Episode 1
Kisah ini dimulai, tanggal 15 Juli 2019, hari di mana tahun ajaran baru telah dimulai.
Kaki kecilku melangkah, menapaki halaman parkir sekolah baruku, di mana aku akan menempuh pendidikan selama 3 tahun ke depan. Seragam merah putih masih melekat padaku, menunjukkan identitasku sebagai anak baru.
Dokumen data diri kubawa dalam dekapan, ditemani ibu, melangkah menuju ruang tata usaha, duduk di bangku panjang di depan ruangan itu, merapikan kembali dokumen dalam map yang masih tercecer tak jelas.
Di sisi lain bangku, seorang anak dengan rambut panjang tergerai juga melakukan hal yang sama bersama ibunya. Aku melihatnya, merekahkan senyumku, penasaran dengan namanya, aku ingin kenal. Sifatku yang lumayan blak-blakan cukup membuatku cepat mengenalnya, mendapat teman pertamaku di sini. Ya, dia teman pertamaku. Miranda.
Kami berkenalan, mengobrol singkat, sambil menunggu bel tanda masuk kelas berbunyi.
Masuk kelas, hari pertama. Untuk apa? Tentu saja orientasi sekolah. Perkenalan dengan wali kelas menjadi awal semuanya.
7C, itu kelasku.
"Halo, namamu siapa?" ucapku pada seorang gadis cantik yang duduk disebelahku, rambutnya panjang tergerai sama seperti Miranda. Dia memiliki mata bulat lebar yang indah.
"Raisya, kamu?" dia tersenyum, bertanya balik setelah menyebutkan namanya.
Dengan riang kusebut namaku, "Liela."
Raisya, dia teman pertamaku di kelas. Dilanjut dengan Mega.
Biasanya, yang pertama kali diajak berkenalan akan jadi teman akrab bukan? Setidaknya kebanyakan cerita demikian. Tidak dalam kisah ini. Siapa sangka, Mega jadi ketua kelasku hari itu.
Wakilnya ada Dana, dan Tama. Lalu sekretarisnya ada Nava serta Hanafi, lalu bendahara ada Eka, dan beberapa sie* lainnya.
*semacam bagian yang bertanggung jawab atas sesuatu, contohnya seperti sie kebersihan, ketertiban, atau lainnya.
Aku? Tentu saja anggota biasa.
Kisah ini, dimulai hari itu, dimulai dengan pagi cerah di bulan Juli. Kisah tentang pemain yang melanggar aturan perannya.
▪¤▪¤▪
Peran sebuah kisah terdiri dari peran utama atau protagonis, di mana para pemain dari peran ini akan menjadi yang paling disorot dalam sebuah kisah yang dimainkan dengan lawan main yang disebut antagonis.
Antagonis, peran yang bertentangan dengan tokoh protagonis. Banyak yang salah paham, mengira antagonis sama dengan villain, tapi sebenarnya itu salah besar.
Protagonis adalah peran tokoh utama, lalu antagonis adalah peran yang bertentangan dengan tokoh protagonis. Jika protagonisnya merupakan villain, maka antagonisnya adalah pahlawan atau sejenisnya yang bertentangan dengan villain yang merupakan protagonis tadi. Begitu juga sebaliknya.
Lalu ada tritagonis yang merupakan penengah. Peran ini biasanya tak terlalu mencolok. Peran ini akan sangat terlihat menonjol pada resolusi, yakni ketika dia menengahi pertentangan antara protagonis dan antagonis. Tritagonis ini tak harus ada, jika tak ada pun tak masalah. Cerita dapat tetap berjalan tergantung pada bagaimana pengarang menciptakan resolusi dari sebuah konflik tanpa melibatkan pihak ketiga sebagai penengah a.k.a tritagonis.
Lalu ya, tentu! Selain tritagonis, tentu ada tokoh-tokoh sampingan yang amat sangat jarang disorot.
Cameo. Peran tambahan yang membuat sebuah kisah menjadi lebih hidup, lebih realistis, sehingga tidak hanya properti saja yang menghiasi belakang para peran utama, tapi juga ada para cameo yang siap menjadikan kisah menjadi seakan sungguhan. Ya, hanya pelengkap.
Peranan setiap peran-peran itu sangatlah penting. Tokoh utama tanpa ada cameo, bencana namanya. Kisah dramanya tak akan hidup. Film-film di pasaran yang kalian tonton itu tidak akan menarik kalau tak ada cameonya. Dan kalau hanya cameo, apa yang akan diceritakan, benar bukan?
Semua peran penting.
Dan semua peran punya porsinya.
Tapi apa jadinya, kalau ada peran yang melanggar porsi itu?
Pemeran utama jadi cameo? Mungkin bisa direka.
Tapi cameo jadi peran utama? Apakah masuk akal?
"Jangan langgar aturan drama! Cameo bukan pemeran utama! Isi posisimu sesuai aturannya," rangkaian kata membentuk kalimat di otakku. Akhir- akhir ini aku menyadarinya.
Cameo, peran penting yang tak seharusnya berusaha jadi peran utama.
"Tak seharusnya cameo memaksa menjadi pelaku peran utama, protagonis, tidak bisa! Seorang cameo... sebuah peran yang tak terlihat, memang itu aturan dan seni sebuah peran cameo. Jangan langgar aturannya dan malah berusaha menjadi bersinar. Ikuti aturannya, dan kau akan baik saja!" ucapan otakku terngiang di kepala.
Mataku tak terlepas dari benda pipih pada tanganku, menatap sebuah foto yang terpampang di layar. Perasaanku berkecamuk. Cakar-cakar tajam terus mencabikku, tak memberikan kesempatan untuk luka yang ada. Tak membiarkan luka itu menutup walau satu centi-pun.
Di sisi lain jantungku berdetak cepat. Rasa senang membuat dadaku nyaris meledak. Kupu-kupu memenuhi rongga perutku. Rasa bahagia membuncah.
Aku tak mengerti kenapa aku merasa begitu sakit padahal aku begitu bahagia.
Aku menatap lekat foto pada layar ponselku. Tak ada yang berubah dari perasaanku. Rasa bahagia tak hilang sedikitpun. Begitupun cabikan yang kurasakan.
Aku sungguh tak mengerti kenapa begini. Padahal aku sudah tau ini berarti merupakan akhirnya.
Kebahagiaan memenuhi ruang hati.
Tapi kenapa begitu sakit?
Apa ada yang salah dengan rasa bahagia ini? Terasa begitu berbeda. Perasaan bahagia yang membuncah sama sekali tak dapat menutupi rasa pedih yang ada.
Namun tak kurasa bahagia itu berkurang walau setetes. Rasa bahagia itu tetap ada.
"Lucu. Begitu lucu...," gumamku mengerjap, masih tak menemukan jawaban yang kuinginkan meski aku telah berusaha bertanya pada diriku. Menggali-gali lubuk hati untuk mencari jawabannya.
Nihil. Aku tak mengerti kenapa dua perasaan yang bertolak belakang bisa terasa dalam satu waktu karena hal yang sama dan tak saling mempengaruhi.
"Kenapa air mataku menetes? Aku 'kan bahagia..."
Aku mengernyit tak mengerti.
-To be continued-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro