👒 ANTARIKSA 18 👒
Nirmala menatap lurus ke seberang, tepat di kelas Gerry yang menjadi titik pusatnya. Lelaki itu tengah tertawa lepas bersama Wildan serta Haikal, dengan wajah tampan yang selalu bisa membuat orang tergelak melalui kata ceplas-ceplosnya. Lelaki yang mengajarinya mengenal cinta. Lelaki itu pula yang membuatnya tahu rasanya hati yang tersakiti untuk pertama kali.
Gadis itu mengalihkan atensi sembari membuang napas. Harapannya sudah pupus terlebih dahulu sebelum tercapai satu pun. Kedua sudut bibirnya tertarik hingga membentuk bulan sabit. Biarlah semua menjadi pelajaran yang sangat berharga untuk langkah selanjutnya. Harus lebih cermat dengan kehadiran orang baru.
Pandangan dari pemilik surai hitam itu berotasi lagi saat indera pendengarannya menangkap namanya dan Damar terpanggil.
“Kalian dipanggil Bu Q, disuruh ke ruangannya sekarang." Itulah jawaban Aksa atas pertanyaan 'ada apa' dari Damar.
“Ayo!” Nirmala mendongak untuk menatap wajah Damar yang berdiri di hadapannya. Gadis itu hanya membalas dengan senyuman, lalu berjalan beriringan keluar kelas untuk memenuhi panggilan dari Bu Qiandra yang lebih suka dipanggil dengan Bu Q.
Selama perjalanan, hanya ada keheningan. Nirmala yang malas untuk mengeluarkan kata dari bibir, sedangkan Damar yang masih terkubur dengan semua rasa bersalah. Sampai mereka tiba di depan pintu dengan tulisan 'Dewan Guru' yang menggantung di atasnya.
Damar membuka salah satu daun pintu setelah mengetuk pelan tiga kali. Ia mempersilakan Nirmala agar masuk terlebih dahulu, lantas ia mengikutinya dari belakang sembari memberi senyuman pada beberapa guru yang ada di sana. Langkah dua siswa itu berhenti di depan meja ibu guru cantik.
“Permisi, Bu,” sapa Damar pada Bu Q.
Wanita paruh yang memiliki mata bulat itu mengangkat wajahnya yang menunduk untuk memeriksa berkas pada laptop. “Kalian sudah datang? Baguslah. Silakan duduk,” titahnya.
“Maaf, ada apa, ya, Bu? Kenapa kita berdua disuruh kemari?” tanya Damar.
Bu Qiandra menyodorkan dua bundel kertas untuk Damar dan Nirmala. “Ada olimpiade Fisika yang rutin diselenggarakan oleh kabupaten. Seperti biasa, sekolah kita terpilih untuk mewakili Kota Malang. Saya sudah melihat nilai dan prestasi dari siswa yang diajukan oleh bapak kepala sekolah, tapi tidak sesuai dengan kriteria yang diminta. Kemudian, saya coba lihat-lihat nilai anak unggulan. Nirmala sudah sering mengikuti olimpiade di SMP, Damar dengan nilai yang bagus. Saya rasa, kalian pantas untuk berangkat.”
“Satu bulan lagi, Bu?” Nirmala bertanya saat Bu Qiandra sudah tidak berbicara lagi.
“Iya, Nirmala. Jadi, sebulan ke depan kalian akan menjalani masa bimbingan dengan saya. Satu minggu bisa dua atau tiga kali pertemuan, harinya kalian boleh menentukan,” terang Bu Qiandra.
“Kenapa tidak ambil dari jurusan IPA saja, Bu? Maaf, bukannya saya menolak, tapi kelas kita sebentar lagi ujian semester dua. Takutnya Nirmala sulit membagi waktu,” ujar Damar.
Di saat kelas lain menghabiskan waktu satu tahun dalam dua semester, maka kelas Akselerasi ada tiga semester. Jadi, dalam satu tahun mereka akan ujian sebanyak tiga kali. Belum lagi ulangan harian untuk menguji kemampuan mereka. Namun, mereka selalu menikmati dengan saling memberikan semangat satu sama lain.
“Saya bisa, Bu,” sahut Nirmala cepat dengan suara tegas. Damar menengok gadis yang menatap lurus pada Bu Qiandra. Dari suara yang ia tangkap, gadis itu masih memiliki mood yang tidak baik.
Wanita bertubuh tinggi dan tegap itu beralih menatap Damar. “Bagaimana dengan kamu, Damar? Apa kamu juga bisa? Saya dan guru yang lain juga sudah mempertimbangkan keputusan ini. Kami mencari yang terbaik di antara yang paling baik.”
“Saya juga siap, Bu,” jawabnya yakin.
“Baiklah, hari ini hanya itu. Kalian boleh kembali ke kelas, dan jangan lupa, segera kasih tahu saya hari apa saja kalian bisa.”
“Baik, Bu. Terima kasih. Kami permisi dulu. Assalamualaikum ….”
Bu Qiandra mengangguk sembari membalas salam Nirmala. Gadis itu segera beranjak dari sana dan diikuti oleh Damar. Lelaki itu berjalan di belakang dengan menghela napas. “Mala ….”
Sepasang kaki gadis bersuara khas itu berhenti, memutar tubuhnya agar bisa berhadapan dengan Damar. “Lo nggak seharusnya bersikap kayak gitu. Lo nggak berhak nentuin keputusan orang lain, biarkan mereka memilih apa yang dia ingin, Mar. Gue udah biasa ikut olimpiade di SMP, dan gue bisa. Gue nggak pernah merasa keberatan karena ditunjuk sekolah, gue malah senang karena mereka memberikan kepercayaannya ke gue. Gue nggak pengen dikenal orang karena kekayaan atau kecantikan, tapi gue mau mereka tahu sejauh mana prestasi yang sudah gue raih.”
Damar tertegun mendengar untaian kata yang keluar dari bibir Nirmala dengan tempo cepat. Sekali lagi, ia menyesali kebodohan yang sudah dilakukan. “Gue minta maaf. Gue bilang kayak gitu karena gue lihat lo sedang ada banyak masalah.”
“Masalah gue juga bukan urusan lo. Berhenti ikut campur kehidupan gue, oke.” Nirmala melanjutkan langkahnya setelah membenarkan ucapan lelaki yang beberapa hari ini berhasil mengusik hati dan pikirannya.
Satu tangan Damar menyugar sekaligus menarik pelan surainya saat tangan lainnya berkacak di pinggang. Hatinya ingin berteriak, mengatakan semua kesalahan yang ada. Akan tetapi, bibirnya masih kelu untuk mengeluarkan semua itu.
***
Sesuai dengan permintaan Bu Qiandra, Nirmala dan Damar sudah menentukan hari untuk bimbingan. Rabu, Kamis, dan Sabtu adalah hari pilihan mereka. Sabtu ini, Bu Qiandra mengajak dua calon peserta olimpiade itu belajar di rumahnya.
“Kalian tunggu di sini saja, saya ambilkan makanan dulu.” Wanita yang selalu tampak cantik elegan saat di sekolah, kini Bu Qiandra hanya mengenakan baju rumahan tanpa riasan. Ia mengajak kedua anak asuhnya itu ke salah satu sudut di rumahnya.
Nirmala tidak kunjung duduk seperti yang Damar lakukan. Gadis itu terus berjalan dan berhenti di dekat dinding yang terbuat dari kaca. Rumah kaca itu terasa sangat nyaman dengan di kelilingi warna alam yang alami.
“Enak, ya jadi orang kaya? Pengin apa pun pasti mereka dapat. Kalau gue mau jadi orang sukses dulu, gue mau kejar apa yang sudah gue tentukan. Gue nggak mau mengejar kekayaan, biar kekayaan itu yang nanti kejar gue.”
Damar tersenyum di balik punggung gadis hebat itu. Bukan hanya pandai, ternyata Nirmala juga seorang gadis yang memiliki pemikiran sangat hebat.
“Gue yakin kalau lo juga bisa raih apa yang lo mau,” ujar Damar.
“Makasih.” Nirmala berjalan menuju tempat Damar, mereka duduk lesehan berhadapan. “Gue cuma meraih mimpi setinggi-tingginya. Sesulit apa pun tantangannya, gue harus jadi juaranya, Mar.”
“Gue bantu doa, deh. Biar semua impian lo terwujud.”
“Amin, makasih, Mar. Gue mau bikin bahagia orang tua, lihat mereka senyum itu udah hal paling indah,” kata Nirmala.
“Lagi ngomongin apa, nih? Kayaknya serius banget.” Suara Bu Qiandra mengusik perbincangan Damar dan Nirmala. Ia meletakkan nampan berisi dua gelas jus jeruk dan sebuah stoples berisi biskuit cokelat. “Nih, sambil diminum."
“Lagi ngobrol santai. Sambil nunggu Bu Q.”
Bu Qiandra mengambil beberapa lembar kertas dari atas meja semen. “Kalian kerjakan soal-soal ini dulu, nanti saya cek. Maaf, ya sambil saya tinggal-tinggal. Anak saya lagi sakit, jadi agak rewel.”
“Iya, Bu. Tidak apa-apa. Maaf, malah ngerepotin,” balas Nirmala.
“Nggak ngerepotin, Nirmala. Udah, kalian kerjain sambil santai-santai. Ibu tinggal dulu.”
Sepasang remaja itu mulai berkutat dengan soal yang diberikan oleh Bu Qiandra setelah menyeruput jus jeruk untuk melepas dahaga. Mereka tampak tenang dengan deretan huruf dan angka. Mulai dari soal pilihan ganda sampai esai, mereka kerjakan sendiri tanpa bertanya.
***
Mobil Damar berhenti di depan pagar besi rendah itu tepat pukul setengah sembilan malam. Sang pengemudi hendak memberi tahu Nirmala jika mereka sudah sampai, tetapi gadis itu malah terlelap.
Lelaki itu mematikan mesin, lalu menatap lekat wajah yang tampak begitu lelah. Satu tangannya bergerak untuk menyingkirkan helaian rambut yang menjuntai menutupi mata. Damar salut dengan kegigihan yang gadis itu miliki. Di umur yang seharusnya untuk menikmati masa pertumbuhan, Nirmala malah berlari kencang untuk meraih mimpinya.
Tatapannya masih terpaku dengan lukisan wajah indah Nirmala. Dari alis tipis, hidung lancip dan bibir kecil yang menciptakan senyuman sangat indah. Belum lagi, jika kelopak mata itu terbuka, melengkapi kecantikan yang gadis itu pancarkan.
Rasa bersalah kembali menggerogoti relung hatinya, Damar tidak membayangkan jika gadis di sampingnya ini tahu akan kebenaran tentang Gerry. Hingga gerakan tubuh Nirmala membuat Damar membenarkan posisi duduknya, yang semula menghadap pada Nirmala kini menatap lurus ke depan.
“Udah sampai? Kok gue nggak dibangunin?” tanya Nirmala dengan suara khas bangun tidur. Ia merapikan pakaian sebelum melepas sabuk pengaman. “Mau mampir dulu?” sambungnya.
“Udah malam, gue langsung aja,” jawab Damar dengan senyuman.
“Ya udah, makasih udah diantar. Hati-hati nyetirnya,” pesan Nirmala sebelum keluar dari mobil Damar. Lelaki itu segera membuang napas panjang.
Damar membuka setengah kaca jendela saat melihat Nirmala berdiri di depan pintu gerbang. “Masuk sana!”
“Lo jalan dulu sana, gue tinggal masuk kok.”
“Nggak baik cewek diam di luar lama, apalagi ini udah malam. Lo masuk, habis itu gue pulang.”
“Oke, deh. Lo hati-hati, ya.” Itu menjadi kalimat terakhir sebelum Nirmala berlalu dari hadapan Damar dengan hati bergetar. Gadis itu merasakan saat tangan Damar menyentuh wajahnya, memainkan rambutnya. Sekali pun itu gugup, Nirmala berusaha agar tetap terpejam dengan tubuh panas dingin.
Damar menghidupkan mesin mobilnya setelah tubuh Nirmala hilang di balik pintu rumahnya. Lelaki itu terkekeh mengingat perdebatan kecil yang baru saja terjadi.
See you again ....
Terima kasih yang sudah membaca.
Jangan lupa tinggalin jejak 😘
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro