Bab 6. Seseorang Bernama Evo dan Saudara Bernama Tom
"Benarkah?" aku melontarkan satu pertanyaan meski di dalam otak sedang terproses banyak pertanyaan yang siap diluncurkan.
"Tidak," kata Evo terkekeh, "kukira kau sedang bercanda, jadi aku balas bercanda. Kau tak bercanda?" Wajahnya berubah serius dan mengamatiku sedemikian rupa.
Aku menggeleng. "Aku tak bercanda. Senyum dan wajahmu terlihat familiar. Seperti, uhm... orang yang pernah ada di loteng rumahku. Kupikir itu kau," kataku lega sekaligus khawatir. Aku lega bisa jujur, berkata apa adanya meski baru mengenal. Di lain sisi, khawatir ia menganggapku sinting karena mengucapkan kalimat tak masuk akal. Lagipula hidupku saja sudah segila ini, aku tak mau menambah-nambahkannya.
Evo menepuk pundaku. "Kau hanya berasumsi terlalu cepat." Ia berlalu melewatiku dan masuk kelas.
Aku tak tahu apa yang harus kulakukan, kecuali masuk kelas. Jadi, aku masuk kelas dan mempertimbangkan untuk duduk bersama Evo. Namun nasib ketika hanya ada bangku kosong di sampingnya seolah itu sudah dipersiapkan untukku. Akhirnya aku melempar tas dan tubuh untuk duduk di sana. Evo tak membahasnya ketika guru sedang membahas pertumbuhan dan perkembangan tubuhan, jadi aku memutuskan untuk tidak memikirkannya.
Empat jam di sekolah ini membuatku tak nyaman. Segala sesuatunya tampak asing. Aku tak kenal siapa pun, bahkan tidak tahu siapa yang seharusnya kukenal karena mereka mengenal dan menyapa dengan lantang, dan moving class ini menyebalkan. Terlebih karena pelajarannya lebih sulit daripada pemahamanku. Hari pertama yang buruk. Namun aku ingat nasihat mama kandungku untuk belajar tekun meski situasi terasa sulit. Masalahnya ini bukan situasi sulit, ini situasi tidak mengenakkan. Pelajaran yang baru kupahami hanya bahasa Indonesia. Sisanya tidak mengerti. Masih ada tiga pelajaran lagi yang harus menyiksaku di sini setelah bel istirahat.
"Mau ke kantin?" tanya Evo sambil membereskan buku dan mencangklongkan tali tas ke sebelah pundak. Rambut hitam legamnya telah melewati kerah, dan mata lancipnya membuat orang yang ditatapnya terasa terintimidasi. Termasuk aku yang sedang mengangguk dan mengikuti langkahnya ke kantin.
Ia memberitahuku bahwa ia baru pindah beberapa hari lalu ke sekolah ini. Evo bilang ia menyukai segala sesuatu tentang sekolah ini, apalagi karena bertemu denganku. Aku sangat tahu rasanya jadi murid pindahan, menabrak orang dan berkenalan dengan baik-baik meski kurasa cara kami berkenalan kurang waras. Ia berencana meneruskan di sini dan ingin menjadi teman sebangkuku terus. Jadi mulai wajar jika bangkunya selalu kosong meski aku telat masuk kelas. Namun, aku tak mengerti mengapa sangat penting bagi kami duduk sebangku. Sebenarnya aku juga tak keberatan sebangku dengan Evo. Ia keren, wangi dan ganteng. Cewek-cewek tampak memujanya ketika ia lewat di koridor. Tapi, seringnya ia menempelkan bahunya dan bahuku agar kami terlihat 'mesra' (bersisian) meski hanya berteman. Ketika kutanya apa alasannya, ia hanya bosan mendengar cewek menjerit memanggil namanya.
Kami melakukan percakapan ini sambil berjalan ke kantin. Evo memegang kertas kimia. Ia bilang bahwa ulangan kimia kemarin diundur menjadi sekarang di jam akhir kelas. Aku sama sekali tidak mengerti mengapa hidupku selalu diisi dengan pelajaran meski aku mencoba untuk tak peduli.
Saat sampai kantin, aku mengecek kantong seragam. Seingatku aku tak membawa uang saku karena tidak memintanya pada orangtuaku tadi pagi. Evo tipe cowok cepat tanggap karena begitu melihatku panik, ia langsung memesan dua mangkuk bakso dan dua gelas es jeruk. Agak sulit membayangkan jika ini kantin sekolah. Karena lebih mirip kafe yang dimodifikasi sebulan kemudian menjadi kantin. Kesan elegan masih tersisa meski dindingnya agak kotor. Riuh rendah oleh anak-anak yang sibuk mengobrol dan memesan makanan mereka. Evo menyapa beberapa orang. Ia cukup terkenal. Karena setiap ada yang lewat, ada saja yang menyapanya. Cewek-cewek seringnya mengedip-ngedipkan mata—yang kuyakini sebagai kedipan mata genit. Evo hanya membalas dengan senyum. Saat itu aku tahu bahwa ia punya lesung pipit. Sulit mengakui bahwa aku mulai menyukai senyum manisnya.
Evo akhirnya bisa benar-benar makan setelah enam menit tanpa ada yang menyapanya lagi. Di sela makan, ia mengabsen orang-orang yang tadi menyapanya. Aku tak terlalu mendengarkan karena mataku sedang melakukan inspeksi kondisi. Lebih tepatnya aku mencari Tom. Jika aku bersekolah di sini, seharusnya Tom juga berada di sekitar sini. Kami sebenarnya benci jika harus dimasukkan sekolah sama karena paling malas dibanding-bandingkan oleh guru, tapi kali ini aku berharap sekali bahwa kami satu sekolah karena aku tidak tahu harus mencari di mana jika bukan di sekolah ini.
"Aku tidak mengerti mengapa Bu Oriana menyalahkanku di nomor dua," Evo kembali bercerita ketika mataku sedang mengembara. "Aku sudah menjabarkan reaksi oksidasi. Pelepasan dan pengikatan elektron. Coba kau lihat ini," katanya sambil meminta perhatian. "Ini kan hasil magnesium bertemu oksigen?"
Aku menggeser kertas itu dari wajahku. "Mungkin yang Bu Oriana minta reaksi oksidator," kataku asal-asalan. Jujur saja, aku bahkan tidak tahu siapa itu Bu Oriana.
"Oksidator berbeda dengan oksidasi," Evo berkata tanpa ekspresi. "Coba lihat nomor tiga, itu baru membahas oksidator. Kupikir ada yang salah dengan penglihatan guru itu."
Aku mengangguk dan terus berfokus pada lalu lalang anak-anak di kantin. "Bilang saja langsung," sahutku. "Ia pasti mengerti."
"Bu Oriana adalah guru yang sulit mengerti hal apa pun, jadi aku meragukan kalimatmu. Mungkin ia lebih senang jika aku membuat nilai sempurna di ulangan nanti agar mendongkrak nilai tugasku ini." Evo berspekulasi.
Aku tidak senang membicarakan keburukan guru, sebab terakhir kali merisaukan hal negatif tentang guru membuat nilai mata pelajaranku (yang diajarkan oleh guru tersebut) selalu hancur. Semacam aksi dan reaksi dalam Hukum Newton III. Meski guru itu bahkan tidak sadar jika anak muridnya ada yang membicarakan keburukannya. Namun, seumur hidup aku belum pernah mempunyai guru bernama Oriana, jadi tak ada salahnya jika turut andil membicarakan guru tersebut.
"Gurunya payah," kataku membumbui kalimatnya, "sepertinya aku akan mengalami hari yang sama denganmu."
Evo menatapku kesal. "Guru itu menyukaimu! Apa kau lupa? Kau selalu mendapat nilai sembilan setiap tugas. Sembilan puluh sembilan untuk nilai ulangan."
Saat itu juga pikiranku terpecah.Aku menatap, terperangah dan sebagian karena tidak bisa tidak senang dengan informasi tersebut. Di sekolahku yang sesungguhnya, aku selalu mendapat nilai di bawah KKM untuk semua mata pelajaran eksak. Padahal aku memilih jurusan IPA dengan pedenya. Ketika pertama kali memulai pelajaran, aku skeptis karena yakin seperempat otakku tidak terisi dengan eksak. Itu belum seberapa ketika aku selalu menjadi sasaran empuk menjawab soal kimia di papan tulis. Aku sering belajar sungguh-sungguh, namun tak sampai lima menit justru tertidur. Seakan aku dan kimia memang tidak ditakdirkan untuk bersatu. Layaknya air dan api. Hitam dan putih. Panas dan dingin.
Jadi, jika kenyataan di sini guru kimia menyukaiku, itu bisa jadi semacam modal untuk membangun rasa percaya diri mengejarkan kimia.
"Hebat," jawabku riang. "Apa ia benar-benar menyukaiku dengan wajar?"
Evo terbahak. "Kau murid kesayangannya!"
Good to be true. Namun itu kenyataannya jadi aku berkata, "Apa guru fisika, matematika dan biologi menyukaiku sebanyak guru kimia menyukaiku?"
"Sedikit. Tidak terlalu sih. Tapi, hampir semua guru menyukaimu," jawab Evo ringan.
Keterusterangan Evo membuatku ingin melonjak-lonjak di tempat duduk. Pemikiran bagaimana reaksi anak lain melihatku karena bertingkah aneh membuat aku berpikir ulang untuk melonjak-lonjak. Aku ingin bertanya lebih, tapi bel lebih dulu berbunyi. Riuh rendah semakin ramai karena kekecewaan jam istirahat kedua yang katanya terlalu cepat. Bunyi peralatan makan beradu, suara ledakan tawa dan cekikikan tercampur menjadi satu.
Ketika aku bertanya ke Evo apa mata pelajaran selanjutnya, kulihat seseorang yang sangat familiar melintas di koridor seberang. Aku tidak bisa menyalahkan jika ia tidak melihatku yang berada di koridor berbeda, sungguh. Namun melihat tawanya yang renyah, tanpa beban dan tanpa jeda membuat aku bertanya-tanya. Apa benar ia saudaraku Tom?
Aku mempertimbangkan bagaimana cara terbaik untuk menyapanya tanpa terlihat ekstrim sewaktu kelas matematika di mulai. Evo sering menyikut sisi tubuhku yang sedang terbengong-bengong menatap kaca jendela. Karena sungguh, dari jarak ini, aku bisa melihat Tom yang berbicara dengan temannya lewat jendela di kelas seberang yang terbuka lebar. Bagaimana bisa Tom tidak merasakan apa yang kurasa? Bagaimana bisa ia tertawa di situasi tidak normal ini?
Pertanyaan-pertanyaan terus berlarian di dalam otakku, mungkin sekarang sedang disiapkan dokumen pengajuan pertanyaan untuk Tom yang berjumlah ribuan lebar. Tentu aku melakukan sebisaku untuk mendengar ocehan guru yang namanya tertempel di name tag bertulis Rosalinda, tapi ternyata gagal. Dan keagagalan itu tampaknya ekspresif.
"Nikki!"
Aku mendongak. Hah? "Ya?
"Kau tahu jawabannya?
"Kali silang." Aku menjawab asal-asalan tak peduli apa pun risikonya. Siapa yang peduli jika saudara satu-satunya tampak bahagia sementara di lain sisi aku khawatir keadaannya?
Rosalinda tersenyum teduh. "Aku yakin kau mengangkat tangan karena bisa menjawab dengan benar. Itu bukan jawaban salah, hanya saja kita sedang membicarakan integral turunan."
Anak-anak terkekeh geli. Tidak ramai. Hanya saja terdengar seperti tawa terpaksa karena yang sedang bercanda adalah orangtua.
Dengan cara samar-samar aku menurunkan tangan. Aku tak tahu penyebab tanganku bisa terangkat. Yang pasti, pelajaran integral turunan terasa tak lagi penting. Supaya fokus, Evo menyibakkan gorden agar aku tak menoleh ke arah jendela. Namun meski tertutup gorden tipis, tergambar dalam benak kehadiran Tom saat itu. Detik demi detik berlalu dan aku tak berhenti memikirkannya. Hingga empat jam lamanya akhirnya penyiksaan sekolah selesai. Aku merasa superlelah karena entah siapa yang membuat jadwal memasukkan semua pelajaran eksak menjadi satu hari. Otakku memang bukan mesin, tapi ia berhak untuk berasap jika dipaksa belajar.
Setelah gurunya pergi, aku cepat-cepat keluar kelas tanpa mempedulikan panggilan Evo. Aku harus bertemu Tom sekarang. Ia tak bisa belagak seperti tidak terjadi apa-apa. Tidak adil jika kecemasan hanya melanda diriku dan bukan ia yang penakut. Pada saat menerobos kerumunan anak-anak, aku menabrak sekitar lima anak cewek lebih yang berjalan beriringan seolah takut ditinggal dan dua cowok yang sedang mengobrol. Masa bodohlah dengan makian mereka.
Mataku bekerja ekstra keras untuk mengamati kelas Tom yang sedang bubaran. Pintunya hanya terbuka sebelah kiri, tidak ada yang berminat membuka pintu sebelah kanan sehingga mereka keluar dengan berdesakkan. Dadaku bergemuruh oleh rasa khawatir. Dan babak yang ditunggu akhirnya datang. Tom keluar melewati hidungku persis, tanpa menyapa. Songong sekali!
"Tom!" Aku memanggil dengan nada yang berusaha terkontrol agar tidak naik intonasinya.
Ia menoleh ke arahku. Membisu. Matanya menatapku kosong dengan satu alis terangkat sebelah. Aku belum pernah mendapat tatapan tidak peduli itu dari Tom. Kalau dipikir-pikir, kami mirip orang yang baru bertemu dan tanpa sengaja ada barang yang tertukar, lalu berharap saling mengenal. Kami berdiri dengan jarak tiga puluh sentimeter tanpa bicara. Anak lain lewat lalu lalang hingga reda.
Akhirnya ia berkata, "Ada apa, ya?" lalu mencengkram tali tasnya yang merosot di bahu kanan.
Ada apa adalah jenis pertanyaan yang tidak terlintas dipikiranku. Aku terkekeh dan menepuk pundaknya main-main. "Ayo, Tom, kita pulang. Kita harus melanjutkan permainan."
Ia menepis tanganku dengan kasar. "Jangan asal memegang bahuku. Siapa sih kau?" tanyanya dalam, menusuk, dan seketika membuat aku terperanjat. Aku tidak tahu Tom sedang bercanda atau memainkan peran aneh, jadi aku menarik tangannya paksa hingga ia menyentaknya lagi.
Aku mengembuskan napas kuat-kuat seraya geleng-geleng kepala. "Aku tak punya waktu main-main, Tom!" bentakku.
"Jangan sembarang menyebut namaku. Aku bahkan tidak tahu siapa kau!" sahutnya ketus.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro