👒 ANTARIKSA 29 👒
"Pagi, Neng. Piye kabare? Suwe ora keliatan."
Sapaan sopir angkot hanya dibalas senyuman oleh Nirmala. Enggan menjawab karena hanya akan menambah rasa sakit. Ia kembali duduk berimpitan dengan penumpang lain. Memasang senyum meski jemari saling bertaut untuk sekadar memberi kekuatan.
Hingga mobil bercat biru itu berhenti di tempat tujuan, gadis itu segera turun tak lupa menyerahkan uang pas untuk membayar. Telapak kakinya seakan tidak ingin memasuki sekolah bertaraf internasional ini lagi. Suara klakson membuatnya harus menyingkir dari tengah jalan.
Mobil putih itu pun melewati Nirmala yang masih hafal siapa pemiliknya. Tepat di hadapannya, kaca jendela dari mobil tersebut terbuka. Gerry sengaja menjalankan mobilnya pelan sembari menatap Nirmala dari kaca mata hitam dengan seringai. Gadis itu juga menatapnya, lalu beralih melirik ke kursi penumpang yang diisi oleh Mutiara. Tak lupa gadis itu juga melambaikan tangan sebelum sang pengemudi membawa kendaraannya ke tempat parkir.
Nirmala menarik kakinya dengan dada bergemuruh. Lupakan, Nirmala, lupakan. Ia mendorong pintu besi untuk memasuki tempat yang sangat jarang dipakai kecuali lift sedang dalam perbaikan. Gadis itu memilih menaiki tangga dengan kesunyian daripada menaiki lift yang tidak sesuai dengan dirinya.
Percakapan dengan Damar kemarin sore seakan tak mau pergi dari ingatan.
"Mau ngomong apa, sih?" Nirmala terkekeh saat Damar hanya diam. Padahal tadi lelaki itu bilang ingin bicara sesuatu. "Kita ngobrol di dalam aja, yuk. Nggak enak dilihat sama tetangga," ajaknya lagi.
Lelaki itu menggeleng, Nirmala menatap lekat wajah yang tampak kacau sejak pagi. "Sorry, nggak seharusnya gue di posisi ini. Gue baru sadar, kalau hubungan ini salah."
Nirmala menyela, "Maksud kamu? Kenapa pakai kata gue?"
Damar menyugar rambutnya acak, membuat pesona tampan serta lelah beradu menjadi satu. "Hubungan kita salah, Nirmala. Kita, gue sama lo nggak seharusnya pacaran kayak gini. Jadi maaf, maaf banget kalau kita cukup sampai di sini. Kita putus, ya? Sekalipun bukan sebagai pacar, kita masih bisa jadi teman. Sekali lagi maaf, karena udah nyakitin lo lagi. Lo berhak marah dan benci sama gue. Karena gue sadar, salah gue sama lo terlalu banyak."
Nirmala mencoba tenang saat jantungnya berhenti bekerja. Ia masih menatap tak percaya pada lelaki di hadapannya itu. Baru dua hari ia merasakan manisnya madu cinta, sekarang ia harus menikmati pahitnya duka cinta.
"Gue sebenarnya nggak suka sama lo, tapi nggak tau kenapa seakan-akan lo selalu nyita perhatian gue. Harusnya lo masih jadian sama Gerry, karena dia benar-benar cinta sama lo. Lo nggak akan percaya ini karena lo kemarin nggak liat sendiri gimana dia marah sama gue waktu tahu kita jadian." Damar membuang napas melalui mulut, ia tidak berani memandang Nirmala yang hanya diam tanpa kata. "But so sorry, kita emang nggak ditakdirkan buat bersama."
"Tapi kemarin kamu bilang kalau suka sama aku, 'kan? Kenapa sekarang bilang gini?" tanya Nirmala dengan suara lirih.
"Karena gue kasihan sama lo, gue nggak tega lihat lo sedih terus gara-gara sikap Gerry. Niat gue mau bikin lo bahagia, tapi ternyata cara gue salah."
"Kamu nggak salah, aku beneran sayang sama kamu, Damar. Jangan buat aku bingung, aku nggak peduli kalau Gerry sayang sama aku. Semua udah terlambat, karena aku sayangnya cuma sama kamu. Ayolah, Damar. Jangan ambil keputusan secepat ini."
"Semua emang salah, Mala. Udah, ya. Gue pulang." Tanpa menunggu persetujuan dari Nirmala, Damar segera melesat dari hadapan gadis yang masih bergeming di tempatnya.
Nirmala mengerjap untuk menghalau air yang siap keluar dari sumber. Gadis itu mendongak, menatap senja yang menjadi saksi atas berakhirnya hubungan dengan Damar. Saksi bisu dari semua kisah yang pernah ia lalui. Mencoba menahan sesak yang membuatnya sulit bernapas, setiap rongga tubuhnya dipenuhi rasa sakit karena kecewa. Rasa yang tidak dapat Nirmala lukis dengan apa pun.
"Hei, ngapain lo bengong di depan kelas? Ayo, masuk. Gue ada kabar panas yang harus lo tahu." Tubuh Nirmala sampai terhuyung ketika Melody datang dari belakang tubuhnya, lalu merangkul tubuhnya sampai duduk di bangku.
Jika ini mimpi, Nirmala tidak ingin bangun karena harus kehilangan Damar. Sungguh, ia benar-benar mencintai lelaki itu. Tidak ada rasa bosan saat mengucap nama itu. Nama yang akan menjadi penghuni tetap di hatinya, sekalipun sang pemilik nama tersebut sudah pergi.
Tubuh Nirmala kembali terkejut karena ulah Melody yang memukul lengannya terlalu keras. "Apaan, sih? Sakit tau."
"Lo yang kenapa? Mulut gue udah berbusa buat cerita, eh, lo malah bengong. Mikirin apa, sih?" Melody bersungut kesal. Gadis itu duduk di samping Nirmala memakai kursi yang pemiliknya belum datang.
"Gue dengerin lo, kok," balas Nirmala.
Mata Melody berbinar mendengarnya. Lalu, ia menegakkan punggung seraya menatap Nirmala lekat. "Serius? Jadi gimana menurut lo? Gue terima nggak ajakannya Mail?"
Kedua alis Nirmala menyatu, ia juga duduk menghadap dengan tatapan menyelidik pada Melody. "Mail ngajakin lo ngapain?" Gadis itu berdecak, "nggak usah pacaran dulu, Mel. Fokus belajar aja."
Melody menggeram sambil menghentakkan kaki. "Ih, bohong banget kalau lo dengerin gue. Gue juga ogah pacaran sama Mail. Dia ngajakin gue rekaman, Mala, bukan pacaran."
"Hah? Serius? Emangnya lo bisa nyanyi? Mail nggak salah orang, Mel?"
"Mboh wes, La. Karepmu!"
Melody yang berhasil dibuat kesal oleh Nirmala, memilih pergi dari hadapan sahabatnya itu. Padahal ia ingin Nirmala menjadi orang pertama yang memberikan jawaban atas ajakan Mail. Memang belum banyak yang tahu, jika Melody memiliki bakat di dunia tarik suara.
Waktu itu Mail juga tidak sengaja mendengar suara Melody saat perjalanan pulang dari puncak. Sejak saat itu, Mail sering mengajak Melody untuk melatih suaranya lebih serius lagi. Lelaki itu tidak main-main untuk mengajak Melody rekaman, meski hanya meng-cover lagu, tapi bagi Melody itu adalah hal yang baru.
"Minggir!" Melody mendorong tubuh lelaki yang menghalangi jalan, "bilangin cewek lo, tuh. Pagi-pagi udah bikin kesel aja. Gue duduk di belakang aja sama Mail." Gadis itu berjalan ke belakang dan menghempaskan tubuhnya di bangku milik Damar.
"Tap—"
"Kenapa? Kamu juga nggak mau dekat-dekat aku lagi?" Ucapan Damar terpotong dengan pertanyaan menyakitkan dari Nirmala.
Damar tidak jadi melanjutkan aksi protesnya pada Melody. Dengan terpaksa ia mendaratkan pantat di bangku Melody. Hatinya berdesir saat menerima tatapan rapuh dari Nirmala. Tak dapat ia pungkiri, jika cinta memang tumbuh pada pohon cintanya. Namun, ia tidak ingin bahagia di atas kepiluan Gerry. Mereka sama-sama mencinta, pun dengan hati yang tergores luka.
****
"Aku mau bicara sebentar." Langkah Damar yang akan menuju ke parkiran tertahan karena sosok Nirmala yang tiba-tiba muncul di depannya.
Lelaki itu memutar pandangan pada sekitar. "Kita bicara di luar aja." Damar hendak melangkah, tapi gadis itu menolak dengan gelengan.
"Nggak usah. Aku ... ah, kenapa kalian berdua lakuin ini sama aku? Kalian mau bikin aku sadar, kalau aku nggak pantas sekolah di sini, 'kan? Iya, aku sadar, kok aku siapa. Dari awal aku emang sadar banget kalau aku cuma anak miskin yang ketiban emas bisa masuk sini. Awalnya, aku pikir kalau kalian, termasuk Kak Jasmin adalah orang berbeda, kalian mau berteman dengan siapa aja tanpa peduli kasta. Nyatanya nggak. Kasta tetap berlaku di mana pun." Gadis itu menarik napas untuk mengisi rongga dada. "Aku nggak akan minta balikan, meskipun aku serius cinta sama kamu. Aku takut kalau aku dikira meras harta kamu. Makasih, ya, udah ngenalin aku sama cinta dan luka untuk pertama kali. Semoga kita masih bisa menjadi teman, seperti yang kamu harapkan kemarin. Aku pulang dulu, maaf udah nyita waktu kamu."
"Aku antar," kata Damar serak.
Nirmala menatapnya dengan tersenyum. "Makasih, aku udah hafal harus naik apa."
Serasa ditikam sembilu, Damar membisu. Begitu banyak kata terangkai, tapi takbisa terucap. Punggung gadis itu terus menjauh dengan langkah pelan. Damar ingin mengejar, lalu mendekapnya erat. Namun, tidak. Lelaki itu masih tidak bisa bergerak.
Sepanjang perjalanan menuju halte, senyuman tidak lepas dari wajah terluka Nirmala. Gadis itu tidak ingin orang tahu bencana apa yang sudah menimpanya. Luka apa yang ia rasakan, cukup diri sendiri yang tahu. Tidak perlu ada tangis berkali-kali untuk seorang laki-laki lagi. Ia sadar, bosan, serta lelah dengan keadaan, tapi Nirmala bisa apa?
Kamu kuat, Nirmala.
Semangat, Nirmala 😘😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro