Nine - [Welcome Back]
"Masa lalu itu bukan kutukan. Tapi, pelajaran untuk setiap perbuatan."
***
Jiyya sudah sampai di depan kosnya. Tubuhnya sedikit menggigil karena kedinginan. Angin malam merasuk sampai ke tulang, sehingga Jiyya berusaha menggosok tangannya sendiri.
"Nyesel gue ikut Ragi," gumam Jiyya seraya membuka pintu kamar kosnya.
Satu, dua kali putaran, pintu itu terbuka. Jiyya segera masuk dan langsung saja merebahkan tubuhnya ke atas kasur. Dia menghela napas panjang, berusaha agar tetap bersikap tenang, dan baik-baik saja.
Sekelebat senyuman membayanginya, satu senyuman yang sekarang kembali melekat di pikirannya, terbayang, sampai dia menepuk pipinya sendiri.
"Gue kenapa, sih?" kesal Jiyya pada dirinya sendiri.
Jiyya berdiri, lalu berjalan ke arah dapur. Lapar. Itulah yang dia rasakan, bahkan tadi saat pergi dengan Ragi dia tidak makan sama sekali. Sekarang, dia merasakan cacing-cacing di perut sudah mencuri semua nutrisinya. Sampai-sampai bunyinya sudah dapat ia dengar dengan telinga sendiri.
"Duh, laper banget gue. Supermi masih ada ga, ya?" tanya Jiyya pada dirinya sendiri lagi.
Tangan Jiyya menggapai lemari penyimpanannya. Di sana hanya tertonggok satu buah mi instan. Sisa dia beberapa minggu yang lalu--yang belum sempat dia buat.
Sekali lagi Jiyya menghela napas seraya mengambil mi itu dan meletakkannya di atas meja.
Kring ....
Suara telpon Jiyya mengagetkan dirinya sendiri. Dia segera mengecek nomor yang tertera di layar kotaknya. Tak bernama, hanya beberapa angka yang tersusun.
"Siapa, nih?" Jiyya mengerutkan dahinya.
Dia mengangkat bahu, seolah bersikap biasa saja. Kemudian mengangkat telpon itu dan mendengarkan suara dari seberang telpon yang menyapanya.
"Hallo, Jiyya?" tanya suara itu membuat Jiyya terperanjat kaget.
Suara laki-laki yang memang sudah dia kenal. Bukan Ragi, dia sama sekali bukan Ragi. Karena Jiyya sudah tahu bagaimana Ragi memanggilnya. Tapi, kenapa Ragi tidak menghubunginya untuk menanyakan apakah dia sudah sampai di rumah atau belum?
"Siapa?" tanya Jiyya.
"Lo gak inget siapa gue?" Terdengar kekehan kecil di belakang pertanyaan itu.
"Siapa?" kecam Jiyya merasa tak suka.
"Yaelah, gak usah ngegas juga, Bee ...."
Darah Jiyya berdesir, dia ingat kata-kata itu. Kata yang selalu menghantuinya selama beberapa tahun. Walaupun dia sudah terbebas, tapi tetap saja dia ingat siapa orang yang memanggilnya dengan panggilan itu.
"Bima?" tebak Jiyya agak sedikit ragu.
"Ah ... gak nyangka gue lo bisa inget gue!" seru Bima kegirangan.
"Apa mau lo?" tanya Jiyya sudah berpikiran negatif tentang orang yang satu itu.
"Gue gak mau apa-apa. Cuman keinget pengen telpon lo habis ketemu tadi."
"Gak penting? Yaudah gue matiin."
Jiyya segera memencet pilihan merah di HP-nya. Dia mengusap wajahnya sendiri geram. Kenapa dia bisa bertemu lagi dengan Bima?
Segera Jiyya menggeleng cepat. Dia kembali fokus memasak makanan untuk perutnya sendiri. Sudah lama dia tak memasak sendiri, karena beberapa minggu dia hanya makan di luar, dan bersama Ragi tentunya. Besok, dia ingin kembali masuk kuliah, sudah berapa lama ini?
***
Pagi harinya, Jiyya sudah siap dengan setelan baju casualnya. Dia keluar dari kos, mencari tumpangan untuk dinaiki, seperti biasa abang-abang taxi akan datang dengan sendirinya di depan kos.
Dengan cepat, tangan Jiyya menghentikannya. Dia mengetuk pintu mobil tersebut dan kemudian abang-abang taxi-nya membukakan kaca jendela.
"Ke kampus dekat sini berapa, Bang?" tanya Jiyya seraya tersenyum.
Abang itu mengerutkan dahi. "Lah, masuk aja dulu, Dek. Nanti ada harganya."
"Enggak, saya mau nanya dulu, biasanya berapa?" tanya Jiyya ngeyel.
"Ehm ... kira-kira 30k, Dek."
"Buset! Mahal banget, Bang ...." Jiyya mengeluh.
Abang itu menggaruk kepalanya yang tidaj gatal seraya sedikit memperbaiki sarung tangan dan topinya. "Ya gimana, itu otomatis, Dek, jadi gak bisa nawar."
"Bang, saya sama taxi yang biasanya cuman 15k lho, Bang .... Masak iya sama Abang bisa nyampe 30k, Abang curang, ya?" tanya Jiyya dengan sedikit mwnyipitkan matanya.
Abang itu menatap Jiyya malas. "Ya sudah, Adek naik taxi-nya sama yang biasanya aja. Jangan sama saya."
"Aahh ... ayolah, Bang, saya anak kosan dari rantau. Masak iya saya gak bisa dapat diskon? Saya anak kampus yang akan membangun negara ini! Jadi, bolehlah, Bang ...." Mata Jiyya berbinar, memohon agar diberikan keluangan.
"Yaudah masuk."
"15k, ya, Bang? Ashiaapp!"
Jiyya dengan girang masuk dan tertawa lebar. Selalu saja, jika dia tidak mendapatkan tumpangan dia akan naik taxi dengan jurus yang sama.
Sampai akhirnya Jiyya sampai di kampusnya dengan senyuman lebar. Dia mengacungkan satu jempol pada abang supirnya setelah melakukan pembayaran.
"Rugi gue." Abang itu menatap Jiyya malas.
Jiyya mengabaikan, dia segera berjalan ke dalam. Kampus yang luas dengan berbagai macam jurusan. Dia sendiri berada di fakultas Arkeolog, tempat yang dia suka.
"Jiyya! Lo ke mana aja, sih? Udah berapa minggu lo gak masuk kuliah? Dosen udah pada nanyain, Jiyy ...." Salah satu temannya menyapa Jiyya saat berada di depan kelasnya.
"Gu--gue ... ada sedikit halangan." Jawaban Jiyya membuat temannya memutar bola matanya.
"Yaudah, terserah lo, yang kuliah lo dan lo juga yang bakalan nanggung akibatnya."
Jiyya ditinggal. Apa saja yang terjadi di sekolahnya selama dia tidak datang di sini? Apakah ada sesuatu yang baru?
Waktu berlalu, Jiyya sudah masuk kampus dengan beberapa teguran keras yang membuatnya sedikit meringis. Kehadirannya tanpa absen membuatnya mendapatkan banyak sekali masalah dengan semua dosennya.
Namun, hal itu tidak membuat Jiyya mempermasalahkannya. Dia sekarang malah berjalan ke arah kelas Ragi. Fakultas teknik.
"Ragi!" panggil Jiyya saat melihat Ragu berjalan keluar kelasnya.
Ragi hanya berhenti tanpa menoleh ke belakang. Sementara Jiyya berlari mendekati Ragi dan menepuk bahunya.
"Lo masuk kampus gak bilang-bilang gue sih?" tanya Jiyya memasang wajah cemberut.
"Lo juga enggak." Jawaban singkat itu membuat Jiyya berdiri di depan Ragi.
Dia menatap wajah Ragi yang dingin bak batu es. Mata sipitnya terlihat tajam dan sangat tidak mengenakkan. Hal itu membuat Jiyya bertanya-tanya.
"Lo kenapa?" tanya Jiyya.
Ragi tak mengubrisnya, dia malah berjalan dan melewati Jiyya begitu saja.
Segera Jiyya menahan tangan pasangannya itu, dan sontak membuat Ragi berhenti melangkah. Ragi menghadap ke belakang, kemudian menatap wajah Jiyya lekat.
"Kenapa?" Pertanyaan dingin itu membuat bulu kuduk Jiyya berdiri.
"Gue yang seharusnya nanya, lo kenapa?" Jiyya balik bertanya, namun Ragi lagi-lagi tidak mengubrisnya.
Lima detik Ragi menatap wajah Jiyya lekat, kemudian segera kembali berjalan. Tidak ada senyuman di bibirnya.
Ada apa ini? tanya Jiyya di dalam hatinya.
"Hari ini kita gak jalan ke mana gitu? Gue pengen beli es krim di seberang jalan sana. Lo mau ikut, 'kan?" tanya Jiyya memohon dan menahan tangan Ragi.
Ragi kembali membalikkan badannya dengan tangan yang masih ditahan Jiyya. "Hari ini gue gak mau keluar, tugas gue menumpuk gara-gara kebanyakan libur. Gue gak bisa."
Ragi menepis yangan Jiyya, sontak membuat Jiyya mundur beberapa langkah. Kini yang dia lihat hanyalah punggung Ragi yang mulai menjauh darinya.
***
Tbc
Part by : Nao_Tan
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro