Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

👒 ANTARIKSA 10 👒

Pagi ini, Antariksa High School terguncang. Seperti Gunung Bromo yang mengeluarkan lava dingin, mengejutkan. Jika dulu, Jasmin dan Gibran yang mendapat gelar best couple of Antariksa. Disusul para netizen yang memberi sebutan Antariksa Squad pada Jasmin, Gerry, Damar, serta Gibran yang tidak pernah jauh dari samping Jasmin.

Tidak banyak di antara mereka yang menyaksikan fenomena pagi ini dengan pandangan terkejut serta mulut terbuka. Ada lagi yang berusaha menelan saliva dengan susah payah.

"Nggak usah peduliin mereka. Nggak usah didengerin, nggak usah diliat! Fokus sama aku aja. Anggap mereka itu burung pipit yang laper," kata Gerry dengan tangan kanan yang menyatu dengan jemari lentik Nirmala. Sesekali, gadis itu menaikkan pandangan untuk memastikan tidak ada hambatan dalam perjalanannya, tapi, ia lebih banyak menunduk.

"Aku ...."

"Ssttt, kamu gak perlu ngomong apa pun." Gerry mengaduh saat tubuhnya membentur benda yang teramat keras. "Siapa yang naruh tiang di sini, sih?" makinya pada beton yang menjulang di hadapannya.

Damar, Gibran serta Jasmin yang irit senyum pun tergelak melihat Gerry kesakitan.

"Aku tadi cuma mau bilang awas, Kak. Tapi malah dipotong. Sakit, ya, Kak?"

Lengkingan suara jeritan para kaum wanita terdengar saat Nirmala menyentuh dan meniup dahi Gerry yang sedikit memerah.

"Dulu pas aku jatuh, Ibu selalu giniin, Kak. Biar adem katanya," ujar Nirmala masih mengurut dahi Gerry agar tidak membengkak.

Gerry menatap intens pada Nirmala dengan jarak sedekat ini. Menikmati aroma apel yang menguar dari tubuhnya. Nirmala yang tersadar pun menarik diri ke belakang.

Jasmin menarik tas Gerry yang tersampir di bahunya untuk memasuki lift menuju lantai atas "Buruan masuk!" seru Jasmin sebelum pintu baja itu tertutup kembali.

Gerry kembali menggenggam tangan Nirmala seperti semula saat memasuki lift hingga tiba di kelas Akselerasi.

*****

"Lo mau ke mana?"

Damar yang mendapat amanah dari Gerry untuk menjaga dan mengawasi Nirmala, benar-benar menjalankan tugas dengan baik. Awalnya ia memang menolak, karena Gerry tidak memberinya alasan yang kuat. Hingga Gerry mengatakan semuanya, alasan kenapa dia menjadi posesif kepada Nirmala.

Sejak saat itu, Damar mengawasi setiap gerakan Nirmala. Bahkan, dia juga tidak segan mengikuti ke mana gadis itu akan pergi. Damar juga akan bertanya dengan kalimat yang sama saat melihat Nirmala akan meninggalkan kelas.

"Ke toilet. Kenapa, sih?" tanya Nirmala bingung sembari terkekeh masam. Beberapa hari ini, gadis itu merasa tidak nyaman dengan sikap Damar. Seolah dia adalah seorang tawanan.

"Nggak apa-apa. Kirain aja mau ke kelas Gerry." Damar menampilkan cengiran yang menyebalkan.

Nirmala menggeleng pelan seraya meninggalkan kelas. Bel masuk baru saja berbunyi saat dia sampai di depan pintu toilet perempuan.

Bentar aja kok, gumamnya sebelum akhirnya masuk ke dalam.

Nirmala melipat dahi saat mendengar suara-suara bentakkan kemudian suasana toilet menjadi sepi. Apa mungkin ada pemeriksaan murid yang bolos? Setelah selesai dengan urusan WC, Nirmala segera keluar dari bilik.

Tubuh Nirmala menegang. Saat ia mencuci tangan di wastafel, tiba-tiba ada yang memeluk lehernya dari belakang. Namun, gadis itu bisa melihat dengan jelas dari pantulan kaca. Ia tidak menemukan kalimat yang tepat untuk melawan.

"Hai, Sayang. Masih ingat gue? Ah, bahkan lo lupain semua ucapan gue. Munafik!"

Ara menarik satu sudut bibirnya ke atas. Puas melihat wajah Nirmala ketakutan dari cermin. "Lo mau teriak?" bisik Ara, "coba saja kalau bisa!" imbuhnya semakin menekan pada leher Nirmala.

"Kak ... sakit," cicit Nirmala yang membuat Ara tertawa lepas.

"Gue lebih sakit daripada lo. Tapi lo nggak peduli itu, 'kan?" Ara melepas pelukannya pada Nirmala. Lalu mengambil kedua tangan Nirmala dan menariknya kebelakang.

"Pegangin dia!" Ara memanggil satu orang temannya yang bersandar pada dinding toilet. "Jangan lupa tutup mulutnya!" imbuhnya yang sudah berdiri di hadapan Nirmala.

Ara kembali tertawa saat melihat wajah pias Nirmala serta mata yang memerah, menahan sesuatu yang sudah menggantung pada kelopak indah itu.

"Jangan, Kak," lirih Nirmala dengan mencoba melepaskan diri.

"Jangan takut, Sayang. Kali ini gue main alus." Ara mengusap almamater yang masih utuh tanpa ada bekas jahitan dengan dengkusan.

"Jangan, Kak," ucap Nirmala dengan air mata yang sudah membasahi pipi.

Dada Ara bergemuruh. Mengingat jika dia sudah berjuang lebih dahulu. Namun, Gerry tidak pernah melihatnya.

"Brengsek!" Satu tangan melayang, menyentuh wajah Nirmala keras. Disusul suara potongan-potongan kain yang memenuhi ruangan itu. Jeritan gadis malang itu tertahan karena ada tangan yang menutupnya.

"Udah, Ra. Ayo balik!" ajak teman Ara, Risa, yang muncul dari pintu toilet.

"Gue sakit, sakit banget. Tapi lo nggak tahu, 'kan?" Ara meremas kerah almamater Nirmala yang sudah hancur menjadi berkeping-keping. Menjadikannya dua sisi yang berbeda dengan beberapa potongan yang jatuh ke lantai. Bahkan, baju seragamnya juga menjadi mangsa atas gunting Ara. Masuk dari sela kancing baju, lalu membuat garis tak beraturan.

Nirmala hanya terisak pilu. Tidak bisa berpikir apa pun. Berteriak dengan suara lemah pun juga percuma.

"Ayo, Ra! Keburu ada yang datang." Kali ini Yura yang bersuara pelan. Dia mulai takut saat melihat Ara lepas kendali.

Ara tersenyum puas. "Sekarang lo baru pantes jadi gelandangannya Antariksa. Once again!"

"Udah cukup, Ra." desis Yura. Risa yang menjadi penjaga juga menyuruh mereka akan segera keluar. Namun, Ara menulikan pendengarannya. Ia benar-benar sakit hati.

Apa yang kurang darinya? Cantik, kaya, modis. Sedangkan Nirmala? Dia hanya gadis miskin yang terbantu oleh beasiswa. Kendaraan saja ia tidak punya. Namun, kenapa Gerry lebih memilihnya?

"ARA!" Yura memekik saat gunting di tangan Ara memangkas asal rambut Nirmala. Langkah Ara menjauh diikuti Yura dengan tubuh gemetar.

Bagaimana kalau meraka ketahuan?

Ara membuang potongan rambut hitam Nirmala pada tempat sampah yang berada di dekat pintu. Gadis itu membanting pintu lalu menguncinya dari luar.

Nirmala menatap pantulan tubuhnya dari cermin. Menyentuh rambut panjangnya yang menjadi sangat berantakan. Membelai almamater yang kembali compang-camping, bahkan lebih parah dengan lengan baju yang terbelah. Menampakkan goresan gunting pada kulit putihnya.

Gadis itu terisak keras. Memeluk tubuh dengan ketakutan. Terbayang saat Ara menodongnya dengan ujung gunting.

Lo nggak bakal bisa lihat dunia.

Satu kata itu yang membuatnya tadi langsung memejamkan mata lalu menunduk dalam. Ia tidak mau kehilangan matanya. Lalu, saat terdengar suara lain, ia tercengang saat rambut indahnya yang menjadi sasaran.

****

Damar menatap jam dinding dan pintu kelas secara bergantian. Sudah dua puluh menit berlalu, namun, Nirmala belum juga kembali dari toilet. Duduknya menjadi tidak nyaman.

"Saya izin ke toilet, Bu." Akhirnya Damar menghampiri Bu Wati yang saat ini tengah mengajar Fisika. Setelah mendapat izin, Damar segera menuju tempat yang dikatakan oleh Nirmala tadi.

Melihat banyak siswi yang berdiri di depan toilet, membuat Damar semakin curiga saat melihat pintu itu tertutup rapat. "Toiletnya rusak. Kalian cari toilet lain dulu, ya," kata Damar. Untung saja mereka percaya dengan ucapannya lalu pergi mencari toilet lain.

Melihat sekeliling sampai keadaan sepi dan aman, pria itu segera mendobrak pintu toilet. Ia bersyukur, di percobaan yang kedua, pintu itu sudah terbuka.

"Mala? Lo di dalem?" panggil Damar dengan perasaan was-was. Terdengar suara lirih yang membuat bulunya meremang.

Damar terus melangkah ke dalam, mencari sumber suara isakan. "Mala? Lo di sini, 'kan?" tanyanya lagi. Mengusap tengkuknya disertai mengucap 'Bismillah'. Ia membuka satu persatu pintu bilik yang berjumlah sepuluh itu.

"Jangan ke sini!" Gerakan Damar berhenti saat mendengar suara serak itu. Ia mendekati sumber suara. Mencoba membuka pintu bilik yang tidak terkunci.

"Jangan ke sini, Mar!" lirih Nirmala yang duduk di atas closet duduk dengan memeluk tubuhnya sendiri.

Damar mengumpat dalam hati, dia kecolongan. Pria itu segera melepas almamaternya lalu dipakainya untuk menutupi tubuh Nirmala.

"Siapa yang udah bikin lo kayak gini? Bilang sama gue!" kata Damar pelan. Gadis itu hanya menggeleng lalu kembali terisak. "Siapa, La? Mutiara, 'kan? Dia yang ngelakuin ini, 'kan?"

"Gue takut, Mar," gumam Nirmala yang terdengar jelas pada pendengaran Damar.

Pria itu keluar dari bilik, membereskan potongan kain yang berserakan untuk menghilangkan jejak. Kemudian, ia menulis sesuatu di ponsel.

Marmut

Marmut
Kalau habis ini lo masih sentuh Nirmala, seujung kuku pun itu. Foto ini akan menyebar. Semua anak Antariksa akan tahu, tanpa TERKECUALI!

Damar kembali menghampiri Nirmala setelah mengirim pesan itu.

Di tempat lain, tubuh Ara menegang setelah membuka pesan yang baru saja masuk dari nomor asing. Menengok pada Gerry, gadis itu yakin kalau pelakunya pasti Gerry. Namun, laki-laki itu tetap di tempatnya dengan tenang. Lalu, siapa yang berani mengancamnya? Dari mana ia mendapat foto tubuh polosnya?

Ara melempar gunting ke dalam kolong meja. Ia ketakutan. Masih bertanya dalam hati, bagaimana foto itu bisa sampai tangan orang lain? Bagaimana kalau orang tuanya melihat. Ia harus berhenti dengan Nirmala jika ingin selamat. Hanya itu jalan satu-satunya.

****

Jangan lupa vote dan komennya

Terima kasih 🥰❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro