👒 ANTARIKSA 17 👒
Sejak kemarin, Nirmala mengabaikan ponselnya yang terus menampilkan nama Gerry. Ia sampai merubah mode silent, agar suara notifikasi tidak mengusik malam kelamnya. Bahkan, gadis itu rela berbohong kepada orang tuanya saat ia berangkat terlalu pagi, dengan alasan piket. Padahal, sebenarnya ingin menghindari pertanyaan karena matanya yang sembab.
“Mata lo kenapa bengkak gitu? Lo habis nangis?” Melody menyapa Nirmala saat ia tiba di kelas dan menemukan gadis itu sudah berkutat dengan buku Fisika.
Nirmala mengembuskan napas pelan, ia menatap Melody dengan kelopak mata yang terasa berat. “Keliatan banget, ya?” tanyanya pada Melody, “tadi gue nggak sempat sarapan karena berangkat pagi demi menghindar dari ayah sama ibu.”
“Lo ada masalah apa sampai kayak gini, Mala?” Melody menarik kursi agar lebih dekat dengan Nirmala.
Gadis itu menceritakan semua yang terjadi kemarin, mulai dari datang ke rumah Jasmin, kemudian pergi dengan Gerry yang berakhir dengan tragis. Mengingatnya, membuat hati Nirmala kembali berdenyut sakit. Seolah Nirmala tidak pernah penting bagi Gerry.
“Kayaknya lo harus cepat ambil keputusan, deh. Gue nggak suka kalau lo cuma dijadiin pajangan sama dia. Pacaran itu harusnya bisa saling mengisi, saling melengkapi, tapi sejauh ini dia nggak pernah ada buat lo, ‘kan? Kenapa nggak lo putusin aja?”
“Gue nggak tahu, Mel. Gue juga nggak paham sama Kak Gerry. Waktu kemarin jalan bareng, rasanya juga beda. Pas kita jalan berempat kemarin, lo, gue, Damar, sama Mail, gue bisa ngerasain seneng. Gue bener-bener bahagia.” Nirmala memejamkan mata untuk mengatur detak jantungnya. Ia mengira jika Gerry sangat mencintainya, bukan sebagai kelinci percobaan seperti ini.
Kedua tangan Melody menangkup puncak kepala Nirmala. Karena tubuhnya yang minimalis, Melody harus berdiri dari bangku. “Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad.”
“Mel, lo ngapain?” Nirmala melirik tangan Melody yang belum terlepas dari kepalanya.
“Omongan lo udah nggak bener, gue nangkapnya lo nyaman sama Damar, dan itu nggak boleh terjadi. Mereka saudara, Nirmala.” Melody tidak habis pikir dengan temannya itu. Jantungnya hampir saja melompat dari posisi nyaman ketika ucapan Nirmala meluncur.
Akan tetapi, posisi itu hanya sebentar karena tubuh Melody tiba-tiba melayang dan menjauh dari Nirmala. “Turunin gue, woi!”
“Lo nggak boleh transfer makhluk apa pun ke Nirmala. Dia wanita suci, dan aku tidak akan membiarkan kau menyentuhnya,” ucap Mail seolah seorang yang bijak. Lelaki yang memiliki alis tebal itu menurunkan Melody di depan pintu kelas.
Melody mengibaskan tangan pada bekas tubuh Mail yang melingkar di tubuhnya. “Heh, kutu ayam! Lo yang harusnya nggak usah sentuh gue. Oh, atau emang lo sengaja cari perhatian dari gue?”
Tubuh Mail bergidik beserta ekspresi ingin muntah. “Dasar, emaknya tuyul! Lo pikir gue suka sama lo? In your dream! Palingan juga yang ngomong yang suka sama gue, tapi gengsi mau bilang. Kebiasaan cewek.” Mail berlalu setelah menjulurkan lidah pada Melody. Ia kembali masuk ke kelas untuk menanti dering bel masuk.
Melody menggeram dengan tangan terkepal kuat di samping tubuh, sebelum akhirnya meneriakkan nama Mail. Beberapa pasang mata hanya melihatnya sekilas, karena itu sudah menjadi tontonan wajib. Ada juga yang merasa kasihan pada Melody atas sikap Mail yang selalu mengajaknya bertengkar.
Nirmala menarik kedua sudut bibirnya saat temannya sengsara, tapi memang itu yang sedang ia butuhkan. Gadis yang memiliki senyum indah itu mendongak saat ada tangan yang mengulurkan saputangan.
“Mata lo ada beleknya, belum mandi, ya?” ucap Damar saat Nirmala hanya memandangnya sendu tanpa mengambil apa yang ia berikan. “Mau gue yang bersihin?” tanyanya lagi sembari menggoyangkan kain berwarna biru laut di depan wajah Nirmala.
“Gue bisa sendiri,” sewot Nirmala sambil mengambil saputangan dari sang pemilik. Tangannya segera bergerak menyapu ujung mata.
Damar menghempaskan tubuhnya di bangku yang sempat diduduki oleh Melody. Rasa iba menyentuh hatinya tatkala melihat Nirmala seperti ini. “Gue minta maaf,” ujarnya lirih.
“Lo ada salah sama gue?” Nirmala mengernyitkan dahi mendengar permintaan maaf dari Damar, seingatnya lelaki dengan suara bariton itu tidak ada salah padanya.
“Lo harusnya nggak hadir di kehidupan Gerry. Gara-gara dia, lo jadi cengeng. Gue semakin merasa bersalah setiap lihat lo kayak gini, karena alasannya adalah saudara gue.”
Nirmala membuang napas berat. “Udahlah, Mar. Nggak usah nyalahin diri lo. Dengan gini, gue juga bisa belajar untuk menghargai setiap orang yang hadir dalam hidup gue. Baik buruknya harus gue terima karena itu juga keputusan gue.”
Damar mengeratkan rahang, ia semakin ingin menenggelamkan diri ke dalam sumur. “Tadi pagi Gerry jemput lo ke rumah, tapi lo udah berangkat. Dia minta maaf buat kemarin. Saran gue, mending kalian ketemu buat selesaiin masalah ini.”
Nirmala menjawab dengan dehaman, pandangannya kembali fokus pada buku yang masih terbuka di atas meja. “Gue masih butuh waktu buat itu.”
****
Sesuai dengan permintaan Damar, hari ini Melody pulang bersamanya. Damar mengajak Melody ke Gartenhaus, kafe yang tepat untuk dijadikan tempat bersantai. Kafe itu terbilang unik karena memadukan konsep ecobuliding dengan gaya rustic yang dibuat menyatu dengan alam. Saat mereka datang, suasana kafe masih terlihat sepi karena tempat itu baru saja buka.
“Lo ngapain ngajak gue ke tempat kayak gini? Jangan bilang lo mau mempertemukan gue sama Mail lagi? Ogah, ya!” Melody merotasi pandangan, memastikan kalau orang yang namanya baru ia sebut tidak ada di sini.
“Nggak, Mel. Kita cuma berdua, nggak ada Mail atau pun Nirmala. Lo mau duduk di mana?” Melody menunjuk meja yang dekat dengan kolam ikan. Gadis itu tidak menyangka ada tempat seindah ini di tengah hutan. Mereka pun berjalan menuju tempat yang tadi ditunjuk Melody.
“Mel,” panggil Damar pelan setelah mereka duduk berhadapan.
“Apa? Lo lagi ada masalah, ya? Seharian diam terus di kelas.” Pandangan Melody hanya terpusat pada benda pipih dalam genggaman. Sembari menunggu pesanan datang, gadis itu membuka beberapa akun sosial media.
“Gue mau bilang sesuatu sama lo, gue udah nggak bisa sembunyiin ini lebih lama lagi.”
“Ya, udah. Ngomong aja,” balas Melody. Rasa panas mulai menjalari tubuhnya dari puncak kepala sampai ke ujung kaki. Ia harus waspada dengan kata yang akan keluar dari bibir Damar. Terdengar helaan napas berat dari kursi seberang, Melody yakin kalau lelaki itu juga merasakan hal yang sama dengan dirinya.
“Gue udah bohong sama Nirmala. Gue nggak tega lihat dia tadi pagi.”
Melody mengangkat kepalanya, ia menatap Damar dengan dahi terlipat. “Bohong? Soal apa?” Rasa panas memudar dari telapak tangannya yang menjadi dingin. Menyisakan jantung yang masih berdetak tidak karuan.
“Soal Gerry. Gue pernah bilang sama Nirmala, kalau Gerry punya sakit parah.”
“Tunggu, tunggu. Jangan bilang kalau ternyata Kak Gerry nggak sakit kanker?”
Kali ini Damar yang tertegun. “Lo tau?” tanyanya cepat.
“Nirmala pernah cerita sama gue.” Melody merasa tulang rusuknya terlepas satu persatu. “Please, jangan bilang kalau itu semua bohong,” lanjutnya lemah.
“Gerry nggak sakit, Mel. Itu semua rencana gue biar Nirmala mau terima Gerry. Dulu gue nggak tega lihat Gerry yang terus diabaikan oleh Nirmala, tapi sekarang gue makin nggak tega lihat perempuan kayak Nirmala nangisin Gerry. Lo paham, ‘kan posisi gue?”
Salah satu tangan Melody yang terkepal berhasil mendarat di wajah Damar. Kedua matanya memanas mendengar pernyataan gila Damar. Ia menyambar tas dan ponselnya sebelum meninggalkan Damar. Tidak peduli jika mereka menjadi pusat tontonan para pengunjung yang mulai berdatangan.
Damar langsung menarik lengan Melody. “Mel, gue belum selesai. Lo harus dengerin lebih banyak lagi cerita gue.”
Langkah Melody berhenti, tapi ia masih tidak sanggup untuk menatap Damar. “Gue nggak nyangka lo sebrengsek ini. Gue nyesel punya teman kayak lo.”
Damar menangkap semua ucapan Melody, ia menarik pelan tubuh mungil itu agar kembali ke tempatnya bertepatan dengan datangnya pesanan mereka. Suasana menjadi hening, Damar menunduk saat mendapat lirikan tajam dari Melody.
“Harusnya lo nggak perlu ngomong ini ke gue, lo harus jujur sama Nirmala, Mar. Dia yang udah lo bohongi. Lo keterlaluan!” Melody mengusap ujung matanya yang menghangat. Masih sulit menerima kebenaran tentang kebohongan Damar.
“Gue akan bilang sama dia, tapi nggak sekarang. Lo jangan bilang sama dia dulu, ya, biar ini jadi urusan gue,” pinta Damar.
“Terserah lo,” jawab Melody.
Mereka menyantap makanan dalam diam, tenggelam dengan pikiran masing-masing.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro