Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

👒 ANTARIKSA 30 👒

Hari-hari Nirmala terasa berbeda sejak kepergian Damar. Menyisakan rasa yang tetap ia simpan seorang diri. Tak ada harapan lagi untuk menikmati indahnya gelombang cinta. Semuanya hanya semu, cinta itu palsu. Namun, cinta Nirmala sudah terpatri untuk Damar, lelaki yang berhasil menyita seluruh perhatian.

"Heh, bikin kue kok malah ngelamun. Untung Ibu nggak telat." Nirmala tersadar saat Nuri menabok lengannya pelan. Kemudian, gadis itu memindahkan adonan yang sudah kalis dari tempat pengaduk untuk proses selanjutnya.

"Ibu tahu kalau kamu ada masalah, tapi jangan sampai ganggu konsentrasi kamu, apalagi saat belajar. Ibu juga nggak ngelarang kamu buat bergaul sama siapa aja, tapi nyari teman yang tulus itu sulit, Mala. Teman yang bisa nerima kamu apa adanya, teman yang bisa nuntun kamu ke jalan yang benar, bukan teman yang menyesatkan. Sifat orang itu nggak ada yang tahu, ada yang kayak durian. Luarnya tajam, kayak ucapannya yang pedes, tapi dalemnya lembut, suka menolong. Ada juga yang bentuknya kayak cabai, luarnya mulus, tapi pas udah kenal, ternyata pedes banget. Mulutnya lebar kayak toa."

"Ibu ada-ada aja." Nirmala menimpali sambil terkekeh.

"Ibu serius tau. Ibu nggak akan tanya alasan kenapa Gerry nggak pernah jemput kamu lagi, Ibu sama ayah cuma kasih pengertian dan batasan kamu dalam mencari teman. Meski umur kamu masih 14 tahun, tapi Ibu tahu pikiran kamu sudah dewasa. Udah, kamu belajar aja sana, biar besok ujiannya lancar."

Nirmala menggeleng. "Nanti aja, Bu. Lagi jenuh liat tulisan."

Nuri menyetujui ucapan putrinya, ia juga pernah merasakan lelah dan bosan dengan belajar. Toh, Nirmala juga tahu kapan dia harus belajar untuk menggapai semua mimpinya. Hari Sabtu ini, mereka menghabiskan waktu di dapur dengan berbagai cerita yang penuh tawa. Nuri menceritakan kisah cinta dengan Toni yang menikah tanpa cinta, pernikahan zaman dulu adalah tergantung pada kedua orang tua. Tidak seperti remaja saat ini yang menjalin kasih sebelum menikah.

Selesai urusan dapur, Nirmala lanjut mengantarkan kue kepada pelanggan dengan mengayuh sepeda. Sebenarnya alasan utama dia enggan belajar, karena ia masih saja terbayang atas sikap Gerry dan Damar. Dia jadi sulit untuk fokus karena bayangan mereka yang tiba-tiba muncul. Dia masih butuh waktu, ya, hanya waktu.

****

Petikan senar gitar akustik Damar menemaninya di sore akhir pekan ini. Bibirnya juga ikut berbisik pada angin untuk menyampaikan rasa yang terpendam.

Sekalipun besok ujian, ia masih membuka beberapa lembar saja. Bukan karena dia sudah pandai, tapi chat yang dikirimkan sang mantan membuat rasa bersalah kembali menghantui. Disusul suara pukulan drum yang mengejutkan Damar.

"Lo nyanyi dalem banget, gue panggil sampai dower nggak nyaut," kata Gerry yang memutar stik drum dengan ibu jari.

Senyum Damar mengingat Gerry sudah mendatanginya lagi setelah insiden tak mengenakkan beberapa waktu yang lalu. "Lagi ngapalin rumus Fisika sama Matematika," balas Damar.

"Ya, kali rumus lo bikin lagu."

"Ide bagus, tuh." Damar mengacungkan satu ibu jarinya pada Gerry.

Alis Gerry bertaut, ia tak sanggup membayangkan jika ucapannya menjadi nyata. "Gue bercanda, kali. Jangan dianggap serius."

"Eh, tapi serius itu ide bagus banget. Biar makin mudah belajarnya, 'kan? Ntar kita bikin videonya terus upload ke YouTube. Oke, 'kan?"

Gerry menggaruk kulit kepala sambil menatap Damar yang sedang memainkan nada. "Bang Damar, sorry buat kemarin."

Damar membalas tatapan Gerry, lalu berucap, "Udahlah, nggak usah dibahas. Gue sama dia juga udahan. Apa, ya? Rasanya hambar."

Gerry menatap kakak sepupunya itu tak percaya. "Serius lo? Berarti lo sama begonya kayak gue dong?" Lelaki itu tergelak kemudian.

Damar menggeleng sembari terkekeh. "Kita, 'kan saudara, Bro. Main, ya, lagu Hampa dari Ari Lasso."

"Bukan, bukan. Lagunya Kangen Band aja, Cinta Terlarang."

Damar setuju. "Oke, tapi lo yang nyanyi."

Gerry menggeleng kuat. "Lolah, ngapain gue? Tarik, sis."

"Lagunya Thomas aja kalau gitu." Damar mengusulkan penyanyi lain yang saat ini sedang viral. Namun, Gerry tetap menolak.

"Nggak ada, buruan, elah! Nggak bisa atau baper?" tanya Gerry.

"Dih, baper ngapain? Ya, udah, ayo." Akhirnya Damar setuju untuk menyanyikan lagu yang sangat amat jadul itu, tapi kini masih sering terdengar dengan kreasi baru.

****

Detak jantung saling berdebar hanya demi selembar kertas penentu nilai mereka. Meskipun yakin bisa menjawab semua soal, tapi tetap saja hasil adalah sesuatu keramat yang sangat mematikan. Belum lagi sampai ada pelajaran yang harus remidial, jangan sampai.

Kelas Akselerasi menjadi hening saat Pak Yudi memasang raut datar saat memasuki kelas. Dengan kumis yang tebal dan lebat, sudah membuat penampilannya menjadi seram apalagi dengan ekspresi seperti itu.

"Ada kalanya roda itu memang berputar, tapi ada kalanya bangunan itu semakin kuat karena banyaknya tiang penyangga. Nggak ada larangan buat kalian sebagai kelas unggulan untuk pacaran, apalagi sama teman sekelas, tapi kalian juga harus ingat tanggung jawab di sini sangat besar. Kalian masuk sini juga bukan saya yang minta, semua pilihan kalian."

Beberapa kepala yang tersentil dengan ucapan wali kelas memilih menunduk. Mata elang itu menatap isi kelas seolah ingin menguliti satu per satu.

"Kalau nggak bisa bertanggung jawab, ya nggak usah bikin masalah. Belajar aja yang bener, uang saku masih minta orang tua udah ngajak anak orang makanlah, nontonlah. Kalau kalian udah sukses dan punya uang sendiri, kalian bebas bersenang-senang di luar sana. Tapi untuk sekarang, fokus saja dulu sama pendidikan, pertama buat orang tua, dan yang penting buat masa depan kalian." Pak Yudi menatap tumpukan lembaran di tangan. "Naik turunnya nilai kalian, nggak usah protes. Nggak usah sedih sampai down. Ini semua hasil yang kalian kerjakan kemarin."

Pak Yudi mulai memanggil nama yang sesuai di lembar yang ia pegang. Tidak ada kata yang terucap sampai semua lembar tersebut sampai di tangan pemilik.

"Selamat untuk Damar yang berhasil menjadi juara satu semester ini, untuk yang lain tingkatkan lagi belajarnya. Assalamualaikum."

Nirmala menunduk semakin dalam saat melihat hasil yang tercantum di lembar miliknya. Butiran air mata mulai merembes melewati aliran yang sudah terbentuk. Ucapan Pak Yudi benar, berani bertindak juga harus bertanggung jawab. Kemudian, inilah hasilnya karena kemarin hanya memikirkan nasib cintanya tanpa bisa fokus 100% pada pelajaran yang akan diujikan.

Gadis itu ingin marah, tapi pada siapa? Ini ulah dan kesalahannya sendiri, semua ada di genggamannya. Kertas yang menampilkan peringkat tiga sudah ia sembunyikan di bawah meja saat teman-teman yang lain ingin melihat.Hasil terburuk yang pertama kali ia dapat.

Ia tak sanggup mengangkat kepala, bahkan untuk menyamakan nilai dengan yang lain seperti biasanya. Ia kecewa pada diri sendiri. Nirmala ingin menghilang detik ini juga.

*****

Kesedihan Nirmala tak cukup hanya di kelas, pulang sekolah ia harus menghadap kepala sekolah, Mario Steven Antariksa.

"Kamu tahu kenapa saya panggil kemari?"

Nirmala yang sudah menunduk sejak kedatangannya tadi, tidak berani mengangkat kepala sama sekali. Ia—bahkan siapa pun—pasti takut jika sudah berhadapan dengan Pak Mario.

"Saya beserta guru lain selalu memantau nilai anak-anak yang mendapat beasiswa, karena sekolah ini bukan sekolah biasa. Semua murid harus bisa mengikuti semua peraturan yang sudah kami buat. Apalagi kamu ada di kelas unggulan, Nirmala. Kita menerima kamu karena nilai kamu bagus, tapi makin ke sini kenapa semakin menurun? Saya nggak mau tahu, semester depan nilai kamu harus naik lagi. Kalau tidak, kamu terpaksa harus turun ke kelas reguler dan tentu saja beasiswa akan kami cabut."

"Baik, Pak," lirih Nirmala.

"Saya tidak menyalahkan kamu dan keponakan-keponakan saya, selama kalian bisa mengatur waktu dengan baik, semua akan tetap seperti awal. Ya, sudah, kamu boleh keluar."

Gadis itu mengangguk lalu segera undur diri dari ruangan luas tapi terasa mencekam itu. Ia butuh ruang untuk menyendiri, dan di sinilah sekarang. Nirmala mendaratkan tubuhnya yang sudah lemas di tempat sangat lapang dengan rak buku berada di seluruh sudut. Gadis itu mencari sisi yang jarang didatangi, menyembunyikan wajah di balik lipatan tangan. Menumpahkan semua perasaan yang sejak tadi ia tahan.

Nirmala sampai memijat dadanya yang terasa sangat sakit, seperti tertikam pisau tajam karena ulahnya sendiri. Ia tidak sanggup melepas semuanya, ia pasti akan merasa sangat malu jika harus bergabung dengan kelas reguler. Terlebih jika ia harus kehilangan beasiswa, dari mana ia mendapat biaya untuk membayar sekolah?

Isakan gadis itu bagaikan diiris sembilu. Karena lelaki ia seperti ini, karena cinta ia gagal dalam belajar, karena cinta juga ia akan kehilangan mimpi. Namun tidak semudah itu, masih ada waktu tiga bulan untuk memutar kemudi. Ia harus bisa membuat kedua orang tuanya bangga dengan hasil akhir nanti.

Hai haiii

Gimana kabar kalian?

Tetap stay safe, ya

Gimana part ini?

Kurang asem apa kurang pedes?

Jangan lupa petik bintang dipojokan

Makasih 😘😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro