Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

👒 ANTARIKSA 8 👒

Aku ingin melihatmu selalu tertawa bahagia. Bukan senyum dibalik luka.

👒👒👒👒👒

Nirmala berjalan keluar kelas membawa dua buku paket tebal, tujuannya adalah perpustakaan. Ia akan mengembalikan buku dan meminjam buku baru lagi. Kadang ia juga meminjam novel, saat merasa pikirannya jenuh pada pelajaran.

Baru beberapa langkah dari pintu kelas, tubuhnya tiba-tiba saja terpental yang mengakibatkan buku dalam dekapannya melayang ke lantai.

Gadis itu tidak jatuh, ia masih tetap berdiri meski seseorang menarik lengannya sangat keras. “Kak Ara?” gumamnya saat melihat siapa yang menariknya.

“Bagus kalau lo masih ingat gue,” sarkas Ara seraya menekan tombol lift.

“Lepas, Kak! Gue bisa jalan sendiri,” rintih Nirmala mencoba melepas tangannya yang mulai terasa sakit.

Ara hanya meliriknya tajam, kemudian memasuki ruang persegi itu yang berisi beberapa siswa kelas XII. “Diam atau lo nggak bakal bisa ngomong lagi!” ancamnya dengan berbisik pada Nirmala.

Gadis itu terdiam, ia merasa bimbang sekaligus ketakutan. Berharap salah satu dari tujuh orang siswa kelas XII yang berada di dalam sini ada Jasmin. Nirmala tidak punya pilihan selain menuruti ucapan Ara.

Sesampainya di lantai satu, Ara kembali menarik tangan Nirmala, menyeretnya menuju gedung tua yang berada di belakang gedung Antariksa.

“Gue nggak bakal kasih peringatan kedua buat lo. Cukup sekali dan itu pun nggak lo pakai!” bentak Ara setelah menyentakkan tangan Nirmala dan mendorongnya hingga terhempas di atas permukaan tanah yang keras.

Nirmala meringis sambil mengaduh. Ia paham, bahkan tidak lupa dengan ucapan Ara yang melarangnya berhubungan dengan para cucu Antariksa. Namun, ini bukan salahnya. Nirmala tak pernah berniat untuk mencari muka pada mereka, justru mereka yang mendatangkan diri padanya.

"Buka baju lo!" bentak Ara menyadarkan lamunan Nirmala.

"Buka baju?" ulang Nirmala dengan menyilangkan tangan di dada. "Buat apa, Kak? Nggak mau," tolak Nirmala beranjak berdiri untuk pergi dari hadapan Ara.

"Lo mau kemana, Sayang?" Suara Ara melembut dengan tangan menjambak rambut Nirmala sampai gadis itu mendongak. "Gue nggak akan ngelepasin lo, sebelum lo paham dengan kata menjauh dari Gerry. Dengar nggak lo?" Ara berteriak tepat di telinga Nirmala. Hingga Nirmala bisa merasakan telinganya berdengung, ditambah kepala yang berdenyut.

Nirmala hanya bisa merintih dengan menahan bendungan di mata karena menahan sakit. "De-dengar, Kak," ucapnya dengan terbata.

Ara meludah ke tanah, kemudian menarik almamater Nirmala dengan sekali hentakan. Hingga almamater itu terlepas sempurna dari tubuh Nirmala. "Lo emang nggak tuli, tapi lo itu munafik."

Nirmala mencoba merebut almamater Antariksa yang berhadapan dengan gunting Ara. "Kak Ara mau ngapain? Jangan, Kak," mohon Nirmala masih mencoba merebut almamater dengan air mata yang berderai.

Usaha Nirmala tak berhasil karena ulah Ara yang juga berusaha menjauhkan almamaternya dari Nirmala. Ara menatapnya dengan senyum melecehkan. Gunting di tangannya sudah terbuka, siap melahap mangsa di hadapannya.

"Dasar cewek miskin, lo nggak pernah pantes sekolah di sini," sarkasnya dengan menggunting lengan almamater bagian kanan, namun tidak sampai terputus.

"Cewek murahan. Suka cari perhatian. Muka cantik tapi hati busuk." Ara seperti orang kerasukan. Setiap kata yang keluar dari mulutnya bersamaan dengan guntingan pada almamater milik Nirmala.

"Pergi lo dari sini!" bentak Ara sembari melempar almamater yang sudah compang-camping dengan banyak lubang pada pemiliknya. Almamater yang jauh dari kata layak untuk dipakai.

Nirmala terisak dengan almamater yang sudah hancur dalam dekapan. Dari mana ia mendapat uang untuk membelinya lagi? Ia tak sanggup jika harus meminta kepada kedua orang tuanya. Seragam serta aksesoris Antariksa hanya disediakan oleh yayasan itu sendiri, tidak diperjual belikan di tempat umum.

Nirmala mendongak karena Ara kembali menarik rambutnya. "Kalau setelah ini, lo masih di samping Gerry. Gue jamin, lo nggak bakal bisa lihat dunia," bisik Ara lalu mendorong kepala Nirmala ke depan hingga bisa mencium tanah.

Nirmala pasrah dalam isakan. Berteriak untuk meminta tolong juga akan percuma, karena tempat ini memang jarang didatangi oleh siswa. Mungkin hanya petugas kebersihan. Setidaknya, mendengar langkah yang menjauh bisa meredakan ketakutan pada dirinya.

👒👒👒

Gerry sedang menumpukan tangan pada dinding pembatas koridor, bel istirahat baru saja berdering dan yang dia lakukan adalah menunggu temannya, Haikal, yang sedang pergi ke kamar mandi. Setelah kemarin berhasil mengantarkan Nirmala pulang, lalu pagi tadi dia juga menjemputnya, membuat pria jangkung itu kembali semangat untuk mengejar cinta Nirmala.

Indra penglihatannya terus menatap pintu kelas yang letaknya berada di seberang koridor, dekat dengan lift. Jarak yang terbentang jauh saat kelasnya sendiri juga berada di ujung, jika ingin sampai ke kelas Nirmala maka dia masih berputar. Mungkin besok ia akan meminta untuk dibuatkan jembatan antar koridor.

Hingga sebuah gerakan yang membuat alis Gerry menyatu disusul dengan umpatan kecil. Ia langsung melesat, berlari melewati lorong yang masih sepi. Berbelok ke kiri dan berlari lagi sampai di depan pintu baja yang sudah tertutup rapat.

Gerry kembali mengumpat dengan menendang pintu lift di hadapannya itu. Kemudian ia berlari menuju pintu tangga darurat, melompati anak tangga agar bisa sampai dulu di lantai satu. Tangan Gerry bertopang pada dinding, mengatur napasnya yang tersengal.

"Sial! Cepet banget jalannya," umpatnya saat melihat dua gadis sasarannya sudah sampai di ujung lorong.

Pria itu kembali melangkahkan kakinya menuju lorong yang membawanya keluar dari gedung sekolah.

"Huh!" Gerry melenguh karena berlarian cukup jauh. Penampilannya yang sedikit berantakan, menambah kesan tampan empat kali lipat. Pria itu berdecak. "Terlambat, ya?"

Gerry menatap datar pada seseorang yang melihatnya dengan wajah pias. Gadis itu menghentikan langkahnya karena terkejut.

"Ha-hai ...," sapa Ara.

Gerry berjalan mendekat tanpa melepas tatapan dingin. Membuat Ara ingin memeluk dan membawa Gerry pergi dari sini. Namun, Gerry hanya melewatinya tanpa berkata apapun. Tubuh Ara berbalik dengan hati terbakar, Gerry lebih memilih Nirmala.

"Lo nggak apa-apa?"

Nirmala mendongak dengan mata sembab dan memerah. Menatap Gerry sendu, lalu menggeleng pelan.

Gerry membuang napas kasar melalui mulut, lalu membantu Nirmala untuk berdiri dan menuntunnya pergi dari sana. Seharusnya ia tidak menanyakan hal itu kepada wanita yang akan selalu menjawab 'tidak apa-apa'.

"Sampai ketemu di ruang BK, Ara," kata Gerry saat melewati tubuh Ara yang masih menegang di posisinya.

Ara ingin mengelak, namun mulut serta tenggorokannya mengering. Ia ingin menjelaskan pada Gerry. Hingga Gerry menghilang dari pandangan, Ara masih diam.

Ara berteriak frustasi seraya menarik rambutnya yang tergerai. "Brengsek!" umpatnya kemudian.

👒👒👒

"Minum dulu." Gerry menyodorkan satu botol air mineral pada Nirmala yang sudah ia buka.

"Makasih, Kak." Nirmala menerima dan segera meminumnya.

"Lo kenapa bisa berurusan sama Ara?" tanya Gerry yang berjongkok di bawah Nirmala. Tadi Gerry membawa Nirmala ke ruang musik yang sedang tidak dipakai, lalu pergi untuk membeli minum dan menitipkan izin Nirmala pada Mail yang tidak sengaja ia temui. Untung saja bukan Melody.

Nirmala menggeleng atas pertanyaan Gerry. "Gue izin ke kelas, Kak."

"Udah gue izinin, lo istirahat di sini aja," ucap Gerry tanpa memberi jalan Nirmala untuk pergi.

"Tapi, Kak ...." Nirmala memandang heran pada Gerry. Ia tidak mau ketinggalan pelajaran.

"Penampilan lo yang kayak gini bakal bikin semua orang bertanya-tanya. Jadi, di sini dulu lebih baik. Muka lo juga kotor." Gerry merapikan rambut Nirmala yang berantakan lalu mengusap debu yang menempel pada hidung dan pipi Nirmala.

"Gue bisa sendiri, Kak," ucap Nirmala dengan memundurkan kepala.

Gerry tersenyum kikuk seraya memalingkan wajah yang sama-sama memerah.

"Eh, ini seragam buat lo." Gerry meletakkan paper bag berwarna silver pada pangkuan Nirmala.

"Seragam?" tanya Nirmala menatap Gerry bingung.

Pria itu mengangguk, lalu berucap, "Buka aja."

Nirmala membuka lalu menutupnya kembali. "Nggak usah, Kak. Nanti gue bisa beli sendiri," tolak Nirmala seraya mengembalikan paper bag pada Gerry.

"Ah, sayangnya gue nggak menerima barang kembalian. Lagian cuma almamater doang. Kecil. Udah, pakai aja!" timpal Gerry dengan menyugar rambutnya ke belakang. Lalu mengambil almamater yang sudah hancur dari genggaman Nirmala. "Ini buang aja, daripada dibawa pulang bikin mata sepat," katanya pelan.

Nirmala tersenyum tipis namun masih bisa dilihat oleh Gerry.

"Sorry, tadi gue datang telat," sesal Gerry. "Gue udah nyoba kejar kalian, tapi tetap aja masih terlambat," imbuhnya.

"Nggak apa-apa, Kak. Buat semuanya, makasih banyak. Lain kali pasti gue ganti," balas Nirmala dengan hati menghangat.

Gerry bangkit, lalu menepuk puncak kepala Nirmala. "Ck, pakai aja. Gue nggak bakal nerima uang atau barang kembalian dari lo," katanya. Lalu duduk di kursi piano. "Nyanyi, yuk?"

Nirmala menjawab Gerry hanya dengan tersenyum sambil menggeleng.

"Lo kenapa suka geleng-geleng kepala, sih?"

Nirmala akhirnya terkekeh melihat wajah kesal Gerry. "Main aja, Kak. Gue nggak bisa nyanyi," ucapnya disela tawa.

Gerry mengangkat bahu lalu menekan nut piano dengan perasaan bahagia sekaligus kecewa. Menyesal karena terlambat menolong Nirmala, bidadarinya.

****

Terima kasih sudah membaca

Klik bintangnya jangan lupa

🥰

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro