👒 ANTARIKSA 27 👒
Soni dan Wildan saling melempar bingung dengan sikap kedua sahabatnya yang menjadi pendiam. Jika diamnya Gerry sudah sejak pagi, lain dengan Haikal yang berubah seperti mayat hidup setelah jam istirahat usai. Suasana ruang musik yang biasanya gaduh saat pulang sekolah, kini hanya ada keheningan.
"Tumben lo diem, uang bulanan udah habis?" tanya Soni pada Gerry, lalu beralih pada Haikal. "Lo juga aneh, nggak lagi kesambet arwahnya Mbak Mawar, 'kan?"
"Iya, nih. Diamnya kalian itu sesuatu yang patut dipertanyakan, kayak putus sama pacar, eh, lupa kalau Haikal belum laku," sahut Wildan disertai cengiran, "tapi, Mbak Mawar siapa, Son?" Mata besarnya tertuju pada laki-laki berhidung mancung.
Dahi Soni berlipat sembari membalas tatapan Haikal dan Wildan. "Kalian nggak tau Mbak Mawar yang jaga sekolah?"
"Ngaco lo, mana ada kayak gituan di sekolah?" balas Haikal tak terima.
Gerry menyahut dengan suara pelan. "Ada, kata Kak Jasmin dulu di sini sering ada kejadian anak-anak kesurupan, tiap mau ujian pasti ada yang kumat. Sekarang udah nggak, udah jinak."
"Mbak Mawar udah pergi dari sini, gitu bukan maksudnya?" tanya Wildan lagi masih belum puas dengan jawaban.
"Belum, pohon beringin di parkiran motor itu rumahnya Mbak Mawar. Kalau masih nggak percaya, gue bisa panggilin." Soni menjawab yakin.
"Percaya! Iya, gue percaya." Wildan menjawab dengan suara lantang sambil mengusap tengkuknya yang meremang. Sedangkan Haikal meneguk minuman kaleng bersoda untuk menutupi rasa kagetnya soal Mbak Mawar.
Lelaki berhidung mancung membuang napas. Ia kembali fokus pada Gerry dengan pandangan kosong. "Jadi ... lo kenapa? Ada masalah lagi sama Nirmala?"
Gerry melirik orang yang selalu paham akan dirinya. "Nggak ada, gue udah putus sama dia. Dia yang mutusin gue."
"Anjir!"
Haikal terbatuk-batuk setelah menyemburkan isi mulutnya tepat ke wajah Wildan. "Kampret lo! Kalau mau ngomong liat suasana dulu, kek. Jangan asal ceplos, sakit banget tenggorokan gue, njir."
"Lo juga liat-liat dong kalau mau nyembur, nying! Harusnya ke Gerry, ngapain ke gue!" timpal Wildan tak kalah kesal. Lelaki itu sampai melepas almamater untuk mengusapi wajahnya yang basah.
Seolah tak peduli dengan keributan kecil itu, Soni masih tertegun dengan pernyataan Gerry. "Serius dia yang mutusin lo?" tanyanya lagi.
Suara kekehan geli dari lelaki jangkung itu terdengar menyakitkan. "Udahlah, nggak usah bahas dia lagi. Nggak penting! Dari awal emang nggak seharusnya gue macarin cewek miskin itu. Gini, 'kan gue jadi tenang," terangnya.
Haikal berdeham untuk meredakan panas di tenggorokan. "Lo kapan putus?"
"Baru kemarin," jawab Gerry.
Haikal menggeleng pelan disertai senyuman misterius. "Gue tadi nggak sengaja liat mantan lo sama Damar di kelasnya, kayak ... deket banget gitulah. Terus iseng gue nanya sama temen mereka, eh, katanya mereka baru jadian kemarin."
"Hah?" Mulut ketiga sahabatnya yang menganga seakan ingin melahap Haikal saat itu juga.
"Terserah kalian mau percaya atau nggak, gue lebih kaget karena lihat interaksi mereka secara langsung," imbuh Haikal.
"Kayaknya lo beneran keserempet Mbak Mawar, deh, Kal. Kok bisa, ya Nirmala dalam sehari mutusin Gerry, terus jadian sama Damar? Abang lo sendiri, Ger. Ckckck, jamane wes edan tenan!" Wildan menimpali sembari menggeleng tak percaya. Sedangkan, Soni dan Gerry saling melempar lirikan datar.
"Alah, ketahuan banget kalau cewek matre. Gue cabut dulu." Setelah mengatakan itu, Gerry keluar dari ruang musik. Tempat yang menyimpan kenangan bersama Nirmala, tak ingin mendengar apa pun lagi dari mulut sahabat-sahabatnya itu. Dengusan kecil disertai senyum simpul menemani langkahnya menuju mobil.
****
Kedua tangan Gerry masih memukuli samsak dengan brutal. Ada rasa tidak terima saat Damar mendapatkan bekasnya, mencoba membuang semua pikiran tentang alasan Nirmala memutuskannya begitu saja. Seakan dirinya tak berharga sama sekali.
Angin malam menyentuh tubuh Gerry yang dipenuhi dengan keringat. Tangan tanpa pelindung itu sudah memerah, tapi belum bisa menghalau rasa yang saat ini memenuhi lubuk hati Gerry. Kegelapan yang sejak tadi menyembunyikan hati rapuh itu, kini sudah terang karena kehadiran Damar di sana.
"Gue lihat rumah masih gelap, kirain masih tidur." Gerry menulikan pendengaran, masih enggan bicara apalagi menatap wajah kakak sepupunya. "Kenapa? Ada masalah?"
Tatapan tajam Gerry tertuju pada Damar yang tengah menahan samsak. Tanpa mengambil kuda-kuda, sebuah pukulan telak mengenai wajah Damar bagian kiri. Kedua tangan yang sudah memerah itu mencengkeram erat kaos milik Damar. "Lo masih tanya kenapa?" Satu pukulan lagi mengenai bagian pelipis kanan. "Maksud lo apa jadian sama Nirmala di belakang gue? Lo yang maksa gue buat perjuangin dia, tapi kenapa lo juga macarin dia, HAH?"
Dengan sekuat tenaga, Damar mendorong dada Gerry. "Lo yang harusnya mikir, kenapa gue ngelakuin ini! Itu semua karena lo!" Lelaki itu terus mendorong Gerry sampai berhenti karena tertahan oleh dinding. "Lo ngajak dia pacaran, tapi lo nggak pernah liat dia, Ger! Lo nggak pernah peduli sama dia! Lo nggak pernah anggap dia pacar lo!" Damar menghimpit tubuh Gerry dengan napas saling memburu. "Gue ngelakuin ini, karena gue nggak tega liat cewek polos kayak Nirmala jadi permainan lo. Cewek cuma butuh dihargai, bukan dipajang kayak sampah. Paham!"
Damar melepaskan Gerry dan segera pergi dari tempat itu tanpa pembalasan fisik. Lelaki itu sempat terkejut dengan respons Gerry yang tiba-tiba menghajarnya. Namun, ia tak mau peduli lagi dengan pilihan Gerry. Langkah lemahnya pun kembali membawa tubuhnya menghadap Jasmin untuk mencari pencerahan.
Punggung Gerry bergesekan dengan dinding saat tubuhnya luruh ke lantai. Merutuki aksi gilanya yang menerjang Damar. Tangan bergetar itu menyusuri kulit kepala yang basah, lalu menariknya keras. Rasa sesal kian menumpuk dari sikap dan perbuatan yang sudah ia lakukan, dan ia pun kehilangan Nirmala.
****
Sore itu, suasana rumah Nirmala tampak ramai dengan kedatangan Sari dan Santi—mama Ara. Mereka ingin melihat secara langsung proses pembuatan kue Nuri. Bukan hanya melihat, kedua wanita sosialita itu juga ikut turun tangan untuk membantu Nuri.
"Kenapa nggak coba buka ruko roti di depan rumah, Bu? Kayaknya muat, deh kalau buat kecil-kecilan aja," usul Santi sambil menuangkan adonan brownies ke dalam loyang.
"Setuju banget, atau kalau nggak gitu bikin banner terus gantungin di depan rumah. Biar pelanggan makin banyak juga, Jeng," sahut Sari tidak mau ketinggalan.
Nuri tersenyum mendengar usulan-usulan itu. "Doakan saja semoga usaha kecil kami ini bisa menjadi besar. Tapi untuk waktu dekat ini, saya masih belum berpikir bisa mewujudkan harapan itu. Masih ada urusan lain yang lebih penting, Jeng."
Nirmala yang paham dengan ucapan Ibunya merasa gelisah. Gadis itu tahu, meskipun ia mendapatkan beasiswa, tapi biaya lain untuk sekolah di Antariksa juga tidak sedikit.
Sari menimpali, "Pasti, Jeng! Kita selalu berdoa agar usaha Jeng Nuri bisa sukses. Bisa buka cabang di berbagai kota, punya karyawan dan pelanggan sana-sini. Kamu pasti bisa, Jeng." Wanita yang memiliki senyum indah itu melirik pada Santi dengan alis bergerak naik-turun. Santi yang paham akan maksud sahabatnya, membalas dengan anggukan pelan.
Nuri tergelak pelan. Senang rasanya bisa memiliki teman baru, apalagi mereka juga menyemangati usaha kecil itu. Waktu di dapur tidak akan pernah cukup untuk kalangan perempuan, sampai senja menghilang di ujung barat. Sari dan Santi pamit pulang, saat dirasa pagi akan segera berganti siang.
Percakapan kedua sahabat sejak SMA itu masih berlanjut. "Kenapa kamu tadi nggak bilang aja kalau kita mau jadi investor?" Santi bertanya heran. Padahal semua rencana sudah matang, hanya tinggal mengatakan pada pihak Nuri selaku pemilik usaha.
Sari membasahi kedua bibirnya, lalu menjawab, "Aku juga maunya bilang dulu, San. Tapi aku udah yakin duluan kalau mereka bakal nolak, jadi semuanya biar diurus sama orang-orang aku. Gimana menurut kamu? Lanjut apa nggak?"
"Lanjut dong, ngapain juga nggak jadi. Aku yakin usaha mereka bakal cepet berkembang," kata Santi.
Sari menyetujui ucapan Santi dengan senyuman dan anggukan, semua usaha serta kerja keras perlu diapresiasi agar semua lelah tidak terbuang percuma.
***
Hai, gimana partnya?
Apa yang kalian rasa setelah baca part ini?
Semoga menghibur 😘😘
Jangan lupa klik bintang di pojok kiri bawah.
Love 🥰🥰
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro