Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Fourteen - [He's Daffa]

"Gimana aku bisa percaya? Jika selama ini kulihat kau hanya berdusta?"

***

Jiyya membatu di tempat. Merasakan sakit kembali menghantui tubuhnya. Tamparan, cacian, makian, sampai perlakuan kasar kembali membayang di wajahnya saat Ragi mendapati Daffa kembali menelponnya.

"Kenapa dia telpon lo?" tanya Ragi dingin.

Cewek itu tergagap, dia segera mengambil HP-nya namun dihalangi oleh Ragi.

"Jawab!" bentak Ragi mulai emosi.

Tiba-tiba saja, aura hangat Ragi yang tadi dia rasakan menghilang begitu saja. Tak sampai di situ, tatapan tajam membunuh dari Ragi membuat Jiyya semakin ketakutan.

"Dia bantu gue, karena gue hari ini gak datang ke kampus, dan ..."

"Harus cowok?" potong Ragi membuat Jiyya membisu.

"Ya ... gue cuman deket sama dia."

"Deket?"

"Bu--bukan deket gitu ... tapi, sebagai temen yang bantuin gue buat bikin tugas."

"Harus telpon?"

"Ragi! Kenapa sih lo ga bisa percaya gue sekali aja?!" balas Jiyya malah membentak.

"Jangan alihin topik yang lagi kita bicarakan! Jawab aja pertanyaan gue!" Ragi tak mau kalah, dia malah mendekat ke arah Jiyya yang semakin berjalan mundur.

"Beneraan ... dia cuman bantu gue buat ngerjain tugas, Ra .... Gak lebih!" Jiyya terus membela diri, agar kejadian yang sama tak terulang kembali.

Ragi malah diam, dia menatap handphone Jiyya dan mengetik sebuah nama di sana.

Bunyi deringan membuat Jiyya merasa takut. Dia sudah merasakan apa yang Ragi lakukan dan untuk apa, yang jelas sekarang dia dalam keadaan bahaya.

"Jiyya! Akhirnya lo nelpon balik ... jawab gue Jiy ... lo kenapa sebenernya? Lo ada masalah?"

Tut ... tut ... tut ....

Tubuh Jiyya membeku. Apalagi saat melihat tatapan Ragi yang semakin dingin dan begitu menusuk. Tangan Jiyya malah bergetar, dan semakin mundur beberapa langkah.

"Sejak kapan lo telponan sama dia?" Napas Ragi terdengar berat, lagi dan lagi tatapan seram itu menghujam Jiyya.

"Gue gak deket sama dia. Dia yang deketin gue!" bantak Jiyya merasa aura di sekitarnya tidak aman.

Plak!

Sekali lagi tamparan, sebelum Ragi keluar dan menutup pintu kos Jiyya kasar. Sementara itu Jiyya terduduk, memegangi pipinya yang terasa begitu panas.

Baru saja dia kembali merasakan pelukan hangat Ragi, kini dia kembali merasakan tamparan itu. Satu hal yang membuat dia kembali mengingat kenangan pahit yang terjadi selama satu minggu ini.

Namun, setiap kali Ragi kembali bersikap manis. Rasa dendam dan sakit hati itu menghilanh begitu saja. Dia tak bisa marah sama sekali, dia hanya bisa menangis dan meratapi rasa sakit di sekujur tubuhnya. Semuanya benar-benar jauh dari dugaannya, dan jujur dia tak pernah menginginkan hal ini akan terjadi.

Ajr mata Jiyya mengalir, membasahi dua belah pipinya yang memerah bekas tamparan ragi. Mulai menelusup ke arah luka di bibirnya.

"Aw!" Jiyya meringis, saat air mengenai bibirnya yang luka.

"Ragi ... lo kenapa?" bisik Jiyya dalam.

Iramanya suaranya benar-benar menusuk hati, dia berusaha menangis keras, namun tertahan karena teringat ada yang memperhatikannya. Dia teringat jikalau dia berada tepat di sebelah tempat Ragi.

Satu hal yang membuatnya bertahan sampai saat ini. Dia mencintai Ragi.

***

Kemarin adalah masa lalu dan digunakan sebagai pelajaran. Hari ini, adalah berkah yang harus dia terima. Begitu kira-kira prinsip cewek yang satu ini.

Dia sudah kembali ke kampus. Setelah semalaman dia menangis dan meratapi nasibnya sendiri. Tak ada yang lebih baik dari pada melupakan dan kembali melangkah.

Namun, setiap dia menjumpai teman cowok yang biasanya dia sapa dengan hangat dan ramah. Kini berganti. Dia malah bersikap acuh seolah tak kenal sama sekali. Dia berusaha demikian agar apa yang di pikirkan Ragi bisa berubah. Tentang dia.

"Pagi, Jiyya! Lo kenapa? Kok agak pucat gitu?" tanya salah seorang teman cowok yang memang biasanua disapa oleh Jiyya.

Jiyya hanya menggeleng singkat dan segera berlari menjauh. Dia berjalan menuju kelasnya, tempat biasanya dia belajar. Tempat dia akan kembali bertemu dengan orang yang membuatnya terkena masalah kemarin sore.

Matanya menelusuri ruangan kelasnya. Menatap satu per satu teman yang kemarin tidak sempat dia temui. Lalu, secara tak sengaja matanya bertemu dengan mata Daffa yang duduk di pojok sebelah kanan kelas.

Daffa melambai dengan sedikit senyuman di wajahnya. Namun, Jiyya tak mengubris, dia malah melangkah cepat menuju bangku yang berada jauh dari tempat Daffa.

Kening Daffa mengerut, dia mengira jika Jiyya tidak marah padanya. Karena Jiyya sudah kembali menelponnya kemarin, walaupun tidak mengatakan sepatah kata apa pun.

Pikiran monolognya terhenti saat seorang dosen berusia muda memasuki kelas. Semuanya dimulai, dan masing-masing dari mereka kembali fokus dengan materi.

"Baik, cukup untuk hari ini."

Jiyya terperanjat kaget. Dia belum merasakan belajar apa-apa, dan sekarang semuanya telah selesai.

"Kenapa, Jiyya? Apa ada masalah?" tanya dosennya yang menyadari ekspresi kaget Jiyya.

"Ah, ti--tidak, Pak." Jiyya menjawab gugup dan hanya dibalas anggukan singkat oleh sang dosen.

Kelas dibubarkan. Menunggu jam pembelajaran lain yang nantinya akan datang. Jiyya masih merenung jauh, sampai tak menyadari jika Daffa sudah duduk di sebelahnya.

"Lo sebenarnya kenapa?" tanya Daffa menyelidik.

"Gak apa-apa. Lo gak usah nanya."

"Bibir lo luka, dan muka lo pucat. Lo baik-baik aja, 'kan?" Perhatian itu benar-benar membuat Jiyya sedikit risih.

Jiyya mengambil tasnya dan segera berdiri. Niat hati ingin pergi, namun Daffa malah menahan tangannya, sehingga semua gerakan Jiyya terhenti.

"Lo harus jawab gue dulu."

"Gue baik! Udah, lo mau jawaban kayak gimana lagi?!" bentak Jiyya tak suka.

Seisi kelas yang mendengar itu seketika hening. Mata mereka menatap ke arah Jiyya dan Daffa yang berdiri di dalam kelas. Jiyya yang merasa tak suka menjadi pusat perhatian segera keluar.

Daffa tak mau mengalah. Dia malah berlari dan mengejar Jiyya yang berjalan cepat entag ke mana.

"Jiyya tunggu!" teriak Daffa di koridor.

Jiyya tak mengubris, dia terus berjalan cepat mengabaikan berbagai macam tatapan yang ia lalui. Siapa yang tak heran melihat seorang cewek dan cowok yang saling berkejaran di kampus? Apalagi dengan ekspresi tidak mengenakan seperti itu?

Grep!

Daffa berhasil mengejar, dia menahan tangan Jiyya agar tidak kabur lagi dan menjelaskan semuanya. Namun, Jiyya malah membalas Daffa dengan tatapan menusuk yang membuat Daffa bergedik ngeri.

"Jiyya, lo bisa cerita sama gue!" ucao Daffa pelan.

"Lo paham apa tentang gue? Udah gue bilang gue gak kenapa-napa dan lo malah ngeyel? Di mana otak lo buat mikir? Lo gak bisa nyerna kata-kata gue?!" kesal Jiyya tak terima.

"Gue tahu lo nyembunyiin se--"

Suara Daffa tercekat. Karena sekarang dia melihat Ragi yang berdiri tak jauh di belakang Jiyya.

***
TBC
Part By : Nao_Tan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro