Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Eleven - [Pain]

"Aku mencintaimu biarlah itu urusanku. Bagaimana kau padaku terserah urusanmu."

***

Ragi melempar tas ranselnya ke kasur. Perasaan saat ini tidak karuan. Baru saja ia masuk rumah, kedua orang itu berdebat lagi. Kepalanya dibuat semakin pusing. Semua salah orang yang harus ia panggil 'ayah' itu. Setiap dia datang ke sini, selalu saja membuat kekacauan.

Plaaak … braaak …

Suara itu terdengar lagi. Ragi tau jelas apa yang terjadi. Ibunya ditampar, dan di  dorong. Ragi melihat adiknya berlari masuk ke kamar dan segera mengunci kamar dengan raut ketakutan. Dia benar-benar sudah tidak tahan.

Ragi berdiri, dia melangkah dengan penuh amarah. Baru saja dia ke luar, ia melihat Ibunya tersungkur di lantai. Pria yang paling di bencinya sudah siap untuk menampar wanita malang itu sekali lagi.

Ragi mengepal tangannya. Dan tampa basa basi dia menghantamnya dari belakang kepala pria itu.

Bhuuuk

Pria itu hampir terjatuh jika tidak memegang meja. Ibunya sangat terkejut dengan yang di lakukan Ragi. Dia menggeleng-geleng kepala, dan menggerakkan mulut yang berisyarat agar Ragi cepat kabur. Tapi, Ragi mengabaikannya.

Pria itu berbalik badan. Tubuhnya besarnya mendekati Ragi. Matanya penuh dengan kemarahan.

"Dasar anak kurang ajar!" bentaknya penuh emosi.

Bhuuuk

Pria itu memukul Ragi sangar keras. Sampai Ragi tergeletak di lantai. Ragi hanya diam tak berkata apa-apa. Dia malah menatap Pria dengan tajam seperti sedang menantang. Membuat Pria itu semakin kesal melihatnya.

"Anak tidak tahu diri! Seperti ini wanita itu membesarkanmu!" teriak pria itu.

Buuuuk Siji--ayah Ragi menendang perut anaknya dengan keras. Ragi kini merintih kesakitan.

Melati tak tahan melihat anaknya disiksa oleh suaminya. Melati memegang kaki suaminya. Menangis sambil memohon maaf agar dia mau melepas Ragi.

"Jangan sakiti dia. Dia tidak salah. Kumohon," ujarnya sambil berlinang air mata.

Siji menatap Melati dengan sinis. Dia mengayunkan kaki sehingga Melati melepas genggamannya dan membuatnya terbentuk ke tembok.

"Besok aku ke sini lagi. Jika kau tak memberikan uangnya, heeh … awas saja."

Siji pergi keluar dari rumah itu. Melati buru-buru mendekati anaknya-yang merintih kecil. Dia memeluk anaknya dan membantu Ragi agar bisa berdiri.

"Kenapa Ibu masih kuat dengan orang itu?" tanya Ragi.

Melati tidak menjawab. Dia hanya memaparkan senyum simpul namun air matanya belum berhenti menetes. Melati kembali memeluk Ragi.

"Maafin ibu ya, Nak."

***

"Lo bilang apa aja ke Ragi? Kenapa dia tanya soal lo?" tanya Jiyya.

Jiyaa sengaja jauh-jauh datang ke kampus Bima. Dia benar-benar butuh penjelasan. Padahal Jiyya tak pernah cerita apa-apa soal Bima. Oke, kemarin Jiyya bilang kalau Bima teman SMA-nya. Tapi, biasanya Ragi percaya dan gak bahas lagi. Tapi kemarin, dia sampai marah seperti gitu. Pasti ada yang tidak beres.

Bima cengar-cengir. Dengan senyuman tak ada dosa. "Apaan sih, Bee. Mana gue tau. Tau lo udah ada pacar kemarin."

"Udah stop jangan panggil gue 'bee'! Jijik gue denger dari mulut lo yang itu."

"Kasar amat sih. Untung cantik." Bima ingin memegang kepala Jiyya. Namun Jiyya langsung menempisnya dengan kasar.

"Langsung the point. Lo bilang apa aja sama Ragi?!"

Bima tertawa terbahak-bahak. Menganggap Jiyya yang sedang diselimuti emosi ini lucu. Bima menggulung kedua tangannya ke depan dada. Wajahnya seperti pemenang yang baru saja dapat mendali.

"Hmm yang gue bilang ke cowok lo." Bima mendekat ke telinga Jiyya. "Kalau lo itu pernah tidur sama cowok lain."

Jiyya tidak percaya Bima bisa bilang kayak gitu dengan santainya. Sesaat Jiyya terdiam. Jantungnya berhenti sesaat.

Plaaak!

Jiyya menampar Bima dengan keras. Sehingga memberi bekas merah di pipi  kiri Bima. Saat itu Jiyya sangat marah. Bahkan air matanya gak bisa terbendung lagi.

"Gue gak nyangka lo fitnah gue kayak gitu. I hate you, now and forever!"

Bima merasa bersalah melihat Jiyya yang seperti ini. Bima hanya mau Ragi putus dengan Jiyya, dan Jiyya balik sama dia. Karena Bima sampai sekarang masih sayang ke Jiyya.

Jiyya melangkah pergi, namun Bima memegang erat tangan Jiyya.

"Lepasin Bima, lepasin bajingan!"

"Jiyy, gue masih sayang sama lo. Gue gak pengen kita kayak gini."

"Lepasin gue! Dasar gak tau diri!" tegas Jiyya sambil merintih.

Jiyya berusaha keras melepas genggaman Bima. Tapi Bima lima kali lebih kuat dari Jiyya. Alhasil tangan Jiyya yang sakit.

"Lo apain cewek gue!" bentak seseorang dari jauh.

Suara itu sangat familiar. Jiyya memalingkan kepala. Dan dia merasa lega karena melihat itu Ragi.

"Masih kurang gue tonjok lo kemarin?"

Mendengar itu Bima melepas Jiyya. Jiyya berlari memeluk Ragi. Tubuh Jiyya gemetaran. Perasaannya kini campur aduk.

"Wah pangeran udah datang," celoteh Bima.

"Udah gue bilang. Jangan ganggu milik gue."

Ragi menatap dan memasang ekspresi yang sangat menakutkan. Bahkan Jiyya tak menyangka Ragi bisa memasang ekspresi seperti itu.

"Oke gue paham, Gi. Lo lebih percaya sama tuh cewek, aghhrrr …," ujar Bima dengan nada mengejek.

"Milik gue urusan gue. Lo ganggu, gue pastiin lo bakal koma di RS."

Belom Bima merespon, Ragi langsung memegang erat tangan Jiyya. Dan menariknya pergi. Genggam Ragi sangat kuat, sampai Jiyya merintih kesakitan.

"Ragi pelan-pelan dong. Sakit ni."

Ragi tak merespon. Dia tetap diam dengan wajah marah yang membuat Jiyya tak berani mengoceh lagi. Rintihan sakit Jiyya, tak di hiraukan Ragi. Bahkan Cengkraman Ragi makin kuat setiap kali Jiyya berusaha melepaskan diri.

Ragi membawa Jiyya ke lorong gang yang di kanan kiri tertutup tembok yang digambari mural. Ragi dengan kasar menarik Jiyya ke depan, dan melepas genggamannya. Membuat Jiyya hampir terjatuh jika dia tidak memegang tembok itu.

Jiyya terkejut dengan perlakuan Ragi. Jiyya berusaha berdiri dan membalikan badan. Baru saja tubuhnya bergerak ke samping ...

Plaaak!

Satu tamparan di pipi kiri Jiyya dari Ragi. Jiyya sesaat terdiam membisu. Pelan-pelan dia menatap Ragi. Ragi terlihat sangat marah. Alisnya mengkerut, alisnya hampir menyatu, matanya melotot lebar, dan giginya mengeram. Tubuh Jiyya bergetar, ekpresi Ragi sama dengan ayahnya. Dulu ayah Jiyya sering memukul Jiyya dengan ekspresi seperti ini. Seperti membuka luka dan kenangan lama. Jiyya teringat hari-hari suramnya. Namun dia berusaha kuat.

"Ragi … lo kok … gitu?" ujar Jiyya dengan nada sangat sesak. Mata Jiyya berbinar.

"Lo ternyata busuk di belakang gue. Jalan sama cowok lain."

"Gue gak--"

Belum habis Jiyya berbicara, Ragi memotong pembicaraannya. "Lalu buat apa lo jauh-jauh ke kampus Bima?"

"Gue bisa jelasin!" Ujar Jiyya dengan nada tinggi. Namun itu justru membuat Ragi makin marah.

Plaaak …

Satu tamparan lagi di pipi kanan. Jiyya langsung tersungkur ke tanah. Tubuhnya lemas seketika. Pikirannya terasa kosong. Dia benar-benar tidak paham dengan apa yang sedang terjadi.

Jiyya menatap Ragi dengan mata yang menetes air. Namun mata itu menatap kosong cowok yang telah memukulinya dua kali. Tapi tetap saja, entah mengapa rasa cinta pada cowok itu tidak hilang walau Ragi sudag memperlakukannya seperti ini.

***

TBC
Part By : RashyQuila1

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro