👒 ANTARIKSA 31 👒
Suara serangga malam menjadi teman Nirmala yang tengah bermain dengan rumus. Berbagai macam buku paket Kimia dari beberapa percetakan masih terbuka di atas meja kayu berbentuk lingkaran. Kali ini Nirmala memilih tempat di teras belakang sembari merasakan angin malam yang membelai wajahnya. Ia tidak ingin kantuk atau rasa lain mendatanginya lagi, gadis itu hanya akan fokus dengan mimpi.
Usapan lembut di puncak kepalanya, membuat gadis itu menegakkan punggung. "Ibu buatin susu, habis itu kamu tidur. Besok disambung lagi belajarnya," ujar Nuri sambil meletakkan segelas susu putih di antara celah buku.
"Makasih, Bu. Ini masih nanggung, bentar lagi." Gadis itu menghabiskan minuman yang selalu dibuatkan oleh Nuri sejak kecil sampai dia sebesar ini.
Nuri menarik kursi lain ke sisi putrinya, lalu ia duduk di sana. "Ya, udah. Ibu temenin." Nirmala tersenyum mendengarnya, ia segera melanjutkan belajar selagi Nuri bermain dengan ponel pintarnya.
"Kamu lulus kurang berapa tahun lagi?" tanya Nuri.
Nirmala menahan gerakan tangan untuk menjawab pertanyaan ibunya. "Udah dapet setahun, kurang setahun lagi, Bu."
Nirmala mengangguk sembari berdeham. "Cepet banget, terus gimana soal pembayaraan. Apa masih ada yang harus dibayar sebelum kamu lulus? Ibu nggak mau, ya punya utang ke sekolah."
Nirmala menahan napas. Ia tidak memberi tahu ibunya soal beasiswa yang terancam, dia tidak ingin melihat orang kesusahan karenanya. Nirmala tidak tega melihat orang-orang tersayangnya pontang-panting mencari sepeser rupiah. Nirmala tersentak saat lengannya disentuh Nuri.
"Besok aku tanyain ke TU dulu, tapi seingat aku semua udah lunas, kok," jawab Nirmala pelan.
Nuri menyetujui usul Nirmala, ia pamit ke dalam karena tidak tahan dengan dinginnya angin malam yang menusuk ke tulang. Nirmala menengadah, menatap rembulan dalam bentuk lingkaran sempurna. Ia meminta kekuatan untuk menyelesaikan ujian kehidupan ini.
****
Toni yang siap berangkat menuju pelanggan, harus kembali ke rumah untuk memanggil istri dan anaknya agar melihat apa yang ada di halaman. Sesampainya di halaman, ada sebuah truk besar yang berisi bahan-bahan bangunan.
"Maaf, ini semua buat apa? Kita tidak berbelanja bahan bangunan, Pak," ujar Nuri takut salah alamat.
Seorang laki-laki gemuk mendekat, lalu bertanya, "Tapi ini benar rumahnya Ibu Nuri Maulida, kan?" Nuri mengangguk.
"Berarti kita tidak salah, kami juga hanya bertugas, soal untuk apa-apanya kami tidak tahu."
"Bu, nanti jangan-jangan penipuan, terus kita yang suruh bayar semuanya," bisik Nirmala yang berdiri di antara kedua orang tuanya.
Namun, sebelum gadis itu mendapat jawaban, ada sebuah mobil mewah yang berhenti di depan truk. Satu keluarga itu masih menunggu siapa gerangan yang kesasar ke rumahnya sepagi ini. Biasanya orang-orang kaya yang memesan kue hanya melalui chat. Kemudian keluarlah dua orang wanita dari pintu berbeda. Mereka berdua menghampiri satu keluarga yang tampak bingung serta ketakutan itu.
"Selamat pagi, Tante." Nirmala menyapa, lalu mencium tangan Sari dan temannya, Santi alias mamanya Mutiara.
"Ada yang bisa saya bantu, Bu?" tanya Nuri setelah bersalaman. "Mari masuk dulu," katanya lagi. Mereka semua masuk ke dalam rumah minimalis itu, Toni urung berangkat karena takut istrinya membutuhkan bantuan.
Santi bersuara. "Kita ke sini mau memastikan barang-barangnya sudah datang, jadi nanti kita tinggal nunggu para pekerja."
"Maaf, saya belum faham maksud ucapan kalian," sela Nuri.
Sari saling melempar tatapan dengan Santi, mereka mengangguk dan tersenyum. "Jadi begini, kami berdua memutuskan untuk memberi modal untuk Ibu Nuri dengan membangun toko kue kecil-kecilan. Istilahnya, kami berinvestasi. Maaf kalau kami lancang, kami hanya berniat membantu," terang Santi.
"Tapi ini semua terlalu berlebihan, bagaimana cara kita nanti buat balikinnya?" tanya Nuri khawatir.
Sari berpindah ke samping Nuri, lalu mengambil tangan wanita itu. "Ibu jangan berpikir ke sana dulu, anggap saja ini hadiah dari kami. Mulai sekarang Ibu Nuri hanya fokus sama menu kue biar lebih menarik pelanggan."
"Tapi kita sudah nyaman begini, Bu Sari. Ini terlalu berlebihan," sanggah Nuri lagi.
Nirmala hanya bisa diam, meski pikirannya bekerja keras. Rasa takut tentang kepalsuan menyergap, ia takut dipermainkan lagi dengan cara yang berbeda.
"Piye iki, Yah? Aku bingung." Nuri meminta saran pada suaminya.
"Tolong terima, ya. Kami hanya ingin usaha kalian maju, kami juga tidak ada niatan jahat buat nyuri resep rahasia kalian. Kami benar-benar tulus ingin membantu." Sari mengeratkan genggamannya pada tangan Nuri. Sedangkan Nuri sendiri meminta saran dari suami dan anaknya.
"Baiklah, Bu Sari. Kami terima bantuan kalian, tapi kami akan tetap mengembalikan modal yang sudah kalian berikan," putus Toni.
Mereka akhirnya sepakat tanpa perlu mengembalikan modal yang diberikan oleh Sari dan Santi. Nuri hanya perlu menyiapkan kue untuk di antar ke rumah Sari dan Santi setiap hari.
*****
"Dah, ah, capek gue. Kalian bikin sendiri aja." Nirmala meletakkan ponsel berwarna hitam ke atas meja dengan kesal. Dua spesies di depan sana hanya berdebat, tanpa peduli keberadaannya.
"Tuh, 'kan. Lo, sih. Makanya yang bener." Melody kembali memukuli Mail untuk sekian kali.
"Ngapain gue? Lo yang jangan ketawa mulu," balas Mail tidak mau kalah.
"Gue pulang dulu!" pamit Nirmala. Gadis itu sudah merindukan tempat tidur, sebelum kembali bermain dengan berbagai angka dalam rumus.
Namun, baru satu langkah Nirmala bergerak, seseorang sudah muncul di hadapannya. Gadis itu melangkah mundur kembali untuk berjaga-jaga. "Lo takut sama gue? Gue cuma mau ngomong bentar," ucapnya terkekeh.
Nirmala menoleh ke kanan dan kiri, memastikan sekitarnya masih banyak siswa berkeliaran. "Hah? Gue nggak mau." Gadis itu terkejut karena sentuhan di lengan. Ia mencoba melepas tangan dari genggaman seseorang di hadapannya itu. "Lepas, Kak."
"Dengerin gue dulu, Mala," kata seorang perempuan itu.
Tangan Nirmala terlepas dari genggaman wanita menyeramkan karena bantuan seseorang. "Ada apa? Lo mau ngapain lagi sama Nirmala?" tanyanya dengan tatapan tajam pada wanita jahat.
Melody dan Mail yang baru sadar ada keributan lain segera menghampiri Nirmala.
Wanita itu tersenyum pada Damar. "Lo tenang aja, gue nggak ngapai-ngapain. Gue ke sini cuma mau minta maaf sama Nirmala, bukan mau nyulik."
"Ya udah, minta maaf di sini aja," putus Damar. Lelaki itu melipat tangan di dada dengan menatap Mutiara. Melody dan Mail saling melempar pandangan bingung, karena tidak tahu alasan Mutiara minta maaf.
"Gu, gue ... berdua aja sama Nirmala," balas Mutiara dengan wajah pias.
"Nggak, di sini aja. Gue juga mau dengar." Damar tidak mau kalah, dan Mutiara pun melakukannya di depan banyak mata.
Mutiara menghadap Nirmala yang masih tampak ragu. Dia membuang napas pelan. "Mala, gue minta maaf soal yang dulu. Gue sadar kalau sesuatu bisa didapat dengan cara yang bener, dan kemarin itu adalah kesalahan. Gue pikir kalau lo yang deketin Gerry buat nguras hartanya, tapi malah lo yang jadi korban." Mutiara menengok Damar yang langsung berpaling muka, lalu kembali menatap Nirmala lagi. "Sekali lagi, gue minta maaf. Doain gue bisa lulus dan kita lulus bareng. Gue juga berharap, kita bisa jadi temen kayak nyokap kita. Lo ... mau, 'kan maafin gue?"
Semua atensi tertuju pada Nirmala, karena belum ada jawaban yang ia berikan. Bayangan tentang siksaan Mutiara masih begitu melekat, selama 15 tahun hidup, baru itu merasakan rasanya dipukul dan dihina. Orang tua dan keluarga lainnya tidak pernah sekeras itu, hanya dengan ucapan ia sudah bisa diingatkan.
"Kalau nggak bisa maafin, nggak apa-apa. Gue sadar kalau semua itu emang keterlaluan. Gue juga minta maaf sama yang lain, yang udah gue jahatin, respons mereka macam-macam, sih. Ada yang lari pas liat gue, ada juga yang nampar gue. Dan gue terima, asal gue dapet maaf dari mereka. Gue juga bakal terus usaha buat dapetin maaf dari lo. Karena kali ini lo masih belum maafin gue, gue cabut dulu."
"Tunggu, Kak." Mutiara yang sudah berbalik, kembali memutar tubuhnya menghadap Nirmala. "Gue salut sama perjuangan lo, Kak. Tapi gue nggak bisa liat usaha lo sia-sia, gue udah maafin lo sebelum lo minta maaf. Gue diajarin buat hidup nggak punya dendam sama siapa aja. Dari Kak Ara juga, gue sadar kalau emang gue nggak pantes sekolah di sini. Tapi karena mimpi, gue nggak peduli lagi sama semua itu, yang penting gue bisa lulus dan dapet apa yang gue mau. Jadi, sekarang kita teman?" Nirmala mengulurkan tangan kanan pada Mutiara sembari senyuman. Mata gadis itu tampak memerah, tidak menyangka ada hati selembut salju seperti Nirmala.
Mutiara menerima uluran tangan itu. "Yes, teman," balasnya dengan suara bergetar. Kemudian, ia langsung minta izin pulang karena sudah dijemput.
"Lo ada masalah apa sama Kak Ara?" tanya Melody bingung.
"Biasalah orang cantik banyak musuhnya." Melody menggeram karena Mail yang menjawab pertanyaannya.
"Mala," panggil Damar. Gadis yang namanya dipanggil itu menatapnya ragu. "Kalau Ara bisa jadi temen lo, gue juga bisa nggak dapetin maaf lo?"
"Jangan dengerin, Mala. Anggap aja angin lewat," bisik Melody pada sahabatnya.
Nirmala tertawa pelan, lalu berkata, "Bisa-bisa, aku juga nggak mau punya musuh. Aku mau temenan sama semua." Ucapan tulus itu membuat Damar mengulum senyum. "Udah, ya. Aku pulang dulu," pamit Nirmala.
Damar menyahut, "Gue anter, yuk."
Gadis itu menggeleng. "Aku masih butuh ruang setelah masalah kemarin, aku takut kalau perasaan ini nggak bisa hilang." Setelah mengatakan itu, kaki jenjangnya meninggalkan Damar yang terpaku.
*****
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro