Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Five - [Lie]

'Semoga kalian bahagia di atas lukaku.'

Kiki memperhatikan Jiyya yang ketawa-ketawa sendiri di depan laptop. Kayaknya dia lagi chatting sama seseorang.

"Lo chat sama siapa, Ji?"

"Temen," ujar Jiyya singkat lalu dia melanjutkan tertawa sendiri.

Kiki merasa terkacangin. Kalau bukan Wi-Fi di kos Jiyya secepat badai, mager rasanya malam-malam ke sini. Mumpung di kos Jiyya, Kiki bebas streaming film Korea kesukaannya. Beberapa ia download buat stok rebahan di kos. Sesekali dia bales chat dari Ragi. Entah kenapa akhir-akhir ini Ragi slow respon. Biasanya cepet banget balasnya. Samapi VC sama telfon. Walau gak ngomong apa-apa. Sekarang walau on, tapi boro-boro VC sama telfon. Chat saja lama untuk balas.

"Ji gue mau cerita," seru Kiki.

"Apa, Ki?"

"Soal orang tua, gue kayaknya dalam waktu deket disuruh pulang," lanjut Kiki.

"Hmm ... mungkin orang tua lo kangen sama lo. Jadi lo di suruh pulang," jawab Jiyya.

Jiyya sama sekali tidak fokus di ajak curhat. Jiyya malah ketawa-ketiwi terus. Kiki menghela nafas panjang. Ia memiringkan tubuhnya. Lalu berusaha fokus terhadap drakor yang sedang dia lihat.

"Permisi Go food!" Suara itu terdengar dari luar kamar.

"Aaa … makannya udah datang," sorak Jiyya.

Jiyya mengambil uang yang udah disiapkan. Wajahnya kelihatan senang banget. Jarang-jarang anak kos mesen Go food kalo gak dapat voucher. Apalagi Kiki mau di ajak patungan. Makin seneng. Soalnya mager malem-malem keluar cari makan. Mending Go food. Tapi kadang lebih mahal dari pada samperin warungnya. Setelah dapat uangnya, Jiyya langsung berlari kecil ke pintu. Kiki cuma geleng-geleng kepala. Memang temannya satu ini antusias banget kalau sama makanan.

Saat Kiki berdiri, dia gak sengaja baca laptop Jiyya yang masih ada di laman Chatting. Mata melebar saat ia tahu siapa orang yang di chat Jiyya sampai dia ketawa-ketawa sendiri. Semenjak Jiyya putus sama pacarnya, dia tak pernah tertawa seperti itu.

Seperti ada pistol yang menembus hati Kiki. Walau sesaat, tapi rasanya sakit. Mata Kiki berbinar. Ia menggigit sedikit bagian bibirnya. Tangannya mengepal erat.

Mendengar langkah kaki Jiyya, Kiki berpura-pura sedang fokus dengan HP-nya. Wajah Jiyya yang tadi bahagia setelah dapat makanan, berubah heras saat melihat mata Kiki yang seperti orang mau nangis.

"Lo kenapa, Ki?"

"Aaa … ini filmnya sedih, gue jadi mau nangis," jawab Kiki. Kiki mengucek matanya.

"Lo, mah, sama film suka baper. Ni makannya,"  ujar Jiyya sambil mengangkat dua kantong plastik berisi kotak makanan.

Kiki tersenyum simpul. Namun hatinya sebenarnya terasa sakit.

Kiki berbaring di kasurnya. Dia masih memikirkan tadi.

"Jadi selama ini Ragi chatting sama Jiyya."

Kiki menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Sebelum Kiki pulang, dia membaca chattan itu dari atas. Kebutulan pas itu Jiyya lagi ke kamar mandi buat buang air besar. Dan setiap Jiyya buang air besar itu pasti lama banget.

Kiki gak nyangka dua orang yang ia percaya lakuin ini ke dia. Selama ini mereka sering chatting, telfonan, VC, bahkan jalan bareng. Semua pertanyaan Kiki kenapa tiba-tiba Ragi berubah terjawab. Dan kenapa Jiyya sering pergi tanpa memberi tahu Kiki juga terjawab. Kiki mengabaikan memang, karena Kiki pikir mereka punya urusan masing-masing yang mungkin gak mau di ganggu. Tapi dia gak nyangka seperti ini.

Air mata Kiki berlinang. Jujur, Kiki tak tahu harus sedih atau apa. Karena dia dan Ragi juga belum ada status. Sah-sah aja kalau Ragi jalan sama cewek lain. Tapi kenapa harus sahabatnya. Kiki benar-benar tak paham.

Langit berwarna kelabu. Angin kencang dengan cepat meniup awan hujan. Orang-orang mulai was-was akan datangnya hujan deras. Mempercepat langkah mereka agar segera sampai ke tempat tujuan. Atau sekedar mencari tempat berteduh.

Kiki duduk di pinggir taman kota. Ia memiliki duduk di pinggir air mancur. Tempatnya di tengah-tengah taman. Kiki memakai hoodie panjang berwarna hitam. Dengan rok pendek putih. Rambutnya ia biarkan terurai. Kiki masih membawa tote bag yang selalu ia pakai setiap ke kampus. Di tangannya sudah menggenggam payung lipat berwarna biru polos tanpa motif.

Matanya menengok ke kiri ketika melihat seorang cowok memakai kaos panjang abu-abu dengan celana jeans. Dia melambaikan tangan ke arah Kiki. Dan Kiki hanya membalasnya dengan senyuman kecil.

"Kamu kenapa tiba-tiba ajak ketemu aku?" tanya Ragi.

Kiki berdiri, "Emang gak boleh, ya? kalau aku pengen ketemu sama kamu?" Kiki berbalik bertanya.

Ragi agak kikuk. "Hmm … boleh … boleh, kok."

Kiki menyengir. "Atau kamu sebenarnya mau ketemuan sama yang lain?"

Mendengar perkataan itu Ragi langsung diam. Ekpresinya terlihat tegang. Ragi juga memalingkan wajah dari Kiki. "Enggak, kok."

Kiki menghela nafas berat. Angin semakin kencang. Dan satu tetes air hujan mengenai wajah Kiki.

"Langsung ke intinya aja, ya. Berhubung mau hujan."

"Maksudmu?"

Kiki berusaha untuk tersenyum. Walaupun hatinya sakit. "Aku tahu kamu jalan sama Jiyya."

Ucapan Kiki membuat Ragi terkejut bukan main. Ragi menatap Kiki dengan mata yang terbuka besar dan mulut sedikit terbuka.

"Bukan Jiyya kok yang cerita. Tapi gue tahu sendiri," lanjut Kiki.

Kiki yang biasanya pakai 'aku' berubah jadi 'gue'. Ragi sudah bisa menyimpulkan apa yang akan terjadi.

"Maaf, Ki, gue gak bisa jaga hati."

Ucapan Ragi benar-benar menusuk. Bisa saja Ragi mengelak. Namun dia langsung mengakuinya tanpa harus di tekan Kiki. Air mata Kiki jatuh, dia buru-buru menghapus dengan telapak tangan.

"Okey, gue juga gak bisa apa-apa. Kita juga belum ada hubungan serius," ujar Kiki dengan nada berat di akhir kalimat.

"Gue sebenernya gak enak sama lo. Gue yang gantungin hubungan ini. Dan gue juga yang malah belok ke lain."

"Gue paham. Tapi gue mau tanya serius sama lo." Kiki menatap Ragi dengan tajam. Wajahnya terlihat sangat serius. "Lo milih gue … atau lo milih Jiyya?"

Ragi tertegun sesaat. Dia menghela nafas berat. Tak perlu waktu lama, dia tahu harus menjawab apa. "Maaf, Ki, gue lebih nyaman sama Jiyya."

Jleeb …

Kali ini air mata Kiki benar-benar tak bisa di bendung. Bersama dengan rintihan hujan Kiki menangis. Ragi cuma diam di sana. Tak menyentuh Kiki atau mendekatinya. Ia merasa sangat bersalah sampai tak berani melakukannya.

"Maaf gue pindah ke lain hati dengan cepat," lanjutnya.

Kiki kembali menghapus air mata dengan tangan. Lalu ia membuka payung yang ia pegang dari tadi. Ia gunakan untuk dirinya sendiri agar tak terkena air hujan yang semakin deras. Sedangkan Ragi di depannya mulai basah kuyup di guyur hujan.

"Udah jelas berati, 'kan? Kita udah gak ada apa-apa. Gue gak mau urusan ini jadi panjang. Apalagi Jiyya sahabat gue. Walau sekarang dia udah lukain gue. Entah dia sadar apa gak. Tapi intinya kita akhirnya aja," ujar Kiki sambil terisak tangis.

"Maaf, Ki, gue sebenernya masih ada rasa ke lo. Gue kayak egosi pengen miliki kalian berdua."

"Lo yang bilang, lo lebih nyaman sama Jiyya. Dan kalau lo emang masih ada rasa ke gue, lo gak bakal gini."

Kiki menutup matanya dengan satu tangannya. Dia berusaha agar tidak menangis lagi. "Lo sekarang bisa kejar Jiyya. Jangan cerita sama dia kalau gue tahu soal ini. Bilang aja kita udah selesai dengan cara baik-baik."

"Iya gue ngerti."

Tanpa sepatah kata pun, Kiki pergi meninggalkan Ragi yang berdiri di sana dengan kehujanan. Kiki mempercepat langkahnya. Dan sekali lagi air matanya keluar.

Sejak hari itu, Jiyya semakin sulit dihubungi. Kiki samperin ke kos Jiyya, dia pun tak ada. Kiki sudah berusaha mengikhlaskan Ragi dengan Jiyya. Tapi, rasanya masih sakit. Apalagi dengan sifat Jiyya yang tiba-tiba sulit dicari ini membuat Kiki merasa campur aduk. Padahal di sisi lain, dia sedang menghadapi masalah lain.

Beberapa hari yang lalu ibunya Kiki memberi kabar, kalau ayahnya sakit dan tak bisa kerja lagi. Padahal cuman ayahnya yang menafkahi keluarga. Ibunya tidak bekerja. Sedangkan dia punya dua adik yang masih sekolah. Kiki diminta pulang. Dalam artian tidak kembali ke sini untuk kuliah. Kiki jelas menolak, karena dia punya mimpi besar. Dan untuk masuk ke kampus ini benar-benar butuh perjuangan besar. Rasanya hancur.

Di saat Kiki lagi merasa jatuh seperti ini. Ragi malah berpindah hati darinya. Jiyya juga sulit diajak curhat, dan akhir-akhir ini Jiyya seperti berusaha menjauhi Kiki. Padahal dulu Jiyya selalu stay jadi pendengar dan pemberi saran buat Kiki.

Karena susah untuk mencari Jiyya, Kiki memberanikan diri untuk langsung ke kelasnya Jiyya. Dan ketika dia sampai, pelajaran sudah selesai. Orang-orang keluar dari sana. Kiki memperhatikan setiap orang yang ada di sana. Tapi dia tak liat sosok Jiyya sama sekali.

Dia menarik seorang cewek, teman Jiyya.

"Liat Jiyya, gak?"

Cewek itu berfikir sebentar. "Ohh Jiyya. Dia jarang masuk."

"Emang dia ke mana?"

Cewek itu mengangkat kedua bahunya. "Sibuk sama pacarnya kali."

"Pacar? Dia punya pacar."

"Lah, lo kan sahabatnya dia kok gak tahu?" Kiki menggeleng kepala. "Itu lo, Siragi Wibel cogan fakultas sebelah. Dia baru jadian sama tu cowok."

"Ohh iya gue lupa ...." Kiki membuat alasan. "Yaudah makasih."

"Okey, nope."

Kiki terdiam di sana. Rasanya seperti sudah jatuh, ketimpa tangga. Keluarga sedang krisis dan dia terancam berhenti kuliah. Sedangkan sahabatnya, orang yang ia percaya malah sengaja menjauhi dia. Dan mungkin alasannya karena dia pacaran sama Ragi. Orang yang awalnya dekat sama dia. Kiki gak bisa nerima semua ini. Rasanya dalam waktu singkat hidupnya terasa sangat berat. Dia merasa sendirian dan tak ada yang bisa ia percaya. Berat banget.

Di saat itu juga Kiki mikir, rasanya akan berat kalau dia tetap di kampus ini. Keluarganya butuh dia. Dia anak pertama. Dia punya adik-adik yang masih kecil dan perlu biaya banyak. Ibunya juga udah rentan. Ayahnya juga sekarang tak bisa kerja karena sakit. Emang ini pengorbanan, tapi dia akan semakin sakit kalau melihat orang-orang itu bahagia sedangkan dia jatuh seperti ini.

"Okey kalau itu yang kalian minta. Gue berusaha baik sama kalian walau kalian udah bohongin gue. Dan sekarang kalian gini. Semoga kalian bahagia di atas luka gue."

....
TBC

Part By RashyQuila

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro