereka sibuk memasak, mencatat pemesanan pelanggan, dan banyak yang lainnya. Sekarang, tersisa Kiki saja yang biaa mengantarkan minuman itu.

Tak ada pilihan lain, dia berjalan pelan membawa nampan dengan satu kopi panas. Dia meletakkannya perlahan ke atas meja yang ditempati Ragi.

"Mau duduk sama gue sebentar?"

***
TBC
Part by : Nao_Tan

Menjelang last up ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro